Perjanjian di Tengah Hujan

Arunika membeku di tempatnya. Nama pria itu tidak ia kenal, tapi aura kekuasaan yang menguar darinya begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Di tengah keputusasaannya, kehadiran pria asing dengan mobil mewah ini terasa seperti sebuah hal yang berbahaya. Namun, ia tak punya apa-apa lagi untuk ditakuti.

“Saya tidak butuh tumpangan,” jawab Arunika dingin, berusaha mempertahankan sisa-sisa harga dirinya.

Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak menunjukkan kehangatan. “Benarkah? Nama saya Rakha Maheswara. Dan saya tahu semua tentangmu, Arunika Prameswari. Kejatuhanmu yang begitu cepat, adikmu yang terbaring di dalam sana, dan tentu saja… tagihan yang akan membunuhnya.”

Setiap kata yang diucapkan Rakha seperti tamparan. Pria ini tahu segalanya. Ketakutan baru yang lebih dingin mulai merayapi Arunika. Ini bukan kebetulan.

“Apa mau Anda?” tanyanya langsung, suaranya bergetar menahan amarah dan ketakutan.

“Masuklah,” kata Rakha, mengabaikan pertanyaannya dan menunjuk pintu mobil yang terbuka secara otomatis. “Kita bicara di dalam.”

Dengan pilihan yang semakin menipis, Arunika masuk ke dalam mobil. Interiornya beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang samar. Kemewahan di dalamnya begitu kontras dengan kekacauan hidupnya.

Rakha tidak berbasa-basi. Ia menyodorkan sebuah tablet ke arah Arunika. Di layarnya, terpampang rincian tagihan rumah sakit Farel hingga hari itu. Di bawahnya, sebuah tombol virtual bertuliskan ‘LUNASI SEKARANG’.

Mata Arunika terbelalak.

“Saya bisa membuat semua masalah uangmu hilang dalam satu detik,” ujar Rakha, matanya tak pernah lepas dari wajah Arunika. “Aku bisa memindahkan adikmu ke ruang VVIP dengan perawatan terbaik. Aku bisa memberimu kehidupan yang bahkan tidak pernah kau impikan.”

Arunika menelan ludah. “Apa… apa imbalannya?”

“Sederhana,” jawab Rakha. “Aku ingin kau bekerja untukku. Kakak tiriku, Arvan Maheswara, adalah CEO Maheswara Corp. Dia akan segera membutuhkan Sekretaris Eksekutif baru. Aku ingin kau mengambil posisi itu.” Rakha mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan yang berbahaya. “Dan kau akan melaporkan setiap langkahnya, setiap pertemuannya, setiap rahasianya kepadaku.”

Darah Arunika serasa berhenti mengalir. Menjadi mata-mata. Mengkhianati kepercayaan seseorang. Semua hal yang dulu ia lawan sebagai seorang jaksa.

“Saya… saya tidak bisa,” tolaknya lirih, meskipun hatinya menjerit ragu.

Rakha bersandar kembali di kursinya, seolah sudah menduga jawaban itu. “Pilihan yang naif. Tapi kau tidak punya banyak waktu untuk idealisme, bukan?”

Ia mengetuk layar tabletnya, menampilkan live feed dari kamera CCTV di kamar Farel. Adiknya terbaring pucat, dikelilingi mesin-mesin yang berkedip.

“Dokter bilang, tanpa perawatan intensif, kondisinya bisa memburuk kapan saja. Pikirkan baik-baik, Arunika. Prinsipmu, atau nyawa adikmu?”

Pertanyaan itu menghantam Arunika seperti palu godam. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Ia menatap wajah Farel di layar, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Janjinya pada ayah dan ibunya terngiang kembali.

Ia kalah. Hancur.

Dengan suara bergetar yang nyaris tak terdengar, ia berbisik, “Saya… terima.”

Senyum kemenangan yang dingin terukir di wajah Rakha. “Keputusan yang cerdas.” Tanpa ragu, jarinya menekan tombol ‘LUNASI SEKARANG’ di layar tablet. Seketika, ponsel butut Arunika di dalam sakunya bergetar. Sebuah notifikasi pesan dari pihak rumah sakit muncul di layarnya.

Pembayaran tagihan atas nama pasien Farel Prameswari telah diterima dan dilunasi.

Arunika menatap pesan itu dengan nanar. Semudah itu. Dengan satu sentuhan jari, pria di sampingnya telah membeli hidup adiknya, dan juga jiwanya.

Rakha mengambil kembali tabletnya. “Pekerjaanmu dimulai besok pagi. Jam delapan, jangan terlambat.” Tatapannya mengunci Arunika, dingin dan posesif. “Dan ingat satu hal. Mulai detik ini, hidupmu adalah milikku.”