"Assalamualaikum." Rain berjalan ke arah dapur saat mencium wangi kue yang baru diangkat dari oven. Ia melihat dapur sedikit berantakan, ada beberapa wadah kotor dan bahan-bahan yang tergeletak begitu saja.
"Tumben bikin kue." Rain menghampiri Bundanya yang sedang menata kue di piring.Bunda Rain memang sangat senang memasak. Dulu ia pernah bercerita pada Rain kalau ia bercita-cita menjadi koki, tapi sebelum menggapai cita-cita itu Bunda Rain sudah lebih dulu bertemu dengan Ayah Rain. Jadi keahlian memasaknya digunakan untuk menyenangkan keluarganya."Lagi pengen aja. Oh ya Ra, tolong kasih ini ke abangmu ya. Dia lagi di kamar." Bunda Rain memberikan sepiring kue pada Rain."Masih kencan sama tugasnya?""Iya, katanya biar cepet selesai. Kalo kayak gitu bukannya selesai, malah sakit. Abangmu terlalu maksa dirinya, coba bilangin Ra, kalo kata-kata bunda udah gak mempan buat dia. Bunda cuma takut dia sakit." Terlihat jelas raut khawatir dari bunda Rain."Iya Bunda, nanti Rain coba bilangin. Yaudah Rain nganter ini dulu ya Bun, sekalian ganti baju.""Eh sebentar Ra, setelah ganti baju jangan lupa anterin itu ke Chandra ya." Bunda Rain, menunjuk pada kotak kardus berwarna putih."Iya Bunda." Meskipun tak mau mengantarkannya, tapi Rain tak bisa menolak bundanya.***Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Rain langsung memasuki kamar Juan. Lelaki itu terlihat duduk di meja belajarnya, di depannya ada sebuah laptop yang sedang menyala. Juan terlihat berantakan, baik baju maupun tatanan rambutnya. Meski begitu ketampanannya tak berkurang sama sekali. Tak hanya Juan yang terlihat berantakan, tapi kamarnya juga. Banyak sekali tumpukan buku dan kertas yang ditaruh di sembarang tempat.Rain berjalan mendekati Juan. Ia menaruh kue dari Bunda di samping laptop Juan. Juan langsung melihat ke arah kue itu, bersamaan dengan itu Rain memeluk leher Juan dari belakang, ia menaruh kepalanya di pundak Juan."Kenapa nih meluk-meluk, pasti ada udang dibalik kue." "Di balik batu!" Rain mencubit lengan Juan."Sakit Ra! Lo kan bawanya kue bukan batu." Juan menganduh kesakitan dan mengelus bekas cubitan Rain."Mangkanya jangan bercanda! Lo disuruh istirahat sama Bunda. Jangan tugas mulu yang dipikirin, kesehatan lo juga penting!" omel Rain. Beberapa minggu terakhir memang Juan lebih sibuk dengan tugasnya. Lelaki itu bahkan sering begadang dan telat makan demi bisa menyelesaikan tugasnya."Iya-iya adikku, bentar lagi gue istirahat." Juan mengelus-elus rambut Rain."Bentar lagi, tapi gak berhenti-berhenti," cibir Rain."Cerewet! Pantesan kagak ada yang mau sama Lo, kecuali si Chandra sih. Btw gimana dia? Ada kemajuan apa?""Kok malah bahas Chandra sih!" Kesal Rain."Lah apa salahnya bahas calon adik ipar." Juan mencoba menahan tawanya. Menggoda adiknya adalah kegiatan yang paling Juan sukai."Tau ah!" Rain langsung melepaskan pelukannya pada Juan. Ia menghentakkan kakinya dan berjalan ke luar kamar.Juan tersenyum, pembahasan tentang laki-laki memang selalu ampuh membuat Rain kesal.***Rain berjalan kembali ke dapur, ia sudah mengganti seragamnya dengan pakaian kasual. Rain melihat sang bunda sedang mencuci piring, dapur sudah tidak berantakan seperti tadi."Ini kan Bun yang mau dikasih ke Chandra." Rain mengambil kotak putih yang tadi ditujuk Bundanya. Bunda Rain menoleh lalu mengangguk.Rain langsung melangkahkan kakinya menuju rumah Chandra, setelah melihat anggukan Bundanya. Rain berdoa dalam hati semoga yang menemuinya nanti adalah adik Chandra, sehingga Rain tak perlu mendengar ocehan tak penting dari Chandra.Keinginan Rain terkabul, ketika ia mengetuk pintu rumah Chandra yang membukanya adalah adik Chandra."Ada perlu apa?" Wajah datar dan tanpa senyum, berbeda sekali dengan Chandra."Ini, ada kue buat lo sama Chandra. Bunda yang bikin sendiri." Rain memberikan kotak putih berisi kue kepada Fani."Makasih.""Iya sama-sama Fan. Eh btw, Lo suka baca Novel." Rain bertanya karena ia melihat Fani memegang sebuah novel dan kebetulan novel itu ditulis oleh penulis favorit Rain."Iya, kenapa?""Cuma nanya doang sih, hehe." Melihat raut datar dan jawaban Fani yang terdengar tanpa minat membuat Rain ingin segera menghentikan pembicaraan mereka. Sejujurnya ia ingin lebih dekat dengan Fani, karena Fani suka membaca novel. Bagi Rain mencari teman yang sehobi dengannya cukup sulit. Apalagi lingkaran pertemanannya sangat kecil."Lo suka baca novel?"Rain terkejut dengan perkataan Fani, apa gadis itu bisa membaca pikirannya?"Iya, gue suka," ujar Rain."Mau liat koleksi novel gue?""Eh." Rain mengerutkan keningnya. Kenapa Fani tiba-tiba baik padanya, ya meskipun wajahnya masih sedatar biasanya."Mau liat gak?" tawar Fani sekali lagi.Rain terlihat ragu, ia takut ini adalah rencana Chandra untuk mendekatinya. Bisa saja Chandra sudah berada di dalam dan menunggu. Saat ia ke dalam nanti, mungkin Fani dan Chandra akan melakukan sesuatu kepadanya. Bagaimana kalau Chandra dan Fani adalah psikopat? Rain tiba-tiba teringat pada adegan pembunuhan di novel thriller yang baru dibacanya."Bang Chandra gak ada di rumah, dia lagi keluar."Perkataan Fani membuyarkan lamunan Rain."Em, kayaknya nggak perlu Fan. Gue juga lagi banyak tugas. Jadi kapan-kapan aja ya." Rain tersenyum, ia menolak dengan halus tawaran Fani. Sebenarnya ini kesempatan bagus karena tak ada Chandra. Ia juga sangat ingin melihat koleksi novel Fani, namun sisi lain dirinya masih takut jika hal yang dipikirkannya tadi benar-benar terjadi."Yaudah.""Iya, gu—""Loh ada Rain, kok gak disuruh masuk Fan? Ayo masuk dulu Ra, ada keperluan apa?" Ucapan Rain terpotong karena Chandra yang tiba-tiba datang."Gu—""Dia cuma nganter kue. Lo tadi mau pulang kan kak." Ucapan Rain kembali dipotong oleh Fani."Ah, iya. Gue pamit pulang ya." Rain merasa tidak nyaman, apalagi melihat tatapan tak suka yang ditunjukkan Chandra untuk Fani."Eh, iya. Lain kali mampir ya Ra, hati-hati ya."Rain berjalan cepat meninggalkan rumah Chandra."Rumahnya di depan kita, dia gak akan kenapa-napa." Fani terlihat kesal.Setelah melihat Rain benar-benar masuk ke dalam rumahnya, sikap Chandra yang manis seketika berubah. Ia menyuruh Fani masuk ke dalam rumah."Gue gak pernah ngajarin lo kayak gitu ke tamu. Lo harusnya bisa ngehargain tamu, bukan malah ngusir kayak gitu." Ucapan Chandra terdengar berbeda dari biasanya, ia sedang menahan emosi untuk tidak membentak Fani."Gue gak ngusir, gue cuma ngejauhin dia dari hal yang bisa nyakitin dia," ucap Fani tanpa rasa bersalah, ia kemudian berjalan meninggalkan Chandra.Chandra hanya menatap kepergian adiknya. Ia menghela nafas, mencoba meredakan emosinya.Mendung menghiasi langit pagi itu. Awan-awan hitam terlihat siap menjatuhkan bulir-bulir air. Udara dingin terasa menusuk tulang, membuat siapapun enggan beranjak dari kasur mereka. Tapi tidak dengan Rain. Gadis itu sudah bangun sejak mentari belum menunjukkan sinarnya. Ia membantu bundanya untuk menyiapkan sarapan. Meski hari ini libur, bukan berarti ia tak memiliki kegiatan apapun. "Mau dibatalin?" Lima menit yang lalu ia menerima telepon dari Khanza, temannya itu mengatakan bahwa rencana jalan-jalan mereka tetap dilaksanakan meskipun cuaca terlihat tak mendukung. Rain berusaha membatalkan rencana itu. Ia malas sekali pergi. Di cuaca seperti ini, biasanya Rain lebih memilih membaca novel sambil menikmati cokelat panas. "Enggak pokoknya harus jalan!" Rain berdecak mendengar jawaban dari Khanza. "Si Alif bilang gak bisa dateng Za." "Ya, kan masih ada lo sama Chandra." Khanza tetap bersikukuh ingin pergi. "Tapi—" Rain melihat ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan taman bel
Suara derit pintu yang terbuka membuat padangan Chandra dan Fani beralih ke pintu. Saat pintu terbuka terlihat bunda Rain dan Rain yang masuk. "Alhamdulillah kamu sudah sadar Chan. Gimana keadaan kamu sekarang?" "Udah lebih baik kok tante." Chandra tersenyum, ia sempat memandang pada Rain yang sedari tadi menunduk. Ia bersyukur dua orang didepannya tak mendengar teriakkan Fani tadi. "Oh, iya, Fan, ini makanan buat kamu, makan dulu ya." Bunda Rain memberikan bungkusan plastik kepada Fani. Fani menerimanya lalu mengangguk. "Tante sama kak Rain, udah makan?" tanya Fani, gadis itu terlihat membuka bungkusan plastik yang diberikan bunda Rain. "Udah kok Fan," jawab bunda Rain. Bunda Rain duduk disebelah Fani. "Tante, Chandra kapan pulang? Chandra gak betah disini. Tadi, nanya sama Fani dia malah gak mau jawab." "Kata dokter kamu bisa pulang nanti Chan," jelas bunda Rain. Chandra bersyukur bisa segera pulang dan tidak lagi merepotkan keluarga Rain. *** Malam sudah larut. Tadi sore C
Sudah hampir satu jam Chandra mendengar omelan mamanya. Sejak Chandra pulang tadi sang mama sudah berada di ruang tamu. Lama tidak bertemu bukannya saling melepas rindu, malah kemarahan dan cacian yang diberikan mamanya padanya. "Pintu gak dikunci! Adik kamu yang lagi tidur kamu tinggal! Dimana sih otak kamu! Gimana kalo adikmu itu kenapa-napa?! Di perempuan Chan! Kamu bisa gak sih jaga dia?! Kakak macam apa kamu ini!" bentak mama Chandra. Chandra hanya diam, ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi tak terlalu mendengarkan perkataan mamanya. Kantuk mendera Chandra sejak tadi, tapi mamanya tidak berhenti mengomel, Chandra hanya bisa menguap dan mengacuhkan perkataan mamanya. "Udah ma. Udah malem, Chandra mau tidur." Chandra terlihat menguap lagi. Kemudian Chandra beranjak namun mamanya menahan tangannya. "Kamu minum! Mama ngasih uang kamu bukan buat beli barang gak berguna kayak gitu! Jangankan jaga Fani, jaga diri kamu aja gak bisa! Mau jadi apa Fani kalo kamu yang ngerawat dia! Po
Rain menoleh ke arah Chandra, di menatap Chandra seakan bertanya siapa wanita didepannya kini. Saat sedang berdebat di depan rumah Chandra tadi, tiba-tiba pintu rumah Chandra terbuka dan seorang wanita seumuran bunda Rain keluar dari sana. Wanita itu terlihat sedikit mirip dengan Chandra. Apa dia mama Chandra? "Kamu pacarnya Chandra?" Rain langsung kembali menatap wanita itu. "Eh, bukan tante. Saya tetangga di depan rumah. Saya juga teman sekelas Chandra," ucap Rain dengan sopan. "Keluarga yang baru pindah itu ya? Saya mamanya Chandra. Jadi kamu teman sekelasnya Chandra juga. Siapa nama kamu?" Chandra terlihat heran karena ibunya tiba-tiba menjadi lembut pada Rain. Ah, Chandra lupa, mamanya selalu menunjukkan sikap palsunya di depan para tetangga. "Rain tante." Rain tersenyum ke arah mama Chandra. Ternyata benar dugaannya. "Nama yang cantik, kayak orangnya. Kalian mau berangkat sekolah ya?" "Iya tante. Sebenarnya Rain juga mau nganterin ini." Rain memberikan rantang makanan ya
Suasana yang tenang berubah saat rintik hujan tiba-tiba jatuh membasahi bumi. Beberapa pengendara motor dan pejalan kaki sibuk mencari tempat berteduh. "Padahal cuma hujan air, mereka sampe kalang kabut kayak gitu. Gimana kalo hujan api." Chandra melihat ke luar tenda, terlihat para pejalan kaki yang berlarian mencari tempat berteduh. Chandra dan Rain sedang berada di salah satu tenda pedagang kaki lima. Chandra tiba-tiba mengajak Rain makan disana, ia tak tau kalau hujan akan turun. Beruntung mereka sudah disana sebelum hujan turun. Rain turut melihat ke arah yang sama dengan Chandra. Ini kali pertama makan berdua saja dengan seorang laki-laki. Biasanya Rain selalu makan dengan kakak atau ayah, jika harus dengan lelaki selain mereka biasanya ia ditemani oleh Khanza. "Kalo hujan api, pasti susah sih." Chandra tertawa, sementara Rain menatap ke arahnya. Ada rasa syukur saat melihat Chandra tertawa lagi. "Lo juga pasti neduh kan kalo hujan." "Mungkin iya, mungkin enggak," jawab Cha
Malamnya Chandra telah bersiap ke rumah Rain. ia memegang beberapa buku pelajaran dan alat tulis. Saat melintas di depan ibunya yang sibuk dengan berkas-berkas kantor di sofa, Chandra tak terhindar dari pertanyaan yang tak terelakkan. "Mau kemana?" Mama Chandra tak mengalihkan pandangannya dari kertas yang tengah dipegangnya. Chandra berhenti sejenak. Tatapan lelahnya beralih pada ibunya. Meski tahu pertanyaan itu hanya akan membuka pintu pada diskusi tak berujung, dia menjawab dengan singkat, "Rumah Rain." "Ngapain?" ibunya menyela. Chandra menggelengkan kepala, mengetahui bahwa alasan apa pun tak akan cukup memuaskan ibunya. Namun, ia tetap menjawab dengan sabar, "Ngerjain tu—" "Dia target kamu selanjutnya kan." Kali ini mama Chandra menatapnya dengan tatapan tajam. Chandra berdecak. Ia nampak tak suka dengan apa yang baru saja mamanya katakan, meski Chandra tak bisa mengelak perkataan mamanya. "Kamu emang sama kayak papa kamu! Brengsek!" Kata-kata tajam terlontar begitu saja
"Jauhin Rain kalo lo cuma datang buat nyakitin dia." Chandra diam, ia terkejut dengan perkataan Juan. Apakah Juan mengetahui yang sebenarnya? Apa mamanya memberi tahu semuanya pada Juan? Atau Fani yang memberi tahu Juan? Banyak pertanyaan muncul di otak Chandra. Keheningan semakin membuat suasana tidak terasa nyaman. Apalagi Juan masih menatap Chandra dengan serius dan Chandra pun masih terdiam, tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan. "Lo gak akan nyakitin Rain kan Chan?" Raut wajah Juan berubah. Ia tidak seserius tadi. Chandra bernafas lega, ternyata Juan belum mengetahui semuanya. "Gak mungkin lah bang." Chandra tersenyum kikuk. "Gue percaya sama lo Chan," ucap Juan dengan sungguh-sungguh. Hati Chandra kembali diliputi rasa bersalah mendengar ucapan Juan. Ia juga seorang kakak, ia tahu bagaimana rasanya jika adiknya disakiti. Apa Chandra harus mengakhiri taruhan itu dan mengaku kalah? Kenapa ia mulai goyah? Siapa Rain dan Juan. Mereka hanya orang asing di hidup Chandra. "Bang
"Beneran kamu mau pulang bareng Khanza?" tanya Chandra. "Iya, emang kenapa sih!" Rain, Chandra, dan Khanza kini sedang berada di parkiran. Mereka bertiga baru saja pulang sekolah setelah seharian bergelut dengan tugas dan materi. Suasana di parkiran masih terlihat ramai dengan para siswa yang ingin pulang atau sedang menunggu teman mereka. Rain berkata berkata ia pulang bersama Khanza, karena gadis itu akan menginap di rumahnya. Tapi Chandra sejak tadi memaksa mengantar Rain, dengan alasan takut terjadi sesuatu dengan gadis itu. Terjadilah perdebatan diantara mereka. "Udahlah Chan. Lo pulang aja, Rain aman sama gue," ucap Khanza yang lelah melihat perdebatan antara Rain dan Chandra. Jika terus begini kapan mereka akan pulang. "Aku ikut aja ke rumah Za, sekalian bantu ngemas barang," tawar Chandra. "Nggak usah! Barangnya Khanza udah siap, tinggal ambil doang!" tolak Rain dengan tegas. "Yaudah aku bantu naikin barang." Chandra masih saja keras kepala. "Kan gue udah bilang gak us