"Mandi dulu, Fat," ucap ibu seraya menarik tanganku masuk ke dalam. "Kenapa mereka ada di sini, Bu?" tanyaku saat berada di depan pintu kamar mandi. "Mereka baru sampai lima belas menit yang lalu. Ibu belum tanya apa mau mereka."Aku menghela napas, sepertinya masalahku dengan lelaki itu belum benar-benar selesai. Entah sampai kapan ini akan berakhir. Tuhan, aku sudah lelah. "Buruan mandinya, Ibu sudah enek melihat wajah Toni. Kenapa juga dia datang ke sini. Dasar lelaki gak punya urat malu!" maki ibu seraya mengepalkan tangan. Tak lama wanitaku kembali melangkah ke ruang tamu. Dinginnya air mampu menusuk tulang. Cepat-cepat aku selesaikan ritual mandi. Karena aku sudah kedinginan. Semua orang sudah menunggu kedatanganku. Apa lagi ibu dan Mas Toni. Laki itu tak henti-hentinya menatap diri ini,hingga membuatku risih. "Fatimah sudah datang, apa yang ingin kamu katakan, Ton?" tanya bapak sambil menatap tajam ke mantan suamiku. Mas Toni diam, kegugupan tergambar jelas dari wajahnya
Sesaat kami terdiam, saling pandang, seolah waktu berhenti berjalan. Ini seperti adegan dalam drama yang sering kali kutonton. Kemudian aku tersadar, beranjak dengan cepat. "Ma--maaf, Pak," ucapku tak enak hati. Pak Aziz beranjak lalu membersihkan kemeja yang kotor karena terkena bekas air hujan. Lumpur mengenai beberapa bagian kemeja berwana biru laut itu. Warna pakaian pun berubah menjadi kecoklatan. "Aduh,maaf, Pak. Gara-gara saya pakaian Pak Aziz jadi seperti ini." Aku menundukkan kepala, rasa bersalah menyeruak memenuhi rongga dada. "Kamu tak apa-apa, Ara? Tidak ada yang terluka, kan?" tanyanya seraya menatapku dari atas hingga ke bawah. "Saya tidak kenapa-napa, Pak.""Saya benar-benar minta maaf, Pak." Lagi aku menundukkan kepala. "Kamu gak salah, kenapa harus meminta maaf?""Gak minta maaf gimana, sih, Mas? Gara-gara dia, kamu jadi seperti ini? Kotor di mana-mana. Harusnya dia ganti rugi, bukan cuman minta maaf," ucap wanita itu seraya melangkah mendekat ke arah kami. W
"Kenapa diam, Ra? Pertanyaanku salah?" Pak Aziz melirik ke arahku. Aku menelan ludah dengan susah payah. Tanpa diminta sesak itu kembali hadir. Ternyata melupakan luka tak semudah mengeluarkan kata. Berat. Semua orang menginginkan pernikahan sekali seumur hidup. Membangun istana kecil yang dilandasi dengan kebahagiaan. Namun apa mau dikata jika pada akhirnya istana itu roboh karena kehadiran selir. Aku bukan lagi wanita satu-satunya untuk seorang raja. Pernikahan kami hancur karena orang ketiga. "Ara, kenapa diam?" tanyanya lagi karena aku memilih membisu. "Ibu Aminah bukan lagi menjadi tanggung jawab saya, Pak.""Apa maksud kamu?" Pak Aziz kembali melirikku. Lalu fokus ke depan saat traffic light berubah menjadi hijau. "Mas Toni menceraikanku, Pak. Dia lebih memilih wanita lain dari pada aku, istrinya."CIIITTTTubuhku terdorong ke depan saat Pak Aziz menginjak pedal gas dengan tiba-tiba. Kepalaku nyaris membentur bagian depan mobil ini. Untung dengan cepat tangan menutup wajah.
"Ara, aku mau menagih janji."Aku menghela napas, kesal. Kenapa lelaki itu meminta di sini? Tak bisakah dia lihat situasi saat ini? "Janji apa sih, Fat?" Hani menyenggol lenganku. Terlihat jelas sorot penuh tanda tanya dari netranya. Aku yakin setelah ini akan ada masalah baru. Pacar Pak Aziz akan mengamuk seperti tempo hari. Tak bisakah lelaki itu memikirkan nasibku kedepannya. Aku akan dibully habis-habisan. "Boleh aku pinjam, Zahra?" tanya Pak Aziz lagi. Aku menggelengkan kepala, berharap mereka menahanku. Namun ternyata salah, Mbak Mimi dan Hani dengan cepat menganggukkan kepala. Sementara Rio hanya membisu. Teman macam apa mereka ini? "Kita pergi lain kali saja, Fat. Kami duluan, ya," ucap Mbak Mimi lalu melangkah pergi. Tak lama Hani dan Rio pun mengikuti langkahnya. Mereka meninggalkanku sendiri. "Ayo, aku sudah lapar, Ra. Sejak tadi siang aku menahannya."Aku melangkah mengikuti Pak Aziz. Dia memintaku masuk mobil sebelum aku sempat bertanya. Seperti dihipnotis, aku pun
Semua mata tertuju pada lelaki yang berdiri di depan pintu. Pak Aziz melangkah mendekat, kilatan kemarahan terpancar dari matanya. Sikap lelaki itu membuat nyali wanita yang hampir menamparku menciut. "Ma--Mas Aziz," panggilnya terbata. "Apa yang kamu lakukan, Trisha? Ini kantor, bukan lapangan." "Dia yang mulai, bukan aku!" pekiknya seraya menunjuk ke arahku. Melongo kala kudengar ucapannya. Aku? Kenapa aku? Bukankah harusnya dia yang disalahkan karena masuk ke ruangan lalu membuat keributan. Ah, dasar wanita bertopeng kuda. "Wait... Aku kamu bilang? Jelas-jelas kamu yang datang dan membuat keributan di sini. Apa mau lihat rekaman CCTV?" Trisha melotot, habis saja bola matanya copot. "Kamu yang mulai, kamu perebut pacar orang!""Ck!" Aku menutup mulut, menahan tawa yang hampir meledak. Perebut pacar orang? Apa dia sedang amnesia? "Kenapa tertawa? Benar, kan, kamu itu wanita murah*n. Kamu perebut lelaki orang.""Trisha hentikan!"Bukannya berhenti, wanita itu terus menggila. Ca
Setelah melakukan pertimbangan aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah ibu Aminah. Khawatir, perasaan itu akan terus menghantuiku. Hingga aku membuktikan sendiri, bagaimana keadaan beliau saat ini. "Pakai ini, Ra." Rio memberikan jaketnya padaku. "Tapi ini punya kamu, Rio." Aku kembalikan jaket berwarna biru tua padanya. "Jangan ngeyel, jarak sini ke rumah mantan mertua kamu jauh, Ra. Udara juga semakin dingin. Kamu juga gak pakai jaket, kan? Nanti kalau kamu sakit, gimana?" Rio kembali memberikan jaket itu. "Tapi, Rio....""Gak usah tapi-tapi, ayo berangkat! Keburu malem pulangnya."Aku segera menjalankan motor menuju rumah Mas Toni. Rio masih setia mengikutiku di belakang. Dia ngotot ingin mengantarkan aku ke sana. Katanya tak tega melihatku ke sana seorang diri. Meski nyatanya kita jalan sendiri-sendiri. Dari kejauhan terdengar azan magrib berkumandang. Aku dan Rio pun mencari masjid terdekat sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Rio segera berwudhu dan ikut jamaah salat m
Satu sudut bibirku tertarik ke atas,tersenyum mengejek ke arahnya. Rio penyebabnya? Apa dia sedang lupa ingatan? Tak sadar dengan perbuatannya kemarin? "Kamu bilang apa, Mas? Rio penyebabnya ... Aku tidak salah dengar, kan?""Tidak, memang dia penyebab kamu menggugat cerai aku, kan."Aku beranjak, melangkah mendekati Mas Toni yang masih berdiri mematung. Sempat kulihat sorot kekhawatiran dari mata Rio. Namun aku menepisnya, membiarkan rasa penasaran membelenggunya. Berdiri tegak, tepat di depan Mas Toni. Mantan suamiku itu tersenyum, seolah menyambut kedatanganku. "Kamu tidak demam, kan, Mas?" Aku sentuh dahinya. "Tidak panas, tapi ucapannya ngelantur. Kamu sehat?"Mas Toni mengepalkan tangan di samping. Giginya gemeretak, amarah sudah memenuhi rongga dadanya. Namun aku tak peduli, karena seharusnya aku yang marah di sini. Bukan dia. Lelaki itu pun berjalan mendahuluiku, ia berdiri tepat di samping ibu. Kemudian menatap tajam padaku. "Kenapa? Marah? Bukankah ucapanku benar?""Ka
"Aku tak lagi bercanda, Fatimah Zahra. Aku ingin menjadikanmu ratu dalam istana hatiku. Aku ingin kamu menjadi ibu untuk anak-anak kita kelak. Merajut mahligai pernikahan yang hanya ada kamu dan aku." Pak Aziz menatapku lekat. Aku lihat sorot kejujuran di sana. Namun entah mengapa aku tak percaya. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Wanita yang duduk di sampingku itu tampak kebingungan. Beberapa kali menatapku penuh tanda tanya. Aku sendiri memilih diam, bingung harus menjawab apa. "Saya meminta Fatimah untuk menjadi istri saya. Apa Bapak mengizinkan?" tanyanya lagi karena aku membisu, tenggelam dalam rasa kebimbangan. "Saya menyerahkan semua keputusan pada Fatimah, Nak Aziz dan ibu." Bapak menatapku, "bagaimana, Nduk? Kamu menerima lamarannya atau tidak?"Perlahan aku mengatur napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Kembali kutatap Pak Aziz. Lelaki itu menatapku penuh harap. "Bagaimana, Ara? Kamu menerima lamaranku, kan?""Maaf, Pak Aziz. Saya belum siap menikah lag