Masuk“Cukup.”
Angin berembus kencang. Begitu kencang hingga dedaunan bambu bergetar keras, seperti badai kecil yang hanya berpusat di sekitar Amara. Aroma gaharu hangat menyeruak di udara, menusuk tajam di antara bau busuk makhluk-makhluk itu. Suaranya dalam, berat, dan berwibawa. Suara yang membuat tanah bergetar halus. Amara mendongak, air mata masih membasahi pipinya. Di hadapannya berdiri sosok yang tidak asing. Rambut coklatnya tergerai tertiup angin, matanya biru berkilau dalam kegelapan, dan pakaiannya hitam berornamen emas seakan menyerap cahaya senja. Leondaru Dewantara. Makhluk-makhluk itu meraung keras, mundur ketakutan. Sebagian menghilang seketika, terbakar oleh cahaya biru samar yang memancar dari tubuh Leondaru. “Beraninya kalian menyentuh yang bukan hak kalian.” Suaranya bagai guruh, tajam dan tegas. Ia mengangkat tangannya perlahan, dan cahaya biru semakin terang, menyapu sisa sosok-sosok menyeramkan itu hingga lenyap seperti asap tertiup angin. Keheningan kembali turun. Hanya suara jantung Amara yang berdetak keras di telinganya. Leondaru menurunkan tangannya, lalu menoleh padanya. Sorot matanya yang tajam kini melunak, tapi masih menyimpan wibawa yang sulit dijelaskan. “Aku sudah memperingatkanmu, gadis manis". ucapnya datar. “Hutan… jalan… malam… semua tempat itu bukan untukmu. Kau hanya akan menjadi umpan.” Amara terisak, suaranya bergetar. “Ke-ke-kenapa mereka mengejarku? Apa yang terjadi padaku?!” Leondaru menatapnya lama, seolah menimbang apakah ia pantas mengetahui jawabannya. Lalu ia mendekat, berjongkok hingga sejajar dengan Amara. Wangi gaharu semakin kuat, menenangkan di tengah rasa takutnya. “Karena kau sudah melihatku,” katanya lirih, nyaris seperti rahasia. “Dan sekali kau melihatku… dunia mereka pun melihatmu.” Amara masih berlutut di tanah, tubuhnya gemetar hebat. Air mata belum berhenti mengalir di pipinya. Leondaru berdiri tegak di hadapannya, bagaikan tembok yang memisahkan dirinya dari kegelapan malam. “Ayo.” Suaranya dalam, tenang, tapi terdengar seperti perintah. Amara mendongak dengan mata masih berkaca-kaca. “Ke… ke mana?” “Pulang.” Leondaru mengulurkan tangannya. Ragu-ragu, Amara menggenggamnya. Sentuhannya dingin, tapi sekaligus memberi rasa aman yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Seolah dengan hanya satu genggaman, semua kengerian yang mengintainya bisa sirna. Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan setapak. Langit sudah benar-benar gelap, hanya rembulan pucat yang menembus sela-sela dedaunan. Namun setiap kali langkah Leondaru maju, jalan seakan terbuka. Angin dingin berubah hangat, kabut menyingkir, dan bayangan-bayangan gelap yang tadi mengikuti lenyap begitu saja. Amara meliriknya diam-diam. Sosok itu begitu tenang, nyaris seperti tidak menginjak tanah, matanya menatap lurus ke depan. Dan lagi-lagi, wangi gaharu samar tercium, membuat dadanya berdebar tanpa ia mengerti alasannya. “Kenapa… kau menolongku lagi?” suara Amara pecah, lirih nyaris tak terdengar. Leondaru tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, tatapan matanya biru berkilau di bawah cahaya bulan. “Karena kau tidak bisa melindungi dirimu sendiri,” ujarnya datar. “Dan… karena kau sudah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.” Amara mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?” Namun Leondaru hanya diam, seakan tidak ingin menjelaskan lebih jauh. Tak lama kemudian, cahaya lampu minyak dari rumah-rumah desa mulai tampak. Amara menghela napas lega. Ia melihat halaman rumahnya, dengan ibunya yang masih duduk di beranda menunggu dengan wajah gelisah. Leondaru berhenti beberapa langkah sebelum pagar bambu rumah Amara. Ia melepaskan genggamannya, lalu menatapnya sekali lagi. “Sudah cukup jauh. Pergilah.” Amara menatapnya tak rela, hatinya penuh tanya. “Apakah… aku akan melihatmu lagi?” Sekilas, sebuah senyum samar muncul di sudut bibir Leondaru, senyum yang sulit ditebak apakah dingin atau hangat. “Jika kau kembali mencium wangi gaharu… maka aku ada di dekatmu.” Sebelum Amara sempat berkata apa pun, kabut tipis turun, dan sosok itu menghilang begitu saja, menyatu dengan kegelapan malam. Amara berdiri terpaku, dadanya berdebar, hingga suara ibunya yang memanggil membuatnya tersadar. Ia berlari ke dalam pelukan ibunya, mencoba menyembunyikan tangis dan cerita yang tidak bisa ia bagikan pada siapa pun, hatinya berdebar kencang. Sejak hari itu, hidup Amara Sarasvati tidak lagi sama. Setiap langkahnya selalu ditemani hal-hal yang tak dapat dijelaskan, bayangan hitam yang mengintai dari sudut jalan, suara bisikan yang muncul dari balik jendela, hingga sosok-sosok menyeramkan yang menunggu di lorong gelap ketika ia pulang terlambat dari sekolah. Setiap kali aroma itu hadir, sosok-sosok menakutkan itu lenyap begitu saja. Dan bersama aroma itu, muncul pemuda bermata biru, Leondaru Dewantara. Leon tidak hanya muncul sekali dua kali. Ia selalu ada ketika Amara berada di ambang bahaya. Kadang ia berdiri di kejauhan, cukup dengan sorot mata dinginnya untuk mengusir makhluk halus yang mengelilingi Amara. Kadang ia muncul begitu dekat, menarik tangan Amara agar berlari menjauh dari sesuatu yang berusaha menjamahnya. Hubungan mereka semakin aneh, namun juga semakin akrab. Di rumah, Amara sering kali mendapati Leon duduk di kursi dekat jendela kamarnya saat malam larut, seolah ia bagian dari rumah itu. Mereka berbicara lama, tentang sekolah, tentang buku-buku yang disukai Amara, bahkan tentang mimpi-mimpi kecil yang ia rahasiakan dari orang lain. Leon tidak pernah bicara banyak tentang dirinya, tapi ia selalu mendengarkan. Terkadang, ketika Amara terlalu lelah, ia tertidur tanpa sadar di tengah percakapan. Dan saat terbangun, Leon sudah menghilang, hanya aroma gaharu yang tertinggal di bantal dan selimutnya. Ia tidak sendirian. Dan ia tidak pernah benar-benar merasa kehilangan jalan pulang, selama ada Leon yang selalu menuntunnya. Tahun demi tahun, hubungan mereka tumbuh dalam keheningan. Dari seorang gadis belia yang dulu ketakutan di hutan, Amara tumbuh menjadi remaja yang berani, lalu beranjak menjadi perempuan dewasa yang mandiri. Kini, seragam putih abu-abu sudah lama tergantung di lemari, berganti dengan kemeja sederhana dan rok kerja yang rapi. Amara baru saja lulus sekolah menengah atas, dan dengan tekad baru ia melangkah menuju dunia kerja. Namun satu hal tetap sama, wangi gaharu yang selalu hadir di setiap kesunyian. Dan sosok Leon, yang tidak pernah benar-benar pergi.Fajar merambat pelan di ufuk timur, menyingkap lembayung pucat yang menari di langit pesantren. Cahaya keemasan menembus kisi-kisi jendela, menimpa wajah Amara yang masih terbaring lemah. Udara pagi berembun, seolah bumi ikut bernafas lega setelah malam panjang yang tak biasa. Suara burung-burung berkicau lembut di luar kamar kecil itu, menandai awal hari baru. Namun di dalam, suasananya jauh dari biasa tenang, tapi sarat dengan energi yang tak kasatmata. Amara menggeliat pelan. Napasnya berat, tapi hatinya terasa ringan. Ia seperti baru saja menempuh perjalanan jauh melewati cahaya dan bayangan, namun entah bagaimana, tubuhnya kini kembali di pondok. Perlahan, matanya terbuka. Dan yang pertama ia lihat adalah sosok Ibu Nyai istri kiai Hasan, duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangannya erat. Wajah lembut itu tampak kelelahan, tapi senyum syukurnya tetap hangat. “Alhamdulillah, Amara… kau sadar juga, Nak.” Amara menatap sekeliling kamar sederhana pondok, aroma kayu da
Langit dunia siluman malam itu tak lagi berwarna biru atau hitam. Ia berubah menjadi kanvas hidup dari cahaya semburat ungu, biru muda, dan emas berputar membentuk pusaran aurora yang menari di atas Istana Macan Putih. Dari puncak gunung hingga lembah terdalam, ribuan cahaya roh berterbangan membawa bunga-bunga bercahaya yang mekar di udara, lalu luruh menjadi hujan cahaya lembut yang jatuh seperti serpihan bintang.Pesta kerajaan dimulai.Di pelataran luas istana, yang lantainya terbuat dari batu giok berkilau, ribuan siluman dari berbagai suku dan ras berdiri berjajar dengan penuh hormat. Ada siluman burung berwujud manusia, siluman naga air dari danau barat, siluman rusa bermahkota kristal, hingga para roh hutan yang menyerupai cahaya. Mereka semua berkumpul, memadati halaman istana menyambut Raja Leondaru dan Ratu Amara Sarasvati, penghubung dua dunia.Dari kejauhan, lonceng kristal suci berdentang, menandakan raja dan ratu telah tiba.Dua gerbang raksasa terbuka
Fajar menyingsing lembut di atas langit pondok pesantren. Kabut tipis menari di antara pepohonan, sementara burung-burung melantunkan dzikir pagi mereka. Di halaman depan, beberapa santri sibuk membersihkan area pendopo, menggantung janur kuning dan kain putih yang melambai tertiup angin. Semua terasa damai, namun di balik ketenangan itu, ada rasa haru dan ketakjuban yang tak bisa dijelaskan.Kiai Hasan berdiri di serambi utama, ditemani oleh ayah dan ibu Amara. Wajah mereka terlihat campur aduk antara cemas dan pasrah.Ayah Amara memecah keheningan dengan suara pelan namun berat, “Kiai, saya masih saja merasa ini seperti mimpi. Anak saya... menikah dengan makhluk dari dunia lain. Bagaimana mungkin manusia bisa bersatu dengan siluman tanpa melanggar kodrat?”Kiai Hasan menatapnya penuh kebijaksanaan. “Pak, tidak semua hal di dunia ini dapat dijelaskan dengan logika semata. Ada hal-hal yang Allah izinkan terjadi sebagai bentuk rahasia-Nya. Pernikahan ini... buka
Senja turun perlahan di atas langit pesantren. Cahaya oranye keemasan menembus sela dedaunan, menimpa halaman pondok yang kini terasa begitu tenang setelah masa-masa kelam itu berlalu. Dari kejauhan, suara adzan magrib terdengar lembut, menggema bersama desir angin yang membawa aroma tanah basah.Di dalam kamar sederhana itu, Amara sedang menimang Ardhanara. Bayi itu tersenyum, matanya yang perak lembut memantulkan cahaya senja dan di balik tatapan polosnya, seolah ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak seluruhnya berasal dari dunia manusia.Amara menatapnya penuh cinta, lalu berbisik,“Seandainya ayahmu di sini, Nak… dia pasti bahagia sekali melihatmu.”Namun sebelum air matanya sempat jatuh, udara di sekelilingnya bergetar lembut. Cahaya putih keperakan muncul di sudut ruangan, membentuk siluet yang lama-kelamaan semakin jelas. Wangi khas gaharu tercium pekat di udara.Leondaru.Dengan pakaian putih sederhana bukan jubah perang, bukan wujud siluman ia berdiri di ambang pin
Langit dunia siluman perlahan kembali biru pucat. Asap hitam sirna, meninggalkan keheningan yang menegangkan.Di tanah yang retak dan terbakar, hanya satu sosok berdiri tegak di tengahnya Leondaru Dewantara, Raja Macan Putih, penjaga dunia siluman.Pendar cahaya suci di dadanya masih berkilau lembut tempat di mana roh kecil Ardhanara tadi singgah sebelum kembali ke dunia manusia.Cahaya itu berdenyut pelan seperti jantung kedua, seolah mengikat dua dunia dalam satu napas yang sama.Leon menatap langit."Kau sudah menuntun cahaya itu padaku, Amara…”“Aku bersumpah aku akan menjaganya, bahkan jika seluruh dunia ini harus runtuh.”Hening.Namun di balik ketenangan itu, angin yang berhembus membawa bisikan samar, suara tua dan dalam, berasal dari retakan dunia yang belum sepenuhnya tertutup. “Kau menang kali ini, Macan Putih…”“Tapi darah cahaya yang lahir dari rahimmu akan membuka pintu yang lebih besar dari yang bisa kau bayangkan…”Leon memejamkan mata. Ia tahu Rhaz’athar belum lenyap
Pagi itu, matahari terbit dengan cahaya keemasan yang lembut.Udara di sekitar pondok pesantren terasa berbeda lebih damai, lebih hidup. Seakan setiap hembusan angin membawa berkah dari langit. Burung-burung yang biasanya beterbangan di sawah sekitar pondok kini hinggap di atap dan pepohonan, seolah ingin ikut menjaga bayi yang baru lahir malam tadi.Di dalam kamar kecil yang sederhana, Amara duduk bersandar di dipan kayu. Wajahnya pucat tapi matanya berbinar, menatap bayi mungil di pelukannya yang tengah tertidur dengan damai.Ibu Amara duduk di sampingnya, membelai lembut rambut anaknya sambil menahan air mata.“Cantik sekali… eh, bukan, tampan sekali,” ucap sang ibu dengan suara bergetar, lalu tersenyum. “Lihat, Pak… cucu kita.”Ayah Amara berdiri di dekat pintu, kedua tangannya gemetar menahan haru. Ia tak sanggup bicara hanya menatap bayi itu dengan pandangan seorang ayah yang dulu begitu takut kehilangan putrinya, dan kini menyaksikan keajaiban di depan mat







