Share

Bab 4: Cemburu

Penulis: Mr. Al
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-26 09:23:00

Setelah pembicaraan yang penuh emosi di taman, Maya dan Arif merasa lebih lega. Mereka sepakat untuk menjaga hubungan mereka, apapun yang terjadi. Namun, kedekatan mereka menambah ketegangan yang masih terasa di udara, apalagi dengan petualangan mencari harta karun yang masih menunggu di depan mata.

Di pagi hari, Arif datang ke rumah Maya dengan membawa sarapan. Dia mengetuk pintu dengan lembut, namun terdengar cukup jelas di rumah Maya yang tenang. "Tok... tok... tok... Maya, aku Arif. Boleh masuk?"

Maya membuka pintu dengan senyum lebar. "Arif, pagi-pagi sudah ke sini. Ada apa?" tanyanya sambil mempersilakan Arif masuk.

Arif tersenyum dan mengangkat bungkusan di tangannya. "Aku bawa sarapan. Kupikir kita bisa membahas rencana hari ini sambil makan bersama."

Maya merasa hangat dengan perhatian Arif. "Terima kasih, Arif. Ayo masuk. Kita sarapan di dapur," jawab Maya sambil mengajaknya masuk.

Mereka duduk di meja makan dan mulai menikmati sarapan sederhana yang dibawa Arif. "Jadi, apa rencanamu hari ini, Maya?" tanya Arif sambil mengunyah roti.

Maya menatap piring itu sambil tersenyum. "Aku pikir, kita harus memikirkan langkah berikutnya. Peta baru itu menunjukkan harta karun ada di puncak gunung Senja. Tapi kita perlu persiapan yang lebih baik."

Arif mengangguk setuju. "Kamu benar. Kita juga harus mencari tahu lebih banyak tentang tempat itu. Mungkin ada sesuatu yang bisa membantu kita."

Maya mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari informasi tentang gunung Senja. Sambil menunggu halaman web terbuka, dia tak sengaja melihat notifikasi dari Dika, teman kuliahnya, yang bertanya kabar. Maya membalas pesan itu dengan cepat, sambil tertawa kecil mengingat masa-masa kuliah dulu.

Arif yang duduk di depannya memperhatikan dengan seksama. "Siapa yang kamu chat, Maya?" tanyanya dengan nada yang berusaha terdengar santai.

"Oh, ini Dika. Teman kuliahku yang kemarin aku ceritakan. Dia cuma nanya kabar," jawab Maya tanpa menyadari nada cemburu di suara Arif.

Arif menghela napas pelan, mencoba menahan diri. "Maya, kamu masih sering komunikasi sama dia?"

Maya menatap Arif, sedikit bingung. "Ya, kadang-kadang. Kenapa, Arif? Kamu cemburu lagi?"

Arif terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk jujur. "Iya, Maya. Aku cemburu. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku hanya takut kamu lebih dekat sama dia dibandingkan denganku."

Maya tersenyum lembut, mencoba menenangkan Arif. "Arif, kamu sahabatku. Dan sekarang setelah kamu jujur soal perasaanmu, aku juga mulai memikirkan kamu lebih dari sekedar sahabat. Jadi, tolong, jangan cemburu tanpa alasan."

Namun, meskipun kata-kata Maya menenangkan, rasa cemburu itu masih bersemayam di hati Arif. Mereka menyelesaikan sarapan dengan sedikit keheningan yang canggung. Setelah itu, mereka kembali ke kamar untuk bersiap-siap melanjutkan rencana mereka mencari informasi tentang gunung Senja.

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Maya bangkit untuk membukanya dan terkejut melihat Dika, teman kuliahnya, berdiri di depan rumah. "Selamat pagi, Maya! Maaf mendadak, aku kebetulan ada urusan di dekat sini dan ingat kamu tinggal di desa ini. Jadi, aku putuskan untuk mampir," katanya dengan ramah.

Arif mengernyitkan dahi. "Maya, kamu nggak bilang ada teman kuliah yang akan datang," katanya dengan nada yang berusaha terdengar tenang.

Maya, yang juga terkejut dengan kedatangan Dika, menjawab. "Aku juga nggak tahu, Arif. Ini juga mendadak."

Dika melihat ketegangan di antara Maya dan Arif. "Maaf kalau aku mengganggu. Kalau tidak keberatan, bisakah kita berbicara sebentar, Maya? Aku tidak akan lama."

Maya menoleh ke Arif yang terlihat tak senang, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, Dika. Ayo kita bicara di luar."

Mereka berjalan keluar, meninggalkan Arif dengan perasaan campur aduk. Arif menatap pintu yang tertutup, merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini. "Kenapa semua jadi rumit?" gumamnya pelan.

Di luar, Dika dan Maya duduk di bangku taman kecil di depan rumah. "Maya, aku sebenarnya ingin minta maaf karena dulu kita sempat bertengkar. Aku merasa bersalah dan ingin memperbaiki hubungan kita sebagai teman," kata Dika dengan nada tulus.

Maya tersenyum kecil. "Dika, itu sudah lama sekali. Aku sudah melupakan semua itu. Terima kasih sudah datang dan minta maaf."

Dika mengangguk lega. "Terima kasih, Maya. Aku senang mendengarnya. Bagaimana kabarmu sekarang? Apa ada yang baru?"

Maya menceritakan sedikit tentang petualangannya mencari harta karun bersama Arif, namun tanpa terlalu banyak detail. Dia tidak ingin terlalu membuka cerita mereka pada orang lain. Sementara itu, Arif yang mendengarkan dari dalam rumah merasa semakin gelisah. Dia memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan mereka.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Arif dengan nada dingin.

Maya menoleh dan melihat Arif dengan ekspresi tak senang. "Kami cuma ngobrol, Arif. Tenang saja."

Dika merasakan ketegangan di udara dan memutuskan untuk pamit. "Maya, aku harus pergi sekarang. Senang bisa bertemu denganmu lagi. Arif, terima kasih sudah mengizinkan aku mampir."

Arif mengangguk kaku, tidak mengatakan apa-apa. Setelah Dika pergi, Maya dan Arif kembali masuk ke dalam rumah. Namun, suasana hati Arif masih buruk. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya.

"Maya, aku nggak suka caramu berbicara dengan Dika tadi," kata Arif dengan nada marah.

Maya yang mulai kesal dengan sikap Arif, menjawab dengan tegas. "Arif, Dika hanya teman lama. Aku nggak ngerti kenapa kamu harus cemburu seperti ini."

Arif berdiri dari kursinya, mencoba mengendalikan emosinya. "Kamu bilang dia cuma teman, tapi kenapa kamu terlihat sangat senang bertemu dengannya? Apa aku tidak cukup penting bagimu?"

Maya menggelengkan kepala dengan frustrasi. "Arif, kamu tahu betapa pentingnya kamu bagiku. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan cemburu tanpa alasan. Ini melelahkan."

Arif menatap Maya dengan mata yang penuh amarah dan kesedihan. "Mungkin kamu nggak pernah tahu betapa sulitnya bagiku melihatmu dekat dengan orang lain. Aku mencintaimu, Maya. Tapi kamu nggak pernah peka."

Maya terdiam sejenak, terkejut mendengar pengakuan Arif yang langsung dan emosional. "Arif, aku... aku nggak tahu harus bilang apa."

Arif menghela napas panjang, mencoba meredakan kemarahannya. "Maya, aku hanya ingin kamu mengerti perasaanku. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Maya merasa bingung dan tersakiti. "Arif, aku juga peduli padamu. Tapi aku nggak bisa terus menghadapi kecemburuanmu yang berlebihan. Ini membuatku merasa tertekan."

Pertengkaran itu mencapai puncaknya ketika Maya tidak tahan lagi dengan sikap Arif. "Arif, aku butuh waktu sendiri. Aku nggak bisa terus begini," kata Maya dengan tegas, lalu beranjak keluar dari rumahnya sendiri.

Arif hanya bisa menatap kepergian Maya dengan perasaan hancur. "Kenapa semua jadi seperti ini? Kenapa Maya nggak pernah mengerti?" gumamnya dengan suara pelan.

Sementara itu, Maya berjalan cepat menuju rumahnya sendiri. Setibanya di kamar, dia duduk di tepi tempat tidurnya, merasa sangat kesal dan bingung. "Kenapa Arif harus begitu? Kenapa dia nggak bisa percaya padaku?" pikir Maya dengan frustrasi.

Maya mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tahu bahwa Arif sangat berarti baginya, tapi sikap cemburu yang berlebihan itu sangat menyakitkan. "Aku harus berbicara lagi dengan Arif, tapi mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri dulu," pikirnya.

Hari itu berlalu dengan perasaan yang campur aduk bagi keduanya. Arif yang merasa bersalah dan bingung, serta Maya yang merasa terluka dan kesal. Mereka berdua tahu bahwa ada banyak hal yang harus dibicarakan dan diselesaikan, namun mereka juga sadar bahwa perasaan mereka satu sama lain sangat dalam dan tulus.

Malam itu, Maya berbaring di tempat tidurnya, memikirkan semua yang terjadi. Dia merasakan campuran emosi antara rasa sayang, kesal

, dan bingung. "Aku harus bicara lagi dengan Arif, tapi dengan kepala yang lebih dingin," pikirnya sebelum akhirnya tertidur.

Di sisi lain, Arif juga berbaring di kamarnya, memikirkan bagaimana cara memperbaiki hubungan mereka. Dia merasa sangat bersalah telah membuat Maya merasa tidak nyaman. "Aku harus belajar lebih percaya padanya. Aku tidak ingin kehilangan dia," gumamnya sebelum akhirnya tertidur dengan harapan bahwa besok akan menjadi hari yang lebih baik.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 17: Keromantisan Maya dan Arif

    Setelah makan siang yang hangat dan penuh canda tawa, Luki memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Maaf teman-teman, aku harus kembali ke kantor. Ada beberapa kasus narkoba yang harus aku tangani," katanya, berdiri dari kursinya. Maya mengangguk memahami. "Terima kasih sudah menemani kita, Luki. Hati-hati di jalan." Luki tersenyum dan mengangguk. "Pasti, Maya. Kalian juga hati-hati. Arif, jaga Maya baik-baik," katanya dengan nada serius namun hangat. "Tenang saja, Luki. Aku akan menjaga Maya," balas Arif dengan tersenyum. Luki melambaikan tangan dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Arif dan Maya yang masih duduk menikmati momen mereka. Setelah Luki pergi, Arif mengalihkan pandangannya kepada Maya. "Bagaimana kalau kita pergi ke pantai? Aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu." Maya tersenyum dan mengangguk. "Tentu, aku juga ingin menghabiskan waktu bersamamu," katanya dengan nada lembut. Mereka kemudian menuju pantai yang tidak jauh dari desa mereka. Sesampainya di

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 16: Jadian

    Maya, Arif dan Luki turun dari gunung senja itu, meninggalkan kekecewaan yang sangat luar biasa karena peti harta Karun yang mereka dapatkan susah payah diambil oleh Dika sang penghianat. "aku tidak menyangka hal ini akan terjadi", kata Maya yang sedih. "sudahlah Maya jangan sedih, aku tahu kamu nampak kecewa, begitupun aku dan Luki", kata Arif yang mencoba menenangkannya. "betul, Maya, perjuangan kita belum berakhir, kita akan rebut kembali peti harta Karun itu, dan aku akan pastikan mereka akan menyesal" ucap Luki yang juga kecewa dan kesal. "tuan Luki, lebih baik kita gunakan jalur pendaki untuk turun dari tempat ini, agar lebih cepat" ucap salah satu anak buahnya yang memberikan idenya. "benar, Maya, Arif kita gunakan jalur pendaki saja biar cepat turun dari sini" jawab Luki kepada anak buahnya dan juga memberikan saran kepada Maya dan Arif. "ayo kita turun melalui jalur itu, agar cepat sampai kebawah" ajak Maya yang memutuskan untuk mengikuti saran dari anak buahnya

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 15: Tanda Bahaya

    Arif berlari kembali ke arah Maya, menangkap tangannya sebelum dia jatuh. “Dapat,” katanya sambil menariknya kembali ke tempat aman. Maya memeluk Arif erat-erat. “Terima kasih. Hampir saja aku terjatuh.” Luki menyeberang terakhir, memastikan tidak ada lagi papan yang rapuh dan mengajak yang lainnya berjalan lebih cepat, akhirnya. “Kita berhasil,” katanya saat mereka semua sudah berada di sisi lain. Namun, perjalanan mereka belum berakhir. Mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan lantai berjubel mosaik warna-warni. Di tengah ruangan, terdapat sebuah pintu batu besar yang terlihat sangat kuno. “Lantai ini pasti jebakan,” kata Luki. “Kita harus mencari pola yang benar untuk sampai ke pintu itu.” Arif memperhatikan pola di lantai, mencoba mencari tahu. “Ini seperti teka-teki,” katanya. “Kita harus menginjak hanya pada warna tertentu.” Maya, yang memiliki ingatan visual yang kuat, memperhatikan mosaik dengan cermat. “Aku pikir kita harus menginjak warna biru dan kuning saja,” katan

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 14. Ujian ketangkasan dan Cinta

    Melihat pertarungan yang terjadi di depan mata, Maya, Arif, dan Luki merasa jantung mereka berdegup kencang. Anak buah Luki yang terluka segera diobati oleh rekannya, sementara yang lain memastikan tidak ada lagi ancaman di sekitar mereka. Maya memandang Arif dengan mata penuh kekhawatiran dan memeluknya, "apakah kita bisa melewati rintangan ini, Arif?", tanya Maya dengan sedih dalam dekapan Arif tapi Arif mengangguk menenangkan, "tenang Maya, kita pasti akan bisa melewati rintangan ini dengan baik" kata Andi sambil mengusap kepala Maya. Setelah anak buah Luki memastikan area benar-benar aman, mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Matahari mulai merangkak naik, menunjukkan bahwa mereka harus segera mencapai tujuan sebelum malam tiba lagi. Perjalanan mereka semakin berat, dengan jalan yang semakin terjal dan bebatuan yang licin. Namun, semangat mereka tidak goyah. Mereka tahu bahwa di balik setiap rintangan, ada harta karun yang menunggu, bukan hanya dalam bentuk ma

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 13: Jebakan mematikan Dika

    "Besok kita akan melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Senja. Kita hampir sampai," jawab Arif dengan semangat. "Aku yakin kita akan mencapai puncak dan menemukan harta karun yang kita cari." Maya tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak sabar untuk melihat pemandangan dari puncak. Dan yang lebih penting, aku tidak sabar untuk berbagi momen itu dengan kalian." Luki mengangkat cangkirnya. "Untuk perjalanan kita, persahabatan, dan cinta yang kita temukan di sepanjang jalan." Mereka bertiga bersulang, merayakan kebersamaan dan petualangan yang telah mereka lalui. Di tengah malam yang tenang, mereka merasakan keajaiban persahabatan dan cinta yang mengikat mereka. Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk masuk ke tenda dan beristirahat. Maya merasa sangat lelah, tetapi hatinya penuh dengan kebahagiaan. Dia berbaring di dalam tenda, merasa nyaman di dekat Arif dan Luki. "Selamat malam, Arif, Luki," kata Maya dengan suara lembut. "Selamat malam, Maya," jawab Arif sambil me

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 12: Cinta Yang Tumbuh Di Gunung Senja

    Arif dan Luki memperhatikan pria itu dengan seksama. "Nama Bapak siapa?" tanya Luki. "Saya Rahman. Saya dari kota Jayakarta. Saya ikut rombongan pendaki, tapi terpisah saat badai kemarin," jawabnya. "oh, iya memang badai kemarin itu sangat besar sekali, Pak Rahman" ucap Arif yang membenarkan perkataannya, "pak mohon maaf, kami tidak bisa berlama-lama, kami sebenarnya sedang dalam misi penting. Kami tidak bisa meninggalkan lokasi ini, tapi kami bisa membantu Anda kembali ke jalur pendakian," kata Arif dengan sopan "Terima kasih, Mas. Saya mengerti. Mungkin bisa memberi saya petunjuk arah saja," Pak Rahman berkata sambil mengusap dahinya yang berkeringat. Luki segera mengambil peta dan menunjukkan jalur yang mereka lewati. "Pak, dari sini, Bapak bisa turun melalui jalur ini. Ini lebih aman dan lebih dekat ke basecamp," jelas Luki. "Baik, terima kasih banyak atas bantuannya," kata Pak Rahman sambil berusaha bangkit. "Semoga misi kalian sukses." "Semoga selamat sampai tujuan,

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 11: Mimpi Dalam Gua

    Arif dan Luki duduk berjaga-jaga di depan gua yang lembab, menikmati teh hangat di sore hari yang dingin. Hujan badai semalam telah mengguyur mereka tanpa ampun saat mereka mendaki Gunung Senja. Kini, Maya, sahabat kecil mereka yang pemberani, terbaring tak berdaya di sudut gua, suhu tubuhnya panas karena demam dan pingsan akibat terjatuh.Arif memandang Maya dengan penuh kekhawatiran. Dia menyeka keringat di dahi Maya dan mengganti kompres di keningnya dengan kain baru yang sudah direndam air dingin. "Luki, aku tak bisa tenang melihatnya seperti ini. Dia terlihat sangat lemah," katanya, suaranya penuh kekhawatiran.Luki, yang duduk tidak jauh dari sana, mengangguk. "Jangan khawatir, Arif. Kita semua di sini untuk memastikan Maya baik-baik saja. Dia selalu kuat," jawabnya sambil mengaduk teh dalam cangkirnya."Tapi kita harus tetap waspada," balas Arif. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di sini."Luki meletakkan cangkirnya dan menatap Arif dengan serius. "Aku mengerti. Kita harus

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 10: Hujan Badai

    Maya, Arif, Luki, dan Dika terus melangkah menuju puncak gunung, kabut tebal mulai menyelimuti perjalanan mereka, membuat jarak pandang semakin terbatas. Mereka dengan hati-hati dalam langkah kakinya agar tidak tersesat atau terjatuh.“Kalian harus hati-hati!, jalanan ini sangat licin,” kata Arif sambil mengingatkan teman-temannya.“Iya, kita harus lebih waspada,” timpal Maya sambil memegang erat tasnya.Langkah demi langkah mereka lakukan, tiba-tiba di tengah perjalanan, Maya, Luki, dan Dika terjatuh ke dalam sebuah lubang yang cukup dalam. "Aaaaaaa" terikat mereka yang terperosok dalam lubang yang cukup dalam.Memang, itu adalah jebakan yang dibuat oleh anak buah Dika untuk menjebak mereka. Entah kenapa mereka tidak langsung datang dan mengepung mereka, ataukah karena kabut yang sangat tebal sehingga merekapun susah untuk melangkah.“Arif! Tolong! Kita terjatuh!” teriak Maya dengan panik.Arif yang berada sedikit lebih jauh di depan, segera berbalik dan berlari ke arah suara Maya.

  • Cinta Dalam Kilauan Senja   Bab 9: Melanjutkan Perjalanan

    "Huuftt... Akhirnya kita selamat kali ini, kita harus tetap waspada" kata Arif yang coba mengatur nafas. Tiba-tiba Dika datang dan berteriak"woy... Tungguin!" “Dika, kemana aja, lama amat kembalinya. Kita udah ribut-ribut di sini, kamu malah baru muncul,” keluh Arif dengan nada kesal. Dika mencoba terlihat tidak bersalah. “Sorry, bro. Perut gue benar-benar nggak bisa diajak kompromi tadi, emang ada apa si?” Maya, yang tadinya cemas, kini merasa lega melihat mereka semua baik-baik saja. “Ya sudah, yang penting kita semua selamat.” Luki hanya diam sambil tetap waspada. Dia tahu Dika punya rencana licik, tapi dia memilih untuk tidak memancing masalah sekarang. Hari mulai beranjak sore, dan mereka sadar perlu mencari tempat untuk beristirahat. “Kita harus segera cari tempat buat mendirikan tenda. Hari sudah mulai gelap,” kata Luki. “Ayo kita cari tempat yang agak luas dan aman,” jawab Maya sambil melihat sekitar. Mereka berjalan menyusuri jalur setapak hingga menemukan s

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status