'Gila ... Pukulannya benar-benar ...'
'Menyakitkan ...'
Askara terbanting dan berguling di salah satu bebatuan. Saat itu juga dirinya langsung tercebur dalam air sungai. Tubuh kurus laki-laki itu hampir terbawa arus air sungai, untungnya dia berpegangan pada salah satu batu dan berusaha naik ke atasnya.
"Kau bilang akan melawan tanpa menunda-tunda. Kenapa kau diam saja?" seru Dwara yang sudah berdiri lagi di salah satu batu.
"Ck! Aku belum siap tadi," gerutunya sambil merangkak berusaha menaiki batu yang ukurannya cukup besar.
"Coba kau pikir, apa musuhmu nanti akan menunggu dirimu untuk siap-siap dulu?" tanya Dwara yang posisinya sudah jongok lagi tepat di batu yang baru dinaiki Askara.
Bagai melihat hantu, Dwara baru saja berpindah tempat secepat angin. Tidak, angin terlalu lambat, dia berpindah se
Askara berjalan tertatih-tatih, seluruh tubuhnya terasa sakit karena beberapa kali terpental mengenai batu. Bahkan tulang pinggangnya terasa bergeser karena ditindih bobot besar Dwara dan dipaksa merangkak. Tak lama kemudian ia menemukan pohon yang rindang akan daun. Akar-akarnya banyak menjulur keluar tanah sampai bisa difungsikan sebagai dudukan. Askara duduk bersimbah disana, sepoinya angin membuai lelaki itu sampai mengantuk hingga mata terkatup-katup. Karena tak kuasa menahan kantuk karena efek kerasnya latihan pertama, Askara pun bersandar di pohon sembari memejamkan matanya dan tertidur. Lelaki berkulit putih dengan hidung sedikit mancung itu memang terlihat manis dan lucu saat memejamkan mata. Bibir maju yang terukir seperti daun talas memang menjadi ciri khas saat lelaki itu tertidur. Kelopak matanya sedikit runcing dengan lipatan atas mata yang membuatnya terlihat sipit. Aura tatapan netranya pasti sangat indah jika Askara memi
"Seka. Bukankah nama itu ..." Askara menggantungkan ucapannya. Pria yang mengaku bernama Seka itu dengan senang hati menunggu jawabannya. Selain senang karena bisa bertemu Askara, ia akan lebih senang lagi jika anak itu tahu dan mengenalinya. "Nama itu hampir sama dengan nama saudaraku! Shoka! Wah Paman, kau jadi mengingatkanku padanya," kekeh Askara sambil menggaruk kepalanya. Seka terdiam. 'Anak ini minta kupukul ternyata!' batinnya menggerutu. Ia mengira anak itu akan mengenalinya. Padahal saat masa dulu, nama Seka cukup terkenal dan dihormati di permukiman di kaki pegunungan Chakrabuana. Mustahil jika penduduk perkampungan sana tidak pernah mendengar nama itu. Apalagi Askara, sangat kurang ajar jika anak itu sama sekali tidak mengenalinya. Kecuali jika akal pikiran Askara sedikit geser, atau memiliki kendala soal mengingat ingatan lampau.
"Sesuai yang aku katakan tadi, latihan dasarmu dimulai dari berlatih napak banyu." Askara terlihat masih diam duduk di pinggir sungai. Mimpi didatangi seorang pria yang bernama Abiseka masih meninggalkan pertanyaan besar di benaknya. Disebut mimpi pun rasanya aneh, tempat kediaman dan wajah Abiseka sangat tergambar begitu nyata. Namun mengingat perkataan pria tadi memang bisa dijadikan acuan untuk percaya jika dirinya memang sudah membuka gerbang alam bawah sadar. "Aska!" seruan itu berhasil membuyarkan lamunan si pemilik nama. "I-iya, ada apa Sepuh?" "Kau dengar apa yang tadi kukatakan?" tanya Dwara. Berawal hening dan diam lebih dulu, di detik kemudian pemuda itu terkekeh sendiri lalu menggeleng. "Tidak, Sepuh. Maaf," katanya sambil menundukan kepala. Dwara menghela nafas panjang. "Kau ini, belum satu hari kuangkat kau jadi murid. Poin pelanggaranmu sudah lumayan."
Hampir seharian penuh Askara mencoba menapakan kakinya di atas air. Namun entah kenapa saat ia melepaskan energi, reaksi energi air itu tidak kunjung berlawanan sehinga kakinya itu tidak mampu mengambang, selalu saja tenggelam. Byur! Pemuda itu malah tercebur berkali-kali sampai sekujur tubuhnya basah kuyup dan mengigil kedinginan. Tak peduli apapun yang terjadi, Askara tetap menguji coba kakinya supaya bisa menapak di atas air. Meskipun terhitung beberapa kali dirinya berguling dan tersedak air. "Arrgghh! Kenapa susah sekali!" gerutu Askara seraya merangkak ke darat. Pemuda itu pun berakhir berbaring terlentang di pinggir kulah membiarkan paparan sinar matahari mengeringkan pakaiannya. "Padahal tadi pagi aku hampir bisa," gumam lelaki itu seraya membanting tangannya ke pinggir. "Konsentrasi." "Konsentrasi." "Konsentra ... Aarghh! Ternyata penguasaa
Askara membuka mata, gua-gua langit menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Ia berusaha untuk bangun, namun sekujur tubuh terasa sakit dan pegal. Terutama bagian kaki, ukurannya sedikit membesar dan juga membiru. Akhirnya pemuda itu berusaha untuk bangun dan duduk bersandar di bebatuan yang dijadikan ranjang tidurnya. Askara mulai ingat apa yang terjadi saat pelatihan sebelumnya. Ia terjun dari ketinggian sampai berakhir jatuh ke sungai dan mengacaukan area sana, saat itu juga Askara berhasil melakukan ajian napak banyu. Namun tenaganya hampir terkuras karena penggunaan mata biru dan tidak ingat apapun lagi setelah itu. Masih banyak pertanyaan di benak pemuda yang baru berumur enam belas tahun itu, soal bagaimana ia bisa terbang juga efek penggunaan mata biru yang ternyata menguras tenaga. Padahal sebelum itu sang sepuh pernah menjelaskan jika kekuatan mata diaktifkan, maka tenaga yang sempat terkuras akan kembali pulih.
Askara sangat sibuk hari ini. Pemuda itu bekerja keras mengguling-gulingkan bebatuan sungai yang sempat ikut meluap bersama air. Sesekali ia menyeka keringat di kening, saking luar biasa menyengat dan panasnya sang surya siang hari ini. Semua ini dilakukan tiada lain karena memegang tanggung jawab. Area sungai sampai porak poranda akibat pengaruh latihan kerasnya kemarin. Sempat beberapa kali istirahat melepas letih, ukuran batu yang di gulingkan bahkan ada yang sebesar lima kali postur manusia. Tangan pemuda itu juga terlihat meraba-raba pinggangnya yang mulai terasa pegal, bahkan lengan dan otot kaki pun perlahan terasa panas. Menurut penuturan Dwara, mengembalikan posisi bebatuan ke tempat asalnya adalah salah satu pelatihan otot supaya kemampuan tapak jurus semakin terasah. "Apa aku gunakan saja kekuatan mata biru?" Tertepis oleh pesan sang sepuh sebelumnya, kenyataan jika mata biru akan memberikan tambahan tenaga p
"Hiyaaa ... Akhirnya selesai!" sorak Askara berteriak kencang sambil berdiri di atas batu sungai yang paling besar. Suara teriakannya bercampur dengan bunyi aliran sungai yang deras. Setelah dua hari ini ia menggulingkan bebatuan yang sempat beterbangan ke segala arah karena ulahnya. Tak aneh Askara teramat bahagia saat berhasil menyelesaikannya. "Padahal kemarin sungai ini sedikit kering, sekarang pun tidak hujan. Tapi kenapa airnya bisa tiba-tiba deras seperti ini?" Askara langsung berkacak pinggang saat debit air sedikit naik dari sebelumnya. "Apa ada di daerah hulu sana sedang hujan?" tanyanya sambil menengok ke jalur hulu sungai yang membentang ke barat sana. Tak lama Askara menyadari sesuatu, pemuda itu sampai menepuk keningnya sendiri. "O Iya, aliran sungai kemarin kan sempat terbendung batu ini. Tak aneh jika airnya menyusut. Sekarang aku sudah menyingkirkan batunya, pantas kalau airnya jadi deras. Ya ampun, pik
"Akulah Dalu Caka, penunggu curug kapakuda ini!" tegas anak muda itu seraya terlihat memegangi kening. Askara malah diam sambil menilik-nilik wajah lawan bicaranya. Ternyata ada benjolan biru yang membuat anak itu terus menutup keningnya. Bukan masalah besar, hanya saja nada bicara anak itu terlalu meninggikan dirinya sendiri. Tak mengimbangi luka benjol yang merias area wajahnya. Tentu saja hal ini membuat Askara geli hati menahan tawa. "Ppftt! Penunggu curug dengan benjolan imut? Uuuh sungguh aku takut ..." ejek Askara lantas terbahak-bahak setelahnya. Wajah anak kecil yang bernama Dalu itu pun seketika merah padam. Ia berkacak pinggang sambil mengoceh pelan sampai tak terdengar. Dengan pipi mengembung disertai kedua alis mata menjorok mendesak hidung mungilnya. Jengkel dengan Askara yang dengan renyah menertawainya. "Hei, jangan tertawa! Kau tidak tahu sekarang kau sedang berhadapan dengan siapa, hah?!" erang Dalu seraya menunjuk-nunjuk Askara.