"Masih belum jelas, Ton?" Afifah menatapnya tajam. "Fatimah tidak bisa merawat Bu Aminah karena itu bukan tanggung jawab dia, Toni. Kamu sudah menceraikan Fatimah, mengurus Bu Aminah menjadi tugasmu bukan Fatimah," ucap Afifah kesal.
Perkataan Afifah memang benar. Namun aku takut kejujuran sahabatku itu akan menyinggung juga menyakiti hati ibu."Kalau ibu di sini bagaimana aku kerjanya?"Aku membuang napas kasar. Sebenarnya Bu Aminah itu ibu siapa? Kenapa dia begitu berat merawat ibu kandungnya sendiri?"Kalau ibu kamu di sana bagaimana Fatimah cari suaminya?" jawan Afifah kesal."Kamu mau nikah lagi, Fat?" tanyanya seraya menatapku. Ekspresi tak rela tergambar jelas di matanya?Ah, dia lupa bahwa kalimat talak sudah keluar dari mulutnya. Atau jangan-jangan dia sedang amnesia?"Aku akan mengurus perceraian kita ke pengadilan. Kali ini aku harap kamu jangan mempersulitnya. Ingat, kamu sudah menalakku di sini."Mas Toni diam, tapi matanya kembali berkaca-kaca. Entah sandiwara seperti apa yang kembali ia mainkan."Fat, ayo kita pulang," ajak Afifah."Kamu mau pulang sekarang, Nduk? Apa ndak capek?" tanya Ibu.Aku menghela napas, saat-saat seperti ini yang sangat untuk ibu, begitu pula diriku. Namun mau bagaimana lagi, ikatan kami telah diputuskan Mas Toni, sekali pun kami saling menyayangi,"Iya, Bu.""Kenapa gak istirahat di sini dulu, kalian pasti capek. Perjalanan kemari begitu jauh," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Berat saat hendak meninggalkan ibu. Namun ini yang terbaik bagi kami semua. Aku akan melanjutkan mimpi yang sempat tertunda."Maaf, Bu. Kami harus segera pulang," jawabku pelan.Ibu menghela napas, lalu mengangguk meski terlihat begitu berat. Perpisahan memang begitu menyakitkan apa lagi kami selalu bersama selama ini. Namun takdir Tuhan menuntun kami untuk menjalani hidup masing-masing."Ibu baik-baik di sini. Kami pulang dulu." Aku peluk ibu erat. Tubuhnya kembali bergetar, ibu menangis.Setelah perpisahan yang begitu berat, aku dan Afifah pun pergi. Kami berjalan, menyusuri jalan yang tadi kami lewati."Apa ibu baik-baik saja tinggal di sini, ya, Fah?" tanyaku setelah kami menaiki angkutan umum.Sejujurnya aku ragu meninggalkan ibu di sini. Mas Toni tak mungkin bisa merawat ibu dengan baik. Namun aku juga tidak sanggup terus merawatnya. Ada mimpi yang harus aku kejar kembali."Tenang, Toni pasti bisa merawat ibu dengan baik, Fah. Biar bagaimana pun Bu Aminah itu ibu kandungnya."Aku mengangguk walau keraguan masih begitu besar.***Sepi, saat pintu rumah kubuka lebar. Tak ada lagi sosok wanita yang selalu duduk di kursi sembari menunggu kedatanganku. Tak ada senyum yang selalu terpancar di wajahnya.Aku menghela napas, membiarkan sesak itu pergi dari hidupku. Namun ternyata semakin membelenggu.Lelah dan kantuk kembali menyerang. Niat untuk pergi hari ini harus kubatalkan. Tubuhku harus diistirahatkan sebelum meninggalkan rumah ini.Aku merebahkan tubuh di atas ranjang dengan kasur yang mulai mengeras. Bayang ibu dan Mas Toni kembali hadir, menyisakan luka yang entah sampai kapan akan melekat di hati.Dalam pernikahan kejujuran adalah kunci. Tapi Mas Toni justru berbohong danmengkhianati kepercayaan yang aku berikan. Itu yang membuatku memilih pergi dan mengakhiri pernikahan ini.Terlalu tergesa memang, tapi aku tak sanggup melanjutkan pernikahan di bawah kebohongan.Perlahan mata mulai terpejam, hingga akhirnya aku terbang ke alam mimpi.***Aku mulai memasukkan pakaian ke dalam tas. Aku tata sedemikian rupa hingga muat dalam satu tas besar. Hanya pakaian yang masih layak dipakai. Selebihnya akan kutinggal di sini. Biar saja menjadi rumah tikus. Aku juga sudah tidak peduli.Setelah selesai aku segera bersiap untuk pulang ke rumah kedua orang tuaku. Entah bagaimana ekspresi mereka saat melihat kedatanganku nanti."Sudah siap, Fat?" tanya Afifah yang sudah berdiri di depan pintu kamar.Wanita itu sudah rapi dengan gamis berwarna merah bata, senada dengan hijab yang ia kenakan. Dia begitu bersemangat mengantarkan aku pulang ke rumah. Rumah kedua orang tuaku yang lama aku tinggalkan. Semua demi mengabdi kepada suami. Namun nyatanya hanya luka yang ia berikan padaku."Aku mandi dulu, Fah.""Oke, aku tunggu di luar."Aku mengangguk lalu segera pergi ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi memang terpisah dari rumah. Maklum, rumah ini bangunan lama sehingga kamar mandi berada di luar.Guyuran air dingin menghilangkan rasa lelah yang sempat mendera. Perjalanan ke Jakarta beberapa kali mampu menguras tenaga yang aku miliki. Capek seakan tak kunjung hilang.Afifah masih duduk di ruang tamu ketika aku selesai mandi. Dia asyik menatap layar benda pipih di tangan kanannya. Sesekali ia tersenyum bahkan tertawa. Pasti menonton drama Korea. Ah, dia selalu tergila-gila pada oppa-oppa."Kali ini siapa lagi? Lee Min Hoo?"Afifah menoleh ke samping lalu menggeleng pelan. "Bukan, udah ganti.""Siap?""Aku ngomong kamu juga gak tau, Fat. Kita beda selera.""Iyalah, aku suka lokal kamu impor."Seketika kami tertawa, sesaat luka itu menghilang. Meski masih menempel di sanubari."Tasnya taruh depan aja, Fat." Afifah mengambil tas berisi pakaian lalu meletakkannya di depan.Aku masih berdiri di depan pintu, beberapa saat menatap setiap sudut rumah ini. Banyak kenangan yang terjadi di rumah ini. Berat memang meninggalkan sesuatu yang sudah melekat di hati."Burunan, Fat! Keburu siang ini, nanti kulitku gosong!" teriak Afifah. Sahabatku itu sudah duduk di atas motornya. Wajahnya mulai masam seperti ibu-ibu yang belum diberi uang belanja suaminya."Sabar, bestie."Aku menjatuhkan bobot di jok belakang setelah memakai helm. Perlahan motor melaju meninggalkan rumah Mas Toni. Meninggalkan kenangan dan luka ini.Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai di depan rumah. Sesaat aku terdiam, merangkai kata yang tepat untuk menjelaskan keadaanku pada bapak dan ibu."Kamu takut, Fat?" tanya Afifah seakan tahu isi hatiku."Iya, sedikit.""Aku ada untuk kamu," ucapnya seraya menggandeng tanganku, menguatkan.Setelah cukup tenang, kami melangkah menuju rumah."Assalamualaikum," salam kami bersamaan."Walaikumsalam."Suara seseorang yang sangat aku rindukan. Entah berapa bulan aku tidak pulang kemari."Fatimah."Seketika ibu memelukku, menumpahkan rasa rindu karena lama tak bertemu."Suami kamu mana, Nduk?" tanyanya seraya menoleh ke kanan dan kiri.Ah, baru juga sampai hal yang kutakutkan sudah ibu tanyakan."Nanti Fatimah jelaskan, Bu.""Yowes, ayo, masuk!"Aku berjalan mengikuti langkah ibu, tak lupa membawa sebuah tas besar berwarna hitam. Sedari tadi kulihat ibu tak henti-hentinya menatap benda yang ada di tanganku.Aku duduk di sofa yang sudah berubah warna. Tak berapa lama ibu datang sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat."Kenapa bawa tas besar, Fat? Kenapa tidak datang bersama Toni?" cecar ibu.Aku menelan ludah dengan susah payah, bingung harus menjelaskannya."Fatimah sudah ditalak Toni, Bu," jawab Afifah."Apa!"Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"
Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di
"Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k
Pov RioTerdiam, aku tidak salah dengar, kan? Aziz bilang rekaman CCTV? Dia tidak sedang mempermainkan aku, kan? "Hallo, Rio... Kamu masih di situ, kan?""Eh, iya.""Besok kita ke kantor polisi, Rio. Aku tunggu di sana.""Siapa dalangnya?""Besok di kantor polisi."Aku membuang napas kasar, kesal dengan jawaban lelaki itu. Apa susahnya bilang sekarang? Takut aku menghajar orang itu. Ah, bukan hanya kuhajar, tapi akan kuseret ke dalam penjara. Enak saja dia menyakiti wanitaku. Diam, kutatap gelapnya langit tanpa cahaya bulan. Sama sepertiku yang terasa hampa tanpa pesan dari Zahra. Ah, beginikah rasanya cinta tanpa balasan. Menyiksa. Angin malam terasa menusuk tulang. Namun kaki enggan diajak melangkah, masuk ke dalam. Lagi dan lagi bayang Zahra menyita perhatian. Sedang apa dia? Ah, pasti sangat ketakutan. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Bagiku tangis Zahra adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Suara nyamuk mengusik ketenangan lamunanku. Serangga kecil itu terus terbang
POV Rio"Ini laporan yang Pak Rio minta," ucap Rika seraya memberikan laporan keuangan yang baru saja kuminta. "Makasih, Rik."Seulas senyum kuberikan pada wanita itu. Sebagai seorang pemimpin mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum adalah kewajiban. Karena bagiku karyawan bukan bawahan melainkan rekan kerja untuk memajukan suatu usaha. Papa mengajarkan untuk selalu menghargai orang lain. Bahkan tak membedakan orang karena status sosial. Itu yang membuatku memiliki banyak teman. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Rika lagi. "Tolong buatkan kopi, Rik. Jangan terlalu manis."Rika menganggukkan kepala. Segera ia berjalan meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya ia menghilang dari balik pintu. Aku mengambil laporan yang ada di atas meja. Aku baca setiap kata dan angka yang tertulis di kertas berwarna putih itu. Tanpa terasa sudut bibir tertarik ke atas. Laba restoran meningkat banyak bulan ini. Semua tak luput dari bantuan Zahra. Dia berkomentar ini dan itu, mengkri
"Are you okay, Ra?" tanya Rio saat aku diam membisu. "Gak papa, capek aja, Rio. Ngomong-ngomong makasih karena sudah membelaku tadi."Lelaki itu tersenyum hingga nampak gigi putih. "Aku akan menjadi benteng untuk kamu, Ra.""Emang aku sedang perang apa?" Aku mengerucutkan bibir. Rio hanya tersenyum, kemudian kembali melajukan mobilnya menuju rumah. Tak banyak percakapan di antara kami. Aku justru tenggelam dalam rasa sakit yang tiada bertepi. "Aku kecewa sama kamu, Ra!"Kalimat itu terus saya terngiang. Hingga menciptakan rasa kesal dalam dada. Percuma hati ini kembali kubuka, tapi nyatanya hanya menciptakan lara. Perlahan aku atur napas, berusaha menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Ternyata keputusan meninggalkan Mas Aziz yang terbaik. Percuma menjalin suatu hubungan tanpa dasar kepercayaan. "Mau turun atau pulang bersamaku, Ra?" Aku tersentak, menoleh sekitar. Benar saja, kami sudah berhenti di depan rumah. Rio pasti tahu aku tengah melamun. Hingga masih duduk