Share

Obrolan Di Pagi Hari

Karin yang tengah menyendok bubur ayamnya sontak mengerutkan kening begitu melihat Ayana berjalan ke arahnya dengan susah payah karena tas backpack segede gaban yang dipanggulnya. 

 

"Tumben bawaan kamu sebanyak itu? Mau ngapain?" tanya Karin heran. Biasanya Ayana selalu datang ke kampus dengan bawaan seminimal mungkin. Bahkan saking kecilnya tas yang dibawa Ayana, gadis itu sering kali terlihat seperti mahasiswi yang tak berniat untuk ngampus. Tapi, hari ini Ayana datang dengan bawaan bak orang yang akan mendaki gunung Himalaya.

 

"Otakku sedang dipenuhi banyak inspirasi untuk menulis novel. Outline dan premis sudah matang, tinggal eksekusi," jawab Ayana sambil nyengir kuda. Ia sudah tidak sabar untuk segera menulis kisah cinta tak biasa antara dua anak Adam dan mengazab mereka di dalam novel yang akan Ayana tulis. Ayana sudah bertekad akan memberikan ending yang tragis untuk kedua orang itu sebagai bentuk balas dendam atas ditolaknya ia di masa lalu.

 

"Ck." Ayana mendecih teringat pada pertanyaannya yang kemaren tak kunjung mendapat jawaban dari Kala. Bukannya langsung menjawab pertanyaan yang Ayana lontarkan, pria itu malah terbatuk dengan begitu hebatnya. Ayana yang panik akhirnya sibuk mengambilkan minuman untuk Kala dan pertanyaan itu terlupakan begitu saja sampai Ayana pulang.

 

"Rin, seandainya di dunia ini cuma tersisa dua jenis makhluk cowok... mana yang bakal kamu pilih? Hidup bareng cowok super playboy yang nggak bisa hidup tanpa banyak cewek atau cowok gay yang nggak butuh cewek?" tanya Ayana berapi-api.

 

Pertanyaan Ayana yang menggebu-gebu hanya ditanggapi Karin dengan kernyitan di dahinya. Sedetik kemudian, ekspresi wajah Karin berubah. Karin menatap sobatnya dengan tatapan iba atau lebih tepatnya lagi seperti tatapan seorang dokter yang dengan berat hati akan mengatakan pada pasiennya kalau sang pasien tidak akan berumur panjang.

 

"Kenapa natapnya begitu, sih?" tanya Ayana risih. 

 

"Yan, jomblo dari lahir itu bukan aib, kok! Ditolak banyak cowok juga bukan berarti kiamat. Kamu harus tabah. Jangan putus asa dulu. Baru juga ditolak berapa puluh kali, masa kamu udah mau nyerah?" ujar Karin berniat untuk menghibur Ayana yang memang punya track record menakjubkan sebagai seorang jomblo, tapi entah kenapa di pendengaran Ayana terasa seperti ledekan.

 

"Ih. Siapa yang putus asa? Aku nanya cuma buat novelku aja, kok!" bantah Ayana.

 

"Masa?" tanya Karin dengan mata menyelidik. 

 

"Udah, jawab aja. Kamu pilih playboy apa cowok gay?" desak Ayana tidak sabar.

 

Karin mengelus dagunya seolah sedang berpikir keras. "Sudah jelas aku lebih milih cowok playboy lah. Walaupun playboy, dia masih bisa suka dan cinta sama cewek. Lagipula aku yakin kalau aku pasti bisa bikin dia setia sama aku," jawab Karin percaya diri sambil mengibaskan rambut panjang hitamnya yang berkilau bak model shampoo ternama.

 

"Iya, ya. Apalagi kamu good looking, ya?" sahut Ayana lemas sambil melirik Karin yang memang cantiknya tidak kalah dengan model-model kelas atas yang berlenggak lenggok di atas catwalk. Bahkan walaupun Karin banyak makan, tubuhnya tetap membahana bak gitar spanyol dan membuat Ayana mendesah iri. Body Ayana mah jangan ditanya. Mau makan sebanyak apa, tetap saja badannya kurus kering kerontang seperti anak yang tidak diberi makan bundanya.

 

Ayana menghela nafas berat. Setelah sekian lama baru kali ini Ayana merasa dirinya seperti Upik Abu saat berdampingan dengan Karin. 

 

"Memang kenapa kalau good looking? Mau good looking kayak gimana juga, yang namanya cowok gay nggak bakal lirik-lirik, kan? Jadi mending aku pilih yang playboy aja sekalian," lanjut Karin bingung sendiri melihat Ayana tiba-tiba memasang wajah galau.

 

"Tuh, kan!" sela Ayana setengah berteriak hingga membuat Karin terlonjak kaget dan hampir menyemburkan bubur ayam yang sedang ia kunyah.

 

"Apa?" tanya Karin sambil mengelus dadanya.

 

"Lebih baik cowok playboy, kan, dibanding gay? Idih. Itu para orangtua mikirnya apaan, sih?" Ayana merutuk kesal. Setelah orangtua Sitti Nurbaya berhasil memporak-porandakan hidup si Sitti, kini orang tua kandungnya akan masuk jajaran para orangtua durjana yang tega menyengsarakan anaknya sendiri. Ayana semakin yakin kalau orang tuanya sudah salah memilih jodoh untuknya.

 

"Fix dah ini. Aku bakalan jadi salah satu istri teraniaya seperti dalam sinetron Ikan Terpanggang," desis Ayana sedih memikirkan nasibnya yang di ujung tanduk.

 

"Emangnya kenapa, sih?" Karin kembali bertanya, penasaran kenapa sedari tadi Ayana terus mengedumel tidak jelas. 

 

"Jangan bilang kalau kamu mendadak dijodohin sama cowok gay? Kalau beneran, hidup kamu udah kayak drama aja," ujar Karin tertawa kecil. Maunya sih ketawa ngakak, tapi bagaimana pun juga image anggun yang melekat di diri Karin melarang keras hal itu terjadi. Menguap lebar saja adalah hal nista yang tidak boleh Karin lakukan, apalagi ketawa ngakak seperti om-om di warung kopi.

 

"Kamu nggak lagi dijodohin, kan?" Karin mengulangi pertanyaannya lagi dan disambut dengan gelengan tidak meyakinkan dari Ayana.

 

"Hm. Aku jadi curiga."

 

"Nggak, kok! Aku cuma mau riset buat novelku aja," kilah Ayana. Mulut sahabat dan mulut temen itu beda jauh, sodara-sodara. Alih-alih ikut sedih dengan nasib sial Ayana, yang ada Karin pasti akan tertawa sampai kiamat kalau tahu sahabat tercintanya dijodohkan dengan laki-laki gay.

 

"Eh, tapi aku agak serem juga, sih, kalau harus milih cowok playboy. Bayangin aja, gimana kalau tiba-tiba ada perempuan bawa anak dan bilang itu anaknya sama paksu setelah 5 tahun pernikahan kami. Astaga!!!" pekik Karin bergidik horor. 

 

"Tuh, kan! Emang paling aman itu jadi jomblo," tandas Ayana sambil menjentikkan jarinya.

 

"Eits, tapi menikah itu menyempurnakan agama, lho!" sela Karin yang tumben berada dalam mode bijak. "Kamu juga, dari sekian banyak jenis laki-laki kenapa yang harus dipilih playboy atau gay, sih? Emang nggak ada yang normalan dikit apa?"

 

"Ada, sih, tapi orangnya menolak buat diajak selingkuh," balas Ayana lesu sambil menggigiti kuku jarinya. 

 

"Ha?"

 

"Sudahlah, mending aku ke atap buat nulis, deh." Ayana segera memanggul tas punggungnya yang berpotensi membuat punggung encok. Tapi, karena Ayana yang banyak pikiran, berat tas di punggungnya masih kalah berat dengan isi kepalanya yang penuh dengan keruwetan.

 

"Kamu itu emang aneh, ya, Yan. Orang normal mah kalau mau ngetik atau ngerjain tugas tuh di perpustakaan. Enak, adem, dingin. Lha, kamu malah berjemur di atap yang panasnya membahana. Katanya pengen putih, tapi hobby berjemur di atap kampus," sindir Karin. 

 

"Di atas atap enak, angin sepoi-sepoi," tukas Ayana santai. "Oya, kok, kamu nggak baca novel online aku yang baru, sih? Mumpung masih gratis, belum dikunci, buruan gih baca. Kamu masih ingat nama pena aku, kan?" todong Ayana yang baru ingat kalau Karin selaku sahabat sampai detik ini belum juga mampir di novel online terbaru yang Ayana tulis.

 

"Ogah," sahut Karin dengan bibir mengerucut maju. "Kamu tiap nulis cerita udah kayak punya dendam pribadi sama tokoh utamanya. Tokoh utamanya nggak pernah punya jodoh. Yang dapat jodoh malah Second Lead Male-nya. Apa-apaan?" protes Karin blak-blakan. 

 

Ayana menyengir lebar menanggapi protes Karin perihal novel yang ia tulis. Memang dari sekian banyak novel yang berhasil Ayana tulis, tokoh utama wanita dan pria hampir tak pernah bersatu. Lha, bagaimana kedua tokoh utamanya bisa bersatu kalau setiap kali menulis Ayana selalu oleng ke tokoh pria kedua. 

 

"Jangankan nonton Drakor, Rin, di cerita yang aku tulis aja aku dukungnya Second Lead Male," aku Ayana sambil tertawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status