BAB 4 : BOCAH BUCIN
Sepasang tungkai kurus berbalut kain denim tampak bergerak-gerak dengan ritme cepat. Alas flat shoes-nya bertabuh dengan keramik, menciptakan suara genderang ringan, tapi acap. Kedua tangan yang berpangku di paha saling mengusap, pertanda bahwa wanita itu dirundung gelisah.
Berbanding terbalik, pria di sebelahnya duduk dengan kaki menyilang dan tangan bersedekap. Tidak ada gerakan berlebihan. Bahasa tubuhnya menunjukkan ketenangan.
Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Dua gelombang vertikal muncul di keningnya yang memar. Gelombang itu menjadi pertanda bahwa dia terganggu dengan keributan kecil di sebelah. Dia pun menoleh dan bertanya dengan nada jengah, “Kenapa, sih?”
Seolah sudah menunggu diajak bicara, wanita itu langsung menyerongkan badannya, setengah menghadap Wira. Dengan rasa penasaran yang tinggi dia bertanya, “Pasangan pengantin itu bisa selamat enggak, ya?”
Wira menggedikkan bahu. “Mana saya tahu? Saya, ‘kan, bukan grim reaper.”
Memang terkesan tidak acuh. Namun, sejujurnya Wira berharap bahwa pasangan itu masih berumur panjang. Kasihan, baru menikah, tapi tiba-tiba sudah terpisah oleh maut. Seharusnya pasangan itu bergulat di ranjang, merekatkan badan yang penuh keringat untuk menciptakan keturunan. Bukannya malah terbaring di ruang operasi.
Seolah tidak jera mendapatkan jawaban yang tidak membantu, Gami kembali bertanya, “Mereka enggak saling membunuh, ‘kan, Mas?”
Gelombang vertikal di kening Wira bertambah dalam, pertanda bahwa pemilik kepala sedang berpikir keras. Bibirnya juga terkatup. Tidak tahu harus menjawab apa. Lebih tepatnya takut salah melontar kata.
Ragam pertanyaan bercokol di kepalanya. Benarkah pasangan pengantin yang seharusnya saling mencintai justru terlibat pembunuhan? Benarkah pisau yang menempel di tubuh pengantin itu akibat saling menusuk? Adakah kemungkinan lain semisal campur tangan orang ke tiga?
Sayangnya, dugaan ke tiga tersingkir secara otomatis. Wira menyaksikan sendiri bahwa mobil yang terjungkal itu hanya ditumpangi sepasang manusia. Jadi, tidak mungkin ada pihak lain yang menusuk keduanya.
Tidak ingin pusing memikirkan masalah yang bukan wewenangnya, Wira memilih mengalihkan topik. “Kamu belum kasih tahu saya soal barang yang kamu kantongi tadi.” Matanya melirik saku celana Gami bagian kiri, tempat benda itu disimpan. “Apa itu?” tanyanya sambil menunjuk saku itu menggunakan dagu.
Mengikuti arah tatapan Wira, Gami ber-oh panjang sambil mengusap sakunya. Sepertinya sudah saatnya dia memberi tahu Wira soal cincin yang ditemukan.
“Ini—”
Sayang sekali, Gami harus memutus ucapannya sendiri. Matanya menangkap sosok pria bersetelan formal lengkap tengah berjalan cepat di sisi kanan lorong. Pria itu memiliki lekuk wajah yang nyaris serupa dengan Wira. Bedanya, pria itu memiliki rambut cepak dan kumis tipis di bawah hidung. Warna kulitnya sedikit lebih cerah.
Wira mengikuti arah pandangan Gami. Air muka tampak tenang menyambut pria itu.
“Gimana? Kalian baik-baik aja?” tanya pria itu dengan napas tersengal. Bola matanya bergeser dari Gami ke Wira.
Alih-alih menjawab kekhawatiran pria itu, Wira malah menanyakan hal lain. “Tadi, ‘kan, aku suruh ke klinik hewan. Ngapain malah ke sini?”
“Dasar enggak tahu untung, nih, bocah!” Pria itu mendesis kesal. Tidak terima kalau kedatangannya tidak disambut hangat. “Abang ke sini karena khawatir!” bentaknya. “Masa gitu aja enggak ngerti, sih?”
Satu jam yang lalu Wira menelepon abangnya, Dira. Selain menginformasikan kecelakaan yang dialami, Wira juga meminta tolong agar abangnya mendatangi klinik hewan.
Sebelumnya, Wira sudah meminta Adisti—asisten rumah tangga—untuk menggantikan tugasnya dan Gami membawa Unyil ke klinik. Adisti pun datang ke rumah sakit untuk menjemput Unyil, lalu bergegas pergi ke klinik hewan.
Wira menyangka bahwa Dira akan pergi ke klinik sesuai permintaan. Kenyataannya ... di sinilah pria itu berdiri. Dengan setelan kantor yang sudah kusut, simpul dasi yang longgar, dan napas yang megap-megap, Dira berdiri di hadapannya.
Alih-alih kesal karena permintaannya diabaikan dan sekarang malah mendapat bentakan, Wira dengan tenang menepuk kursi kosong di sisi kiri. “Duduk dulu, gih.”
Meskipun wajahnya betah menyimpan kekesalan, Dira mengikuti instruksi adiknya. Lagipula kakinya sudah terasa penat karena berkeliling lorong rumah sakit mencari keberadaan Wira. Dia sudah tahu bahwa adiknya melarangnya kemari. Alasan itulah yang membuatnya berkelana sendiri, bermodalkan arahan Adisti.
“Kan, udah kubilang kalau aku sama Gami baik-baik aja. Sekarang lihat sendiri, ‘kan? Abang cuma buang-buang waktu nengokin orang yang sehat,” kata Wira ketika abangnya duduk dengan wajah tertekuk.
“Abang enggak percaya kalau enggak melihat sendiri.” Dira membalas ketus seraya menyatukan kedua tangan di bawah dada.
“Sekarang udah melihat sendiri, ‘kan?” Wira bertanya retoris. “Terus sekarang mau apa?”
“Ya, istirahat dulu.” Dira menyahut dengan volume naik satu oktav. “Masih ngos-ngosan gini, masa langsung pergi lagi?” sambungnya sambil membuang muka ke depan. Enggan bersitatap dengan sang adik.
Beberapa saat kemudian Dira melongok menatap Gami. Dia memerhatikan memar di dahi wanita itu. Saat pandangannya turun ke telapak tangan, kedua alisnya terangkat melihat plester luka dan goresan yang memerah.
“Sakit, Mi?”
Awalnya Gami kelabakan menangkap maksud pertanyaan Dira. Namun, setelah menyadari pria itu menyorot telapak tangannya, dengan cengiran lebar dia menjawab, “Enggak, Bang. Asalkan ada Mas Wira, luka ini enggak ada rasanya.”
“Astaga ....” Dira mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepala. “Dasar bocah bucin! Di situasi kayak gini masih aja ngegombal-gembel.”
Seharusnya Wira risi mendengar gombalan receh seperti tadi. Apalagi ditandaskan oleh wanita kusam dan jerawatan macam Gami. Anehnya, Wira malah merasa terhibur. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.
Tentu saja tawa Wira membuat Gami besar kepala. Tubuhnya menggeliat salah tingkah. Bahkan merosot ke bawah kursi, bagaikan balok besi yang melebur setelah terbenam api. Wanita itu meleleh melihat keelokan senyuman Wira yang secerah mentari pagi.
“Senyumnya jangan lebar-lebar, Mas. Jantung saya enggak kuat,” pinta Gami dalam nada rendah. Dia mengelus dada yang berdebar-debar serta memalingkan muka yang merahnya menyamai delima.
Mengabaikan tingkah absurd Gami, Dira bertanya kepada adiknya. “Kalau kalian enggak kenapa-kenapa, ngapain masih di sini? Korban lain juga baik-baik aja, ‘kan? Kecelakaan ini bukan gara-gara kalian, ‘kan?”
“Enggak, lah!” Wira sigap membantah. Tidak menerima secercah tuduhan pun.
“Kita berdua di sini karena penasaran aja sama pasangan pengantin yang ada di dalam,” terangnya sambil mengangkat dagu, menunjuk dua pintu di depan yang tertutup rapat.
“Lagipula keluarga mereka belum datang. Enggak enak kalau ditinggal begitu aja. Siapa tahu tim medis perlu bantuan kita, ‘kan? Butuh darah misalnya.”
Dira mengernyit dan mengikuti arah tunjukan dagu adiknya. “Memangnya itu ruangan apa?” tanyanya sambil menatap pintu tanpa papan tulisan.
“Operasi.”
“Separah apa keadaannya sampai dioperasi? Kenapa kamu yakin banget kalau mereka butuh darah.”
Wira mengatup bibir yang semula siap menjawab pertanyaan abangnya. Ada dorongan halus yang membuatnya enggan menjawab pertanyaan itu. Lebih tepatnya, dia malas menjelaskan secara detail mengenai apa saja yang sudah dia dan Gami saksikan. Apalagi situasi dan tempat tidak mendukung untuk banyak bercerita.
Berhubung ekspresi Dira terlihat begitu penasaran, Wira akhirnya membuka mulut, tapi membawa topik berbeda. “Udah, deh. Mending Abang susulin Adisti ke klinik. Udah teratur, ‘kan, napasnya?”
Tentu saja Dira kesal dan kecewa. Dia menaruh harapan besar untuk mendengar informasi menarik yang bisa dijadikan bahan siaran. Maklum, jiwa jurnalistik sempat memberontak. Tidak peduli dengan status keluarga yang privacy-nya harus dilindungi. Jika memang ada pemberitaan bagus dan berpotensi membuat Indonesia geger, dia tidak sungkan menbocorkan informasi itu ke redaksi sebagai bahan siaran besok pagi.
Melihat abangnya enggan beranjak, Wira pun mengembuskan napas. “Aku lupa kasih Adisti uang, Bang. Dia mau bayar pakai apa kalau Abang enggak ke sana sekarang juga?”
“Okay, tapi kamu harus jelasin semuanya ke Abang begitu sampai rumah.”
Persyaratan itu tidak serta merta membuat Wira mengangguk patuh. Dia malah menatap jengah dan berkata, “Sampai rumah nanti aku pasti ketiduran kali, Bang.”
“Ya, jangan tidur! Pokoknya kamu harus cerita dengan sedetail-detailnya ke Abang,” tuntut Dira. Kemudian beralih menatap Gami yang masih duduk di lantai dan sibuk bermain HP. “Mi! Nanti beliin Wira kopi hitam sepuluh gelas, ya.”
Tentu saja perintah itu membuat Gami memekik terkejut. “Enggak bisa, Bang,” tolaknya tanpa keraguan. “Kalau Mas Wira keracunan kafein gimana? Saya belum nembak dia, loh, Bang. Masa masih PDKT udah ditinggal mati?”
Wira dan Dira saling melempar tatapan. Namun, ekspresi keduanya tampak begitu jomplang. Jika Dira menunjukkan raut jijik dan ngeri, Wira malah tersenyum penuh kemenangan. Wira bangga karena Gami tidak mudah menuruti perintah abangnya.
Keheningan membungkus suasana dalam mobil. Bayangan keluarga pengantin yang bertumbangan di lantai terputar ulang dalam ingatan Gami dan Wira. Isak pilu dan teriakan histeris masih meramaikan pendengaran meskipun kenyataannya tidak ada siapa-siapa di sekitar keduanya.Ya, pasangan tragis itu meninggal di meja operasi. Keluarga yang tidak siap melepas kepergian keduanya, lantas meluapkan perasaan dengan tangisan dan amukan.“Tragis banget, ya, Mas,” ucap Gami dengan sorot mata kosong ke depan.Wira hanya menanggapi dengan gumaman. Bibirnya enggan bergerak. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkomentar apa. Duka yang dirasakan keluarga telah menular ke dalam hatinya.“Semoga kita enggak kayak gitu, ya, Mas.”Kali ini Wira menoleh dengan sebelah alis terangkat. Dia tidak mempermasalahkan doa yang dipanjatkan Gami. Hanya saja, kata ‘kita’ cukup mengganggunya. Bukan terganggu dalam artian tidak suka, tapi lebih sep
Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.
Wira menyorot tajam pada wanita asing di hadapannya. Siapa dia? Kenapa pagi-pagi ada di rumahnya? Kenapa menggunakan toilet khusus karyawannya? Kenapa hanya mengenakan kain jarik sedada? Kenapa memanggilnya ‘Mas’ seolah sudah akrab lama dengannya?Apakah dia penyusup? Jika benar, siapa yang sedang dia kuntit? Dira atau dirinya?Otaknya membentak menyuruh berteriak. Namun, nuraninya berontak dengan alasan kasihan.“Mas ... enggak kenal saya?”Pertanyaan macam apa itu? Jelas Wira tidak mengenalnya. Bertemu saja baru pertama kalinya.Wira ingin sekali membalasnya sarkas. Namun, sisi lembut hatinya melarang. Dia memilih bungkam. Membebaskan wanita itu berspekulasi sesuka hati.“Saya ... kakaknya Gami, Mas. Gita.”Benarkah? Wira baru tahu kalau Gami memiliki saudara, padahal sudah setahun wanita itu bekerja di rumahnya.Ah! Wira baru sadar bahwa selama ini jarang menanyakan hal-hal yang menyangkut
Gami masih mengagumi kecantikan sendiri ketika ketukan pintu berbunyi. Dia refleks meniarapkan cermin dengan keras sampai terdengar bunyi rengat. Namun, dia mengabaikan bunyi itu dan bergegas menggapai pintu.Ternyata, sang pengetuk pintu masihlah orang yang sama. Pria tampan dengan perawakan tinggi yang rambut gondrongnya sering dikuncir rapi.“Kenapa balik lagi, Mas? Udah kangen, ya, sama saya?” godanya sambil tersipu malu. Bahkan menghantamkan dahi sendiri ke papan pintu.Gandi yang semula berekspresi biasa saja berubah ‘ilfeel’ dalam sekejap. “Please, jangan ngarang, ya, Mbak. Saya ke sini mau cari Gami.”Mbak? Gami?Astaga! Gami lupa bahwa dia masih mengenakan cincin. Itu artinya, jati dirinya masih sebagai Gita. Pantas saja Gandi terlihat ‘ilfeel’. Bagaimana mungkin wanita cantik yang baru berkenalan dengannya sudah menggodanya sedemikian menjijikkan?Ah! Belum apa-apa dia sudah menghancu
Hidung kucing kampung berwajah lonjong tengah bergerak-gerak. Mengendus aroma asap yang bergoyang-goyang di atas genangan pekat.“Usro mau kopi juga?” tanya si pemilik kopi sambil mengangkat kucingnya dari nakas.“Tolong bawain ke balkon, ya, Gami,” pintanya sambil melangkah menuju tempat yang diinginkan. Juga mengelus lembus kepala anabulbetina yang meraung-raung entah karena apa.“Katanya Mas Wira ketemu sama kakak saya, ya?” pancing Gami yang mengekor sambil membawa cangkir kopi. Dia penasaran, apa yang dipikirkan Wira setelah bertemu Gita yang mulus dan jelita. Apakah tanda-tanda jatuh cinta sudah ada?“Itu yang mau saya omongin ke kamu,” kata Wira. Duduk bersila di kursi kayu. Membenahi tata letak pantat Usro agar nyaman duduk di pangkuannya.“Kamu lupa aturan di rumah ini?” lanjutnya dengan pertanyaan retoris. “Enggak boleh bawa siapa pun menginap di sini tanpa izin saya
Memble. Masam. Kusut. Kehilangan semangat hidup. Begitulah keadaan Gami usai mengobrol dengan Wira.“Kalau seorang Gita aja enggak bisa bikin Mas Wira terkesan, terus seleranya yang kayak gimana?” erangnya frustrasi sampai tega memberantakkan rambut sendiri. Kuncirannya pun kini tak lagi berbentuk.“Buat apa, sih, punya wajah cantik kalau enggak bisa bikin orang lain nyaman?” tirunya sambil bertandak. Meledek ucapan Wira yang menurutnya telah membunuh asa--asa untuk terlahir kembali sebagai Gita.“Sebenarnya kamu, tuh, maunya cewek yang kaya mana, Mas Wira?” tanyanya gemas seolah lawan bicaranya duduk di hadapan.“Saya harus berubah jadi apa supaya bisa mendapatkan hati kamu? Jadi guling biar bisa dipeluk tiap malam? Mungkin jadi baju biarbisa nempel terus sama kamu? Atau ... jadi jok mobil biar bisa nyium pantat kamu? Saya mau, kok, jadi benda mati apa aja asalkan bisa terus sama kamu. Masalahnya, saya haru
“Wira itu paling enggak suka sama cewek yang keganjenan kayak kamu.”Bibir Gami maju lima senti. Manyun. Kecewa karena usahanya untuk meraih perhatian Wira selama ini justru menjadi nilai minus.“Masa, sih, Bang?” Berharap Dira akan berkata ‘bercanda’.“Yeee, dibilangin enggak percaya. Ngapain nanya kalau begitu?”Sekarang Dira ikut memutar badan, sepenuhnya menghadap Gami. Berhubung masih dalam keadaan jongkok, pria itu melipat kedua tangan dan menopangkan di atas lutut.“Kalau mau mendekati Wira itu harus dengan cara yang elegan. You know elegant? Jangan flirting terus! Kamu harus jaga image! Aturannya begini: cewek itu dikejar, bukan mengejar; cewek itu dicintai, bukan mencintai; cewek itu ditembak, bukan menembak.”“Tapi, ya, Bang, kalau saya enggak gerak duluan, Mas Wira enggak akan--”“Itulah kesalahan kamu,” potong Dira. “Kamu pikir semua
“Tolongin, dong, Maaaas.” Gami memelas. Memasang wajah butuh pertolongan. “Saya enggak kuat, nih.”Ketika itu, posisinya tengah membungkuk. Memegang karung makanan kucing yang terbaring di pijakan motor metic.Gami baru pulang dari pet shop, membeli dua karung makanan kucing hingga perlengkapan mandi. Di teras, dia bertemu dengan Wira yang hendak joging sore. Pertemuan itu dia manfaatkan untuk flirting dengan Wira.“Biasanya kamu bisa, tuh, angkat sendiri sampai ke rumah belakang,” kata Wira sambil berpegangan pada kedua buncu handuk yang terkalung di leher. Tak ada niatan membantu. Wajah memelas Gami tidak membuatnya iba sama sekali.“Yah, Mas. Masa nolongin sekali doang enggak mau, sih? Saya ini cewek, loh, Mas. Masa Mas tega, sih, lihat saya angkat yang berat-berat kayak gini?”Gami menurunkan karung itu dari motor. Pura-pura kepayahan. Padahal biasanya dia mampu memanggul dua karung sekaligus.