Share

Penolakan Ayana

"Ehem." 

 

Kala berdehem setelah berhasil menelan potongan daging yang entah kenapa mendadak terasa alot di dalam mulutnya. Ucapkan terima kasih pada dua anak manusia di depan dan di sampingnya yang saling menatap dengan tatapan membunuh hingga membuat Kala tidak bisa menikmati steak daging sapi kesukaannya. Kalau kedua orang itu didiamkan lebih lama lagi, Kala khawatir baik Aksa maupun Ayana akan saling melemparkan garpu ke wajah mereka masing-masing.

 

"Kenapa kalian saling menatap dengan tatapan membunuh begitu?" tanya Kala was-was. Sepertinya yang menyadari tatapan sengit itu hanya dirinya saja. Para orang tua yang ada di ruang makan itu masih tampak asyik dengan obrolan tentang pertunangan anak mereka tanpa mempedulikan wajah kusut sang calon mempelai.

 

"Jadi kapan kita bisa meresmikan pertunangan Aksa dan Ayana? Mama sudah nggak sabar, lho, mau pamer ke teman-teman arisan mama," ujar mama Aksa dengan wajah sumringah. 

 

Aksa nyaris tersedak mendengar celotehan mamanya. Selama ini mamanya memang terkenal suka pamer dengan apapun yang menjadi miliknya bahkan bisa dibilang hobby pamer mama Aksa mendekati riya', tapi Aksa sama sekali tidak menyangka kalau mamanya sampai berniat untuk pamer calon mantu pada teman-teman arisannya. Sepertinya mamanya terobsesi ingin jadi orang pertama yang berhasil menikahkan anaknya sebelum didahului teman satu gengnya.

 

"Lebih cepat lebih baik."

 

Kali ini ucapan bundanya yang membuat Ayana terbatuk karena terkejut. Dirinya memang menyukai pria tampan seperti Aksa, tapi kalau pria itu ternyata belok, oh no! Dengan senang hati, Ayana akan memilih untuk mundur. Ayolah, menyadarkan kaum yang belok itu lebih susah daripada sekedar menginsyafkan laki-laki playboy. Ayana tidak punya kesabaran bak gunung Himalaya dan keikhlasan hati seluas samudera. Bersaing dengan sesama perempuan saja Ayana tidak berminat, apalagi kalau harus bersaing dengan lelaki.

 

"Hieeee." Ayana spontan menggelengkan kepalanya dengan tubuh yang merinding. Pikirannya mulai ke mana-mana memikirkan sudah sejauh mana hubungan Aksa dan Saga berjalan.

 

"Nggak bisa, Bun!" tolak Ayana tegas. 

 

"Lho? Ayana nggak suka Aksa, ya? Aksa, kan, ganteng. Pasti nggak malu-maluin kalau diajak kondangan." Mama Aksa berkata lirih dengan wajah sendu. Sedangkan Aksa hanya bisa melotot ke arah mamanya. Tadi emaknya itu dengan jelas memproklamirkan keinginan untuk pamer mantu, sekarang dengan tanpa dosa malah menyuruh si calon mantu untuk ikut pamer pasangan di kondangan. 

 

Sabar, Sa. Sabar. Batin Aksa. 

 

Aksa mengatupkan mulutnya rapat-rapat, menahan diri untuk tidak mempedulikan celotehan mamanya yang keluar tanpa filter.

 

Tampansih, tampan. Tapi, masalahnya anak Tante nggak normal. Yang ada aku bisa makin malu kalau bawa dia kondangan. Batin Ayana menjerit.

 

Ingin rasanya ia berteriak dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi, mana tega Ayana mengatakan kabar buruk pada para orang tua yang sudah mulai memasuki usia sepuh. 

 

"Ta... tapi, Ayana sudah punya orang yang Ayana suka," cicit Ayana terbata-bata.

 

Lidahnya mendadak kelu begitu semua mata tertuju padanya. Wajah kecewa dan juga penuh harap membuat Ayana merasa serba salah. Ingin menolak, tapi tidak tega. Menerima, itu sama saja dengan bunuh diri. Bagaimana caranya coba dirinya menyadarkan laki-laki yang pada dasarnya tidak menyukai wanita?

 

Ayana menghela nafas panjang. Rasanya ia ingin menangis saat itu juga. Seandainya saja dia sudah memiliki kekasih, niscaya Ayana akan meminta kekasihnya untuk membawa lari dirinya detik itu juga. Tapi, masalahnya Ayana termasuk golongan jomblo dari lahir. Mau minta dibawa lari siapa kalau dirinya saja sampai sekarang masih belum bisa lepas dari title jomblo ngenes?

 

"A... Ayana suka Saga," ujar Ayana tidak yakin. Hanya nama Saga yang melintas di otaknya. Perkara Aksa cemburu karena nama kekasihnya dipinjam nanti saja ia pikirkan. Yang ada di benak Ayana hanyalah cara untuk meyakinkan para orang tua kalau dirinya sudah punya kekasih dan bukannya jomblo ngenes yang harus dibantu mencari jodoh.

 

"Saga?" gumam papa Aksa pelan, tapi entah kenapa membuat Ayana merasakan firasat buruk. 

 

"Dia, kan, gay. Mana mungkin dia menerima kamu. Lebih baik kamu lupakan dia!" sambar bundanya tanpa tedeng aling-aling.

 

"Ta... tapi... dia juga." Dengan bersemangat, Ayana menunjuk Aksa dengan sendok yang ada di tangannya. "Dia juga... gay?" bisik Ayana lirih. Lagi-lagi ia tidak tega untuk mengucapkan kata-kata itu dengan lantang. 

 

"Sekarang Aksa memang belum bisa suka perempuan, tapi mama yakin, kok, kalau Ayana pasti bisa membuat Aksa cinta sama Ayana. Mama yakin!" tandas mama Aksa dengan tangan terkepal.

 

"Aku nggak akan pernah suka apalagi cinta sama dia," pungkas Aksa sinis sembari mendecih.

 

"Idih. Aku juga nggak minta dicintai sama kamu," sahut Ayana dengan bibir mengerucut sebal.

 

"Mama yakin, kalian berdua pasti bisa saling cinta. Pasti bakal punya anak banyak," cetus mama Aksa girang membayangkan calon cucu yang bahkan belum berada dalam tahap produksi.

 

"Ta... tapi, Ayana nggak bisa masak, lho, Tante. Tante nggak apa-apa anaknya nggak dikasih makan? Nanti anak Tante kurang gizi, lho!" cicit Ayana. Seumur-umur baru kali ini Ayana bangga dengan kemampuan memasaknya yang nol besar. Sebagai calon mantu, ada kemungkinan dirinya langsung dicoret dari list karena tidak bisa memasak. Memangnya ibu mana yang tega anak laki-lakinya kurang gizi karena diurus oleh istri yang tidak berkompeten?

 

"Tenang, Yan. Order gopud bisa. Warung makan juga banyak. Ah, Aksa juga jago masak, lho! Ntar belajar sama Mas Aksa aja," balas mama Aksa enteng sembari mengedipkan sebelah matanya.

 

"Ya... Yana juga suka bangun siang, lho, Tante," ujar Ayana mulai mengumbar aib dirinya sendiri. Rasa malunya terpaksa dibuang jauh-jauh. 

 

"Kalau ada Mas Aksa, kan, nanti ada yang bangunin, Yan. Bisa shalat subuh bareng." Kali ini papa Aksa yang angkat bicara. 

 

"Ta... tapi, Yana masih kuliah. Takut nggak bisa bagi waktu. Ka... kalau nunggu Ayana lulus kuliah dulu gimana?" 

 

"Justru bagus kalau nikahnya pas masih kuliah. Nanti begitu wisuda, sudah ada pasangan. Kamu, kan, maunya waktu wisuda nanti udah ada yang gandeng?" 

 

Ayana menarik nafas pasrah, kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan terakhir yang diucapkan bundanya. Semua yang diucapkan Ayana agar menjadi calon menantu yang tidak diinginkan seolah dimentalkan. Satu-satunya harapan Ayana sekarang hanya tinggal Aksa yang masih menyantap makanannya dengan wajah datar.

 

"Kamu nggak ada kata-kata yang mau disampaikan? Kamu juga nggak suka aku, kan?" tuntut Ayana kesal sambil menatap tajam Aksa yang tampak masa bodo. 

 

Seharusnya mereka berdua berjuang bersama guna menggagalkan pertunangan sepihak rancangan kedua orangtua mereka, tapi bukannya membantu Ayana, Aksa malah lebih sibuk berkutat dengan daging steaknya.

 

"Hanya keajaiban yang bisa mengubah keputusan orangtuaku yang keras kepala ini," sindir Aksa pedas. Ia kembali mengunyah makanannya tanpa minat.

 

Ayana kembali menarik nafas guna melegakan rongga dadanya yang terasa sesak. Tidak. Tidak. Ia masih belum mau menyerah dan menghabiskan sisa umurnya untuk hidup bersama orang yang tidak mungkin mencintainya. 

 

"Maaf, Bunda. Tapi, Ayana sudah punya pacar. Dia orangnya!" tandas Ayana dengan jari telunjuk teracung ke arah Kala yang sedari tadi makan dengan tenang.

 

"Uhuk."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status