hai semua~ maaf belum bisa balesin komen tp aku baca semua kok, makasih ya sudah setia menemani cerita ini 💗 maaf juga krn hari ini aku cuma up 1 krn masih ada sedikit revisi. next bakal up normal lagi. jadi... Ed atau Gun? let me know yaaa...
"Ibu Mita nggak perlu takut, kasus ini cukup kompleks tapi bukan berarti sulit. Dalam artian, anak-anak dekat dengan Papanya itu bagus, tapi bukan berarti siap jadi pengasuh utama. Kita pakai itu sebagai kekuatan. Kita akui bahwa Ibu nggak memutus hubungan ayah-anak. Justru Ibu fasilitasi. Kita akan kumpulkan semua bukti kalau Ibu kasih izin Papanya buat ketemu, main, antar-jemput sekolah, bahkan Ibu kirimkan foto-foto. Hakim akan lihat Ibu kooperatif." "Tapi Hiro dan Naga sendiri kelihatannya nyaman sama Papanya walaupun mereka baru tinggal beberapa minggu." Aku melirik Ed, laki-laki itu mengangguk seperti menenangkan, dia menjadi juru bicara, di saat aku kesulitan mengungkapkan apa yang kuinginkan. Bukan karena bingung tapi kepalaku terlalu penuh dan emosional sehingga kata-kata yang keluar dari bibirku jadi tidak tertata. "Saya bisa mengerti kegelisahan Ibu. Tapi Ibu tetap ibu yang membesarkan mereka sejak hari pertama. Itu poin utama kita. Kita akan membangun narasi, Ibu kons
"Mama lihat?" tanyaku begitu masuk ke paviliun dan menemukan beliau sedang memegang sebuah teropong dan menempelkannya ke jendela. "Sebenarnya nggak kelihatan kalau di dalam, lagi apa perempuan itu?" "Mereka masak-masak." Beliau berdecak dan menjatuhkan barang tidak berguna itu ke meja. "Kenapa Gun harus bawa dia ke sini sih? Jangan bilang dia mau gantiin posisi kamu sebagai Ibu si kembar." Mataku melotot. "Hiro Naga juga, biasanya mereka nggak suka sama orang baru, kenapa ini cepat banget nempelnya?" Julid Mama. Itu karena mereka sudah mulai terbiasa diajak keluar oleh Gun. Sehingga mereka pun akhirnya terbiasa dengan banyak orang. Bahkan menurut Ed, Gun sudah mengenalkan Hiro dan Naga ke seluruh Lumeno. Meski sampai saat ini aku belum menemukan satupun pemberitaan mengenai anak-anak di media.
"Laporannya sudah masuk Mita, dan akan segera diproses. Tes DNA juga sudah dilakukan, besok hasilnya akan keluar. Tapi kita semua tau itu hanya formalitas, karena Hiro Naga memang anak Gun." Suara Jerikho terdengar tenang menjelaskan melalui sambungan telepon, tidak ada nada menghakimi di sana, murni seorang pengacara. "Dia juga meminta persidangannya dilakukan dengan cepat. Kemungkinan akan dijadwalkan dalam minggu depan atau minggu berikutnya." "Tapi aku belum menyiapkan apa-apa." Jerikho terdengar mendesah. "Masih ada waktu, persidangan pertama kemungkinan berisi hal-hal administrasi. Mita, sedikit tips dari gue, rekam jejak adalah hal yang penting untuk sidang dengar pendapat. Dan sejauh lo bukan kriminal, bukan pemakai, lo bisa optimis sama keputusannya. Tapi..." Dia terdiam cukup lama seolah menimbang apakah ingin melanjutkan atau tidak. "Lo pasti paham Gun gimana kan, dia nggak suka kalah, apala
Dapur sangat hethic, wajan mengepul tanpa henti, jeritan dan teriakan saling bersahut-sahutan antara station. "Kak VVIP lantai empat, minta langsung dilayani oleh Chefnya." "Chef Gun lagi nggak ada." "Mas Gilman?" Aku memekik. "Yang lain dulu gue belum selesai." Aku melirik Lea, dia sedang sibuk dengan wajan panas yang menyemburkan api. Rena sibuk plating cantik, sedangkan Chef Lukas masih berjibaku dengan dessert. "Chef?" tanya Rey meminta kepastian, tidak sabar. "Menunya bakal disajikan dalam sepuluh menit lagi." Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima tepat. Shiftku seharusnya sudah berakhir. Namun dengan berat hati aku mengangguk pada Rey, melepas apron untuk melayani tamu VVIP tersebut. "Untuk berapa orang?"
Hatiku patah. Hiro dan Naga sepertinya kelihatan sangat bahagia bersama Gun. Selama ini mereka sangat berharap memiliki Papa. Walaupun gengsi seperti Hiro, tapi aku bisa melihat matanya yang selalu melirik penasaran pada Gun, seakan dia ingin tahu apa yang laki-laki itu lakukan. Dan sejauh ini Gun belum membuatnya bosan. Sementara Naga, sejak kecil, dia memang anak yang luwes, mudah menempel dengan orang lain tanpa perlu dibujuk. Mungkin Mama benar, aku bersikap tidak adil dan keras kepala. "Mama, madunya tumpah..." Naga menjerit, aku mengerjap, merasa baru saja kehilangan konsentrasi. Lalu melotot ngeri karena piring dalam keadaan full madu dan botol yang kupegang nyaris kosong. "Ke-kenapa?" "Kenapa Mama bengong?" "Maaf-maaf, sayang.
"Masing-masing bawa satu biar adil. Hiro sama kamu, Naga sama Gun." "Mama." Aku menjerit. Mana mungkin beliau mengungkapkan hal seperti itu? "Anak-anak nggak akan dipisahin, mereka dari lahir udah sama-sama." "Terus kamu mau gimana? Gun pasti bakal memakai kekuatan media. Dia juga bisa sewa kuasa hukum kelas kakap, kamu nggak akan bisa menang di pengadilan." Mama berkata masuk akal. "Daripada kalian ribut, mending pilih jalan tengah." "Itu malah lebih parah, Mama pikir anak-anak nggak akan protes?" "Ya kalau gitu tinggal ditukar-tukar aja, Gun sama Naga berapa lama nanti gantian. Kalian bisa tetap merasakan ngurusin mereka satu sama lain." "Hiro dan Naga bukan cupcakes yang gampang aja dibagi-bagi mereka anak-anak aku, mereka masih butuh Mamanya sekarang." "Kalau mereka udah besar dan nggak butuh Mamanya memang kamu mau ngelepasi