Menikah dalam seminggu itu tidak mungkin sekalipun kami punya akses dan fasilitas tercanggih di seluruh dunia. Kecuali kalau dia mau menikah di-KUA saja yang penting sah dulu, sisanya menyusul, tapi nyatanya...
"Kita akan mengundang kedutaan besar semua negara, investor yang bekerja sama dengan De Luca, teman-teman kuliah di Italia. Semua selebiriti, kita akan adakan pesta pernikahan besar-besaran, dan kita umumkan kabar ini ke semua orang." See? Bagian mana yang bisa dikerjakan seminggu dari keinginannya itu? "Kamu nggak berniat buat mengadakan pesta pernikahan live yang disiarkan di TV, atau Toktik kan, Gun?""Gun, kamu harusnya bicara." Entah sudah berapa kali aku mengatakan ini sampai rasanya bosan, tapi Gun adalah Gun kan? Dia masih penuh gebrakan yang membuatku kualahan. "Ini hanya dinner biasa." "Dinner biasa gimana kalau keluarga kamu kumpul semua di sana?" "Kami memang sering mengadakan acara dinner setiap dua bulan sekali. Ini hanya kegiatan rutin seperti sebelum-sebelumnya." Apakah laki-laki ini pikun kalau bahkan di malam-malam sebelumnya aku tidak pernah bertemu mereka? Jadi secara teknis ini akan menjadi pertemuan keluarga besar per
Menikah dalam seminggu itu tidak mungkin sekalipun kami punya akses dan fasilitas tercanggih di seluruh dunia. Kecuali kalau dia mau menikah di-KUA saja yang penting sah dulu, sisanya menyusul, tapi nyatanya... "Kita akan mengundang kedutaan besar semua negara, investor yang bekerja sama dengan De Luca, teman-teman kuliah di Italia. Semua selebiriti, kita akan adakan pesta pernikahan besar-besaran, dan kita umumkan kabar ini ke semua orang." See? Bagian mana yang bisa dikerjakan seminggu dari keinginannya itu? "Kamu nggak berniat buat mengadakan pesta pernikahan live yang disiarkan di TV, atau Toktik kan, Gun?"
Di luar dugaan, Hiro dan Naga menyambut gembira berita pernikahan kami, Naga bahkan melompat-lompat, Hiro hanya tersenyum kecil. Tapi begitu aku menceritkan siapa Gun sebenarnya. Keduanya langsung tampak murung. "Maafin Mama." Aku mengulangi kalimat yang sama sambil berlutut dan menggenggam tangan mungil mereka. "Papa... memang Papa?" Naga akhirnya bersuara, bertanya polos. Aku mengangguk mengiyakan. Hiro membuang muka. "Kalau gitu kenapa Mama bilang Papa udah meninggal?" Aku bisa merasakan Gun yang duduk di belakang kami menegang.
"Kapan kita berdiskusi Gun? Kamu tiba-tiba mutusin sendiri." "Kamu nggak mau menikah?" "Ya mau, tapi maksud aku, kamu nggak ada bilang apa-apa sebelumnya." "Bukannya tadi aku sudah bilang?" "Bukan yang di depan Mama Gun, kamu nggak lihat muka Mama shock gitu. Dia pasti kaget karena kita kemarin masih musuhan, dan tiba-tiba mau menikah." "Justru dia sepertinya kelihatan senang." "Ya mana ada orang tua yang sedih kalau anaknya mau menikah."
Ketika terjaga pertama kali, aku langsung menyadari ranjang di sebelahku kosong. Tempat itu terasa dingin, yang artinya pemiliknya sudah pergi cukup lama. Mataku mengerjap, memandang langit-langit kamar yang bernuansa orange, warna kesukaanku. Warna yang sama yang kupandangi semalam. Gun sudah tidak ada. Dia pergi, entah kapan, mungkin saat aku masih terlelap, atau segera setelah... Perlahan aku menyingkap selimut, beringsut bangkit, meraup rambut panjangku ke samping. Mengambil kimono dan mengenakannya, kemudian berjalan pelan-pelan ke kamar mandi. Lalu memandang pantulan diriku sendiri. "Dia vampire atau apa?" bisikku, menyadari ada beberapa tanda yang dia tinggalkan. Rasanya perih ketika disentuh, tapi kalau bukan karena rasa perih ini, mungkin aku akan berpikir semalam hanya mimpi. Aku bergegas bersih-bersih, melangkah keluar kamar, memastikan keadaan, Mama tidak mengabari akan pulang kapan, jadi aku bisa fokus untuk mencari loker dan bertemu dengan... "Gun?" "Pagi
"Aku melakukan panggilan berulang kali." "Ka-kapan kamu telepon, Gun?" Aku pegang ponsel full, karena terus bertukar kabar dengan Madrid. Jadi kalau dia melakukan panggilan, notifnya pasti akan langsung terlihat, tapi jangankan telepon, sejak dia tahu Hiro dan Naga adalah anaknya saja, Gun tidak pernah sekalipun menghubungiku lagi. "Kamu bohong?" Dia menyela tubuhnya bangkit dari bahuku, lalu mencengkeram lenganku keras. Mata Gun tampak memerah. "Kamu sengaja Mita?" Aku mengernyit. "Aku nggak bohong, nggak ada satu pun panggilan dari kamu Gun, kamu nuduh sembarangan." "Aku sudah memberikan kamu ponsel. Kenapa kamu nggak menggunakannya? Kamu menjualnya? Kamu butuh uang? Berapa banyak yang kamu butuh?" Astaga. Laki-laki ini benar-benar sinting. "Kalau kamu cuma mau ngomong nggak masuk akal lebih baik kamu pulang, Gun." "Katakan, aku bisa berikan, berapa banyak yang kamu butuhkan?" Dia menyentak tub