Se connecterPagi itu, Amara duduk di depan cermin. Rambut hitam panjangnya disisir rapi, wajahnya dipulas tipis dengan bedak sederhana. Ia mengenakan kemeja putih dan rok hitam selutut penampilan standar pelamar kerja. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Semoga aku diterima…” gumamnya lirih sambil menarik napas panjang. Ruang wawancara terasa tegang. Seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu, Kepala HRD, menatap Amara dari balik meja. “Amara Sarasvati, ya?” tanyanya sambil membuka berkas. “Iya, Pak.” Suaranya lembut tapi tegas. “Lulusan SMA, nilai cukup baik, aktif di organisasi sekolah. Tapi kenapa ingin bekerja di sini, di kantor ekspor-impor?” Amara tersenyum kecil, menahan gugup. “Saya ingin belajar, Pak. Saya ingin mandiri, dan saya percaya tempat ini bisa memberi saya pengalaman yang berharga. Saya juga cepat belajar.” Pria itu menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Hmm… semangatmu bagus. Baiklah, nanti kami kabari hasilnya.” Amara berdiri, membungkuk sopan. “Terima kasih banyak, Pak.” Keluar dari ruangan itu, dadanya masih berdegup kencang, tapi ada secercah lega. Sore harinya, Amara pulang dengan langkah ringan. Ibunya menyambut di teras rumah. “Bagaimana, Nak?” Amara duduk, meletakkan tasnya. “Belum ada keputusan, Bu. Tapi aku sudah berusaha sebaik mungkin.” Ayahnya yang sedang membaca koran ikut bersuara, “Yang penting kau berani mencoba. Hasilnya belakangan. Ayah bangga padamu.” Amara tersenyum, matanya berbinar. “Terima kasih, Yah. Bu. Aku akan menunggu kabar baik.” Malam itu, setelah semua anggota keluarga tertidur, Amara terjaga di kamarnya. Ia menatap langit-langit, pikirannya melayang. Dan saat itu, aroma gaharu perlahan memenuhi udara. “Sudah lama aku tidak melihatmu tersenyum begitu lepas,” suara berat itu terdengar dari sudut kamar. Amara menoleh, dan di sana seperti biasa berdiri Leondaru Dewantara. Rambut coklat gelapnya berkilau samar diterpa cahaya bulan dari jendela. “Leon…” Amara tersenyum lega. “Aku gugup sekali tadi. Tapi… aku juga merasa senang. Aku seperti benar-benar melangkah ke dunia baru.” Leon mendekat, sorot matanya teduh. “Kau sudah tumbuh banyak, Amara. Dari gadis kecil yang tersesat di hutan… menjadi perempuan yang berani menghadapi dunia.” Amara terdiam, pipinya merona samar. “Kalau tidak ada kau, mungkin aku sudah lama menyerah pada rasa takut.” Leon menatapnya dalam, lalu tersenyum samar. “Aku hanya membantumu menemukan keberanian yang sudah ada di dalam dirimu.” Suasana hening sejenak, hanya wangi gaharu yang mengisi udara. Amara menunduk, lalu berbisik, “Tetaplah di sisiku, Leon.” Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, menyibakkan helaian rambut dari wajah Amara, gerakannya lembut. “Aku selalu ada… meski tidak selalu bisa kau lihat.” Amara terdiam sejenak, menatap wajah Leon dari jarak sedekat itu membuat jantungnya tidak beraturan. "Leon.. " ucapnya. ada rasa yang sulit di artikan menelusup di hatinya. Ia ingin mengungkapkannya, tapi lidahnya terasa kelu. "Ya" Jawab Leon sambil menatap mata Amara. Ia tahu, ada rasa yang timbul sejak pertama kali melihat Amara di hutan dan rasa itu semakin hari semakin bertambah, itulah mengapa ia selalu menjaga Amara, karena ia mencintai Amara. Ya, ia mencintai anak manusia. Amara buru buru berpaling, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Leon hanya tersenyum. "Tidurlah Mara.. besok kamu masih harus bertarung dengan hari yang berat" ucap Leon kemudian duduk di sebelah Amara "kenapa berat? " tanyanya "karena akan ada kejadian yang membuatmu harus merasakan sakit kepala besok" ucap Leon sambil berlalu, menghilang seperti terbawa angin dan hanya menyisakan wangi gaharu di kamar Amara. Amara mendengus... "Kebiasaan pergi tanpa menjelaskan dulu" omelnya. Pagi datang dengan sinar matahari yang menyusup di sela tirai kamar. Amara terbangun dengan mata sedikit berat. Malam itu tidurnya tidak benar-benar nyenyak, wangi gaharu masih samar tertinggal di kamarnya membuat ingatannya kembali ke percakapan terakhir dengan Leon. “Kejadian yang membuat sakit kepala… apa maksudnya?” gumam Amara sambil menghela napas panjang. Ia mencoba mengabaikannya. Hari ini terlalu penting untuk dihantui firasat aneh. Ia merapikan rambutnya, sarapan seadanya, lalu berangkat ke kantor tempat ia melamar kemarin untuk menunggu kabar. Suasana kantor itu sibuk. Orang-orang lalu lalang membawa berkas, suara telepon berdenging dari berbagai meja. Amara duduk di kursi tamu sambil menggenggam map cokelat berisi dokumen lamaran. Tak lama, seorang staf HRD menghampiri. “Amara Sarasvati?” Amara berdiri cepat. “Ya, saya.” “Silakan ikut saya.” Amara dibawa ke ruang rapat kecil. Di sana sudah ada Kepala HRD yang mewawancarainya kemarin, kali ini bersama seorang wanita muda berpenampilan tegas, berkacamata, yang tampaknya asisten manajer. “Kami sudah memutuskan, Amara,” ujar Kepala HRD. “Mulai minggu depan, kau bisa bekerja di sini sebagai staf administrasi.” Amara terperangah. “Benar, Pak?” “Asal kau bisa disiplin dan cepat belajar.” Senyum lega merekah di wajah Amara. Ia membungkuk hormat. “Terima kasih banyak! Saya tidak akan mengecewakan.” Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Begitu keluar dari ruangan, kepalanya mendadak berdenyut keras. Dunia seolah berputar, pandangannya sedikit kabur. Ia menahan dinding, berusaha tetap tegak. Inikah yang dimaksud Leon? pikirnya panik. Dari sudut mata, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Seorang pria tua berpakaian lusuh berjalan melintas koridor tetapi bayangannya di lantai tidak mengikuti geraknya. Malah menyeringai, seolah hidup sendiri. Amara membekap mulut, berusaha menahan teriakan.Fajar merambat pelan di ufuk timur, menyingkap lembayung pucat yang menari di langit pesantren. Cahaya keemasan menembus kisi-kisi jendela, menimpa wajah Amara yang masih terbaring lemah. Udara pagi berembun, seolah bumi ikut bernafas lega setelah malam panjang yang tak biasa. Suara burung-burung berkicau lembut di luar kamar kecil itu, menandai awal hari baru. Namun di dalam, suasananya jauh dari biasa tenang, tapi sarat dengan energi yang tak kasatmata. Amara menggeliat pelan. Napasnya berat, tapi hatinya terasa ringan. Ia seperti baru saja menempuh perjalanan jauh melewati cahaya dan bayangan, namun entah bagaimana, tubuhnya kini kembali di pondok. Perlahan, matanya terbuka. Dan yang pertama ia lihat adalah sosok Ibu Nyai istri kiai Hasan, duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangannya erat. Wajah lembut itu tampak kelelahan, tapi senyum syukurnya tetap hangat. “Alhamdulillah, Amara… kau sadar juga, Nak.” Amara menatap sekeliling kamar sederhana pondok, aroma kayu da
Langit dunia siluman malam itu tak lagi berwarna biru atau hitam. Ia berubah menjadi kanvas hidup dari cahaya semburat ungu, biru muda, dan emas berputar membentuk pusaran aurora yang menari di atas Istana Macan Putih. Dari puncak gunung hingga lembah terdalam, ribuan cahaya roh berterbangan membawa bunga-bunga bercahaya yang mekar di udara, lalu luruh menjadi hujan cahaya lembut yang jatuh seperti serpihan bintang.Pesta kerajaan dimulai.Di pelataran luas istana, yang lantainya terbuat dari batu giok berkilau, ribuan siluman dari berbagai suku dan ras berdiri berjajar dengan penuh hormat. Ada siluman burung berwujud manusia, siluman naga air dari danau barat, siluman rusa bermahkota kristal, hingga para roh hutan yang menyerupai cahaya. Mereka semua berkumpul, memadati halaman istana menyambut Raja Leondaru dan Ratu Amara Sarasvati, penghubung dua dunia.Dari kejauhan, lonceng kristal suci berdentang, menandakan raja dan ratu telah tiba.Dua gerbang raksasa terbuka
Fajar menyingsing lembut di atas langit pondok pesantren. Kabut tipis menari di antara pepohonan, sementara burung-burung melantunkan dzikir pagi mereka. Di halaman depan, beberapa santri sibuk membersihkan area pendopo, menggantung janur kuning dan kain putih yang melambai tertiup angin. Semua terasa damai, namun di balik ketenangan itu, ada rasa haru dan ketakjuban yang tak bisa dijelaskan.Kiai Hasan berdiri di serambi utama, ditemani oleh ayah dan ibu Amara. Wajah mereka terlihat campur aduk antara cemas dan pasrah.Ayah Amara memecah keheningan dengan suara pelan namun berat, “Kiai, saya masih saja merasa ini seperti mimpi. Anak saya... menikah dengan makhluk dari dunia lain. Bagaimana mungkin manusia bisa bersatu dengan siluman tanpa melanggar kodrat?”Kiai Hasan menatapnya penuh kebijaksanaan. “Pak, tidak semua hal di dunia ini dapat dijelaskan dengan logika semata. Ada hal-hal yang Allah izinkan terjadi sebagai bentuk rahasia-Nya. Pernikahan ini... buka
Senja turun perlahan di atas langit pesantren. Cahaya oranye keemasan menembus sela dedaunan, menimpa halaman pondok yang kini terasa begitu tenang setelah masa-masa kelam itu berlalu. Dari kejauhan, suara adzan magrib terdengar lembut, menggema bersama desir angin yang membawa aroma tanah basah.Di dalam kamar sederhana itu, Amara sedang menimang Ardhanara. Bayi itu tersenyum, matanya yang perak lembut memantulkan cahaya senja dan di balik tatapan polosnya, seolah ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak seluruhnya berasal dari dunia manusia.Amara menatapnya penuh cinta, lalu berbisik,“Seandainya ayahmu di sini, Nak… dia pasti bahagia sekali melihatmu.”Namun sebelum air matanya sempat jatuh, udara di sekelilingnya bergetar lembut. Cahaya putih keperakan muncul di sudut ruangan, membentuk siluet yang lama-kelamaan semakin jelas. Wangi khas gaharu tercium pekat di udara.Leondaru.Dengan pakaian putih sederhana bukan jubah perang, bukan wujud siluman ia berdiri di ambang pin
Langit dunia siluman perlahan kembali biru pucat. Asap hitam sirna, meninggalkan keheningan yang menegangkan.Di tanah yang retak dan terbakar, hanya satu sosok berdiri tegak di tengahnya Leondaru Dewantara, Raja Macan Putih, penjaga dunia siluman.Pendar cahaya suci di dadanya masih berkilau lembut tempat di mana roh kecil Ardhanara tadi singgah sebelum kembali ke dunia manusia.Cahaya itu berdenyut pelan seperti jantung kedua, seolah mengikat dua dunia dalam satu napas yang sama.Leon menatap langit."Kau sudah menuntun cahaya itu padaku, Amara…”“Aku bersumpah aku akan menjaganya, bahkan jika seluruh dunia ini harus runtuh.”Hening.Namun di balik ketenangan itu, angin yang berhembus membawa bisikan samar, suara tua dan dalam, berasal dari retakan dunia yang belum sepenuhnya tertutup. “Kau menang kali ini, Macan Putih…”“Tapi darah cahaya yang lahir dari rahimmu akan membuka pintu yang lebih besar dari yang bisa kau bayangkan…”Leon memejamkan mata. Ia tahu Rhaz’athar belum lenyap
Pagi itu, matahari terbit dengan cahaya keemasan yang lembut.Udara di sekitar pondok pesantren terasa berbeda lebih damai, lebih hidup. Seakan setiap hembusan angin membawa berkah dari langit. Burung-burung yang biasanya beterbangan di sawah sekitar pondok kini hinggap di atap dan pepohonan, seolah ingin ikut menjaga bayi yang baru lahir malam tadi.Di dalam kamar kecil yang sederhana, Amara duduk bersandar di dipan kayu. Wajahnya pucat tapi matanya berbinar, menatap bayi mungil di pelukannya yang tengah tertidur dengan damai.Ibu Amara duduk di sampingnya, membelai lembut rambut anaknya sambil menahan air mata.“Cantik sekali… eh, bukan, tampan sekali,” ucap sang ibu dengan suara bergetar, lalu tersenyum. “Lihat, Pak… cucu kita.”Ayah Amara berdiri di dekat pintu, kedua tangannya gemetar menahan haru. Ia tak sanggup bicara hanya menatap bayi itu dengan pandangan seorang ayah yang dulu begitu takut kehilangan putrinya, dan kini menyaksikan keajaiban di depan mat







