Share

CINCIN PERMATA HITAM

Ratusan tetes air bertubi-tubi menghantam sekujur tubuh Gami. Kunciran yang semula belum kering sekarang malah kuyup. Kaus oblong yang semula longgar sekarang menempel ketat di kulitnya. Dia berlari sambil memayungi kepala dengan sebelah tangan. Menghampiri Wira yang menolong seorang korban.

“Udah ditelepon?” tanya Wira sambil memapah seorang pria paruh baya yang kesulitan berjalan.

Gami mengangguk. “Polisi sama ambulance udah on the way.”

“Ya, udah. Sekarang coba kamu cek mobil putih itu.” Wira menunjuk mobil yang terjungkal dengan gerakan dagunya. “Kayaknya mereka masih hidup,” tambahnya.

Mereka? Apakah Wira sudah memeriksa mobil itu dan mengetahui bahwa jumlah penumpangnya lebih dari satu?

Pertanyaan yang bekelebat dalam kepala Gami hanya akan terjawab sesudah dia memeriksa sendiri. Kakinya bergerak ragu mendekati mobil yang terjungkal itu.

Meskipun takut, Gami merasa harus turun tangan membantu Wira. Apalagi belum ada satu pun pengguna jalan yang melintas sehingga tidak ada orang selain mereka yang bisa menolong korban-korban itu.

Ah, bicara tentang pengendara lain, Gami baru sadar bahwa sejak tadi belum ada satu pun orang yang berlalu. Bukankah sekarang masih jam tujuh malam? Harusnya masih banyak pengendara yang berlalu lalang meskipun hujan menyerang. Terlebih ini malam Minggu. Malam di mana pasangan muda-mudi turun ke jalan bersama pasangan.

Keanehan pun tidak hanya terjadi sebatas itu. Tol ini memiliki dua jalur, tapi dari arah utara maupun selatan tidak menunjukkan tanda-tanda akan ada kendaraan yang lewat. Tidak ada sorot lampu yang bersinar dari kejauhan. Tempat kejadian perkara hanya diterangi lampu jalan yang temaram.

Gami mendekati mobil putih yang terjungkal itu secara perlahan. Kepulan asap dan bau kabel terbakar menerkam indera penciumannya. Kaca jendelanya sudah menjadi remah dan berserakan di aspal. Beberapa bagian masih menancap dan runcing. Membuatnya meringis ketika membayangkan kulitnya tergores.

 Terpangkasnya jarak membuat Gami menangkap jelas keberadaan tangan putih yang terjulur di balik jendela. Tangan itu penuh goresan luka. Darah segar yang seharusnya masih mengalir telah disapu oleh guyuran air hujan. Selain luka, Gami juga menangkap adanya jejak kebiruan di pergelangan korban.

Baru melihat dari jarak satu meter saja Gami sudah meringis. Dia mengusap batang tangannya sendiri seolah rasa sakit yang dirasakan pemilik tangan menular padanya.

“Mudah-mudahan aja dia masih hidup.”

Gami merapalkan kalimat itu ketika membungkukkan badan perlahan. Kepalanya melongok, mengintip keadaan korban. Seketika napasnya tertahan. Matanya membelalak maksimal. Jantungnya pun berdetak kencang mendapati luka mengerikan yang memenuhi wajah pengantin.

Ya, rupanya pemilik tangan itu adalah pengantin wanita yang masih mengenakan gaun putih. Sayangnya, kesucian warna gaun itu sudah ternodai oleh banyaknya cairan merah.

“Astaga! Ini ....”

Gami membekap mulut serapat-rapatnya agar tidak mengeluarkan kata. Jantungnya mencelus mendapati sebilah pisau menancap di pinggang kanan pengantin. Pisau bergagang emas itu tampaknya menancap sangat dalam. Refleks pandangannya beralih pada pengantin pria yang menjadi pengemudi. Kondisinya tak kalah mengenaskan. Gami langsung tersimpuh di aspal melihat pisau bergagang serupa menancap di dada kiri pengantin pria.

“Gami!”

Wira yang baru saja memindahkan korban luka-luka ke bawah pohon untuk bernaung mendadak memekik melihat Gami bersimpuh di aspal. Jika aspal itu bersih dari serpihan kaca, Wira tidak akan sekaget dan sekhawatir itu.

Wira bergegas menghampiri. Awalnya, dia berniat akan langsung mengomeli Gami karena duduk sembarangan. Namun, begitu mendapati pemandangan yang sama dengan yang dilihat Gami, dia mengalami shock serupa. Bedanya, Wira dapat dengan cepat mengendalikan diri. Bahkan membantu Gami berdiri.

“Kita ke mobil aja, ya. Korban ini biar polisi yang menangani,” kata Wira sambil memapah Gami pergi.

Langkah Gami mengeras seolah tidak ingin beranjak dari tempat itu. Dengan bibir bergetar--campuran antara rasa takut dan dingin--dia bertanya, “Mereka ... masih hidup, ‘kan, Mas?”

Sebenarnya Wira juga penasaran, apakah pasangan itu masih bernapas atau telah berpulang ke pangkuan Tuhan. Namun, dia enggan memeriksa lebih lanjut. Dia takut salah bertindak.

“Periksa, dong, Mas. Siapa tau masih hidup.” Gami membujuk dengan tatapan penuh permohonan. Membuat Wira tidak tega menolak.

Berhubung rasa penasarannya juga semakin kuat, Wira tidak membutuhkan desakan yang ke dua kalinya. Dia mendekat perlahan. Tangannya terulur ragu ketika menyentuh titik nadi di leher pengantin itu.

“Hati-hati, Mas!” Gami mengingatkan. Takut jika mempelai itu masih hidup, lalu menusuk Wira dengan pisau yang sama.

Wira mendongak menatap Gami. Kemudian mengangguk dan berkata, “Masih.”

“Terus? Kita harus gimana, Mas?”

“Kamu mau bantuin saya?”

Gami mengangguk tanpa keraguan. Jika itu Wira, bantuan apa pun yang diminta, dia tidak akan sangsi mewujudkannya.

“Tolong kamu tahan tangan ini, ya. Saya mau buka pintunya. Kasian kalau tangannya tergores lagi.”

Tepat ketika Gami mengangguk, bunyi sirine—entah mobil polisi atau ambulance—mulai samar-samar terdengar. Namun, bunyi itu tidak mengurungkan niat keduanya untuk mengeluarkan pengantin itu dari mobil yang terbalik. Keduanya bekerja sama dengan apik dalam melakukan upaya penyelamatan.

Ketika pengantin itu berhasil dikeluarkan, terjadilah satu keanehan. Hujan yang tadinya begitu deras menerpa mendadak berhenti tanpa menyisakan gerimis kecil. Hal itu sangat menguntungkan pengantin wanita yang kini telah dibaringkan di aspal. Tubuh dan wajahnya tidak perlu menerima serangan air lagi.

“Mbak! Bisa dengar saya?” Wira mencoba berkomunikasi dan mengguncang pelan bahu si pengantin. Berharap korban bisa memberikan sedikit respons.

Sementara itu, perhatian Gami terdistraksi oleh keberadaan cincin silver bermata hitam. Cincin itu tergeletak di bagian dalam atap mobil. Terselip di antara remahan kaca depan yang juga pecah.

Gami mendapatkan satu dorongan yang membuatnya memungut cincin itu. Dia mengamati desainnya yang simpel. Tidak ada ukiran di sepanjang lingkaran yang kurus. Satu-satunya hiasan yang mempercantik cincin itu adalah permata hitam yang menyembul di tengahnya.

Anehnya, Gami merasakan satu getaran di hati ketika ibu jarinya mengusap permata itu. Walaupun desainnya sangat simpel, cincin itu terlihat sangat elegan.

“Cantik,” pujinya sambil mengusap permata hitam yang justru berkilau setelah tertimpa butiran hujan.

“Tapi ... kenapa cincin nikah pakai permata hitam begini, sih?”

Menurut Gami, cincin pernikahan akan lebih baik jika bermata mutiara atau berlian putih yang berkilauan. Kalau permatanya hitam pekat seperti ini, bukankah malah menimbulkan kesan mistis dan suram?

Kemudian muncullah pertanyaan lain dalam kepalanya. Apakah pasangan itu sudah resmi menikah? Jika sudah, kenapa keduanya sama-sama belum mengenakan cincin di jari manis? Jika belum, apakah cincin permata hitam itu adalah cincin pernikahan? Lantas, ke mana cincin yang satu lagi?

“Kamu ngapain, Gami?”

Pertanyaan Wira membuat Gami terkinjat. Di saat yang sama, tiga buah mobil patroli dan dua ambulance tiba. Beberapa pria berseragam berbeda berlari menghampiri mereka. Kemunculan orang-orang itu membuat Gami panik dan refleks mengantongi cincin itu.

“Kenapa aku jadi panik gini, sih?” gumamnya pada diri sendiri. “Kenapa cincinnya enggak ditaruh ke tempat asalnya aja? Kenapa harus kukantongi?”

Gami mendecakkan lidah, menyesali respons cepat yang justru mengundang dirinya masuk ke lubang penuh bahaya. Jika polisi mengendus keberadaan cincin itu dalam kantongnya, bukankah dia terancam mendapat tuduhan sebagai pencuri?

“Apa yang barusan kamu kantongi?” tanya Wira saat mendekati Gami. Dia sudah menyerahkan pengantin itu kepada petugas medis dan polisi.

Awalnya Gami terkejut mendengar pertanyaan Wira karena pikirannya melayang ke mana-mana. Namun, begitu mulutnya menganga, siap mengatakan yang sejujurnya, muncullah seorang polisi yang membuat rahangnya kembali terkatup. Entah kenapa hati kecilnya melarang untuk tidak memberi tahu siapa pun selain Wira.

Gami mengira bahwa polisi itu akan menghampiri mereka. Setidaknya, mereka pasti akan mengajukan beberapa pertanyaan terkait kronologi kejadian. Ternyata, polisi itu hanya melibas tanpa bertanya apa pun, membuat Gami terheran-heran.

“Aneh banget enggak, sih?” Wira seolah berbicara sendiri, padahal dia berdiri di sisi Gami. Kepalanya teleng ke kanan, menatap heran pada orang-orang yang kini bergotong royong mengevakuasi korban. “Tadi kayaknya enggak ada satu pun manusia selain kita. Sekarang ....”

Wira sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Dia yakin bahwa Gami juga merasakan hal serupa dan mengerti maksud ucapannya.

Sesuai perkiraan, Gami mengangguk setuju. “Apa mungkin karena hujannya udah reda, ya, Mas? Tadi, ‘kan, lebat banget, jadi orang-orang pada malas turun ke jalan.”

Sekarang giliran Wira yang mengangguk. Namun, kerutan samar di keningnya menandakan adanya keraguan. Batinnya bertanya, benarkah hanya karena hujan?

Sayangnya, situasi ini tertolak oleh logikanya. Bagaimana mungkin puluhan manusia berbondong-bondong menghampiri mereka dalam sekejap. Seingatnya, mobil yang datang hanyalah ambulance dan polisi. Namun, sekarang tiba-tiba puluhan kendaraan yang terdiri dari motor roda dua dan empat berkumpul dari utara dan selatan. Mungkinkah ini efek kelengahannya sehingga tidak menyadari kedatangan kendaraan lain?

Ya, Wira memang sempat lengah saat petugas medis menanyakan kondisi korban. Dia juga sempat memerhatikan Gami yang termangu setelah mengantongi sebuah benda. Mungkinkah dalam kelengahan yang terbilang singkat itu sudah banyak kendaraan yang menyerbu TKP?

“Menurut Mas Wira, pengantin itu udah nikah atau belum?” Gami mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi bercokol di kepala. Ketika itu dia memerhatikan warga yang tengah mengevakuasi mempelai pria.

“Kalau belum, ngapain mereka satu mobil?  Tanpa pendamping pula.” Wira menanggapi.

“Setahu saya, pengantin yang normal itu baru semobil kalau udah sah. Selesai resepsi on the way hotel atau rumah baru. Kalau belum sah, masing-masing bakal diantar sama keluarga atau pendamping,” paparnya.

“Tapi enggak tahu, sih, kalau pengantin abnormal. Bisa jadi mereka pakai konsep berbeda dan enggak mau ngikutin adat,” tambahnya. “Memangnya kenapa? Ada yang aneh?”

Gami mengangguk. “Mereka sama-sama enggak pakai cincin, Mas.”

“Hah? Kok, bisa?”

Rupanya hanya Gami yang menyadari hal kecil itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status