“Namaku Leondaru Dewantara. Pergilah, Amara Sarasvati,” ujar menyebut namanya dengan begitu fasih seakan sudah lama mengenalnya. “Dunia ini bukan tempatmu.”
Tatapan biru itu membuatnya terdiam. Ada perintah tak tertulis di dalamnya, kuat namun lembut. Sebelum Amara sempat bertanya lagi, kabut tebal turun mendadak. Dalam sekejap, pemuda itu lenyap hanya aroma gaharu yang tertinggal di udara. Dengan langkah gemetar, Amara menuruni jalan setapak hingga tiba di tepi desa. Dari kejauhan, teriakan lega terdengar. Keluarga dan penduduk desa berlari menyambutnya, memeluknya dengan air mata kebahagiaan. Namun di balik semua itu, hanya satu hal yang terus terpatri di hati Amara, tatapan mata biru itu, dan wangi gaharu yang tak akan pernah ia lupakan. Tangis dan tawa bercampur jadi satu ketika Amara akhirnya dipeluk erat oleh ibunya. Tubuhnya yang kurus dan wajah pucatnya membuat semua orang terenyuh. Ayahnya menggenggam bahunya erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi. “Puji syukur, anakku… kau kembali…” suara ibunya bergetar, hampir tak percaya. Di sekeliling mereka, penduduk desa bersorak lega. Beberapa orang bahkan menitikkan air mata, sementara yang lain berbisik-bisik dengan nada penuh tanda tanya. “Berhari-hari di hutan, tapi ia kembali tanpa luka parah…” “Benarkah ia tersesat… ataukah ada yang menolongnya?” “Leluhur penjaga, mungkin?” Bisikan-bisikan itu sampai ke telinga Amara, membuatnya menunduk. Ia ingin menceritakan semuanya, tentang pemuda bermata biru, tentang wangi gaharu yang masih terasa di ingatannya. Tapi sesuatu menahannya. Ada bisikan halus di dalam hatinya yang berkata, jangan. Malam itu, di rumahnya, Amara diberi makanan hangat dan ditemani keluarga yang tak henti-hentinya bersyukur. Namun di balik senyum dan kehangatan itu, pikirannya melayang jauh. Leondaru Dewantara. Nama itu berulang kali terngiang dalam kepalanya, seolah terukir di dinding hatinya. Ia ingat sorot matanya, dingin sekaligus lembut. Ia ingat sentuhan tangannya yang kokoh. Dan terutama, ia ingat aroma gaharu itu aroma yang berbeda dari segala hal yang pernah ia cium di dunia ini. Amara berbaring di ranjangnya malam itu, matanya menatap langit-langit rumah bambu. Hatinya dipenuhi pertanyaan. Siapa dia sebenarnya? Mengapa ia mengenal namaku? Sementara di luar, bulan separuh menggantung di langit. Hutan yang membentang di kejauhan tampak tenang, namun sesungguhnya tidak pernah benar-benar tidur. Di balik kabutnya, di bawah cahaya redup bulan, sepasang mata biru kembali terbuka, mengawasi dari jauh. Leondaru berdiri di atas sebuah batu besar, tubuhnya menyatu dengan bayangan pepohonan. Ia menatap desa dengan sorot yang sulit diterka antara lega, cemas, dan sesuatu yang lebih dalam. “Aku sudah melanggar batas…” gumamnya lirih, suara yang hanya didengar oleh hutan itu sendiri. “Tapi… mengapa aku tidak bisa membiarkannya mati di sana?” Angin malam berembus, membawa lagi aroma gaharu yang samar, seakan menjadi jejak yang tak kasat mata. Jejak yang suatu saat, tanpa disadari, akan membawa Amara kembali padanya. Pagi hari terasa seperti biasa. Anak-anak desa bergegas menuju sekolah sederhana dengan seragam putih-biru yang mulai memudar. Amara ikut berjalan bersama teman-temannya, meski langkahnya masih terasa berat. Tubuhnya memang sudah pulih, tapi pikirannya seolah masih tertinggal di hutan itu. Sejak kejadian tiga hari menghilang, Amara merasakan sesuatu yang berbeda. Dunia di sekitarnya tidak lagi sama. Ia melihat bayangan-bayangan samar di sudut matanya, merasakan desir dingin saat melewati pohon besar, atau mendengar bisikan lirih yang orang lain tampaknya tak peduli. Di kelas, ia berusaha fokus mendengarkan guru yang sedang menjelaskan pelajaran. Namun matanya terpaku pada jendela. Di luar, di bawah rindang pohon beringin, ia melihat sosok samar seorang perempuan berambut panjang berdiri menatapnya. Bajunya lusuh, wajahnya kabur, namun matanya hitam kelam menusuk jiwa. Amara terperanjat, menjatuhkan pensilnya. Teman sebangkunya menoleh. “Kenapa, Mara?” “Ah… tidak, tidak apa-apa…” jawabnya tergagap, buru-buru mengalihkan pandangannya. Namun saat ia kembali melirik, sosok itu sudah lenyap. Hanya dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin. Hari-hari berikutnya, kejadian serupa berulang. Kadang ia mendengar suara langkah kaki mengikuti di lorong sekolah, padahal saat menoleh tak ada siapa-siapa. Kadang ia mencium aroma busuk tanah basah bercampur darah, hanya untuk mendapati dirinya sendirian. Amara mencoba mengabaikannya, tapi semakin hari, semakin jelas ia sadari, sejak keluar dari hutan itu, ia bisa melihat sesuatu yang tak seharusnya ia lihat. Malamnya, ia memberanikan diri bertanya pada ibunya. “Bu… kalau orang hilang di hutan lalu kembali, bisa jadi… berbeda, ya?” Ibunya menatapnya lama, wajahnya mengeras. “Jangan bicara sembarangan, Amara. Kau sudah kembali, itu yang terpenting. Lupakan saja.” Tapi Amara tahu ia tidak bisa melupakan. Karena bayangan-bayangan itu terus mengikuti, bahkan dalam tidurnya. Dan di balik semua kegelisahannya, hanya satu hal yang anehnya membuatnya merasa aman, mengingat kembali tatapan mata biru itu… dan aroma gaharu yang hangat, yang berbeda dari semua aroma dunia ini. Hari itu, pelajaran berakhir lebih lambat dari biasanya. Matahari sudah merayap turun ketika Amara membereskan bukunya. Teman-temannya sudah pulang duluan, dan ia harus berjalan sendiri melewati jalan setapak yang membelah kebun bambu sebelum sampai ke desa. Langit senja mulai meremang. Burung-burung terbang rendah, dan suara jangkrik mulai terdengar. Amara mempercepat langkahnya. Ada perasaan aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dari balik rumpun bambu, terdengar suara gemerisik. Ia menoleh cepat tidak ada apa-apa. Tapi ketika ia melangkah lagi, ia merasa ada bayangan yang bergerak di belakangnya. “Siapa di sana?” suaranya gemetar. Tak ada jawaban. Hanya desis angin. Namun detik berikutnya, ia mendengar tawa lirih, serak dan pecah, seperti keluar dari tenggorokan makhluk yang tidak punya bentuk. Dari sudut matanya, ia melihat sosok-sosok hitam berwujud kabur, dengan wajah terdistorsi, mata kosong, dan mulut menganga lebar. Satu… dua… lima… semakin banyak, muncul dari sela pepohonan. Mereka berjalan dengan gerakan patah-patah, mendekatinya perlahan. Amara panik. Nafasnya tercekat, kakinya bergetar. Ia mencoba berlari, tapi jalan setapak terasa semakin panjang, seakan tidak pernah berakhir. Suara langkah-langkah itu semakin dekat, tawa menyeramkan bergema di telinganya. “Aa… jangan… jangan mendekat…!” teriak Amara dengan suara pecah. Sosok-sosok itu kini hampir mengelilinginya. Wajah mereka semakin jelas mata merah menyala, lidah panjang menjulur, dan tangan kurus kering meraih ke arahnya. Amara jatuh berlutut, menutup telinganya sambil menangis. Tolong… siapa pun… tolong aku… Dan tiba-tiba....Pagi itu, Amara terbangun di ranjang kamarnya sendiri. Tirai putih bergoyang pelan diterpa angin pagi, aroma gaharu samar masih menempel di kulitnya. Ia menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Leon semalam hangat, dalam, dan begitu nyata.Amara menoleh, berharap Leon masih ada. Namun kamar itu sepi. Hanya kalung kecil di lehernya yang berdenyut samar, seperti tanda bahwa Leon meninggalkan sebagian dirinya di sana.Amara tersenyum tipis, lalu berbisik lirih.“Leon… aku tahu kau mendengar. Jangan buat aku terlalu merindukanmu.”Keesokan harinya di kantor, suasana terasa berbeda. Amara duduk di mejanya, mencoba fokus pada tumpukan dokumen. Namun, ia menyadari Gio beberapa kali mendekat dengan alasan sepele.“Amara,” panggil Gio sambil meletakkan secangkir kopi di mejanya. “Aku lihat kau sering lembur… kupikir kau butuh ini.”Amara mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Oh… terima kasih, Gio. Tapi tidak perlu repot-repot.”Gio tersenyum, kali ini lebih lembut daripada biasanya. “Bukan repot. A
Malam itu, Amara baru saja pulang. Hujan tipis masih mengguyur, sisa-sisa petir jauh terdengar. Ia menaruh tas di meja, melepas sepatu, lalu menghela napas panjang. Hari ini terasa berat, dan sebagian karena tatapan Gio yang makin sulit diabaikan. Ia berjalan ke kamar, mengganti baju, lalu duduk di ranjang sambil menatap kalung kecil pemberian Leon. Tangannya menggenggam erat. “Leon… di mana kau sekarang?” bisiknya. Tak lama, wangi gaharu muncul, pekat, menusuk hidung. Dari sudut kamar, cahaya samar menampakkan sosok Leon. Kali ini ia tidak basah atau terluka, tapi aura di sekitarnya dingin, kuat, seolah ada badai yang ditahan di dalam tubuhnya. “Leon…” Amara tersenyum lega, namun tatapannya berubah ragu saat melihat sorot mata pria itu. “Ada apa?” Leon menatapnya lama, lalu berjalan mendekat. “Aku melihatnya.” Amara mengerutkan kening. “Melihat apa?” “Pria itu.” Suara Leon dalam, nyaris seperti geraman. “Dia menatapmu seperti aku menatapmu, Mara. Dan kau membiarkannya.” Amara
Tiba-tiba wangi gaharu menyeruak, pekat, lebih kuat dari biasanya. Amara tersentak. Ia bangkit, menoleh ke arah jendela. Dan di sana dalam cahaya kilat tampak sosok Leon berdiri, tubuhnya basah kuyup, rambutnya acak-acakan, dan darah menodai pakaian putihnya. “Leon!” Amara berlari menghampiri, menahan tubuhnya yang hampir roboh. “Astaga… kau terluka parah!” Leon tersenyum samar, meski bibirnya pecah. “Aku harus memastikan… kau baik-baik saja.” Suaranya serak, melemah, tapi sorot matanya tetap tajam, menatapnya penuh keyakinan. Air mata Amara langsung pecah. Ia memeluk Leon erat, tak peduli bajunya ikut ternoda darah. “Aku merasakan semua lukamu… seolah aku juga yang diserang… kenapa kau harus datang dalam kondisi begini…?” Leon mengangkat tangannya dengan susah payah, mengusap rambut Amara. “Karena aku tak tahan… jika kau merasa sakit tanpa tahu alasannya.” Amara menggigit bibir, dadanya sesak. Ia menuntun Leon ke ranjang, mendudukkannya perlahan. Tangannya gemetar saat membersi
“Dan aku berjanji… aku akan selalu memilihmu, Leon. Apa pun yang terjadi.” Air mata menitik di mata Amara, tetapi bibirnya tersenyum. Saat itu juga, angin berhembus lebih kencang, membawa aroma gaharu yang lebih pekat. Pohon-pohon bercahaya di taman ikut bergemerlap, seolah menjadi saksi atas sumpah mereka. Leon menarik Amara ke dalam pelukan, mencium keningnya penuh khidmat. “Sekarang… kau bukan hanya milikku. Kau adalah bagian dari diriku.” Amara menutup mata, tenggelam dalam hangatnya dekapan. Hatinya tahu, ia baru saja mengikat dirinya pada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh dunia manusia. Malam itu, di antara cinta, tubuh, dan darah, mereka tidak hanya saling memiliki… tapi juga saling mengikat selamanya. Setelah darah mereka menyatu, Amara merasakan sesuatu yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Hangat. Dalam. Seolah ada denyut baru di dalam dadanya bukan jantungnya, melainkan denyut asing yang ritmenya serupa dengan milik Leon. Ia terkejut, napasnya tercekat.
Sejak malam itu, Leon menjadi lebih berhati-hati. Ia masih sering menjemput Amara ke dunianya, tapi setiap kali ia menggenggam tangan gadis itu dan membuka gerbang cahaya, sorot matanya selalu diliputi kewaspadaan. “Aku akan pastikan kali ini tidak lama, Mara,” ucapnya suatu malam, sebelum mereka melangkah masuk ke pusaran cahaya. Amara hanya tersenyum lembut. “Aku percaya padamu.” Dan seketika, langit ungu bertebar bintang hidup kembali menyambut mereka. Kini, setiap kali mereka berada di alam Leon, waktu seperti menjadi milik mereka berdua. Amara sudah tidak lagi terperangah seperti pertama kali ia mulai terbiasa melihat burung kristal yang meninggalkan jejak cahaya, pohon-pohon bercahaya yang kelopaknya bisa bernyanyi, dan lantai kaca istana yang memperlihatkan galaksi berputar di bawah kakinya. Namun yang membuatnya tak pernah berhenti kagum adalah cara Leon selalu memperhatikannya. Setiap kali Amara melangkah terlalu dekat ke tepi balkon istana, Leon meraih tangannya. Seti
“Aku bodoh,” gumam Leon lirih, jemarinya menggenggam rambutnya sendiri. “Seharusnya aku tidak membawanya terlalu lama…” Leon berdiri di balkon istananya, menatap Amara yang tertidur damai di ruang utama. Wajahnya lembut, seolah hanya sedang beristirahat sebentar, padahal sudah berjam-jam ia tidak bangun. Ia tahu, semakin lama Amara berada di alamnya, semakin besar risiko raganya di dunia manusia akan melemah. Tanpa ragu, Leon meraih tubuh Amara, mengangkatnya dalam pelukan, lalu membuka gerbang cahaya. Wangi gaharu mengepul, dan dalam sekejap mereka lenyap dari istana, kembali ke dunia manusia. Di rumah Amara, suasana sudah seperti berkabung. Tujuh hari penuh Amara terbaring di ranjang tanpa membuka mata. Ibunya setiap hari menangis di sisi ranjang, ayahnya mondar-mandir dengan wajah kusut, sementara para tetangga berbisik-bisik, mengira Amara terkena gangguan gaib. “Dokter bilang tidak ada penyakit apapun,” keluh ayahnya pada seorang tetangga. “Semua normal. Jantungnya, na