"Fat, kamu denger aku, kan?""Denger, mau kamu apa lagi, Mas?" tanyaku kesal. "Bisa, kan kamu rawat ibu lagi? Kalau bisa aku antar ibu ke rumah."Aku membuang napas kasar, kesal. Tak habis pikir dengan ucapan yang barus saja keluar dari mulut lelaki itu. Ibu merupakan wanita yang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk dia tapi Mas Toni justru mengabaikannya. Anak macam apa dia? "Fat... Fatimah! Kami denger aku, kan?""Maaf, Mas. Aku gak bisa, ibu bukan lagi tanggung jawabku. Aku punya kehidupan sendiri.""Tapi, Fat...."Ponsel kumatikan, lalu kuletakkan di atas kasur. Kesal menanggapi lelaki tak tahu diri seperti dia. Aku kembali ke belakang, membantu ibu menyiapkan sarapan. Lauk dan nasi sudah ditata di atas meja. Hanya sebuah meja yang menempel di tembok. Tak ada kursi seperti rumah orang-orang. Maklum saja, kami keluarga sederhana. "Makan duku, Fat.""Gak nafsu makan, Bu.""Kenapa?" Ibu menatapku penuh selidik. "Kepikiran Toni? Lelaki seperti itu gak pantas kamu pikirkan. Buang
Aku menghela napas, menahan amarah yang hampir saja meledak. Segera aku berdiri sambil membawa tas hitam model lama. Menepis rasa kesal, kuberikan seulas senyum padanya. Aku sadar apa posisiku saat ini, karyawan baru. Sejatinya mengalah bukan berarti kalah. Namun hanya tak ingin memperpanjang masalah. Aku ingin memberi kesan baik di hari pertamaku kerja. "Iya, itu hp saya," ucapku seraya menengadahkan tangan, meminta benda yang menjadi milikku. "Harusnya benda ini dibuang, bukan dipertahankan. Ketinggalan jaman," ucapnya sambil memberikan ponsel jadul milikku. Wanita yang baru saja aku lihat itu membalikkan badan, melangkah penuh keangkuhan menuju lift. Satu persatu orang yang sempat menjadi penonton pun pergi. Meninggalkan aku dengan tatapan ini. Seburuk itukah orang tak mampu di mata mereka? Tidak ambil pusing, aku kembali melanjutkan langkah menuju lantai dua. "Ara." Aku menoleh ke belakang hingga tak sengaja mata kami saling beradu. Lekas aku alihkan pandangan. "Pak Aziz."
"Mandi dulu, Fat," ucap ibu seraya menarik tanganku masuk ke dalam. "Kenapa mereka ada di sini, Bu?" tanyaku saat berada di depan pintu kamar mandi. "Mereka baru sampai lima belas menit yang lalu. Ibu belum tanya apa mau mereka."Aku menghela napas, sepertinya masalahku dengan lelaki itu belum benar-benar selesai. Entah sampai kapan ini akan berakhir. Tuhan, aku sudah lelah. "Buruan mandinya, Ibu sudah enek melihat wajah Toni. Kenapa juga dia datang ke sini. Dasar lelaki gak punya urat malu!" maki ibu seraya mengepalkan tangan. Tak lama wanitaku kembali melangkah ke ruang tamu. Dinginnya air mampu menusuk tulang. Cepat-cepat aku selesaikan ritual mandi. Karena aku sudah kedinginan. Semua orang sudah menunggu kedatanganku. Apa lagi ibu dan Mas Toni. Laki itu tak henti-hentinya menatap diri ini,hingga membuatku risih. "Fatimah sudah datang, apa yang ingin kamu katakan, Ton?" tanya bapak sambil menatap tajam ke mantan suamiku. Mas Toni diam, kegugupan tergambar jelas dari wajahnya
Sesaat kami terdiam, saling pandang, seolah waktu berhenti berjalan. Ini seperti adegan dalam drama yang sering kali kutonton. Kemudian aku tersadar, beranjak dengan cepat. "Ma--maaf, Pak," ucapku tak enak hati. Pak Aziz beranjak lalu membersihkan kemeja yang kotor karena terkena bekas air hujan. Lumpur mengenai beberapa bagian kemeja berwana biru laut itu. Warna pakaian pun berubah menjadi kecoklatan. "Aduh,maaf, Pak. Gara-gara saya pakaian Pak Aziz jadi seperti ini." Aku menundukkan kepala, rasa bersalah menyeruak memenuhi rongga dada. "Kamu tak apa-apa, Ara? Tidak ada yang terluka, kan?" tanyanya seraya menatapku dari atas hingga ke bawah. "Saya tidak kenapa-napa, Pak.""Saya benar-benar minta maaf, Pak." Lagi aku menundukkan kepala. "Kamu gak salah, kenapa harus meminta maaf?""Gak minta maaf gimana, sih, Mas? Gara-gara dia, kamu jadi seperti ini? Kotor di mana-mana. Harusnya dia ganti rugi, bukan cuman minta maaf," ucap wanita itu seraya melangkah mendekat ke arah kami. W
"Kenapa diam, Ra? Pertanyaanku salah?" Pak Aziz melirik ke arahku. Aku menelan ludah dengan susah payah. Tanpa diminta sesak itu kembali hadir. Ternyata melupakan luka tak semudah mengeluarkan kata. Berat. Semua orang menginginkan pernikahan sekali seumur hidup. Membangun istana kecil yang dilandasi dengan kebahagiaan. Namun apa mau dikata jika pada akhirnya istana itu roboh karena kehadiran selir. Aku bukan lagi wanita satu-satunya untuk seorang raja. Pernikahan kami hancur karena orang ketiga. "Ara, kenapa diam?" tanyanya lagi karena aku memilih membisu. "Ibu Aminah bukan lagi menjadi tanggung jawab saya, Pak.""Apa maksud kamu?" Pak Aziz kembali melirikku. Lalu fokus ke depan saat traffic light berubah menjadi hijau. "Mas Toni menceraikanku, Pak. Dia lebih memilih wanita lain dari pada aku, istrinya."CIIITTTTubuhku terdorong ke depan saat Pak Aziz menginjak pedal gas dengan tiba-tiba. Kepalaku nyaris membentur bagian depan mobil ini. Untung dengan cepat tangan menutup wajah.
"Ara, aku mau menagih janji."Aku menghela napas, kesal. Kenapa lelaki itu meminta di sini? Tak bisakah dia lihat situasi saat ini? "Janji apa sih, Fat?" Hani menyenggol lenganku. Terlihat jelas sorot penuh tanda tanya dari netranya. Aku yakin setelah ini akan ada masalah baru. Pacar Pak Aziz akan mengamuk seperti tempo hari. Tak bisakah lelaki itu memikirkan nasibku kedepannya. Aku akan dibully habis-habisan. "Boleh aku pinjam, Zahra?" tanya Pak Aziz lagi. Aku menggelengkan kepala, berharap mereka menahanku. Namun ternyata salah, Mbak Mimi dan Hani dengan cepat menganggukkan kepala. Sementara Rio hanya membisu. Teman macam apa mereka ini? "Kita pergi lain kali saja, Fat. Kami duluan, ya," ucap Mbak Mimi lalu melangkah pergi. Tak lama Hani dan Rio pun mengikuti langkahnya. Mereka meninggalkanku sendiri. "Ayo, aku sudah lapar, Ra. Sejak tadi siang aku menahannya."Aku melangkah mengikuti Pak Aziz. Dia memintaku masuk mobil sebelum aku sempat bertanya. Seperti dihipnotis, aku pun
Semua mata tertuju pada lelaki yang berdiri di depan pintu. Pak Aziz melangkah mendekat, kilatan kemarahan terpancar dari matanya. Sikap lelaki itu membuat nyali wanita yang hampir menamparku menciut. "Ma--Mas Aziz," panggilnya terbata. "Apa yang kamu lakukan, Trisha? Ini kantor, bukan lapangan." "Dia yang mulai, bukan aku!" pekiknya seraya menunjuk ke arahku. Melongo kala kudengar ucapannya. Aku? Kenapa aku? Bukankah harusnya dia yang disalahkan karena masuk ke ruangan lalu membuat keributan. Ah, dasar wanita bertopeng kuda. "Wait... Aku kamu bilang? Jelas-jelas kamu yang datang dan membuat keributan di sini. Apa mau lihat rekaman CCTV?" Trisha melotot, habis saja bola matanya copot. "Kamu yang mulai, kamu perebut pacar orang!""Ck!" Aku menutup mulut, menahan tawa yang hampir meledak. Perebut pacar orang? Apa dia sedang amnesia? "Kenapa tertawa? Benar, kan, kamu itu wanita murah*n. Kamu perebut lelaki orang.""Trisha hentikan!"Bukannya berhenti, wanita itu terus menggila. Ca
Setelah melakukan pertimbangan aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah ibu Aminah. Khawatir, perasaan itu akan terus menghantuiku. Hingga aku membuktikan sendiri, bagaimana keadaan beliau saat ini. "Pakai ini, Ra." Rio memberikan jaketnya padaku. "Tapi ini punya kamu, Rio." Aku kembalikan jaket berwarna biru tua padanya. "Jangan ngeyel, jarak sini ke rumah mantan mertua kamu jauh, Ra. Udara juga semakin dingin. Kamu juga gak pakai jaket, kan? Nanti kalau kamu sakit, gimana?" Rio kembali memberikan jaket itu. "Tapi, Rio....""Gak usah tapi-tapi, ayo berangkat! Keburu malem pulangnya."Aku segera menjalankan motor menuju rumah Mas Toni. Rio masih setia mengikutiku di belakang. Dia ngotot ingin mengantarkan aku ke sana. Katanya tak tega melihatku ke sana seorang diri. Meski nyatanya kita jalan sendiri-sendiri. Dari kejauhan terdengar azan magrib berkumandang. Aku dan Rio pun mencari masjid terdekat sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Rio segera berwudhu dan ikut jamaah salat m