Kendaraan beroda dua membawa sepasang sejoli mengitari jalan dalam kepekatan malam, sejuknya sepoi angin merasuk ke dalam pori-pori. Namun, tak bisa menembus panasnya hati Sayyidah saat ini.
"Hey! Kok diam aja," ujar Abbas yang telah memahami suasana hati istrinya."Nggak,” jawabnya ketus.
Abbas menghembuskan nafasnya pelan, sekilas sebuah senyuman terbit di bibirnya."Kita makan di luar aja, ya?! Aku lagi males makan di rumah," ujar Abbas.Ajakannya tak di respon Sayyidah, ia harus memutar otak untuk merubah mood istrinya."Tugas kuliahku hari ini banyak banget, apalagi tugas khidmah, tapi aku ngga boleh menyerah! Aku mau cari makanan yang bisa ngilangin stres," ungkap Abbas, ia membelokkan arah motornya ke kanan, beberapa meter setelahnya terlihat lebih ramai di kelilingi para pedagang di sepanjang jalan.Abbas menghentikan motornya di tempat penjual martabak. Ia beranjak, tetapi Sayyidah tak mauHari berikutnya ...Selesai dzikir sholat, Abbas melirik istrinya yang terlihat lesu, tetapi wajahnya masih terlihat ayu dengan balutan mukenah gradasi putih abu.Ia memilih sholat jama’ah maghrib di rumah bersama istrinya karena sebelumnya ia sakit perut dan tertinggal jama’ah di masjid terdekat."Kenapa Say?" Abbas mengernyitkan dahinya.Sayyidah tak menjawab, ia terlihat menghembuskan nafasnya pelan."Ya Khumairahku mukamu mengapa masam begitu?" ucapnya lembut."Bas ...." Mulutnya manyun."Kenapa?" Semakin mendekatkan wajahnya, sontak Sayyidah memundurkan tubuhnya kebelakang."Nggak usah deket-deket, aku nggak mau batal wudhu sampe isya.""Baiklah." Abbas menyeringai.Sayyidah menghempaskan nafasnya kasar."Memangnya aku hina karena nggak mengenal hukum agama?" Menitikkan bulir air mata."Aku juga ingin jadi orang baik, wanita sholehah sepe
Sayyidah menatap dirinya di pantulan cermin dalam kamar mandi. Iamemegangi dadanya yang bergemuruh, bisa-bisanya jatuhnya berdebar kencang saat bersama Abbas tadi. "Nggak mungkin aku jatuh cinta sama dia! Sofyan lebih dari segalanya! Lebih ganteng, lebih putih, lebih maco, lebih keren. Abbas?? Ah! Dia mah biasa aja." Sayyidah mencibir pantulan wajahnya sendiri. Ia mendengus kesal. "Hello! Sayyidah lo masih waras 'kan? Inget tujuan lo belajar menjadi manusia yang baik karena perintah mamah, bukan untuk jatuh cinta dengan laki-laki seperti Abbas. Hidup di lingkungan Abbas saja sudah bikin hidup lo seperti di planet lain, belum lagi sikap istri temannya yang menyebalkan. Ini bukan hidup lo! Lo harus sadar!" Sayyidah merutuki diri sendiri. Tok ... tok ... tok ...“Say! Udah selesai belum?” Abbas memanggilnya dari luar. “Belum! Bisa sabar nggak sih?!” Sayyidah merajuk kesal. Ia menghentikan tingkahnya bertaut di cermin dan bergegas
"Kuliah lo lancar?" tanyanya."Alhamdulillah, lo gimana?""Hahaha ... lo alim bener Ay, sampe ngucap alhamdulillah segala. Apa jangan-jangan bener ya, kalau lo udah jadi alim sekarang?""Masa sih?" Bahkan Sayyidah tak mengerti lidahnya mengucapkan sendiri kalimat-kalimat suci. Kebiasaan di sini memang sudah ia lazimi."Gue liat foto lo sama sepupu lo yang pake peci itu," ungkap Sofyan."Oh, itu," ucapnya datar."By the way gue bener kangen sama lo Ay, apa gue susul lo aja ya ke sana?""Eh, jangan Sof!""Kenapa? Gue sayang sama lo," ucapnya membuat hati Sayyidah berbunga-bunga. Ia mulai terpikat rayuan buaya."Gue juga kangen lo Sof," ujarnya pelan seraya menutupi pipinya yang telah bersemu merah dengan jari-jari lentiknya."Hahaha." Sofyan tertawa menang, akhirnya Sayyidah mengungkapkan isi hatinya. Gampang kok, tinggal di pancing nanti ikannya masuk perang
POV Abbas Kehidupan tenangku tiba-tiba runtuh ketika mendapat kabar kematian umi, apalagi ia berpesan agar nanti aku menikahi wanita yang takku kenali, bahkan namanya pun masih asing di telinga ini. “Nak, umi minta kamu untuk menikahi Sayyidah anaknya Tante Marwah, ya?! Bantu beliau membimbing anaknya,” pesan umi sebelum akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir, setelah mengucap kalimat tauhid. Hari pertama aku bertemu dengannya, Sayyidah namanya, nama yang bagus, sebagus rupanya. Namun, ia terlihat angkuh dan tak menyukaiku.Saat aku menjabat tangan penghulu untuk menjadikan Sayyidah sebagai istriku, itulah saat aku merasa beban pundak tanggung jawabku menggunung. Pernikahan di usia muda tidak pernah aku duga sebelumnya. Di usia kedua puluh aku harus menikahi gadis yang baru lulus SMA, secara ekonomi aku memang belum matang, walaupun peninggalan umi yang di dermakan masih tersisa untuk masa depan, tapi haruskah aku hanya berpangku
"Semuanya bubar! Lanjut kegiatan masing-masing!" tutur Halimah memerintahkan para santriwati untuk meninggalkan mereka. Kirani menatap keduanya sekilas, sebelum akhirnya melenggangkan kakinya pergi tanpa sepatah kata pun.Halimah memapahnya keluar dari halaman masjid, cerahnya pagi mulai memancar. Ia mengajak Sayyidah duduk di taman kecil tepat di samping gerbang pondok putri."Sayyidah kamu harus sabar, yah! Jangan dengerin omongan orang lain!" bujuk Halimah mencoba menenangkan hati Sayyidah."Memangnya aku sehina itu Kak? Aku nggak pantes ya, di lingkungan kalian?" Sorot matanya kembali nanar."Nggak, setiap orang yang berusaha menjadi lebih baik adalah mulia, apalagi kamu tidak melakukan hal hina apa pun. Itu hanya pandangan sebagian orang saja, bagiku kamu wanita baik dan sholehah," tukas Halimah."Tapi dari penuturan Mba Kirani selama ini, aku seperti orang hina yang banyak dosa. Memang pergaulanku nggak sebaik se
Setelah sarapan pagi dengan nasi goreng dan telur ceplok buatan Abbas, Sayyidah duduk santai di kamar, kepalanya menyender di ranjang yang terbuat dari bambu. Jari-jarinya menscroll layar ponsel tanpa henti, ia biasa begini menstalking akun sosial media teman-temannya atau sekedar mencari informasi berita terkini. Klunting! [Say, gimana kabar kaka gue di sana?] tertanda Zahra. Send Sayyidah[Baik Za, sehat bugar, alhamdulillah] Zahra[Syukurlah] Sayyidah[Gue heran loh Za] Zahra[Heran kenapa lo?] Sayyidah[Kaka sama adik kok bisa beda jauh wataknya, yang di sini seperti penghuni syurga, yang di sono kaya kebalikannya ( emot ngakak) ] Zahra[Astagfirullahal ‘adzim, nggak boleh ngomong gitu lo Say.Nih gue sampe istighfar, kurang alim apa gue!] Sayyidah[Wkwkwkwk] Zahra[Say, bikinin gue kaya gini] pesannya diiringi sebuah video.
Ia mematikan layar ponselnya, lalu melangkahkan kaki menuju kamar mengikuti kata hatinya. Netranya menangkap Abbas yang masih tertidur pulas di atas ranjang. Pelan-pelan ia mendekat, memperhatikan lekat wajah laki-laki yang telah menemani hari-harinya setelah ia di tinggal Marwah, setelah saudara-saudaranya sibuk dengan kehidupannya sendiri dan menyerahkan Sayyidah kepada laki-laki yang belum ia kenali. "Kamu manis Bas." Ia pandangi wajah sawo matang suaminya yang terlihat lebih putih, alisnya hitam legam, lebat seperti hendak menyatu. Hidungnya mancung dan bulu-bulu halus di ujung dagunya terlihat lebih banyak yang tumbuh. Jari Sayyidah menyentuh dahinya lembut, turun melalu hidung, lalu ia membelai jenggot Abbas yang begitu menggemaskan baginya. Tiba-tiba manik mata Abbas terbuka."Sayyidah!" Seketika ia segera menarik tangan nakalnya dan menyembunyikan di belakang tubuhnya. "Ada apa?" Abbas mengerjap
"Hmmm ... iya aku maafin, tapi masih berusaha karena nggak segampang itu mengobati hatiku yang terluka," ungkapnya seraya mengunyah sepotong kue lagi. “Alhamdulillah.” Abbas menerbitkan senyumnya. “Say, gimana kalau kita memberikan dia hadiah?” ujarnya dengan ekspresi yang penuh harap. “What?! Ngasih hadiah ke Kirani? No!” tuturnya spontan. “Memberi hadiah adalah akhlak mulia yang dianjurkan dalam islam. Nabi Muhammad Sholallahu ‘allaihi wassalam merupakan manusia teladan dalam hal ini. Faedah memberi hadiah bisa mendatangkan kecintaan, menumbuhkan kasih sayang, menghilangkan kedengkian dan melembutkan hati.”“Kita harus berusaha membersihkan hati kita dari penyakitnya karena itu salah satu kunci agar kita menjadi ahli surga.” “Iya deh iya,” ucapnya malas, mulutnya penuh dengan kunyahan kue. "Nah gitu dong, ini baru Sayyidah Fatimah istriku yang paling cantik," rayunya. "Tutup mu