“Bu… Ayah…?” suaranya lirih, terpantul di antara batang pohon basah. Tidak ada jawaban, hanya desir angin dan suara ranting patah di kejauhan.
Di situlah Amara Sarasvati, gadis lima belas tahun yang dikenal polos dan ceria, tanpa sengaja melangkah terlalu jauh. Awalnya, ia hanya mengejar kupu-kupu putih yang berkelebat indah di antara rimbun pepohonan. Namun, semakin ia berlari, semakin jauh hutan menelannya. Jalan setapak yang semula ia kenali menghilang, digantikan lorong pepohonan tinggi yang terasa asing dan menyeramkan. Malam pertama ia habiskan dengan duduk meringkuk di balik akar pohon besar, berusaha menahan dingin dan rasa takut. Namun malam kedua datang, dan Amara masih belum juga kembali. Di desa, kepanikan menyelimuti. Keluarga Amara, dibantu para tetangga, masuk ke hutan dengan membawa obor, memanggil-manggil namanya. Mereka menyusuri sungai, gua kecil, bahkan semak belukar yang jarang dijamah manusia. Tapi hasilnya tetap sama, Amara seakan lenyap tanpa jejak. Wajah-wajah letih penduduk mulai dipenuhi ketakutan yang lain bukan sekadar kehilangan, tetapi sebuah firasat buruk. Desas-desus pun mulai terdengar. “Jangan-jangan… ia dibawa oleh leluhur penjaga,” bisik salah satu ibu. Akhirnya, kepala desa memutuskan untuk memanggil Tetua Kampung, seorang pria sepuh yang dikenal mampu membaca tanda-tanda gaib. Tetua itu menatap hutan yang menjulang gelap di kejauhan, matanya menyipit seolah menembus kabut yang menutupi rahasia di dalamnya. “Jika benar Amara hilang di sana,” katanya dengan suara serak namun berwibawa, “maka hutan tidak sekadar menelannya. Ada mata yang mengawasinya. Mata yang bukan milik manusia.” Penduduk terdiam. Di antara ketakutan mereka, hanya satu hal yang kini terpikir, Amara mungkin telah masuk ke dalam dunia yang tidak seharusnya disentuh manusia. Di tengah ketakutan dan rasa lapar yang menggigit perutnya, Amara berusaha menapaki jalan setapak samar yang baru ditemukannya. Hutan di malam hari terasa asing, sunyi, tapi seolah penuh mata yang mengawasi. Langkahnya terhenti ketika angin dingin berembus kencang, membawa bisikan lirih yang tak ia mengerti. Daun-daun bergetar, dan dari balik kabut, sepasang mata biru berkilau menatapnya. Amara menahan napas. Tubuhnya gemetar, kakinya ingin lari, tapi rasa penasaran membuatnya terpaku. Dari balik bayangan pohon besar, muncul sosok seorang pemuda. Tingginya menjulang, berwajah teduh dengan rambut coklat gelap yang terurai sebagian, pakaian hitam berornamen emas menempel gagah di tubuhnya. Namun bukan itu yang membuat Amara terdiam, melainkan aura asing yang memancar darinya. “Siapa… kau?” suara Amara bergetar, setengah takut, setengah terpesona. Pemuda itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Amara lekat-lekat, seakan menilai sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu. Lalu, dengan suara dalam dan tenang, ia berkata, “Hutan ini bukan tempat untuk manusia sepertimu, gadis kecil. Pulanglah… sebelum terlambat.” Amara ingin bertanya lebih jauh, tapi mulutnya kelu. Ketika ia akhirnya berani mengangkat suara, pemuda itu sudah melangkah mundur, perlahan menghilang bersama kabut. Namun tatapan mata biru itu tertinggal di ingatannya, membakar rasa takut sekaligus rasa penasaran yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun sebelum benar-benar hilang ditelan kabut, Amara merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah aroma samar tertinggal di udara. Itu bukan wangi bunga liar, bukan pula bau tanah hutan yang lembap. Aroma itu jauh lebih dalam, lebih halus, wangi gaharu yang hangat sekaligus agung, seperti asap dupa istana yang hanya dipersembahkan bagi para raja. Amara menghirupnya dalam-dalam tanpa sadar. Ada sesuatu pada wangi itu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Ia merasa kecil, seakan berada di hadapan sosok yang bukan sekadar manusia. “Siapa dia sebenarnya…?” bisik Amara pada dirinya sendiri. Hari berikutnya di hutan itu terasa seperti siksaan. Tubuh Amara kian lemah, kakinya nyaris tak mampu menopang. Perutnya kosong, tenggorokannya kering, sementara kabut pagi meneteskan embun dingin yang menusuk tulang. Ia tersandung akar, jatuh berlutut di tanah. Nafasnya tersengal, matanya berkunang. “Aku… tidak kuat lagi…” bisiknya lirih, air mata bercampur lumpur di wajahnya. Hening. Hanya suara burung hantu di kejauhan. Hingga tiba-tiba, udara di sekelilingnya berubah. Angin berembus lembut, membawa aroma gaharu yang hangat dan agung. Amara membuka matanya perlahan. Di hadapannya, berdiri sosok yang sama pemuda bermata biru, dengan aura misterius yang tak mungkin ia lupakan. Kali ini, tatapannya berbeda. Bukan sekadar dingin dan memperingatkan, melainkan ada sesuatu yang samar, seperti belas kasih yang ia coba sembunyikan. “Kau masih di sini,” suaranya dalam, namun lebih lembut dari sebelumnya. “Aku sudah bilang hutan ini bukan untukmu.” Amara berusaha bicara, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Aku… lapar… haus…” Pemuda itu menghela napas pendek, seolah menimbang sesuatu yang berat. Lalu, dengan gerakan anggun, ia mendekat. Dari balik jubah hitamnya, ia mengeluarkan sebuah kendi kecil berukir emas, lalu menyodorkannya pada Amara. “Minumlah,” ucapnya singkat. Amara meraih kendi itu dengan tangan gemetar, meneguk air yang dingin namun segar seolah berasal dari mata air surgawi. Begitu air itu menyentuh tenggorokannya, tubuhnya yang lemah mulai terasa hangat, kekuatannya perlahan kembali. Amara menatap pemuda itu dengan mata berair. “Kau… siapa sebenarnya? Kenapa menolongku?” Pemuda itu terdiam sejenak. Ia membuang pandangannya ke langit yang diselimuti kabut, lalu kembali menatap Amara dengan sorot mata biru yang menusuk. “Namaku tidak penting bagimu, gadis kecil,” jawabnya, suaranya berat namun bergetar samar. “Anggap saja aku… penjaga hutan ini. Dan kehadiranmu di sini adalah sebuah kesalahan.” Amara masih berlutut di tanah, tubuhnya gemetar meski kekuatannya perlahan kembali. pemuda itu berdiri tegak di depannya, siluetnya samar di balik kabut, seolah ia bagian dari hutan itu sendiri. “Aku… tidak bisa menemukan jalan pulang,” suara Amara pecah, lirih penuh keputusasaan. “Tolonglah aku…” Untuk sesaat, mata biru itu hanya menatapnya tanpa berkedip. Seolah sedang menimbang apakah permintaan itu pantas dikabulkan. Lalu, tanpa sepatah kata, pemuda itu meraih tangan Amara. Sentuhannya dingin, namun anehnya menenangkan. “Berdirilah,” katanya tegas. Amara menurut, meski kakinya masih lemah. Ia terhuyung, tapi genggaman tangan pemuda itu kokoh, seakan memberi kekuatan yang tak ia miliki. Mereka berjalan menembus hutan. Setiap langkah pemuda itu seperti membuka jalan baru yang tak terlihat sebelumnya. Pohon-pohon besar yang sebelumnya rapat seakan memberi ruang, kabut pun berangsur menyingkir. Sepanjang perjalanan, Amara memperhatikan sosok di sampingnya. Ada wibawa yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang membuatnya ingin bertanya banyak hal, tapi takut pada jawabannya. Tak lama kemudian, cahaya oranye senja menyelinap di antara pepohonan. Dari celah hutan, Amara melihat atap rumah-rumah desa di kejauhan. Matanya berkaca-kaca. “Itu… rumahku…” ucapnya hampir menangis lega. Pemuda itu melepaskan genggamannya, lalu melangkah mundur, seolah batas antara mereka sudah ditentukan. “Kembalilah. Jangan menoleh ke belakang.” Amara menatapnya dengan bingung. “Tapi… siapa kau sebenarnya?"Pagi itu, Amara terbangun di ranjang kamarnya sendiri. Tirai putih bergoyang pelan diterpa angin pagi, aroma gaharu samar masih menempel di kulitnya. Ia menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Leon semalam hangat, dalam, dan begitu nyata.Amara menoleh, berharap Leon masih ada. Namun kamar itu sepi. Hanya kalung kecil di lehernya yang berdenyut samar, seperti tanda bahwa Leon meninggalkan sebagian dirinya di sana.Amara tersenyum tipis, lalu berbisik lirih.“Leon… aku tahu kau mendengar. Jangan buat aku terlalu merindukanmu.”Keesokan harinya di kantor, suasana terasa berbeda. Amara duduk di mejanya, mencoba fokus pada tumpukan dokumen. Namun, ia menyadari Gio beberapa kali mendekat dengan alasan sepele.“Amara,” panggil Gio sambil meletakkan secangkir kopi di mejanya. “Aku lihat kau sering lembur… kupikir kau butuh ini.”Amara mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Oh… terima kasih, Gio. Tapi tidak perlu repot-repot.”Gio tersenyum, kali ini lebih lembut daripada biasanya. “Bukan repot. A
Malam itu, Amara baru saja pulang. Hujan tipis masih mengguyur, sisa-sisa petir jauh terdengar. Ia menaruh tas di meja, melepas sepatu, lalu menghela napas panjang. Hari ini terasa berat, dan sebagian karena tatapan Gio yang makin sulit diabaikan. Ia berjalan ke kamar, mengganti baju, lalu duduk di ranjang sambil menatap kalung kecil pemberian Leon. Tangannya menggenggam erat. “Leon… di mana kau sekarang?” bisiknya. Tak lama, wangi gaharu muncul, pekat, menusuk hidung. Dari sudut kamar, cahaya samar menampakkan sosok Leon. Kali ini ia tidak basah atau terluka, tapi aura di sekitarnya dingin, kuat, seolah ada badai yang ditahan di dalam tubuhnya. “Leon…” Amara tersenyum lega, namun tatapannya berubah ragu saat melihat sorot mata pria itu. “Ada apa?” Leon menatapnya lama, lalu berjalan mendekat. “Aku melihatnya.” Amara mengerutkan kening. “Melihat apa?” “Pria itu.” Suara Leon dalam, nyaris seperti geraman. “Dia menatapmu seperti aku menatapmu, Mara. Dan kau membiarkannya.” Amara
Tiba-tiba wangi gaharu menyeruak, pekat, lebih kuat dari biasanya. Amara tersentak. Ia bangkit, menoleh ke arah jendela. Dan di sana dalam cahaya kilat tampak sosok Leon berdiri, tubuhnya basah kuyup, rambutnya acak-acakan, dan darah menodai pakaian putihnya. “Leon!” Amara berlari menghampiri, menahan tubuhnya yang hampir roboh. “Astaga… kau terluka parah!” Leon tersenyum samar, meski bibirnya pecah. “Aku harus memastikan… kau baik-baik saja.” Suaranya serak, melemah, tapi sorot matanya tetap tajam, menatapnya penuh keyakinan. Air mata Amara langsung pecah. Ia memeluk Leon erat, tak peduli bajunya ikut ternoda darah. “Aku merasakan semua lukamu… seolah aku juga yang diserang… kenapa kau harus datang dalam kondisi begini…?” Leon mengangkat tangannya dengan susah payah, mengusap rambut Amara. “Karena aku tak tahan… jika kau merasa sakit tanpa tahu alasannya.” Amara menggigit bibir, dadanya sesak. Ia menuntun Leon ke ranjang, mendudukkannya perlahan. Tangannya gemetar saat membersi
“Dan aku berjanji… aku akan selalu memilihmu, Leon. Apa pun yang terjadi.” Air mata menitik di mata Amara, tetapi bibirnya tersenyum. Saat itu juga, angin berhembus lebih kencang, membawa aroma gaharu yang lebih pekat. Pohon-pohon bercahaya di taman ikut bergemerlap, seolah menjadi saksi atas sumpah mereka. Leon menarik Amara ke dalam pelukan, mencium keningnya penuh khidmat. “Sekarang… kau bukan hanya milikku. Kau adalah bagian dari diriku.” Amara menutup mata, tenggelam dalam hangatnya dekapan. Hatinya tahu, ia baru saja mengikat dirinya pada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh dunia manusia. Malam itu, di antara cinta, tubuh, dan darah, mereka tidak hanya saling memiliki… tapi juga saling mengikat selamanya. Setelah darah mereka menyatu, Amara merasakan sesuatu yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Hangat. Dalam. Seolah ada denyut baru di dalam dadanya bukan jantungnya, melainkan denyut asing yang ritmenya serupa dengan milik Leon. Ia terkejut, napasnya tercekat.
Sejak malam itu, Leon menjadi lebih berhati-hati. Ia masih sering menjemput Amara ke dunianya, tapi setiap kali ia menggenggam tangan gadis itu dan membuka gerbang cahaya, sorot matanya selalu diliputi kewaspadaan. “Aku akan pastikan kali ini tidak lama, Mara,” ucapnya suatu malam, sebelum mereka melangkah masuk ke pusaran cahaya. Amara hanya tersenyum lembut. “Aku percaya padamu.” Dan seketika, langit ungu bertebar bintang hidup kembali menyambut mereka. Kini, setiap kali mereka berada di alam Leon, waktu seperti menjadi milik mereka berdua. Amara sudah tidak lagi terperangah seperti pertama kali ia mulai terbiasa melihat burung kristal yang meninggalkan jejak cahaya, pohon-pohon bercahaya yang kelopaknya bisa bernyanyi, dan lantai kaca istana yang memperlihatkan galaksi berputar di bawah kakinya. Namun yang membuatnya tak pernah berhenti kagum adalah cara Leon selalu memperhatikannya. Setiap kali Amara melangkah terlalu dekat ke tepi balkon istana, Leon meraih tangannya. Seti
“Aku bodoh,” gumam Leon lirih, jemarinya menggenggam rambutnya sendiri. “Seharusnya aku tidak membawanya terlalu lama…” Leon berdiri di balkon istananya, menatap Amara yang tertidur damai di ruang utama. Wajahnya lembut, seolah hanya sedang beristirahat sebentar, padahal sudah berjam-jam ia tidak bangun. Ia tahu, semakin lama Amara berada di alamnya, semakin besar risiko raganya di dunia manusia akan melemah. Tanpa ragu, Leon meraih tubuh Amara, mengangkatnya dalam pelukan, lalu membuka gerbang cahaya. Wangi gaharu mengepul, dan dalam sekejap mereka lenyap dari istana, kembali ke dunia manusia. Di rumah Amara, suasana sudah seperti berkabung. Tujuh hari penuh Amara terbaring di ranjang tanpa membuka mata. Ibunya setiap hari menangis di sisi ranjang, ayahnya mondar-mandir dengan wajah kusut, sementara para tetangga berbisik-bisik, mengira Amara terkena gangguan gaib. “Dokter bilang tidak ada penyakit apapun,” keluh ayahnya pada seorang tetangga. “Semua normal. Jantungnya, na