Home / Romansa / Cinta Dalam Bayangan Dendam / Chapter 4 - Makan Malam Bersama

Share

Chapter 4 - Makan Malam Bersama

last update Last Updated: 2025-08-16 13:16:33

Minggu sore itu terasa tenang bagi Vivienne. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, ia bisa bangun tanpa alarm, bersantai di tempat tidur sambil menonton serial favorit, dan menikmati secangkir teh hangat dari balkon apartemennya. Namun ketenangan itu tak bertahan lama.

tiba-tiba

BRRRRTT... BRRRRTT...

Ponselnya bergetar di atas meja. Saat melihat nama yang tertera di layar, matanya langsung membulat.

Xavier bosnya menelponnya. Dengan cepat ia mengangkat.

"Halo, Pak?"

"Vivienne, maaf mengganggu hari liburmu. Aku butuh laporan keuangan yang terakhir.

Ada beberapa dokumen yang tertinggal di kantor. Tolong buat laporannya dan antar ke rumahku secepatnya, ya. Sangat penting untuk meeting besok pagi." ucap Xavier ditelpon.

"Baik, Pak..." Vivienne menjawab, meski dalam hati sedikit kaget. Bukan karena harus bekerja di hari Minggu, tapi karena ini pertama kalinya dia harus ke rumah bosnya.

Dengan cepat ia segera bangkit dari tempat tidur, cepat-cepat mandi, berdandan seadanya, dan memeriksa ulang isi map yang berisi laporan penting. Tepat saat ia hendak memesan taksi online, suara klakson terdengar dari luar.

Dia membuka tirai dan matanya membelalak. Sebuah mobil hitam mewah terparkir di depan apartemennya.

Dengan ragu, Vivienne turun ke lobi. Saat pintu terbuka, seorang pria berseragam sopan turun dari kursi kemudi dan membungkuk sedikit.

"Anda Vivienn, ya? Pak Xavier menyuruh saya menjemput Anda." tanyanya kepada Vivienne

Vivienne mengangguk, agak tertegun dan menjawab "O-oh... iya, saya Vivienne."

"Silakan masuk," kata sang sopir sambil membukakan pintu mobil dengan sopan.

**

Sepanjang perjalanan, Vivienne tak henti bertanya-tanya. Kenapa harus dijemput? Memangnya sepenting apa sih dokumen ini? Atau... bosnya memang selalu seperti ini?

Tak lama kemudian, mereka sampai di depan rumah besar yang berdiri megah dan sunyi. Tangannya agak gemetar saat membawa map itu ke depan pintu. Dengan sedikit gugup, ia menekan bel.

Pintu dibuka. Di hadapannya berdiri Pak Xavier, kali ini mengenakan kaos hitam sederhana dan celana training. Rambutnya sedikit berantakan, membuatnya terlihat jauh lebih santai dibanding di kantor.

"Selamat Sore, Pak. Ini berkasnya-"

BRAKK!

Kakinya tersandung ujung karpet di depan pintu. Dalam sekejap, tubuhnya kehilangan kendali dan jatuh tepat ke arah Pak Xavier yang masih memegang secangkir kopi.

Kopi tumpah, dokumen hampir terbang, dan mereka terjatuh-berpelukan dalam posisi yang sangat tidak direncanakan. Beberapa detik, Vivienne membeku, karena wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.

"Maaf, Pak... saya nggak sengaja..."

Pak Xavier terkekeh kecil

"Kamu selalu datang dengan cara yang mengejutkan, ya?"

Vivienne yang mendengar Xavier yang tertawa kacil langsung tertunduk diam dengan gugup.

***

POV Vivienne

Ruangan itu sunyi. Aku duduk di ujung sofa berwarna abu lembut yang ada di sudut ruang kerja Pak Xavier.

Ruangannya besar, rapi, dan terkesan tenang-ada rak buku tinggi, meja kerja dari kayu gelap, dan aroma kopi yang samar-samar masih terasa di udara. Tapi kepalaku terlalu penuh untuk memperhatikan detail itu.

Baru aja jatuh ke pelukan bos sendiri. Di hari Minggu. Di rumahnya.

Aku menggenggam jemariku sendiri, gugup.

Jantungku belum stabil. Dari tadi aku hanya menunduk, tak beVivienne menatap ke arah meja kerja tempat Pak Xavier duduk.

Tiba-tiba, suara tenang itu memecah keheningan.

"Vivienne... Apa rencana kau hari ini?" tanya Xavier.

Aku mendongak sedikit. Mataku bertemu pandangannya sebentar sebelum buru-buru menunduk lagi.

"Aku... nggak ada rencana, Pak."

Suara sendiri pun terdengar aneh di telingaku-pelan dan ragu.

Pak Xavier terkekeh pelan.

"Jadi kamu mau jadi koala hari ini? Tidur-tiduran aja seharian di rumah?"

Aku langsung mengangkat kepala sedikit, spontan membantah,

"Enggak kok! Aku sebenarnya mau olahraga, terus jalan-jalan keliling kota... menikmati hari aja gitu."

Suaraku terdengar terlalu semangat. Baru sadar setelah melihat ekspresi terhiburnya. Ia tertawa kecil melihat responku yang tiba-tiba ceria.

Aku langsung diam dan menunduk lagi. Astaga, kenapa jawabnya kayak ngobrol sama temen, bukan bos sendiri?!

Tapi ketika aku melirik lagi, dia tidak marah. Justru... matanya menatapku dalam.

Aku bingung. Detak jantungku makin tidak karuan.

Dan tiba-tiba, dengan suara tegas dan sedikit berbeda, ia berkata

"Kalau begitu ikut aku jalan-jalan hari ini. Anggap saja kamu tetap kerja. Agenda kamu hari ini adalah... menemaniku."

Aku refleks menatapnya, mataku membulat.

"A-apa, Pak? Ini... serius?"

Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, dia bangkit dari kursinya, berjalan santai mendekatiku.

Aku belum sempat bangun dari sofa saat tangannya menarik tanganku-lembut, tapi mantap.

"Ayo, cepat. Cuaca hari ini bagus."

Aku seperti kehilangan kendali atas tubuhku. Langkahku mengikuti tarikannya secara otomatis, masih bingung, masih syok. Ini beneran kejadian?

Pintu rumah terbuka. Aku dibimbing masuk ke dalam mobil yang tadi menjemputku sore ini.

Pintu mobil ditutup, dan aku hanya bisa duduk diam, jantungku berdetak cepat, sementara Pak Xavier duduk di samping, menyunggingkan senyum kecil yang entah kenapa... bikin aku makin gugup.

POV Vivienne End

***

Langit mulai gelap saat mobil hitam itu melaju tenang di jalanan kota. Di dalamnya, Vivienne duduk dengan tubuh kaku. Tangannya menggenggam tas kecil di pangkuannya, dan tatapannya kosong menembus kaca jendela.

Ia masih syok-tiba-tiba saja bosnya, Xavier, menariknya keluar rumah dan membawanya masuk mobil.

"Kenapa harus aku? Kenapa dia ngajak makan? Ini aneh. Aneh banget..."

Vivienne dalam hati

Selama perjalanan, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Hening. Canggung. Xavier hanya fokus menyetir, seolah ini hal biasa baginya.

Setelah beberapa waktu, mobil berhenti di depan restoran mewah berlampu keemasan.

Vivienne berbisik pelan "Pak, ini... kita mau makan di sini?"

Sahut Xavier "Iya. Ayo, ikut saja."

Mau tak mau, Vivienne turun dan mengikuti langkah bosnya masuk ke dalam.

Vivienne takjub melihat Interior restoran itu sungguh elegan dan mewah. meja-meja berlapis kain putih, lampu gantung kristal, dan musik klasik mengalun lembut. Mereka duduk di meja sudut dekat jendela besar.

"Selamat malam, Pak, Bu. Ini menu spesial malam ini."

Pelayan datang membawakan manu kepada mereka.

Vivienne mengambil menu dengan tangan kaku, matanya menyapu daftar harga yang membuat jantungnya nyaris berhenti.

Tapi sebenarnya, bukan harga yang paling membuatnya tidak nyaman.

Situasi saat ini dia duduk satu meja berdua dengan atasannya dalam restoran seperti ini membuat gugup dan tidak tenang.

Vivienne berbisik "Pak... saya nggak biasa makan seperti ini. Mungkin kita sebaiknya cari tempat yang lebih santai..."

Xavier tetap tenang, tidak terkejut. Ia hanya melirik menu sebentar lalu menutupnya.

"Kamu nggak perlu merasa tertekan. Tenang aja. Aku cuma pengen makan malam santai setelah hari yang panjang. Dan aku butuh teman makan yang bisa dipercaya." Ucap Xavier

Ia memanggil pelayan.

"Saya pesan salmon grill, risotto truffle, sup krim jamur, dan tiramisu. Minumannya wine putih."

"Baik, Pak. Akan segera kami siapkan."

"Pak, maaf, tapi... saya nggak akan bisa bayar semua ini. Saya benar-benar nggak enak..." ucap Vivienne dengan rasa gelisah

Xavier tersenyum dengan nadanya santai. Menjawab

"Vivienne, kamu cuma perlu makan dan temani aku malam ini. Nggak usah mikirin uang. Aku yang ajak, jadi aku yang tanggung. Santai aja, ya?"

Vivienne hanya bisa mengangguk kecil, dengan kaku. Tapi sedikit demi sedikit, hatinya mulai tenang. Mungkin... ini memang cuma makan malam jadi dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

Makanan mulai datang satu per satu, diantar dengan penuh kehati-hatian oleh para pelayan. Aroma hidangan hangat menyebar di meja mereka.

Vivienne makan pelan-pelan, masih agak canggung, tapi suasana restoran yang tenang sedikit membantu menenangkan pikirannya.

Xavier menyuap sedikit sup, lalu tanpa menatapnya, bertanya dengan nada datar namun dalam.

"Sudah berapa lama kamu tinggal di apartemen kecil itu?"

Tanya Xavier

Vivienne berhenti sejenak, lalu menoleh pelan.

"Tiga tahun, Pak. Sejak saya diterima kerja di perusahaan Bapak... saya pindah ke sana. Lebih dekat ke kantor." Vivienne menjawab

"Sendirian?" tanya Xavier lagi

Vivienne mengangguk.

"Iya. Orang tua saya sudah lama meninggal. Jadi... ya, sendiri."

Xavier mengangguk pelan, tatapannya tetap pada piringnya. Ia terlihat berpikir sejenak, lalu bertanya lagi.

"Lalu siapa pria yang jemput kamu kemarin sore? Di depan kantor."

Vivienne sempat terdiam, merasa aneh dengan arah percakapan ini. Tapi akhirnya menjawab.

"Itu... pacar saya."

Xavier berhenti menyuap makanannya. Ekspresinya tak berubah, tapi Vivienne merasakan sesuatu yang aneh dalam diamnya.

Tak ada respons, hanya sunyi, lalu ia melanjutkan makannya perlahan.

Mencoba mengalihkan kegelisahan, Vivienne akhirnya berkata pelan.

"Pak, saya ke toilet sebentar ya."

Xavier hanya mengangguk.

Vivienne berdiri dan berjalan menyusuri lorong menuju toilet. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok dari kejauhan.

Punggung seorang pria. Ia merasa kenal-terlalu kenal.

Perlahan, ia mendekat, bersembunyi di balik tiang dekorasi.

Matanya membelalak. Itu memang pacarnya, Julian. duduk satu meja dengan orang tua Vivienne sendiri dan di seberangnya, ada wanita lain, bersama dua orang yang sepertinya adalah orang tua dari wanita itu.

Mereka semua tertawa dan berbincang hangat. Wanita itu sesekali tersipu malu, senyumannya tulus. Sementara pacarnya, duduk diam dengan wajah datar, tapi tidak berkata apa-apa.

"Jadi kita sepakat ya, setelah pertunangan bulan depan, langsung lanjut ke pernikahan.

Mumpung semuanya sudah cocok, tinggal formalitas saja." Ibu wanita berucap dengan nada semangat

"Iya, kami senang dengan keluarga anda. Anak kita juga sepertinya cocok sekali." Ayah Julian menjawab

Wanita itu tersenyum malu

"Aku juga nggak nyangka secepat ini... tapi aku senang, kok."

Vivienne berdiri kaku. Matanya mulai berkaca-kaca, nafasnya tercekat. Pacarnya tidak menolak. Tidak satu kata pun keluar untuk menyangkal rencana itu.

Vivienne bertanya dalam hati "Kenapa kamu diam aja...? Kenapa...?"

Dengan langkah berat dan mata memerah, ia menjauh dari meja itu. Menahan isak, ia berjalan kembali ke meja tempat Xavier duduk, mencoba bersikap biasa, meski hatinya hancur.

**

Langkah Vivienne kembali ke meja terasa berat. Matanya memerah, bibirnya tertutup rapat menahan emosi yang hampir meledak.

Tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk terlihat normal. Xavier, yang sejak tadi duduk tenang sambil mengaduk sisa kopi di cangkirnya, langsung menoleh saat melihat Vivienne datang.

Xavier betanya pelan "Kamu kenapa?"

Vivienne menggeleng cepat, tersenyum tipis yang jelas dipaksakan.

Vivienne menjawab "Nggak, Pak. Nggak apa-apa... cuma... kecapekan aja."

Xavier menatapnya dalam diam, jelas tak percaya begitu saja. Tapi ia tidak memaksa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mengangkat tangan memanggil pelayan.

"Bill-nya, tolong." mintanya kepada pelayan

Tak lama kemudian, semua dibayar. Mereka keluar dari restoran tanpa banyak kata.

***

Di dalam mobil, suasana kembali sunyi seperti di awal. Tapi kali ini, diamnya berbeda.

Lebih berat seperti ada sesuatu yang telah terjadi.

Mobil akhirnya berhenti di depan apartemen kecil tempat Vivienne tinggal. Vivienne membuka pintu, lalu menoleh ke Xavier dengan senyum sopan yang hampir tak terbentuk.

"Terima kasih untuk hari ini, Pak. Makanan dan semuanya. Saya pamit masuk dulu." Ucap Vivienne

Xavier hanya mengangguk, matanya tidak berpaling sedikit pun dari wajah Vivienne saat ia turun dari mobil dan berjalan menuju pintu apartemen.

Ia berdiri sebentar di sana, membuka pintu, lalu masuk tanpa menoleh lagi.

Xavier masih diam di balik kemudi.

Tatapannya kosong, lurus ke arah pintu apartemen yang kini tertutup rapat. Tangannya menggenggam setir, tapi tidak bergerak.

Wajahnya datar, tak menunjukkan emosi. Tapi ada sesuatu di matanya-seperti menimbang, seperti bertanya-tanya atau mungkin hanya menahan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan.

Beberapa menit kemudian, tanpa satu kata pun, ia menginjak gas perlahan dan meninggalkan apartemen itu... membawa pulang pikirannya yang penuh tanya.

.

.

.

To Be Continued

Thank you for reading. If you enjoyed this, please consider giving a like. Any feedback or suggestions are welcome; feel free to leave your comments. ₍^. .^₎⟆ ₊˚⊹ ᰔ

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 21

    Sore itu, setelah semua rapat selesai, suasana kantor mulai lengang. Thomas memanggil Xavier ke ruangannya. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku dan foto-foto lama beberapa menampilkan Xavier kecil di sisi ayahnya, tampak bahagia… namun Xavier kini hanya menatapnya dengan datar.“Duduklah,” ucap Thomas tanpa menatap. Ia sibuk menandatangani beberapa berkas di mejanya.Xavier duduk, menunggu.Beberapa detik hening berlalu sebelum Thomas akhirnya bersuara, nadanya tenang tapi dingin.“Anak muda sepertimu seharusnya tahu batas, Xavier. Aku dengar kamu menghabiskan waktu di luar kota… bersama seorang wanita.”Xavier tak langsung menjawab, tapi tatapannya tajam menatap ayahnya. “Aku butuh waktu untuk istirahat. Dan wanita itu, dia bagian dari timku.”Thomas tersenyum tipis, masih menunduk menatap kertas.“Bagian dari tim? Begitu?” Ia berhenti sejenak, menatap Xavier.“Cathrine juga bagian dari hidupmu, jangan lupa itu.” Lanjutnya.Xavier menarik napas pelan, tapi rahangnya menega

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 20

    Pagi itu, udara kota terasa berbeda. Langit cerah, tapi hati Vivienne berdebar sejak ia menerima pesan dari Xavier malam sebelumnya. Xavier : Besok pagi aku mau kamu ikut aku ke rapat direksi. Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan ke kamu. Vivienne membaca pesan itu berulang kali. Ia tahu siapa “seseorang” itu. Ayah Xavier, Thomas Winchester. Sosok yang namanya bahkan membuat sebagian besar orang di perusahaan menunduk hanya dengan mendengar disebut. Vivienne menatap cermin pagi itu, menyesuaikan jas hitam dan kemeja putih sederhana. Tangannya sedikit gemetar. “Tenang, Vivienne ” bisiknya pada diri sendiri. “Ini cuma rapat. Cuma pertemuan biasa.” Tapi jauh di dalam hati, Vivienne tahu ini bukan sekadar rapat. Ini adalah kesempatan untuk menatap langsung wajah seseorang yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita... seseorang yang namanya pernah muncul di berkas tua peninggalan mendiang ayahnya. Dalam daftar hitam proyek yang “gagal” bertahun-tahun lalu. ** Mobil hitam

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 19 - Diawasi

    Hari itu dimulai seperti biasa.Langit sedang cerah, matahari menembus jendela besar gedung kantor tempat Vivienne bekerja.Ia sudah terbiasa dengan rutinitas pagi, menyusun laporan, memeriksa jadwal Xavier , dan memastikan semua urusan administrasi berjalan rapi.Sudah seminggu sejak liburan ke pulau itu, dan meskipun semuanya tampak normal di permukaan, Vivienne tahu ada sesuatu yang berubah.Hubungannya dengan Xavier kini terasa lebih… hangat. Tapi juga lebih berisiko.Ia berusaha menjaga jarak secara profesional, walau kadang sulit menahan senyum setiap kali Xavier menatapnya lebih lama dari seharusnya.Siang itu, Vivienne sedang di meja resepsionis sementara staf utama izin keluar. Ia sedang menandatangani beberapa dokumen ketika suara hak tinggi terdengar cepat menghampiri.“Dimana Xavier, saya mau bertemu dengan Xavier .”Suara itu tajam, penuh tekanan.Vivienne menoleh dan hatinya langsung berdebar.CatherineIa masih sama seperti awal ia bertemu, elegan, berkelas, dengan tata

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 18 - Jatuh Cinta

    Matahari sore mulai turun perlahan, menyapu langit dengan warna keemasan yang lembut. Dari teras villa, Vivienne berdiri memandangi laut lepas. Angin membelai rambutnya, sementara ombak menari pelan di kejauhan.Xavier datang membawa dua gelas jus segar, menyerahkan satu pada Vivienne.“Kau suka?” tanyanya pelan.Vivienne mengangguk, tersenyum lembut.“Suka sekali… tapi aku masih nggak habis pikir, Xavier. Kamu benar-benar punya semua ini?” Jawabnya.Xavier duduk di sampingnya, menatap laut yang sama.“Aku punya banyak hal, Vivienne Tapi jarang sekali aku merasa benar-benar punya seseorang yang bisa bikin aku merasa hidup. Sampai kamu datang.”Vivienne terdiam. Kata-kata itu menghantam lembut tapi dalam. Hatinya bergetar, namun di sisi lain, ada rasa takut yang menahan. Ia tahu batasnya. Ia tahu Xavier bukan pria yang mudah ia percayai.Malamnya, setelah makan malam di tepi pantai dengan cahaya lilin yang menari tertiup angin, Xavier tiba-tiba memanggilnya.“Vivienne ” suaranya pelan

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 17 - Bahagia

    Pagi itu, Vivienne duduk di bangku kayu taman rumahnya. Di tangannya ada secangkir teh hangat, dan matanya terpaku pada bunga-bunga yang sedang mekar, seolah ikut menyambut sinar mentari.Hatinya terasa lebih ringan, sejak kejadian itu Xavier mencium dirinya. Ada rasa baru yang tumbuh, seolah ia menemukan tempat aman untuk bersembunyi dari kerasnya dunia.Tanpa ia sadari, Xavier sudah berdiri di belakangnya. Dengan langkah pelan, Xavier mendekat lalu mengecup pipi Vivienne.“Selamat pagi, sayang…” Ucap Xavier lembut.Vivienne tersentak kecil, lalu menoleh dengan pipi merona“Kamu ini, bikin kaget aja. Dari tadi ternyata di belakangku, ya?” Sahut Vivienne.Xavier tersenyum nakal, duduk di samping Vivienne.“Aku nggak tahan lihat kamu sendirian di sini. Aku pengen jadi orang pertama yang bikin pagimu indah.”Vivienne menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya“Hmm… berhasil sih. Tapi jangan sering-sering bikin aku kaget begitu.”Xavier menggenggam tangannya“Kalau kagetnya karena cinta

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 16 - Ciuman Pertama

    Beberapa hari kemudian, Vivienne sudah jauh lebih sehat. Luka di kepalanya hanya menyisakan bekas tipis.Xavier memutuskan untuk mengajaknya keluar rumah.“Kau sudah bosan di rumah, kan? Aku akan ajak kamu keluar sebentar.”Vivienne terkejut tapi tersenyum kecil.“Benarkah? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melihat kota.” Sahut Vivienne.Vivienne mengiyakan ajakan Xavier untuk pergi keluar jalan-jalan.*Mobil hitam Xavier melaju tenang di jalan malam yang basah setelah hujan sore tadi.Vivienne menatap keluar jendela, kagum melihat kerlap-kerlip lampu kota.“Indah sekali...” Ucap Vivienne.Xavier meliriknya sebentar“Kau suka?” Tanyanya.Vivienne mengangguk.“Aku merasa seperti... hidupku normal lagi.”Xavier hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya ia bertekad, aku akan pastikan kau benar-benar bisa hidup normal suatu hari nanti.Xavier membawa Vivienne ke restoran dengan pemandangan kota dari lantai 50.Vivienne hampir tidak percaya melihat tempatnya begitu mewah.Vivienne ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status