Leo berdiri di depan kaca besar kamarnya, memandangi bayangan dirinya yang samar tertimpa cahaya kota Berlin di malam hari. Dari lantai delapan apartemen mewah di Charlottenburg, ia bisa melihat kerlap-kerlip lampu kota, jalan-jalan yang tak pernah benar-benar sepi, dan gedung-gedung tua yang bersanding dengan modernitas. Tapi malam itu, pikirannya tak tertuju pada warisan keluarganya, saham Eichen Group, atau pesta bisnis yang harus ia hadiri esok.
Ia memikirkan seorang gadis bernama Amara.
Bukan karena ia sulit didekati—Leo terbiasa dengan itu—tetapi karena ia merasa, untuk pertama kalinya, seseorang melihat dirinya… tanpa embel-embel nama besar yang selalu membayangi.
Di atas meja kerjanya, ada undangan terbuka: "Diskusi Budaya Mahasiswa Internasional: Perjumpaan Dua Dunia." Acara kampus itu biasanya tak menarik perhatian Leo, tapi kali ini ia memutuskan datang. Tidak secara kebetulan, karena ia tahu Amara menjadi salah satu panelis.
Di aula utama kampus, suasana terasa hidup. Bendera berbagai negara menggantung dari langit-langit. Meja-meja kecil menyajikan makanan khas: lumpia dari Filipina, samosa dari India, dan tentu saja, nasi goreng yang cukup membuat Leo penasaran mencoba. Musik lembut mengalun dari speaker, namun sebagian besar perhatian tertuju ke panggung kecil di depan.
Amara berdiri di sana, anggun dalam balutan blouse putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya yang digulung rapi memancarkan kesan profesional. Ia sedang menjelaskan bagaimana arsitektur modern di Jerman tetap mempertahankan nilai sejarah, sesuatu yang menarik banyak perhatian dari mahasiswa internasional.
Leo berdiri di belakang aula, menyimak diam-diam. Nada suara Amara tenang, pilihan katanya matang. Tidak ada basa-basi berlebihan, tak ada upaya untuk tampil lebih dari yang ia yakini.
Ketika diskusi selesai dan para peserta mulai menyebar, Leo berjalan mendekat ke arah meja minuman. Ia melihat Amara sedang berdiri sendiri, mengaduk jus jeruk di tangannya.
“Kalau kamu terus berdiri sendirian seperti itu, orang-orang akan berpikir kamu terlalu dingin untuk didekati,” ujarnya santai.
Amara menoleh. “Atau terlalu sibuk untuk berpura-pura tertarik pada basa-basi.”
Leo tersenyum. “Kamu selalu setajam ini?”
“Cuma kalau sedang didekati pewaris perusahaan yang tidak sadar dirinya pusat perhatian,” balasnya ringan, tapi ada secercah senyum di ujung bibirnya.
Leo tertawa kecil. “Oke, fair. Tapi serius, kamu hebat tadi. Aku bahkan baru tahu tentang integrasi gaya Bauhaus dan Gothic yang kamu jelaskan.”
Amara menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih.”
Ada jeda sesaat. Bukan karena canggung, tapi karena keduanya, meski berbeda dunia, menyadari bahwa mereka sedang menyeberangi batas yang tak terlihat.
Leo memutuskan membuka diri sedikit.
“Kamu tahu? Banyak yang pikir jadi pewaris itu enak. Tapi kadang rasanya seperti hidup di dalam sangkar emas. Semua sudah ditentukan. Apa yang kau makan, siapa yang kau kenal, bahkan siapa yang mungkin akan kau nikahi.”
Amara terkejut mendengar nada jujur dalam suaranya. “Kamu terdengar... lelah.”
Leo mengangguk pelan. “Karena memang begitu. Aku lelah dikenal sebagai ‘von Eichen’. Kadang aku berharap bisa kuliah tanpa wajahku muncul di artikel kampus. Atau duduk di perpustakaan tanpa dianggap sedang cari perhatian.”
Amara menatapnya lama. Di balik citra flamboyan dan statusnya, Leo ternyata menyimpan luka yang tak semua orang bisa lihat.
“Aku juga hidup di bawah tekanan,” ujarnya lirih. “Tapi bukan tekanan dari harta. Aku harus sukses, karena orang-orang di rumah bergantung padaku. Aku tak boleh gagal. Tidak di negara orang. Tidak dengan beasiswa ini.”
Mata mereka bertemu. Dua dunia yang sangat berbeda, tapi rasa yang mereka tanggung ternyata serupa: beban ekspektasi.
“Tapi setidaknya kamu masih bisa memilih dengan siapa kamu bicara,” ucap Amara. “Aku cuma... berharap kamu tidak pura-pura jadi orang biasa demi simpati.”
Leo mengangkat tangannya. “Aku tidak berpura-pura. Aku cuma ingin dikenali bukan karena nama belakangku.”
Amara terdiam sesaat, lalu berkata pelan, “Kalau begitu... kita mulai dari awal?”
Leo mengangkat alis.
“Nama aku Amara,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Leo tersenyum, menyambut tangannya. “Leonhardt. Tapi... untukmu, cukup Leo saja.”
Dan untuk pertama kalinya, percakapan mereka terasa jujur. Seperti dua manusia biasa yang bertemu di tengah kota besar, mencoba memahami dunia satu sama lain—tanpa bayangan gelar, tanpa tekanan status.
Hanya sepasang mata yang melihat dan mengerti.
Di rumah batu tua yang telah menjadi tempat berlindung dan pelarian, Elias duduk di teras, mencoret-coret halaman jurnalnya. Ia tak lagi menulis data atau laporan. Hanya puisi-puisi kecil yang ia bagi untuk dirinya dan Mira.Mira muncul dari dalam rumah, mengenakan gaun linen berwarna krem. Rambutnya dibiarkan terurai, mata keemasan itu memancarkan kedamaian yang tak bisa dicuri siapa pun.“Aku baru saja selesai menidurkan anak-anak di kelas sore,” katanya pelan, lalu mendekat dan duduk di pangkuan Elias.Elias menyambutnya dengan pelukan lembut. “Dan sekarang giliranmu untuk ditidurkan?”Mira menggeleng dengan senyum nakal. “Tidak malam ini. Malam ini... aku ingin merasa hidup. Di atas tubuhmu. Dalam diam, dalam nafas, dalam getar.”Ia tak butuh undangan dua kali.Elias mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke kamar tidur yang jendelanya terbuka menghadap ladang anggur. Aroma mawar dan rosemary masuk bersama udara malam, menyelimuti keduanya saat tubuh mereka bersatu dalam tarian
Musim semi datang lebih awal di Istanbul tahun itu. Pepohonan di taman Gülhane mulai mekar, burung-burung melintasi langit biru yang bersih, dan aroma kopi hangat dari kedai-kedai jalanan menguar lebih kuat dari biasanya.Di sebuah bangku taman yang menghadap ke selat Bosphorus, Elias duduk dengan Mira di sampingnya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Tapi matanya tak membaca, melainkan menatap anak-anak kecil yang berlarian di antara bunga-bunga tulip.Mira tersenyum, menyenderkan kepala di bahu Elias. “Aku selalu suka tempat ini. Tenang, tapi hidup.”Elias membalas senyum itu. “Kau tahu, setiap kali aku melihat anak-anak itu... aku pikir mungkin Liesel pernah membayangkan hal seperti ini juga. Dunia yang tak lagi dibentuk oleh sistem, tapi oleh harapan kecil yang tumbuh tanpa tekanan.”Mira mengangguk. “Dan sekarang, dunia seperti itu bukan cuma mungkin. Ia sedang tumbuh—perlahan.”Sejak kehancuran Proyek Hawa dan lenyapnya sistem Liesel, dunia telah bergerak ke arah yang berbeda.
Setelah sistem dihancurkan, dan vila Varn ditinggalkan dalam sunyi, Elias, Mira, dan Hawa duduk di pinggir dermaga kecil dekat desa nelayan. Laut Hitam menghampar gelap, tapi malam terasa lebih ringan dari biasanya—seperti beban yang akhirnya dilepaskan dari pundak generasi.Mira memeriksa kembali sisa-sisa data dari sistem yang sempat mereka unduh sebelum kehancuran total. Di antara potongan algoritma dan rekaman keamanan, ada satu file aneh—tidak terlindungi enkripsi, hanya diberi judul sederhana:"Untuk Leo, dari Liesel."Elias menatap layar dengan dada sesak. Ia tahu suara itu akan menghantuinya… dan sekaligus menyelamatkannya.Mira membuka file. Muncullah video. Liesel duduk di meja kayu, tanpa jas lab, tanpa layar di belakangnya. Hanya dirinya—seorang ibu, bukan ilmuwan."Leo, jika kau menonton ini, maka semua telah sampai pada ujungnya.""Aku tidak tahu di mana kau sekarang, dan bersama siapa. Tapi jika kau selamat, maka kau telah melakukan hal yang bahkan aku sendiri tak beran
Vila Dr. Nikolaus Varn berdiri megah di antara tebing-tebing curam Laut Hitam, dikelilingi tembok batu tinggi dan penjagaan bersenjata. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari luar, namun pantulan lampu inframerah di jendela kaca membuktikan bahwa tempat itu aktif—dan sangat terlindungi.Elias dan Mira menyusup di tengah malam, dibantu oleh kontak lama Liesel, seorang ahli elektronik tua bernama Emre, yang telah lama tinggal di wilayah pesisir itu sebagai nelayan.“Tempat itu bukan vila,” kata Emre saat mereka memantau dari perahu kecil. “Itu laboratorium. Bawah tanahnya dua tingkat. Kau tak akan masuk tanpa akses biometrik.”Elias menatap layar pemindai. “Tapi aku punya sesuatu yang bisa mereka baca.”Mira mengerutkan dahi. “Kau akan memancing mereka?”“Jika Liesel benar... jika aku adalah kunci, maka mungkin—sistem keamanan mereka akan membukakan pintu bagiku.”Dan benar saja.Begitu Elias mendekati pagar otomatis dari sisi timur, sinyal keamanan memindainya dalam diam. Pintu besi berder
Istanbul memeluk mereka dengan kekacauan yang hangat. Deru kapal ferry melintasi Bosphorus, azan dari masjid-masjid tua bersahut-sahutan dengan tawa anak-anak di gang sempit. Kota ini tidak peduli siapa kau kemarin—di sini, semua bisa dimulai kembali.Leo—kini dengan nama baru, Elias Andros—bekerja sebagai penerjemah lepas. Ia menata hidup di apartemen kecil di kawasan Cihangir, dikelilingi toko buku dan kedai teh. Amara, yang kini dikenal sebagai Mira, menjadi sukarelawan di sekolah bahasa untuk pengungsi Suriah. Mereka hidup seperti dua titik kecil dalam lautan manusia yang terus bergerak.Tidak ada jejak chip Liesel. Tidak ada nama Rosenthal. Hanya pagi yang tenang, malam yang sederhana, dan sepotong dunia yang akhirnya terasa manusiawi.Tapi mimpi tak bisa selamanya menyembunyikan kenyataan.Suatu sore, saat Elias baru pulang dari pasar, ia menemukan secarik surat terselip di bawah pintu. Tidak ada pengirim. Hanya tiga kata:"Kami belum lupa."Tangannya mengepal.Ia membuka semua
Cahaya biru pucat dari layar hologram memenuhi ruangan apartemen itu. Leo duduk diam, tatapannya terpaku pada serangkaian file yang muncul satu per satu setelah chip Liesel berhasil terbaca.Folder utama bertajuk: Projekt Adam.Amara duduk di sampingnya, memegang secangkir teh yang sudah mendingin. Ia tidak bicara. Tak ingin mengganggu proses Leo yang tampak seperti sedang menghadapi bayangan hidupnya sendiri.Leo membuka file pertama.Sebuah video muncul—Liesel duduk di ruang kerjanya, jauh lebih muda dari yang Leo ingat. Rambutnya lebih hitam, kulitnya lebih cerah, dan matanya… tetap setajam logika murni.“Hari ini aku memulai tahap awal Projekt Adam,” suara Liesel mengisi ruangan. “Bukan sebagai sistem pengganti, tapi sebagai bentuk terakhir dari penyesuaian genetis dan psikis manusia. Jika dunia gagal memahami Eulysium, maka aku akan ciptakan seseorang—satu manusia—yang tak hanya mampu memahami sistem… tapi menjadi penyeimbangnya.”Leo menegang.Liesel menatap ke kamera, seolah be