“Gami!” Wira memanggil sambil fokus menyetir.
Di kursi belakang, Gami yang sedang mengelus kepala kucing di pangkuannya langsung menyahut. Dia menanyakan apakah Wira membutuhkan sesuatu.
“Bukain, dong!”
Tanpa menoleh, Wira mengapungkan sebungkus permen ke belakang. Gami langsung menyambut dan merobek bungkusnya. Bahkan mengeluarkan permennya dan hendak meletakkan di telapak tangan Wira yang masih mengapung. Namun, niat itu urung dilanjutkan, padahal biji permen nyaris menyentuh telapak tangan Wira. Tiba-tiba, seulas senyum jail terpajang di wajahnya.
“Saya suapin aja, ya, Mas. Biar gampang.”
Tanpa menunggu persetujuan, Gami mengapungkan permen mint itu ke depan mulut Wira. Dia memberikan instruksi agar Wira menganga.
Seharusnya Wira menolak. Bukankah Gami adalah karyawannya? Bahkan status wanita itu setara dengan asisten rumah tangga.
Sebagian majikan di luar sana mungkin akan menganggap perilaku Gami sebagai bentuk ketidaksopanan. Mungkin sebagian lagi akan merasa jijik karena Gami memegang permen itu secara langsung. Mereka mungkin akan berpikir, bagaimana bisa Gami memiliki kepercayaan diri untuk menyuapi majikan yang status sosialnya jauh lebih tinggi? Benar-benar tidak tahu malu!
Sayangnya, perasaan seperti itu tidak terbesit sedikit pun di benak Wira. Mulutnya menganga dengan mudah. Dia menerima permen itu, meskipun tidak mengucapkan terima kasih.
“Butuh apa lagi, Mas?” Gami terlihat antusias. Rela melakukan apa pun demi majikan pujaan hati.
“Nothing.” Wira menjawab sambil menggeleng samar. Lidahnya mengecap-ngecap permen yang kini telah menguarkan sensasi dingin di lidah dan menyegarkan pernapasan.
Sepintas, orang yang melihat interaksi mereka akan beranggapan bahwa mereka pasangan kekasih. Ya, serupa Beauty and The Beast versi terbalik—si pria elok rupawan, sedangkan wanitanya dekil dan jerawatan. Si pria terpaksa bersama sang wanita karena paksaan orang tua. Namanya terancam akan dicoret dari daftar penerima warisan jika tidak membahagiakan si wanita.
Wira tidak pernah sekalipun menolak treatment yang diberikan Gami. Disuapi dengan tangan yang belum dicuci pun Wira tidak pernah risi. Namun, itu bukan berarti mereka menjalin hubungan spesial. Gami tetaplah pengasuh kucingnya, sedangkan dirinya adalah tuan yang berkewajiban memberikan gaji.
“Ada laporan apa hari ini?” tanya Wira. Dia ingin mengalihkan perhatian Gami yang sejak tadi belum kembali ke tempat duduk. Wanita itu masih betah menungging dan tersenyum sambil memandanginya.
“Oh iya. Unyil udah 4 kali BAB, Mas. Ranjaunya encer. Putih. Persis kayak semen yang udah dicairkan. Terus baunya juga lebih busuk daripada bangkai. Gila, sih. Saya yang pakai masker dua lapis aja busuknya masih kecium.” Gami meracau cepat. Ekspresif.
“Sepanjang hari ini dia uring-uringan banget, Mas. Saya kasih makan, eh, cuma dijilat-jilatin doang. Sempat muntah juga. Keluarnya liur doang, tapi ada cacing spagetti gitu,” tambahnya sambil bergidik jijik.
“Terus si Usro kayaknya mau kawin, deh, Mas. Dari tadi pagi ‘ngaung-ngaung’ terus. Kayak mau tebar pesona gitu. Gulung-gulung di lantai, rumput, dan pasir. Terus kalau kepalanya dielus, pantatnya malah diangkat. Ekornya gerak-gerak. Kayaknya udah birahi banget itu, Mas,” lanjutnya.
Wira berdeham pelan sambil membuang muka. Dia merasa sedikit tidak nyaman dengan frontalnya laporan Gami. Dia juga merasa sedikit terganggu dengan jarak antara bibir Gami yang hanya sekilan dari telinganya. Lebih tepatnya dia merasa geli dengan sapuan napas Gami yang menyerbu telinga dan lehernya. Membuat bulu halusnya berdiri.
“Please, ya, Gami. Kamu, tuh, kalau ngomong di-filter,” pintanya sambil menatap jendela. Sesekali melirik ke depan, khawatir menabrak pengguna jalan lain.
“Baik, Mas.” Gami mengiakan sambil mengangguk mantap. Dia tahu betul, bagian mana yang seharusnya disaring lebih dulu. Tadi dia memang sengaja meluncurkan kata ‘birahi’ agar Wira menegur seperti ini. Jika semua kalimatnya meluncur secara halus, Wira akan diam saja. Mendengarkan laporannya tanpa tanggapan.
Selanjutnya, Gami mengabsen satu per satu nama kucing peliharaan Wira. Dia menginformasikan bahwa semua kucing makan dengan lahap. Bahkan bertengkar gara-gara rebutan makanan.
Selain itu, Gami juga melaporkan pertumbuhan kucing-kucing asuhannya. Mulai dari pertambahan berat, panjang, hingga tinggi mereka. Dia juga menceritakan semua tingkah mereka yang mungkin akan membuat Wira tergelak jika melihatnya sendiri.
Belum selesai Gami bercerita, Wira menginterupsi dan memintanya duduk dengan benar. Saat itu hujan lebat tengah menimpa jalanan. Kondisi track memang cukup sepi. Namun, hari yang sudah gelap ditambah dengan derasnya hujan membuat Wira meningkatkan konsentrasi.
“Saya enggak tanggung jawab kalau misalkan kepala kamu terbentur gara-gara saya ngerem mendadak.”
Ucapan Wira barusan membuat Gami berbunga-bunga. Pipinya bersemu. Tersipu. Dia menganggap Wira sangat memedulikan keselamatannya.
Begitu kembali duduk, tulang punggung Gami berbunyi seperti mie instan yang diremuk. Dia refleks mengaduh dan memegangi pinggang.
Rupanya bunyi remukan tulang Gami terdengar oleh Wira. Alih-alih merasa prihatin, pria itu tertawa kecil dan berkata, “Encok, ‘kan? Sok ngide, sih, nungging-nungging kelamaan.”
Kembali, Gami merasa happy. Menurutnya, semua kata yang terucap dari bibir Wira selalu berpontensi membuat kadar gula darahnya naik. Terlalu manis dan menghangatkan hati.
Di saat Gami tengah menikmati letusan kembang api dalam imajinasi, tiba-tiba dalam sekejap mata tubuhnya terdorong ke depan, ke samping, lalu tertarik lagi ke belakang. Hal itu terjadi bertepatan dengan pengangnya suara gesekan ban mobil yang beradu dengan aspal, pecahan kaca, hingga benturan benda keras.
Kejadian singkat itu membuat Gami merasa nyaris kehilangan nyawa. Jantungnya berdentum kencang, sedangkan napasnya tersengal-sengal. Udara dalam mobil itu rasanya tidak cukup untuk memenuhi oksigen dalam paru-parunya.
Begitu melihat ke depan, Gami mencelos melihat kepala Wira tersandar di kemudi. Pria itu tidak bergerak sama sekali, membuat Gami ketakutan setengah mati.
Sementara itu, kondisi di luar sana tidak kalah mengerikan. Sebuah mobil di depan mereka terjungkal sempurna, sedangkan dua mobil lainnya menabrang tiang lampu dan pembatas jalan. Adapun mobil Wira dan Gami berada di tengah-tengah dengan posisi menyerong.
“Mas Wira! Mas!” Gami memanggil sambil melepaskan sabuk pengaman. Dia bersyukur karena tadi sempat memasang sabuk. Jika tidak, Gami tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya sekarang.
Ketika Gami hendak berpindah ke depan untuk memeriksa kondisi Wira, kakinya tersandung tas kucing yang entah sejak kapan tergeletak di lantai. Gami nyaris terjerembab. Untung saja dia berpegangan di kursi Wira.
“Mas Wira! Bangun, Mas!”
Gami menarik kedua bahu Wira. Menegakkan tubuh dan memisahkan kepala pria itu dari kemudi. Dia mengembuskan napas, lega karena Wira masih sadar meskipun meringis memegang dahinya yang sakit. Gami nyaris saja mengucapkan puji syukur jika tidak melihat memar keunguan di dahi Wira.
“Ya ampun, Mas! Jidatnya ungu! Mas baik-baik aja?”
“I’m okay. Kamu?” tanya Wira.
Meskipun matanya masih menyipit karena manahan sakit, Wira tetap mencoba menajamkan pandangan untuk memeriksa kondisi Gami. Namun, dia tidak berkomentar apa pun ketika melihat bagian kiri dahi Gami yang juga berubah ungu.
“Sorry banget, ya. Saya kaget gara-gara di depan ....”
Kalimat Wira tenggelam gara-gara melihat kondisi tiga mobil di depannya. Kedua matanya membulat sempurna. Perasaan kaget dan khawatir berampur rata.
Wira memang sudah menyadari kecelakaan yang terjadi. Namun, keadaan yang tersaji di depan mata jauh di luar prediksinya. Terlalu parah.
Beberapa pertanyaan bercokol di kepalanya yang berdenyut-denyut. Bagaimana kondisi semua penumpang dalam ketiga mobil? Apakah mereka selamat, sama seperti dirinya dan Gami?
“Orang-orang itu ... masih hidup, ‘kan, Mas?”
Rupanya Gami memikirkan pertanyaan serupa. Juga terlihat cemas, sampai tangannya yang masih memegangi kedua pundak Wira gemetaran.
“Kamu ... lihat tangan itu?” Wira menunjuk ke arah mobil yang terbalik. Dari jendela depan yang pecah, tampaklah sebelah tangan yang kurus dan putih berlumur darah.
Gami mengangguk. Sejak tadi dia sudah menyadari keberadaan tangan itu. Itulah yang membuat tubuhnya gemetaran.
“Mau ke mana, Mas?” tanya Gami. Dia panik melihat Wira melepas sabuk pengaman.
“Kita harus memeriksa keadaan mereka. Siapa tahu masih ada yang hidup. Kamu telepon polisi sama ambulance, ya.”
Tanpa dapat dicegah, Wira sudah mendorong pintu dan turun dari mobil. Pria itu mengabaikan seruan Gami yang melarangnya mendekati mobil lain.
“Duh! Kenapa, sih, jiwa kepahlawanan Mas Wira selalu muncul kalau ada situasi kayak gini? Sekali-kali egois, ‘kan, enggak apa-apa. Pikirin dulu kepala sendiri. Lagi sakit kayak gitu mau sok-sokan meriksa orang lain.”
Ratusan tetes air bertubi-tubi menghantam sekujur tubuh Gami. Kunciran yang semula belum kering sekarang malah kuyup. Kaus oblong yang semula longgar sekarang menempel ketat di kulitnya. Dia berlari sambil memayungi kepala dengan sebelah tangan. Menghampiri Wira yang menolong seorang korban.“Udah ditelepon?” tanya Wira sambil memapah seorang pria paruh baya yang kesulitan berjalan.Gami mengangguk. “Polisi sama ambulance udah on the way.”“Ya, udah. Sekarang coba kamu cek mobil putih itu.” Wira menunjuk mobil yang terjungkal dengan gerakan dagunya. “Kayaknya merekamasih hidup,” tambahnya.Mereka? Apakah Wira sudah memeriksa mobil itu dan mengetahui bahwa jumlah penumpangnya lebih dari satu?Pertanyaan yang bekelebat dalam kepala Gami hanya akan terjawab sesudah dia memeriksa sendiri. Kakinya bergerak ragu mendekati mobil yang terjungkal itu.Meskipun takut, Gami merasa harus turun tangan
BAB 4 : BOCAH BUCINSepasang tungkai kurus berbalut kain denim tampak bergerak-gerak dengan ritme cepat. Alas flat shoes-nya bertabuh dengan keramik, menciptakan suara genderang ringan, tapi acap. Kedua tangan yang berpangku di paha saling mengusap, pertanda bahwa wanita itu dirundung gelisah.Berbanding terbalik, pria di sebelahnya duduk dengan kaki menyilang dan tangan bersedekap. Tidak ada gerakan berlebihan. Bahasa tubuhnya menunjukkan ketenangan.Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Dua gelombang vertikal muncul di keningnya yang memar. Gelombang itu menjadi pertanda bahwa dia terganggu dengan keributan kecil di sebelah. Dia pun menoleh dan bertanya dengan nada jengah, “Kenapa, sih?”Seolah sudah menunggu diajak bicara, wanita itu langsung menyerongkan badannya, setengah menghadap Wira. Dengan rasa penasaran yang tinggi dia bertanya, “Pasangan pengantin itu bisa selamat enggak, ya?”Wira menggedikkan bahu
Keheningan membungkus suasana dalam mobil. Bayangan keluarga pengantin yang bertumbangan di lantai terputar ulang dalam ingatan Gami dan Wira. Isak pilu dan teriakan histeris masih meramaikan pendengaran meskipun kenyataannya tidak ada siapa-siapa di sekitar keduanya.Ya, pasangan tragis itu meninggal di meja operasi. Keluarga yang tidak siap melepas kepergian keduanya, lantas meluapkan perasaan dengan tangisan dan amukan.“Tragis banget, ya, Mas,” ucap Gami dengan sorot mata kosong ke depan.Wira hanya menanggapi dengan gumaman. Bibirnya enggan bergerak. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkomentar apa. Duka yang dirasakan keluarga telah menular ke dalam hatinya.“Semoga kita enggak kayak gitu, ya, Mas.”Kali ini Wira menoleh dengan sebelah alis terangkat. Dia tidak mempermasalahkan doa yang dipanjatkan Gami. Hanya saja, kata ‘kita’ cukup mengganggunya. Bukan terganggu dalam artian tidak suka, tapi lebih sep
Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.
Wira menyorot tajam pada wanita asing di hadapannya. Siapa dia? Kenapa pagi-pagi ada di rumahnya? Kenapa menggunakan toilet khusus karyawannya? Kenapa hanya mengenakan kain jarik sedada? Kenapa memanggilnya ‘Mas’ seolah sudah akrab lama dengannya?Apakah dia penyusup? Jika benar, siapa yang sedang dia kuntit? Dira atau dirinya?Otaknya membentak menyuruh berteriak. Namun, nuraninya berontak dengan alasan kasihan.“Mas ... enggak kenal saya?”Pertanyaan macam apa itu? Jelas Wira tidak mengenalnya. Bertemu saja baru pertama kalinya.Wira ingin sekali membalasnya sarkas. Namun, sisi lembut hatinya melarang. Dia memilih bungkam. Membebaskan wanita itu berspekulasi sesuka hati.“Saya ... kakaknya Gami, Mas. Gita.”Benarkah? Wira baru tahu kalau Gami memiliki saudara, padahal sudah setahun wanita itu bekerja di rumahnya.Ah! Wira baru sadar bahwa selama ini jarang menanyakan hal-hal yang menyangkut
Gami masih mengagumi kecantikan sendiri ketika ketukan pintu berbunyi. Dia refleks meniarapkan cermin dengan keras sampai terdengar bunyi rengat. Namun, dia mengabaikan bunyi itu dan bergegas menggapai pintu.Ternyata, sang pengetuk pintu masihlah orang yang sama. Pria tampan dengan perawakan tinggi yang rambut gondrongnya sering dikuncir rapi.“Kenapa balik lagi, Mas? Udah kangen, ya, sama saya?” godanya sambil tersipu malu. Bahkan menghantamkan dahi sendiri ke papan pintu.Gandi yang semula berekspresi biasa saja berubah ‘ilfeel’ dalam sekejap. “Please, jangan ngarang, ya, Mbak. Saya ke sini mau cari Gami.”Mbak? Gami?Astaga! Gami lupa bahwa dia masih mengenakan cincin. Itu artinya, jati dirinya masih sebagai Gita. Pantas saja Gandi terlihat ‘ilfeel’. Bagaimana mungkin wanita cantik yang baru berkenalan dengannya sudah menggodanya sedemikian menjijikkan?Ah! Belum apa-apa dia sudah menghancu
Hidung kucing kampung berwajah lonjong tengah bergerak-gerak. Mengendus aroma asap yang bergoyang-goyang di atas genangan pekat.“Usro mau kopi juga?” tanya si pemilik kopi sambil mengangkat kucingnya dari nakas.“Tolong bawain ke balkon, ya, Gami,” pintanya sambil melangkah menuju tempat yang diinginkan. Juga mengelus lembus kepala anabulbetina yang meraung-raung entah karena apa.“Katanya Mas Wira ketemu sama kakak saya, ya?” pancing Gami yang mengekor sambil membawa cangkir kopi. Dia penasaran, apa yang dipikirkan Wira setelah bertemu Gita yang mulus dan jelita. Apakah tanda-tanda jatuh cinta sudah ada?“Itu yang mau saya omongin ke kamu,” kata Wira. Duduk bersila di kursi kayu. Membenahi tata letak pantat Usro agar nyaman duduk di pangkuannya.“Kamu lupa aturan di rumah ini?” lanjutnya dengan pertanyaan retoris. “Enggak boleh bawa siapa pun menginap di sini tanpa izin saya
Memble. Masam. Kusut. Kehilangan semangat hidup. Begitulah keadaan Gami usai mengobrol dengan Wira.“Kalau seorang Gita aja enggak bisa bikin Mas Wira terkesan, terus seleranya yang kayak gimana?” erangnya frustrasi sampai tega memberantakkan rambut sendiri. Kuncirannya pun kini tak lagi berbentuk.“Buat apa, sih, punya wajah cantik kalau enggak bisa bikin orang lain nyaman?” tirunya sambil bertandak. Meledek ucapan Wira yang menurutnya telah membunuh asa--asa untuk terlahir kembali sebagai Gita.“Sebenarnya kamu, tuh, maunya cewek yang kaya mana, Mas Wira?” tanyanya gemas seolah lawan bicaranya duduk di hadapan.“Saya harus berubah jadi apa supaya bisa mendapatkan hati kamu? Jadi guling biar bisa dipeluk tiap malam? Mungkin jadi baju biarbisa nempel terus sama kamu? Atau ... jadi jok mobil biar bisa nyium pantat kamu? Saya mau, kok, jadi benda mati apa aja asalkan bisa terus sama kamu. Masalahnya, saya haru