Inicio / Romansa / Cinta Dalam Riuh Salju / Bab 1: Pertemuan di Perpustakaan

Compartir

Cinta Dalam Riuh Salju
Cinta Dalam Riuh Salju
Autor: K.A. Helmy

Bab 1: Pertemuan di Perpustakaan

Autor: K.A. Helmy
last update Última actualización: 2025-06-11 20:34:52

Musim gugur pertama di Berlin datang dengan warna-warna hangat yang memeluk kota. Daun-daun maple jatuh perlahan dari pohon-pohon di sekitar kampus Technische Universität Berlin, menciptakan lukisan alami di atas trotoar berbatu. Bagi Amara kamil, setiap langkah di kota ini adalah impian yang menjadi kenyataan. Dulu, ia hanya melihat Berlin dari halaman buku sejarah dan layar laptop; sekarang, ia menjalaninya. Ternyata kota tersebut lebih dari yang ia bayangkan sebelumnya. Sangat indah perpaduan indah antara alam dan kehidupan kota yang semarak. Kota Berlin berubah menjadi palet warna yang kaya dengan daun-daun yang berubah warna, menciptakan pemandangan yang menakjubkan di berbagai taman dan hutan.

Hari itu, perpustakaan utama kampus lebih ramai dari biasanya. Amara berhasil menemukan satu meja kosong di sudut dekat jendela. Ia meletakkan laptop, dua buku tebal tentang arsitektur abad pertengahan, dan secangkir kopi panas yang sudah mulai dingin. Di luar, langit kelabu menggantung rendah. Hujan mungkin akan turun kapan saja, tetapi ia tenggelam dalam konsentrasi. Ada presentasi penting yang akan digelar minggu depan, dan Amara tak pernah setengah-setengah dalam hal akademik.

Ketika ia sedang mencatat, seseorang menarik kursi di depannya. Tanpa meminta izin.

“Ada orang di sini,” ucap Amara datar tanpa mengalihkan pandangan dari catatannya.

“Aku tahu,” jawab suara laki-laki itu, dalam dengan aksen Jerman-Inggris yang bersih. “Tapi ini satu-satunya meja kosong yang tak dikelilingi fans.”

Amara mengangkat alis. ‘Fans’?

Ia mendongak, dan matanya langsung menangkap wajah yang nyaris ia kenali dari poster-poster di halte tram dan artikel yang tak sengaja terbuka di media sosialnya.

Leonhardt von Eichen.

Tampan. Tinggi. Berambut pirang dengan gelombang ringan yang tampak disusun asal. Hoodie biru tua dengan lambang rumah mode mahal. Sneakers putih yang masih terlalu bersih. Tapi sorot matanya lelah, seolah mencari tempat untuk menjadi manusia biasa.

Amara menahan dengusan dan kembali ke bukunya. “Perpustakaan, bukan runway.”

Leo menyeringai, tak menyangka perempuan asing yang tidak mengenalnya—atau pura-pura tidak—berani mengucapkan itu. "Kamu bukan penggemar beratku, kelihatannya."

“Aku tidak terlalu suka orang yang merasa dunia berputar karena mereka,” balas Amara tanpa menatapnya.

Leo tertawa kecil, bukan dengan ejekan, tapi seperti menemukan sesuatu yang langka. Ia membuka laptopnya dan mulai mengetik, diam-diam mencuri pandang ke arah Amara yang kembali tenggelam dalam bukunya. Ada sesuatu dari cara gadis itu duduk tegak, tangan cepat menulis sambil bibirnya sedikit mengerucut—yang membuat Leo terpesona. Bukan karena kecantikannya semata, tapi karena ketidaktertarikannya padanya. Itu hal yang jarang ia temui.

Mereka duduk dalam diam selama hampir satu jam. Sesekali suara hujan terdengar mengetuk kaca jendela, dan aroma buku tua bercampur kopi memenuhi udara. Hening yang nyaman.

Tiba-tiba, Amara berdiri, mengemasi barang-barangnya.

“Kamu selalu seserius ini belajar?” tanya Leo, akhirnya membuka percakapan.

Amara menatapnya. “Kalau kamu tahu rasanya harus bersaing dengan ratusan mahasiswa lokal untuk bertahan di program beasiswa, kamu juga akan serius.”

Leo mengangguk, entah mengerti atau hanya mencoba sopan.

“Namamu siapa?” tanyanya.

“Amara,” jawab gadis itu singkat. “Dan aku bukan bagian dari ‘fans’ itu. Jadi jangan berharap akan ada selfie.”

Hening...

Leo hanya diam dengan kebisuannya, tidak menyangka jika respon gadis itu diluar dari dugaannya. Karena dunia Leo yang biasanya dipenuhi oleh gadis-gadis palsu yang ingin menumpang ketenaran dibalik tokoh-tokoh berpengaruh.

Lalu…

Amara pergi begitu saja. Membiarkan Leo berdiri sendiri di tengah perpustakaan yang terasa sepi padahal ramai lebih dari biasanya.

Leo hanya bisa menatap punggungnya menghilang di balik rak buku, lalu menatap layar laptopnya yang kosong. Untuk pertama kalinya sejak lama, pikirannya tidak bisa fokus pada angka, grafik, atau jadwal pewarisannya. Yang tertinggal di benaknya hanya satu nama: Amara.

Amara berjalan pergi menembus rintik hujan yang mulai turun, meninggalkan perpustakaan, meninggalkan Leo dengan rasa terkejutnya, dan meninggalkan keraguan yang belum sempat dipahami sepenuhnya. Dia berusaha untuk focus dengan presentasi pentingnya minggu depan.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 69– Saat Dunia Tak Lagi Mengejar

    Di rumah batu tua yang telah menjadi tempat berlindung dan pelarian, Elias duduk di teras, mencoret-coret halaman jurnalnya. Ia tak lagi menulis data atau laporan. Hanya puisi-puisi kecil yang ia bagi untuk dirinya dan Mira.Mira muncul dari dalam rumah, mengenakan gaun linen berwarna krem. Rambutnya dibiarkan terurai, mata keemasan itu memancarkan kedamaian yang tak bisa dicuri siapa pun.“Aku baru saja selesai menidurkan anak-anak di kelas sore,” katanya pelan, lalu mendekat dan duduk di pangkuan Elias.Elias menyambutnya dengan pelukan lembut. “Dan sekarang giliranmu untuk ditidurkan?”Mira menggeleng dengan senyum nakal. “Tidak malam ini. Malam ini... aku ingin merasa hidup. Di atas tubuhmu. Dalam diam, dalam nafas, dalam getar.”Ia tak butuh undangan dua kali.Elias mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke kamar tidur yang jendelanya terbuka menghadap ladang anggur. Aroma mawar dan rosemary masuk bersama udara malam, menyelimuti keduanya saat tubuh mereka bersatu dalam tarian

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 68 – Langkah-Langkah Terakhir

    Musim semi datang lebih awal di Istanbul tahun itu. Pepohonan di taman Gülhane mulai mekar, burung-burung melintasi langit biru yang bersih, dan aroma kopi hangat dari kedai-kedai jalanan menguar lebih kuat dari biasanya.Di sebuah bangku taman yang menghadap ke selat Bosphorus, Elias duduk dengan Mira di sampingnya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Tapi matanya tak membaca, melainkan menatap anak-anak kecil yang berlarian di antara bunga-bunga tulip.Mira tersenyum, menyenderkan kepala di bahu Elias. “Aku selalu suka tempat ini. Tenang, tapi hidup.”Elias membalas senyum itu. “Kau tahu, setiap kali aku melihat anak-anak itu... aku pikir mungkin Liesel pernah membayangkan hal seperti ini juga. Dunia yang tak lagi dibentuk oleh sistem, tapi oleh harapan kecil yang tumbuh tanpa tekanan.”Mira mengangguk. “Dan sekarang, dunia seperti itu bukan cuma mungkin. Ia sedang tumbuh—perlahan.”Sejak kehancuran Proyek Hawa dan lenyapnya sistem Liesel, dunia telah bergerak ke arah yang berbeda.

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 67 – Surat Terakhir dari Claudia

    Setelah sistem dihancurkan, dan vila Varn ditinggalkan dalam sunyi, Elias, Mira, dan Hawa duduk di pinggir dermaga kecil dekat desa nelayan. Laut Hitam menghampar gelap, tapi malam terasa lebih ringan dari biasanya—seperti beban yang akhirnya dilepaskan dari pundak generasi.Mira memeriksa kembali sisa-sisa data dari sistem yang sempat mereka unduh sebelum kehancuran total. Di antara potongan algoritma dan rekaman keamanan, ada satu file aneh—tidak terlindungi enkripsi, hanya diberi judul sederhana:"Untuk Leo, dari Liesel."Elias menatap layar dengan dada sesak. Ia tahu suara itu akan menghantuinya… dan sekaligus menyelamatkannya.Mira membuka file. Muncullah video. Liesel duduk di meja kayu, tanpa jas lab, tanpa layar di belakangnya. Hanya dirinya—seorang ibu, bukan ilmuwan."Leo, jika kau menonton ini, maka semua telah sampai pada ujungnya.""Aku tidak tahu di mana kau sekarang, dan bersama siapa. Tapi jika kau selamat, maka kau telah melakukan hal yang bahkan aku sendiri tak beran

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 66 – Hawa yang Terlupakan

    Vila Dr. Nikolaus Varn berdiri megah di antara tebing-tebing curam Laut Hitam, dikelilingi tembok batu tinggi dan penjagaan bersenjata. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari luar, namun pantulan lampu inframerah di jendela kaca membuktikan bahwa tempat itu aktif—dan sangat terlindungi.Elias dan Mira menyusup di tengah malam, dibantu oleh kontak lama Liesel, seorang ahli elektronik tua bernama Emre, yang telah lama tinggal di wilayah pesisir itu sebagai nelayan.“Tempat itu bukan vila,” kata Emre saat mereka memantau dari perahu kecil. “Itu laboratorium. Bawah tanahnya dua tingkat. Kau tak akan masuk tanpa akses biometrik.”Elias menatap layar pemindai. “Tapi aku punya sesuatu yang bisa mereka baca.”Mira mengerutkan dahi. “Kau akan memancing mereka?”“Jika Liesel benar... jika aku adalah kunci, maka mungkin—sistem keamanan mereka akan membukakan pintu bagiku.”Dan benar saja.Begitu Elias mendekati pagar otomatis dari sisi timur, sinyal keamanan memindainya dalam diam. Pintu besi berder

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 65 – Kota yang Melupakan

    Istanbul memeluk mereka dengan kekacauan yang hangat. Deru kapal ferry melintasi Bosphorus, azan dari masjid-masjid tua bersahut-sahutan dengan tawa anak-anak di gang sempit. Kota ini tidak peduli siapa kau kemarin—di sini, semua bisa dimulai kembali.Leo—kini dengan nama baru, Elias Andros—bekerja sebagai penerjemah lepas. Ia menata hidup di apartemen kecil di kawasan Cihangir, dikelilingi toko buku dan kedai teh. Amara, yang kini dikenal sebagai Mira, menjadi sukarelawan di sekolah bahasa untuk pengungsi Suriah. Mereka hidup seperti dua titik kecil dalam lautan manusia yang terus bergerak.Tidak ada jejak chip Liesel. Tidak ada nama Rosenthal. Hanya pagi yang tenang, malam yang sederhana, dan sepotong dunia yang akhirnya terasa manusiawi.Tapi mimpi tak bisa selamanya menyembunyikan kenyataan.Suatu sore, saat Elias baru pulang dari pasar, ia menemukan secarik surat terselip di bawah pintu. Tidak ada pengirim. Hanya tiga kata:"Kami belum lupa."Tangannya mengepal.Ia membuka semua

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 64 – Proyek Adam

    Cahaya biru pucat dari layar hologram memenuhi ruangan apartemen itu. Leo duduk diam, tatapannya terpaku pada serangkaian file yang muncul satu per satu setelah chip Liesel berhasil terbaca.Folder utama bertajuk: Projekt Adam.Amara duduk di sampingnya, memegang secangkir teh yang sudah mendingin. Ia tidak bicara. Tak ingin mengganggu proses Leo yang tampak seperti sedang menghadapi bayangan hidupnya sendiri.Leo membuka file pertama.Sebuah video muncul—Liesel duduk di ruang kerjanya, jauh lebih muda dari yang Leo ingat. Rambutnya lebih hitam, kulitnya lebih cerah, dan matanya… tetap setajam logika murni.“Hari ini aku memulai tahap awal Projekt Adam,” suara Liesel mengisi ruangan. “Bukan sebagai sistem pengganti, tapi sebagai bentuk terakhir dari penyesuaian genetis dan psikis manusia. Jika dunia gagal memahami Eulysium, maka aku akan ciptakan seseorang—satu manusia—yang tak hanya mampu memahami sistem… tapi menjadi penyeimbangnya.”Leo menegang.Liesel menatap ke kamera, seolah be

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status