Share

Cinderella Tanpa Sepatu Kaca
Cinderella Tanpa Sepatu Kaca
Author: Wahyuni Soewardji

Perjodohan

last update Last Updated: 2024-04-05 08:00:36

"Krisnayana Danendra!" Seruan ibunya yang tiba-tiba muncul begitu Krisna keluar dari kamar mandi membuat pria itu terlonjak kaget. Beruntung ia memakai kimono mandi, bukannya hanya sepotong handuk yang akan jadi cerita berbeda jika sampai terlepas.

"Astaga, Bu Ratih." Krisna mengelus dadanya dengan gaya berlebihan. Ekspresi terkejut wajahnya pun tidak asli, sengaja ia buat-buat sebab bukan hal aneh jika mamanya tersebut bisa muncul di kediaman sang putra bungsu. Ratih, anehnya, selalu tahu password apartemen Krisna. Jika bukan cenayang, ia curiga mamanya itu memasang kamera pengintai di mana-mana. "Datang ke sini padahal nggak dijemput. Pulangnya saya juga nggak nganter, ya?"

Ratih Kumala hanya bisa mendengkus mendengar putranya menyamakan sang ibu dengan jailangkung. Wanita itu juga sudah terbiasa dengan panggilan yang sering menjadi 'ibu Ratih' bukannya 'mama.' Entah keganjilan apalagi yang harus dihadapinya dari Krisna. Namun, semua itu tidak terlalu penting dibandingkan satu hal yang selama ini terus mengusik perasaannya sebagai seorang ibu.

"Mama cuma mau mastiin kamu bersedia bertemu Cintya nanti malam."

Krisna tak segera menyahut. Dengan santai pria berkulit putih gading itu berjalan menuju kamarnya. Sementara itu, Ratih beralih ke meja makan. Sembari menunggu putranya berganti pakaian, ia mengernyit mendapati menu sarapan Krisna. Satu piring berisi setengah sandwich isi sayur-sayuran dan segelas minuman berwarna hijau yang sama sekali tidak menggugah selera. Apa makanan tersebut benar-benar bisa mengenyangkan? Ratih jadi berpikir, jangan-jangan tingkah absurd Krisna selama ini gara-gara kurang makan.

Tak lama kemudian, Krisna akhirnya keluar dari kamar. Penampilannya sudah rapi dengan setelan jas berwarna navy dan sepatu oxford coklat berbahan kulit. Melihatnya, Ratih jadi bertanya-tanya bagaimana bisa putranya yang memiliki ketampanan paripurna itu belum juga mendapatkan pasangan?

"Mama sudah pesankan tempat untuk kalian makan malam di Sunset Dream," ujar Ratih yang masih setia duduk di salah satu kursi meja makan.

Krisna menarik kursi di hadapan sang mama, tersenyum manis sebelum akhirnya duduk dan memberi jawaban. Lebih agar Ratih mau melunak padanya. "Memangnya udah nggak ada cewek lagi, Ma, selain Cintya?"

"Ada. Banyak malah. Tapi, kalau-kalau kamu insomnia-"

"Amnesia. Kalau maksud mama aku hilang ingatan," ralat Krisna cepat sembari menahan tawa.

"Terserah. Apa pun namanya." Ratih memilih bermuka tebal dan tetap melanjutkan ucapan sebelumnya. "Kalau-kalau kamu nggak ingat, mereka semua kamu tolak. Padahal Mama udah ngenalin yang cantik, pintar dan dari keluarga baik-baik."

Krisna baru saja menggigit sandwich-nya dan mengunyah makanan tersebut dengan santai, membuat Ratih harus menunggu untuk mendengar pembelaan dari sang putra bungsu.

"Mereka bukan tipeku," ucap Krisna setelah menelan kunyahan terakhirnya. "Aku udah bilang itu berkali-kali, kan?"

"Alasan aja. Tipe kamu palingan yang penting cantik. Terus kenapa Lauren dulu kamu nggak mau? Cantiknya udah kaya aktris Korea yang janda tapi masih kinyis-kinyis itu. Aduh, mama lupa namanya. Pokoknya namanya lagu-lagu gitu."

Krisna menahan diri untuk tak tertawa terbahak-bahak mendengar mamanya yang berusaha keras untuk update dunia keartisan Korea. "Song Hye Kyo?"

"Iya kali. Pokoknya kenapa kamu nolak Lauren?"

"Dia suka ngupil, Ma. Kan, aku jadi ilfeel."

"Aduh, ngupil itu kan kebutuhan dasar manusia. Kaya kamu nggak pernah aja."

Krisna yang hendak meminun smoothie miliknya jadi kehilangan selera karena mamanya mengatakan hal itu. Namun, ia tak protes karena dirinya sendiri yang tadi memulai.

"Ya udah. Kalau gitu kenapa Miana kamu tolak? Dia ngupil juga?" Ratih sebenarnya jengah sendiri membahas perupilan yang membuat mereka seperti orang kurang kerjaan. Akan tetapi, ia harus mengikuti cara Krisna jika ingin menang melawan putranya itu.

"Dia cewek tapi kumisan. Kan, nggak lucu, Ma, kalau nanti pas jalan bareng dikira aku ngegandeng Iis Dahlia."

Alasan Krisna jelas makin absurd. Ratih tak ingin memperpanjang daftar alasan gila dan tak masuk akal yang akan Krisna lontarkan, karenanya ia berhenti menyebut nama gadis-gadis yang sudah Krisna tolak. Ia harus putar otak untuk membuat anak bungsunya itu tak berkutik dengan alasan apa pun.

"Nah, kalau gitu kamu coba ketemu dulu sama Cintya ini, ya. Cantik, jelas. Suka ngupil? Mama bisa pastiin dia nggak ngelakuinnya di depan kamu. Dan, kamu bisa lihat sendiri nanti kalau dia nggak kumisan." Ratih menjelaskan dengan mengadaptasi karangan Krisna. "Lagipula kapan Mama bisa punya menantu kalau kamu begini terus?"

Krisna yang sudah kehilangan selera makan untuk menikmati sarapannya hanya duduk diam seraya menatap Ratih. Semua yang diucapkannya tadi memang hanya alasan konyol yang sengaja ia karang. Sebab Krisna sudah lelah menjalani pra perjodohan tersebut, yang pada akhirnya tidak pernah berhasil. Namun, kali ini ada alasan lain yang bukan tipu-tipu. Krisna tidak suka dengan Cintya dalam artian sebenarnya.

"Ma," panggil Krisna akhirnya. Karena memakai panggilan mode normal, Ratih menanggapi dengan wajah senang. Wanita itu berharap hal tersebut adalah pertanda baik. "Pergi ke rumah besan bawa kapur barus, apa Mama nggak bosan bahas calon mantu terus?"

Ingin sekali Ratih menjitak kepala putra satu-satunya tersebut, tapi masih sayang jika harus merusak tatanan rambut Krisna yang hari ini tanpak keren. Alhasil, wanita itu hanya bisa menghela napas panjang, berusaha memaklumi sikap putranya yang mendadak suka berpantun seperti Jarjit Singh, salah satu tokoh di kartun favorit Amira, cucunya.

"Tapi kamu ini sudah 35 tahun, Krisna."

"Masih 15 tahun lagi, kok, menuju 50," balas Krisna santai, tapi seketika membuat kedua mata Ratih memelotot karena terkejut.

"Kamu mau melajang sampai setengah abad?"

"I--"

"Krisna, kamu benar-benar ingin melihat Mama dan Papa mati tanpa melihat cucu dari kamu. Kamu keterlaluan sekali."

Krisna mengembuskan napas panjang menghadapi tingkah mamanya yang jadi seabsurd dirinya. Siapa juga yang mau melajang hingga usia kepala lima? Dia tidak gila. Tapi soal cucu, Ratih tidak seharusnya membebankan masalah tersebut saat mereka sudah memiliki Amira, anak Saras yang tak lain adalah kakak Krisna.

"Maksud aku itu nggak mungkin. Mama udah main potong omongan orang aja," protes Krisna. Ritual sarapan sebelum berangkat kerja jadi terasa sangat lama gara-gara kemunculan mamanya. Bukan kehadirannya yang jadi masalah, tapi bahasan mengenai pasangan hidup untuk Krisna itu yang membuat jengah. "Udah, deh, Ma. Mama juga harus segera ke kantor, kan, sekarang. Atau mau bareng aku?"

Ratih tahu Krisna hanya berupaya mengalihkan pembicaraan. Hal itu berarti putranya tersebut sudah kehabisan amunisi untuk membalas serangannya. Namun, ia tetap harus menggunakan senjata terakhir agar Krisna benar-benar menuruti keinginannya.

"Pokoknya Mama mau dengar hasil makan malam kalian nanti. Kalau kamu nggak datang, kamu bisa lupakan proposal yang sudah kamu ajukan untuk koleksi terbaru Dahayu Fashion."

Sebuah ancaman memang selalu berdampak besar. Wajah Krisna yang tadi tak terlalu peduli kini terlihat panik. Jika bos besar alias Ratih Kumala mengatakan begitu, maka artinya adalah Krisna harus menurut atau semua rencana kerjanya berakhir berantakan.

"Bu Ratih curang," protes Krisna. "Masalah kantor dan pribadi seharusnya nggak dicampuradukkan."

Ratih tersenyum penuh kemenangan. Senjata terampuhnya untuk menangani Krisna memang tak pernah mengecewakan. Meskipun belum mengucapkan kata setuju, Ratih tahu jika Krisna akan menemui Cintya seperti yang ia harapkan.

"Kalau begitu kamu juga harus belajar mengarang alasan yang lebih elit. Dan, Mama bersama supir, tidak perlu mengantar Mama."

Krisna tak menyahut dan membiarkan mamanya beranjak pergi. Meninggalkannya dengan perasaan kesal karena kembali terpaksa menyetujui keinginan sang mama.

"Oh, tunggu dulu." Ratih sudah hendak keluar dari ruangan tersebut, tapi tiba-tiba berbalik. Ia berjalan menghampiri Krisna, mengeluarkan sesuatu dari tasnya lalu meletakkan benda yang ternyata selembar foto itu di atas meja di hadapan Krisna. "Sekadar memastikan kamu kalau ucapan Mama benar soal Cintya. Dia tidak berkumis."

Seharusnya kalimat terakhir itu menjadi pemancing tawa, mengingat di awal hal tersebut terdengar lucu. Namun, hingga Ratih benar-benar sudah pergi dari apartemennya, Krisna hanya memandangi foto gadis bernama Cintya itu dengan tatapan tidak suka. Laku, dalam hatinya terucap sebuah kalimat.

"Ternyata benar dia. Si Medusa."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Mencari Kisah Yang Berbeda

    “Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Biji Nangka Beneran Jatuh Cinta

    “Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kunjungan Calon Ipar

    Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Perasaan Itu Ada

    "Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Curi Kesempatan

    Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Cemburu

    “Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status