Inicio / Romansa / Cinta Dalam Riuh Salju / Bab 3: Jejak di U-Bahn

Compartir

Bab 3: Jejak di U-Bahn

Autor: K.A. Helmy
last update Última actualización: 2025-06-11 20:35:25

Amara mengencangkan syal di lehernya saat hembusan angin dingin menerpa dari arah peron bawah tanah. Stasiun U-Bahn Zoologischer Garten masih ramai meskipun jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Wajah-wajah lelah, koper-koper kecil, dan aroma makanan cepat saji bercampur dalam ritme khas kota besar. Amara berdiri di tepi peron, matanya fokus pada jadwal kedatangan.

Hari itu melelahkan. Tiga kelas, satu rapat tim proyek, dan laporan yang belum rampung. Ia hanya ingin pulang ke apartemennya di Moabit dan menikmati mi instan serta video kuliah sebelum tidur.

Kereta datang dengan suara berdecit. Saat pintu terbuka, Amara masuk dan segera mencari tempat duduk kosong. Ia meletakkan ransel di pangkuannya dan mengenakan headphone, menyetel musik instrumental agar bisa merilekskan pikiran. Namun sebelum lagu pertama selesai, ada suara yang sangat familiar terdengar dari arah depannya.

"Sering juga ya kita ketemu tanpa sengaja."

Suara yang terasa familiar dan Amara membuka mata. Leo berdiri di sana, menyeringai sambil memegang tiang di samping tempat duduknya. Ia mengenakan mantel panjang warna cokelat tua, dan rambutnya tampak agak acak-acakan ditiup oleh angin malam Berlin.

“Kamu ngikutin aku?” Amara menyipitkan mata.

“Percaya deh, aku nggak punya cukup waktu untuk jadi penguntit,” balas Leo, Leo duduk di kursi kosong di seberangnya. “Ini jalur yang aku pakai hampir setiap hari ke studio musik kampus. Sekarang kebetulan kamu ada di sini.”

Amara menatapnya sejenak. Ia tidak tahu mana yang lebih mengganggu: kenyataan bahwa Leo tampaknya jujur… atau kenyataan bahwa ia tak keberatan dengan kebetulan ini.

“Aku pikir kamu punya supir pribadi,” katanya sambil melepas headphone.

Leo mengangkat bahu. “Punya. Tapi aku benci dikawal terus. Naik U-Bahn lebih terasa nyata. Di sini, orang nggak peduli siapa aku.”

Amara menahan tawa kecil. “Kecuali kalau kamu menyapa mereka dulu, seperti sekarang.”

Leo tertawa. “Ya, kamu pengecualian.”

Kereta melaju melewati stasiun berikutnya, dan percakapan mereka berubah menjadi lebih ringan. Mereka bicara tentang makanan kantin kampus yang terasa makin aneh, tentang profesor arsitektur yang suka menyisipkan pantun Jerman kuno dalam kuliah, hingga soal salju pertama yang konon akan turun akhir bulan ini.

“Jadi, kamu ke studio musik? Kamu main musik?” tanya Amara dengan nada ingin tahu.

Leo tampak antusias. “Iya. Piano, sejak kecil. Kadang juga nulis lagu. Bukan untuk dipublikasikan sih. Lebih kayak… pelarian.”

Amara menatapnya dengan ekspresi baru—seperti melihat sisi lain dari seorang pria yang selama ini hanya dikenal lewat label pewaris dan berita sensasi. “Kamu tidak seperti yang orang bayangkan.”

Leo tersenyum kecil. “Itu bisa jadi pujian, atau peringatan.”

“Anggap saja pujian sementara,” jawab Amara, menyilangkan tangan.

Beberapa menit kemudian, suara dari pengeras berbunyi: “Nächster Halt: Turmstraße.” Amara berdiri.

“Ini stasiunku,” katanya sambil merapikan ranselnya.

Leo ikut berdiri. “Aku juga turun di sini.”

“Kamu serius?” Amara menoleh tajam.

Leo mengangkat tangan. “Bukan stalking, aku janji. Studio musiknya dua blok dari sini. Kalau kamu tidak nyaman, aku bisa jalan lebih dulu.”

Amara menghela napas, lalu mengangguk. “Tidak apa-apa. Tapi jangan terlalu sering muncul tiba-tiba, nanti aku pikir kamu bagian dari eksperimen sosial.”

Mereka keluar bersama dari kereta. Berlin malam hari tampak magis dalam balutan lampu jalan dan suara kendaraan yang tak pernah berhenti. Langkah mereka beriringan dan pelan, tidak saling terburu-buru karena sebenarnya mereka ingin waktu berjalan lambat tanpa tahu mengapa, mungkin sekedar ingin mengobrol lebih lama atau karena alasan lainnya.

Sampai di persimpangan kecil, mereka berhenti.

“Jadi... aku ke kiri,” kata Amara.

“Aku ke kanan,” balas Leo.

Keduanya saling berpandangan. Hening beberapa detik.

“Terima kasih sudah membuat malam ini tidak terasa terlalu berat,” ucap Amara akhirnya.

Leo tersenyum, kali ini lebih tulus dari sebelumnya. “Kamu juga. Sampai jumpa lagi, Amara.”

“Sampai jumpa, Leo.”

Dan malam itu, saat mereka berbalik arah, langkah mereka terasa ringan. Seolah di tengah riuh kota besar ini, dua dunia yang berbeda mulai saling mendekat—sedikit demi sedikit, tanpa mereka sadari. 

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 69– Saat Dunia Tak Lagi Mengejar

    Di rumah batu tua yang telah menjadi tempat berlindung dan pelarian, Elias duduk di teras, mencoret-coret halaman jurnalnya. Ia tak lagi menulis data atau laporan. Hanya puisi-puisi kecil yang ia bagi untuk dirinya dan Mira.Mira muncul dari dalam rumah, mengenakan gaun linen berwarna krem. Rambutnya dibiarkan terurai, mata keemasan itu memancarkan kedamaian yang tak bisa dicuri siapa pun.“Aku baru saja selesai menidurkan anak-anak di kelas sore,” katanya pelan, lalu mendekat dan duduk di pangkuan Elias.Elias menyambutnya dengan pelukan lembut. “Dan sekarang giliranmu untuk ditidurkan?”Mira menggeleng dengan senyum nakal. “Tidak malam ini. Malam ini... aku ingin merasa hidup. Di atas tubuhmu. Dalam diam, dalam nafas, dalam getar.”Ia tak butuh undangan dua kali.Elias mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke kamar tidur yang jendelanya terbuka menghadap ladang anggur. Aroma mawar dan rosemary masuk bersama udara malam, menyelimuti keduanya saat tubuh mereka bersatu dalam tarian

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 68 – Langkah-Langkah Terakhir

    Musim semi datang lebih awal di Istanbul tahun itu. Pepohonan di taman Gülhane mulai mekar, burung-burung melintasi langit biru yang bersih, dan aroma kopi hangat dari kedai-kedai jalanan menguar lebih kuat dari biasanya.Di sebuah bangku taman yang menghadap ke selat Bosphorus, Elias duduk dengan Mira di sampingnya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Tapi matanya tak membaca, melainkan menatap anak-anak kecil yang berlarian di antara bunga-bunga tulip.Mira tersenyum, menyenderkan kepala di bahu Elias. “Aku selalu suka tempat ini. Tenang, tapi hidup.”Elias membalas senyum itu. “Kau tahu, setiap kali aku melihat anak-anak itu... aku pikir mungkin Liesel pernah membayangkan hal seperti ini juga. Dunia yang tak lagi dibentuk oleh sistem, tapi oleh harapan kecil yang tumbuh tanpa tekanan.”Mira mengangguk. “Dan sekarang, dunia seperti itu bukan cuma mungkin. Ia sedang tumbuh—perlahan.”Sejak kehancuran Proyek Hawa dan lenyapnya sistem Liesel, dunia telah bergerak ke arah yang berbeda.

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 67 – Surat Terakhir dari Claudia

    Setelah sistem dihancurkan, dan vila Varn ditinggalkan dalam sunyi, Elias, Mira, dan Hawa duduk di pinggir dermaga kecil dekat desa nelayan. Laut Hitam menghampar gelap, tapi malam terasa lebih ringan dari biasanya—seperti beban yang akhirnya dilepaskan dari pundak generasi.Mira memeriksa kembali sisa-sisa data dari sistem yang sempat mereka unduh sebelum kehancuran total. Di antara potongan algoritma dan rekaman keamanan, ada satu file aneh—tidak terlindungi enkripsi, hanya diberi judul sederhana:"Untuk Leo, dari Liesel."Elias menatap layar dengan dada sesak. Ia tahu suara itu akan menghantuinya… dan sekaligus menyelamatkannya.Mira membuka file. Muncullah video. Liesel duduk di meja kayu, tanpa jas lab, tanpa layar di belakangnya. Hanya dirinya—seorang ibu, bukan ilmuwan."Leo, jika kau menonton ini, maka semua telah sampai pada ujungnya.""Aku tidak tahu di mana kau sekarang, dan bersama siapa. Tapi jika kau selamat, maka kau telah melakukan hal yang bahkan aku sendiri tak beran

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 66 – Hawa yang Terlupakan

    Vila Dr. Nikolaus Varn berdiri megah di antara tebing-tebing curam Laut Hitam, dikelilingi tembok batu tinggi dan penjagaan bersenjata. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari luar, namun pantulan lampu inframerah di jendela kaca membuktikan bahwa tempat itu aktif—dan sangat terlindungi.Elias dan Mira menyusup di tengah malam, dibantu oleh kontak lama Liesel, seorang ahli elektronik tua bernama Emre, yang telah lama tinggal di wilayah pesisir itu sebagai nelayan.“Tempat itu bukan vila,” kata Emre saat mereka memantau dari perahu kecil. “Itu laboratorium. Bawah tanahnya dua tingkat. Kau tak akan masuk tanpa akses biometrik.”Elias menatap layar pemindai. “Tapi aku punya sesuatu yang bisa mereka baca.”Mira mengerutkan dahi. “Kau akan memancing mereka?”“Jika Liesel benar... jika aku adalah kunci, maka mungkin—sistem keamanan mereka akan membukakan pintu bagiku.”Dan benar saja.Begitu Elias mendekati pagar otomatis dari sisi timur, sinyal keamanan memindainya dalam diam. Pintu besi berder

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 65 – Kota yang Melupakan

    Istanbul memeluk mereka dengan kekacauan yang hangat. Deru kapal ferry melintasi Bosphorus, azan dari masjid-masjid tua bersahut-sahutan dengan tawa anak-anak di gang sempit. Kota ini tidak peduli siapa kau kemarin—di sini, semua bisa dimulai kembali.Leo—kini dengan nama baru, Elias Andros—bekerja sebagai penerjemah lepas. Ia menata hidup di apartemen kecil di kawasan Cihangir, dikelilingi toko buku dan kedai teh. Amara, yang kini dikenal sebagai Mira, menjadi sukarelawan di sekolah bahasa untuk pengungsi Suriah. Mereka hidup seperti dua titik kecil dalam lautan manusia yang terus bergerak.Tidak ada jejak chip Liesel. Tidak ada nama Rosenthal. Hanya pagi yang tenang, malam yang sederhana, dan sepotong dunia yang akhirnya terasa manusiawi.Tapi mimpi tak bisa selamanya menyembunyikan kenyataan.Suatu sore, saat Elias baru pulang dari pasar, ia menemukan secarik surat terselip di bawah pintu. Tidak ada pengirim. Hanya tiga kata:"Kami belum lupa."Tangannya mengepal.Ia membuka semua

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 64 – Proyek Adam

    Cahaya biru pucat dari layar hologram memenuhi ruangan apartemen itu. Leo duduk diam, tatapannya terpaku pada serangkaian file yang muncul satu per satu setelah chip Liesel berhasil terbaca.Folder utama bertajuk: Projekt Adam.Amara duduk di sampingnya, memegang secangkir teh yang sudah mendingin. Ia tidak bicara. Tak ingin mengganggu proses Leo yang tampak seperti sedang menghadapi bayangan hidupnya sendiri.Leo membuka file pertama.Sebuah video muncul—Liesel duduk di ruang kerjanya, jauh lebih muda dari yang Leo ingat. Rambutnya lebih hitam, kulitnya lebih cerah, dan matanya… tetap setajam logika murni.“Hari ini aku memulai tahap awal Projekt Adam,” suara Liesel mengisi ruangan. “Bukan sebagai sistem pengganti, tapi sebagai bentuk terakhir dari penyesuaian genetis dan psikis manusia. Jika dunia gagal memahami Eulysium, maka aku akan ciptakan seseorang—satu manusia—yang tak hanya mampu memahami sistem… tapi menjadi penyeimbangnya.”Leo menegang.Liesel menatap ke kamera, seolah be

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status