Rahasia. Tidak selamanya akan terus terkunci rapat, akan ada masanya hal itu terkuak muncul kepermukaan tanpa disadari. Hari ke tiga di negara itu, Rangga tak bisa menghubungi Aya, wanita itu mengganti nomor ponselnya.Tangan pria itu membuka tirai kamar hotel, di sesapnya kopi panas yang ia buat sendiri, kenangan akan Aya selalu saja menghampiri setiap hari, bahkan di saat momen-momen yang meminta kata ‘seandainya’ berperan cepat.
Hari itu bertepatan dengan hari jumat, suasana kota tergolong semakin padat. Rangga memutuskan berjalan-jalan seorang diri, setelah merasa lega karena perjanjian dengan koleganya membuahkan hasil yang sesuai kesepakatan. Segera ia berganti pakaian, sejak subuh ia sudah mandi, sudah menjadi rutinitasnya. Sembari memilih pakaian, ia juga melakukan sambungan video call dengan Ghania yang ia titipkan Sean pada adiknya itu.
“Abang, Bunda sakit,” ucap Ghania. Rangga tersenyum masam.
“Suruh ke dokter,” sahu
“Bi… kamu yakin?” tanya Aya yang merasa ragu. Abi mengangguk. Aya lalu berjalan ke mendekat ke Abi, berlutut seraya menatap. “Kamu tahu kan, inti permasalahan aku sama dia apa?” tatap Aya lekat.“Tahu, Aya, makanya, aku mau kamu jalan sama Rangga, kalian harus ngobrol hati ke hati. Aku tahu ini nggak mudah, kalian juga sama-sama gengsi akuin perasaan masing-masing, kan?” godanya. Abi lalu mengusap wajah Aya pelan.“Aku nggak gengsi. Aku cuma jaga perasaan, Bi, aku takut terluka lagi, kamu juga tahu hal ini—““Aya. Dengar, kalau kalian berjodoh, sejauh apa pun menghindar, pasti akan bertemu lagi. Udah, sana jalan, udah cantik gini. Mama Papaku pasti juga seneng lihat kamu dan Rangga bisa bersatu lagi,” ucap Abi mengulum senyum.Aya bingung, ini ide Abi atau Rangga ia tak tahu, yang jelas, setelah makan siang bersama beberajam lalu, Rangga mendadak menghubungi Aya yang sudha pasti, tau
“Aku nggak bilang kita balikan, Rangga,” tegur Aya. Rangga mengangguk. Ia terus menggandeng jemari tangan Aya saat keduanya berjalan kaki menyusuri jalanan sekitar lokasi itu.“Sean tanyain kamu terus, Aya,” ucap Rangga. Aya mendongak, menatap Rangga yang juga menatapnya. “Sean kangen kamu… Papanya juga, sih,” ledek Rangga yang mendapat cubitan di lengannya dari Aya. Rangga tertawa.“Cinta aku nggak? Kamu belum jawab dari tadi,” tanya Rangga lagi.“Nggak,” jawab Aya yang terdengar seperti gumaman.“Nggak denger. Cinta nggak sama aku?” Rangga menghentikan langkah kakinya, keduanya berdiri berhadapan. Aya menatap lekat, kedua bahunya merosot.“Nggak tau, bingung…” jawab Aya dengan wajah menggemaskan, ia memejamkan mata lalu membuat lengkungan bibir ke bawah. Rangga terkikik geli.“Aku mau peluk kamu, ya,” izinnya. Lalu dengan cepat mem
Aya terkejut saat mendengar Sean memanggilnya dengan sebutan ‘Mama’, terasa janggal tapi ada rasa senang juga walau sedikit. “Hai ganteng,” sapa Aya sambil memeluk Sean dan menciumi puncak kepala bocah itu. Jani mendekat namun melirik ke arah Rangga yang senyum-senyum. “Sean udah makan belum?” Aya merapikan tatanan rambut lurus Sean yang tampak panjang. “Kok nggak cukur rambut? Gantengnya kurang dong,” ledek Aya. “Kata Papa nanti aja, mau lihat Sean gondrong,” jawab bocah itu. Aya tersenyum. “Sean anak laki-laki, jangan bergaya seperti perempuan, ya… rambut laki-laki itu pendek lebih bagus dan kelihatan rapi.” Aya mengusap wajah Sean yang mengangguk sambil tersenyum. “Kangen Mama Aya,” lirih Sean sambil memeluk Aya lagi. Kedua mata Aya menatap Rangga dengan tatapan tak percaya. Sedangkan pria itu hanya meringis sambil mengusap pelipisnya. Jani membuatkan Sean minuman es teh manis, bocah itu yang ternyata belum makan. Aya berjalan ke ka
Sean terkejuta, saat ia bangun tidur, ada di kamar lain, bukan kamar yang biasa ia tempati di rumah Rangga. “Papa…” panggilnya yang langsung terduduk di atas ranjang. Ia celingukkan. Kakinya menapak lantai, ia merapikan bantal juga selimut. Berjalan perlahan ke arah pintu, tangannya memutar membuka pintu kamar. Ia melihat Rangga masih tertidur pulas di sofa, lalu tampak Aya dan Jani berada di dapur.Senyum Sean mereka, ia nginap di tempat tinggal Aya. “Ma…” panggilnya pelan. Aya menoleh, lalu berjalan ke arah Sean.“Udah bangun? Sean biasa sarapan apa kalau pagi-pagi?” Aya berjongkok di hadapan bocah itu yang justru memeluk leher Aya. Ia memejamkan mata, merasakan bahagia karena pagi itu terasa beda.“Sean mau ke kamar mandi dulu, Ma,” dengan cepat Sean melepaskan pelukan lalu berlari ke kamar mandi. Jani terkikik. Ia lalu pamit berangkat kerja lebih dulu, ia pegawai baru, dan saat itu hari senin, tak
Mereka bertiga berjalan menuju ke pusara Naya, Aya dan Rangga sama-sama merasa hatinya seperti dipermainkan emosi yang selama ini terbendung. Sean menatap bingung dua orang dewasa itu. Ia digandeng Aya, sementara Rangga membawa plastik berisi bunga mawar merah.Tiba mereka di pusara dengan nisan bertuliskan nama putri mereka. Rangga bersimpuh lebih dulu, ia mengusap batu nisan itu lalu menunduk, berdoa yang pada akhirnya menangis. Di sebelahnya, Aya ikut bersimpuh, ia berdoa lalu menata bunga di atas pusara putrinya.“Ini siapa, Ma, Pa?” tanya Sean menatap bingung. Aya tersenyum, ia bingung harus jawab apa.“Ini Kakaknya Sean, Kak Naya namanya,” jawab Rangga.“Kakak? Sean punya Kakak?” bocah itu masih tak percaya. Aya hanya bisa menatap Sean yang begitu tak percaya.“Ini anak Mama Aya, kalau Sean manggil Mama Aya, Mama, berarti Naya Kakak Sean juga,” sahut Aya. Sean yang masih bingung memilih mengangg
Aya membuka pintu apartemennya setelah memasukkan kode kunci, tampak Jani sedang membaca majalan sambil duduk di meja makan. Di sisi kanannya tersedia mangkok berisi potongan buah.“Jani …” sapa Aya sambil meletakkan tas tangan yang ia bawa. Jani menatap, ia menatap bingung ke kakaknya yang baru pulang dari rumah Rangga.“Kenapa mukanya gitu, Mbak? Ada apa? Ketemu nenek lampir di sana?” godanya di akhiri kekehan sinis. Aya menggelengkan kepala.“Aku bingung.” Aya menandaskan air putih milik Jani. Pikirannya mendadak kacau saat ia di kereta tadi, banyak hal yang ia analisa selama perjalanan tadi. “Rangga bener-bener mau serius jalanin hubungan aku dan dia, Jani, tapi aku merasa takut, menurut kamu gimana?” tatap Aya dengan kening sedikit mengkerut. Jani menutup majalahnya. Lalu bertopang dagu menatap Aya yang duduk di hadapannya.“Hati Mbak Aya gimana? Sudut hati yang paling dalam?” J
(Hai… saya mau selipkan kisah Jani sedikit juga ya, terima kasih sebelumnya)_____Jani mematut dirinya di depan cermin kamar. Ia sedang merapikan penampilannya, sepulang bekerja nanti, ia akan dijemput oleh Haris yang juga sedang berlatih basket bersama teman-teman sekolahnya dulu. Ternyata, Haris merupakan salah satu alumni kampus ternama di kota hujan itu dan tergabung di klub basketnya juga.Tas kerja bertali panjang itu ia cangklongkan di bahu kanannya, tangan kiri Jani membawa map besar berisi design pakaian yang ia buat dan pola yang sudah ia potong-potong. Tangannya memutar knop pintu, lalu melihat Aya juga siap berangkat kerja.“Mbak, udah mulai kerja juga?” Jani meminum teh hangat buatan kakaknya itu.“Iya, cuma kayaknya Mbak harus ada di cabang Jakarta, deh, kamu nggak papa nanti kalau sendirian di sini?” tatap Aya yang sudah membawa beberapa pakaian yang ia rapikan di koper.“Santai, Mbak. Nah
Pagi itu, Rangga sudah bersiap dengan dirinya yang akan membawa Aya bertemu Ibunya, tepat pada acara kumpul keluarga menjelang pernikahan Ghania dan Reno. Rangga sudah menjemput Aya di apartemennya sejak pukul enam pagi. Sean di bawa Ghania menginap dengan adik Rangga itu, sehingga ia bisa lebih memantapkan apa saja yang akan Aya lakukan juga bicarakan saat ada di antara keluarga besarnya, terutama Arinda – bundanya.Rangga duduk sambil menunggu Aya bersiap, sudah tiga kali berganti pakaian dan itu membuat Rangga tertawa geli. “Udah cantik, Sayang, mau pakai apa aja juga cantik,” goda pria itu beranjak sambil mematikan TV dengan remot. Ia mendekat ke Aya yang berdiri di depan pintu kamar, mengenakan dres sebetis warna peach, yang juga menggerai rambutnya. Rangga mengecup kening Aya.“Baju ini aja, kamu cantik dan anggun, Aya,” bisiknya lalu meraih jemari tangan Aya, di gandengnya erat. Rangga berdebar, ia begitu bahagia melihat Aya yang se