Cincin itu disematkan Abi di jari manis tangan kiri Aya, wanita itu tersenyum sembari menatap bergantian dari cincin, lalu ke wajah Abi yang tersenyum malu-malu. “Apa sih, Bi, malu-malu gitu?” bisik Aya dengan wajah mendekat ke arah Abi.
“Cantik banget kamu, Faraya,” ucap pria dengan pakaian batik lengan panjang dari merek ternama itu. Faraya tertawa renyah, menunjukkan deretan gigi putih terawat dan bersih, membuat Abi segera mencium kening Aya lama dan lekat. Aya memejamkan mata, tapi tak tersenyum, ia justru diam dan mendadak berdebar tak karuan.
“Terima kasih, Faraya,” bisik Abi sembari memeluk. Aya membalas pelukan Abi. Pria yang usianya dibawah ia dua tahun itu, begitu tampan dan membuat Aya segera membelai wajah tegas pria itu dengan tangannya.
“Aku juga makasih, Bi,” jawabnya lirih. Keduanya saling melempar tawa, menghadap ke tamu dan kedua orang tua sembari memeluk mesra. Aya cantik dengan balutan kebaya w
“Sabar ya, Nak, biar diperiksa dokter dulu,” ujar Rangga yang memangku Sean sambil duduk di kursi saat menunggu giliran nama putranya dipanggil untuk diperiksa dokter spesialis anak.“Sean…” suara Arinda terdengar. Kepala Sean terloleh dengan gerakan lemas. Arinda segera mengambil alih Sean dan menggendongnya.“Cucu Oma kenapa?” Arinda yang tak merasa kepayangan atau susah menggendong Sean, memeluk lalu mengusap punggung cucu satu-satunya itu.“Pusing,” jawab Sean lemah.“Kangen Mama, ya,” sambung Arinda sembari melirik Rangga. Putranya itu hanya bisa membuang pandangan ke arah lain. Malas meladeni komentar bundanya.“Nggak, Mama udah telepon semalam, Oma,” jawab Sean lirih. Arinda diam, ia duduk di sebelah Rangga. Tak lama, ayah datang. Sean justru cengeng jika sudah melihat Opanya.“Waduh… sakit ya cucu Opa, yuk gendong sini,” ujar Adam.
Kedua orang tua Rangga, bahkan Ghania dan reno berada di rumah sakit, mereka ingin mengetahui kondisi Sean yang masih dirawat intensif di ICU. Rangga masih memakai pakaian yang sama, Ghania sudah membawakan pakaian ganti, tapi Rangga belum ingin beranjak dari ruang tunggu itu sejak semalam kecuali untuk ke toilet. “Rangga, kondisi Sean masih bisa dibilang kritis, kamu berdoa, ya,” ucap Adam – ayah Rangga – itu yang begitu terkejut saat mendapat berita tentang cucunya. “Mita udah telepon kamu?” tanya Arinda. Rangga mengangguk. Ia malas menyahut siapa pun yang ada di sana. Langkah kaki dua orang terdengar mendekat, Rangga beranjak karena itu dokter spesialis anak yang akan memeriksa kondisi Sean. “Pak Rangga,” sapanya. Rangga mengangguk. “Bisa bicara sebentar,” pinta dokter itu lalu mengajak Rangga ke dalam ICU, sebelumnya, ia sudah memakai pakaian khusus juga. Tampak Rangga menyimak penjelasan dokter, ia juga mengangguk beberapa kali, karena paham. Pan
“Sekarang Sean bobo, ya, udah kenyang, kan? Tante Aya pulang, ya,” bisik Aya. Sean mengangguk pelan, namun mulutnya terbuka seperti ingin mengucapkan sesuatu.“Besok Tante ke sini lagi?” tanyanya dengan suara pelan.“Mudah-mudahan, Tante harus izin Om Abi dulu,” jawab Aya.“Om Abi, siapa?” Sean mengerutkan kening.“Tante mau nikah bulan depan, Om Abi calon suami Tante, jadi… Tante harus bilang ke dia kalau mau ke mana-mana. Udah… Sean bobo, udah malam. Cepat sembuh ya,” lanjutnya sembari mengusap rambut Sean. Rangga hanya bisa tersenyum kikuk menatap ke arah putranya.“Papa antar Tante Aya ke depan dulu ya, Sean, susternya temenin Sean, kok,” sambung Rangga. Aya sudah berjalan lebih dulu, ia melepaskan pakaian khusus untuk masuk ke ruang ICU sebelum berjalan keluar.Langkah kaki Aya pelan karena ia sambil menghubungi seseorang, suara Rangga memanggilnya mem
Arinda mondar mandir di dalam kamarnya, Adam, suaminya hanya bisa tertawa sinis. “Kamu mau bikin rencana apa lagi? Kamu lihat sendiri, kan, Aya sekarang bukan sosok yang bisa kamu injak-injak seenaknya.” Adam menutup buku yang sedang ia baca. Menghela napas sembari menatap lekat istrinya. “Belum kurang, kamu bikin Rangga menderita dan Aya, harus diam saja kamu perlakukan buruk?” Arinda melirik tajam ke suaminya. Bersedap dengan begitu angkuh. “Saya kan sudah selalu bilang. Saya tidak akan suka dengan Aya sampai kapan pun. Sekarang dia bisa petantang petenteng seperti orang kaya raya. Tapi—“ Arinda tersenyum sinis. “Itu semua punya Agung dan Sari. Aya hanya diangkat anak dan sebagai balas budi, dia kelola perusahaan itu sampai sebesar ini dalam kurun waktu kurang dari lima tahun. Dan sebentar lagi go public. Nilai saham mereka juga mulai baik. Banyak investor melirik. Apalagi kalau bukan karena Aya yang dijadikan senjata dan boneka mereka. Murahan.” Geram Arinda. Ada
Ghania menyiapkan makan malam untuk Adam, tampak pria tua itu tengah duduk sembari menonton acara TV yang menyiarkan laporan nilai saham perusahaan besar. “Ayah, makan dulu, nanti Bang Rangga pasti ke sini, kok,” ujar Ghania sembari mengusap bahu ayahnya.“Iya. Ayah mau bahas untuk beberapa anak perusahaan kita yang mulai goyang, kita perlu rekrut orang yang lebih kompeten lagi. Rangga nggak akan bisa kalau sendirian, Ayah nggak tega.” Adam beranjak, berjalan ke arah meja makan. Ghania menghidangkan sop seafood dan juga bakwan jagung, ia membuatnya sendiri.Adam tertawa pelan sembari duduk di kursi. “Kamu bisa masak?” ledek pria itu.“Bisa, dong, Ayah aja yang selama ini nggak tahu.” Ghania menyeret kursi di sebelah ayahnya, lalu duduk.“Kamu, tuh, kelihatannya cuek, tomboy, hobi olahraga, tapi urusan kayak gini… ternyata mampu,” tangan Adam mengusap kepala Ghania. Wanita itu terseny
Aya duduk di kursi sebelah ranjang rumah sakit ditiduri Sean. Ia sudah bangun sejak setengah jam lalu, melihat ke arah Sean yang terlelap, begitu pun Rangga yang terlelap di sofa bed. Aya diam, menatap bergantian dua laki-laki beda usia yang tampak mirip. Sean tidur meringkuk, pun, Rangga.Wanita itu beranjak, ia berjalan ke arah meja tempatnya meletakkan ponsel, tas dan laptopnya. Ia merapikan rambutnya, ia kuncir tinggi, dan Rangga melihat hal itu. Posisi Aya memang membelakangi Rangga yang memerhatikan gerakannya itu. Senyum Rangga terbit, paginya jelas berbeda, ia bahagia, walau masih begitu berjarak dengan Aya.“Halo… Abi, udah bangun?” suara Aya berbicara dengan Abi terdengar. Membuat senyuman di wajah Rangga pudar seketika. Ia memejamkan kedua matanya lagi, tetapi telinganya juga masih mendengarkan semua yang Aya ucapkan seperti menanyakan Abi sarapan apa, hari itu ada rapat atau tidak, dan menyetujui saat Abi akan menjemputnya sore hari di ru
Aya keluar dari kamar mandi, ia akan bersiap pulang karena Abi sudah tiba di parkiran rumah sakit. Kamar tampak kosong, hanya ada Rangga yang duduk sembari memainkan ponsel. “yang lain ke mana?” tanya Aya yang merapikan barang-barangnya.“Jalan-jalan di taman. Sean butuh udara segar. Kamu…, udah mau pulang?” tanya Rangga yang beranjak. Aya mengangguk.“Aku nggak tahu harus bilang apa, Aya. Kamu udah kasih Sean hal… beda,” ucapnya pelan sembari berdiri berhadapan dengan Aya.“Sama-sama. Aku juga… mau pamit, aku harus persiapin pernikahan dan pergi ke Singapura, karena Abi akan kerja di sana. Jadi… aku, pamit…” ucap Aya dengan senyum yang tampak ragu. Sudut bibirnya berkedut. Rangga diam, sungguh ia lemas saat mendengar kalimat Aya tadi.“Jaga kesehatan kamu, ya, jaga Sean juga.” Aya sudah menenteng tas laptop, tas pakaian, juga tas kerja yang ia cangklongkan ke b
Aya mematut dirinya di depan cermin, pukul delapan pagi keesokan harinya, dirinya tampak cantik dengan balutan kebaya warna putih yang sangat sederhana. Kedua orang tua kandung Aya dan Abi begitu terkejut dengan keputusan mendadak Aya itu, bahkan, kedua orang tua angkat Aya pun sama. Mereka tentu saja tahu, Aya sama sekali tak menutupi apa alasannya. Bahkan, Abi yang cukup terkejut, mau tak mau harus bersiap.“Abi mana?” tanya Aya sambil mencari keberadaan pria itu. Kedua orang tuanya mencari Abi yang pamit ke kamar mandi sejenak. Menit demi menit berlalu, hingga Aya menoleh ke arah kamar mandi dekat dapur rumah kedua orang tua angkat, belum sempat Aya melangkah, semua mendadak panik dan menoleh ke arah Aya.“Abi… Abi…” panggil Aya yang mendadak kalut karena semua orang melihat ke arahnya dengan wajah terkejut.***“Apa-apaan kamu Rangga!” bentak Arinda saat Rangga berdiri sembari menyerahkan surat pernyat