Jemari Tante Anna dengan lincah bergerak di layar ponsel pintarnya. Mengedit foto Aksa dan Ayana dengan filter yang maha dahsyat ditambah emoticon lope-lope untuk menambah kesan romantis. Bibir wanita yang sudah ngebet pingin punya mantu itu melengkung ke atas melihat hasil karyanya. Merasa bangga dan puas dengan kerja kerasnya, foto itu langsung dipajang menghiasi feed instagramnya. Tentu saja tidak lupa ditambah caption pamer kalau ia sebentar lagi akan punya menantu."Untuk keperluan feed supaya terlihat estetik, mama harus punya banyak koleksi foto Aksa dan Ayana. Tapi, mereka berdua malah berantem mulu. Kapan akurnya sih itu anak dua?" keluh Tante Anna masih sibuk dengan layar ponselnya.Kala yang sedang menyeruput kopi di sebelah Tante Anna ikut melirik ke arah layar ponsel tantenya. "Memang Aksa nggak marah fotonya dipajang begitu?" tanya Kala begitu melihat foto Aksa dan Ayana yang dipenuhi emoticon lope-lope. Kala
"Aku ada di mana, ya? Gimana ceritanya sampai aku bisa kepisah dari Bang Kala? Perasaan tadi aku mau diantar ke kamar, deh!" gumam Ayana sambil menggaruk pipinya. Padahal tadi ia berjalan beriringan bersama dengan Kala, tapi entah sejak kapan tiba-tiba saja ia sudah berjalan seorang diri menelusuri koridor. Ayana menggembungkan pipinya sembari berpikir apa Kala punya kemampuan teleport hingga bisa menghilang tiba-tiba atau jangan-jangan memang dirinya sendiri yang ngelindur memisahkan diri.Trak!Ayana yang tengah menggerutu sontak menghentikan langkah kakinya, lalu memundurkan tubuhnya dan mengintip ke arah sumber suara yang tadi mengejutkannya. Dari pintu, Ayana bisa menangkap penampakan punggung Aksa yang berdiri membelakanginya. Pria itu tampak sedang memotong-motong sesuatu."Wow. Ternyata Mas Aksa beneran bisa masak. Aku kira Mama Anna cuma asal bicara buat membanggakan si Kangmas," ujar A
"Haciiih." Untuk yang kesekian kalinya Ayana bersin. Dengan cepat ia menggosok hidung guna mengurangi rasa gatal di hidungnya. Belum sempat ia berlari dramatis di bawah rinai hujan bak Anjeli pasca patah hati di film Kuch Kuch Hota Hai, Ayana sudah nyaris terserang flu. Gemetar dengan tubuh yang separuh basah."Rasanya mau mati," gerutu Ayana nelangsa sambil duduk berjongkok di depan warung yang kebetulan tutup dan berlindung dari air hujan yang membuat kepalanya sakit. Belum lagi ditambah dengan hembusan angin yang membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Lengkaplah sudah penderitaannya."Harusnya tadi aku pakai jaket. Aku nggak mau mati di tengah hujan begini," keluh Ayana penuh sesal sembari memeluk lengannya. Piyama lengan pendek yang dipakainya benar-benar tidak bisa melindunginya dari hembusan angin yang dingin."Apa kamu sedang syuting film?" tegur seseorang dengan suaranya yang terdengar d
Saga menarik nafas seraya melirik ke arah Ayana yang terbungkus selimut tebal. Gadis itu gemetar kedinginan dengan suhu tubuh yang justru terasa panas. Mata Saga secara bergantian melihat ke arah ponsel yang ada di tangan kanannya lalu ke tangan kirinya yang memegang segelas teh hangat buatan ibunya.Saga ingin segera memulangkan Ayana kembali ke rumah gadis itu, tapi ibunya malah bersikeras agar gadis itu tetap berada di rumah mereka sampai demamnya turun. Ibunya pasti sengaja melakukan itu supaya nanti bisa bercakap-cakap dengan Ayana dan mencari informasi.Saga tentu masih belum lupa bagaimana tadi ibunya memekik kegirangan melihatnya datang bersama dengan seorang gadis dalam pelukannya. Bukannya berburuk sangka dan mengomel seperti ibu-ibu kebanyakan, ibunya malah langsung lari ke dapur. Heboh membuat teh hangat dan ingin memasak bubur. Bahkan entah dari mana ibunya bisa membawakan Saga selimut tebal berwarna merah muda
"Huhuhu. Kepalaku sakit," ratap Ayana. Ia masih meringkuk di lantai, bergulat dengan rasa ngilu di tulangnya.Saga menggelengkan kepalanya tidak percaya, entah bagaimana ceritanya sampai Ayana bisa terjatuh dari sofa dan akhirnya ngegeletak di lantai. Pantas tadi sewaktu ia ke dapur mengambil air hangat terdengar suara 'gedebuk' yang sangat nyaring."Kamu nggak apa-apa? Ayo, dah kita ke rumah sakit!" ajak Saga pelan pada seonggok manusia yang terkapar menyedihkan di lantai."Aduuuh. Badanku sakit," rengek Ayana sambil berguling di lantai. Ke kiri lalu ke kanan, dari gerakan horizontal menjadi vertikal. Sungguh barbar sekali kelakuan perempuan satu itu."Gimana badan nggak sakit kalau kamu aja jatuh dari sofa begitu? Makanya, berbaringlah dengan tenang. Jangan banyak gerak kayak belatung buah nangka," omel Saga yang masih memegang kompresan. Dari tadi ia gagal mengomp
"Sebenarnya kamu bertengkar sama siapa, sih, sampai jadi rese dan nyebelin gini? Orang kalau lagi sakit beneran biasanya nggak kayak kamu, lho?" tanya Saga setelah selesai memplester jidat Ayana yang kejeduk ujung meja.Gara-gara tragedi itu Saga sampai mendapat omelan gratis dari ibunya. Bukan, ibunya bukan marah karena mengkhawatirkan meja kayu jatinya melainkan khawatir pada gadis yang sudah diklaim ibunya sebagai calon mantu. Saga auto senewen mendengar perkataan ibunya. Calon mantu apaan? Yang ada, Ayana adalah saingan Saga. Saingan yang pengen Saga depak secepatnya dari posisi sebagai tunangan Aksa."Lebih baik Saga nggak usah tahu," jawab Ayana dengan suara berat. Nada suara Ayana yang diiringi dengan gigi yang bergemeletukan membuat Saga menatap curiga pada gadis dengan plester bermotif kuda poni di jidatnya."Kamu bertengkar sama Aksa?" tebak Saga tepat sasaran karena detik itu juga rau
Saga menarik nafas lega. Setelah Ayana mengerjai Saga habis-habisan dengan tingkah polahnya yang tidak masuk akal, akhirnya gadis itu bisa jatuh tertidur di sofa dengan kompresan di jidat. Saga yang sudah putus asa bahkan sampai menggunakan cara terakhir; menelpon Aksa untuk segera menjemput tunangannya. Persetan dengan rasa cemburu. Yang Saga inginkan hanyalah rumahnya kembali damai."Di mana dia?" Aksa yang baru datang langsung menanyakan keberadaan Ayana. Tidak ada lagi basa basi bertanya bagaimana kabar Saga apalagi mengucap salam."Sssst." Dengan cepat, Saga menaruh telunjuk di bibirnya. Memberi kode agar Aksa tidak membuat keributan yang bisa membuat Ayana terbangun dan juga membuat ibu Saga ikut nimbrung di ruang tamu. Sudah cukup Saga direpotkan dengan kerempongan ibunya yang dari tadi kepo ingin berkenalan dengan Ayana.Aksa melirik ke arah Ayana yang berbaring di sofa panjang dalam kea
Ayana menarik nafas panjang, berdiri di sisi tempat tidur sembari mengamati Aksa yang masih tertidur pulas, lalu melirik jam dinding dengan ekor matanya. Jarum jam menunjukkan angka 7. Jam di mana biasanya Ayana masih sibuk bermimpi dan melanglang buana di pulau kapuk.Ayana menguap. Ia masih mengantuk dan tentu saja belum rela berpisah dengan bantal gulingnya. Sudah jadi kebiasaan Ayana, setelah shalat subuh ia akan langsung melanjutkan tidurnya meskipun tahu bahwa kebiasaan itu tidak bagus. Tapi, kebiasaan Ayana begadang tiap malam dalam rangka kejar target menulis novel onlinenya membuatnya mau tidak mau tidur menjelang pagi. Dan sekarang ia seolah sedang ditraining untuk terbiasa bangun pagi."Kenapa aku yang harus membangunkan ini orang, sih? Lagian aku sama Mas Aksa, kan, belum halal. Emangnya boleh aku masuk ke kamar yang bukan mahram?" gerutu Ayana kesal tetiba ingat dosa. "Padahal yang sedang sakit itu, kan, aku. S