Inicio / Romansa / Cinta Dalam Riuh Salju / Bab 9: Salju Tak Pernah Bohong

Compartir

Bab 9: Salju Tak Pernah Bohong

Autor: K.A. Helmy
last update Última actualización: 2025-06-11 20:37:11

Salju tak berhenti turun malam itu. Berlin tenggelam dalam keheningan putih yang begitu indah sekaligus menyesakkan. Di dalam kamarnya yang hangat namun sepi, Amara duduk bersandar di dekat jendela, memandangi butir-butir salju yang jatuh tanpa suara. Biasanya pemandangan ini membawanya ketenangan. Tapi malam ini, hanya kebingungan yang ia rasakan.

Ponselnya bergetar beberapa kali. Nama Leo terus muncul di layar—dengan pesan-pesan pendek: “Maaf.”, “Aku ingin menjelaskan semuanya.”, “Berikan aku satu kesempatan.”

Tapi Amara belum menjawab satu pun.

Bukan karena ia tidak peduli. Justru karena ia terlalu peduli. Jika ia tidak peduli, ia tak akan merasa sesakit ini. Ia tak akan menahan tangis saat menatap langit Berlin, bertanya-tanya apakah ia memang sudah salah sejak awal, membiarkan hatinya terbuka untuk seseorang yang datang dari dunia yang tak sepenuhnya ia pahami.

Saat pagi menjelang, Amara memutuskan satu hal: ia tidak akan menghindar. Ia butuh penjelasan. Dan Leo perlu tahu bahwa kejujuran bukanlah pilihan, tapi keharusan.

Leo sudah menunggu di depan gerbang kampus, berdiri mematung dengan mata lelah dan jaket panjang hitam. Ketika melihat Amara mendekat, ia langsung berdiri tegak, ragu apakah harus menyapanya dengan senyuman atau tidak.

Amara menghentikan langkah tepat di depannya.

“Aku tidak akan lari dari kenyataan,” katanya datar. “Tapi aku butuh kamu jujur. Semuanya. Dari awal.”

Leo mengangguk. “Kita bicara di tempat yang tenang?”

Mereka berjalan ke taman kecil di belakang gedung filsafat, yang masih diselimuti salju pagi. Tak banyak orang di sana, hanya beberapa mahasiswa yang sedang membaca atau memotret. Leo duduk di bangku panjang, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. Amara duduk, menjaga jarak.

“Aku dan Celine bertemu di Zürich, waktu aku sedang magang di perusahaan keluarga cabang Eropa Tengah. Dia anak diplomat Swiss-Prancis, ambisius, cerdas, dan semua orang di sekitarku menganggap kami pasangan ideal,” Leo memulai, menatap ke depan, pada pepohonan yang menghitam karena basah salju.

“Kami bertunangan setelah delapan bulan. Tapi sejak awal, aku tahu perasaan itu tidak pernah cukup dalam. Celine lebih tertarik pada status, koneksi, dan kehidupan sosial yang kami ciptakan. Aku hanya… ikut arus.”

Amara tidak menyela. Ia mendengarkan, meski hatinya terasa berat.

“Suatu hari, aku tahu aku tidak bisa hidup seperti itu. Aku merasa seperti boneka—selalu tersenyum, selalu tampil, tapi kosong. Jadi aku membatalkan semuanya dan pergi ke Berlin. Aku bahkan memutuskan hubungan dengan ayahku untuk sesaat, karena dia sangat kecewa. Mereka semua mengira aku gila.”

Leo akhirnya menoleh ke arah Amara. “Dan ketika aku bertemu kamu, aku merasa hidupku punya arah lagi. Kamu membuatku merasa bahwa aku tidak harus berpura-pura menjadi orang lain.”

Amara menunduk. “Tapi kamu juga tidak jujur.”

“Aku takut kehilangan kamu, Amara,” bisik Leo. “Aku takut kamu berpikir aku sama saja dengan pria yang hidup hanya demi nama besar.”

Amara menghela napas panjang. Ia bisa merasakan ketulusan di mata Leo, tapi juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia telah dibohongi. “Bohong demi kebaikan tetap saja bohong, Leo.”

“Aku tahu. Dan aku menyesal. Aku akan lakukan apa pun untuk memperbaikinya. Tapi aku tidak akan memaksa.”

Amara diam lama. Ia melihat butiran salju yang mulai turun kembali, menari di udara sebelum menyentuh tanah. Ia ingat satu kalimat dari buku puisi yang pernah ia baca: “Salju tak pernah berbohong, ia datang apa adanya, diam-diam menutupi luka dunia.”

Mungkin cinta juga seperti itu. Tidak harus datang dengan suara keras, tapi dengan ketulusan yang tak bisa disangkal.

Akhirnya, Amara berdiri. “Aku butuh waktu. Tapi jangan pergi.”

Leo bangkit cepat. “Aku tidak akan ke mana-mana.”

Amara menatapnya dalam. “Kalau kamu sungguh ingin mengenalku lebih dekat, Leo, jangan buatku menjadi tokoh latar dalam dramamu yang rumit. Biarkan aku berdiri di tempat yang nyata—bukan bayangan siapa pun dari masa lalu.”

Leo tersenyum, kali ini lebih tenang. “Kamu tidak pernah jadi latar. Kamu adalah pusatnya.”

Amara tersenyum kecil. Lalu berbalik dan berjalan perlahan di jalan setapak taman. Leo tidak mengejarnya. Ia tahu, terkadang yang terpenting bukan memegang tangan seseorang, tapi menunjukkan bahwa kita siap berjalan bersamanya—meski harus menunggu.

Di langit Berlin, salju terus turun. Dan di hati Amara, perasaan itu—meski belum pulih sepenuhnya—mulai menemukan bentuknya kembali.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 69– Saat Dunia Tak Lagi Mengejar

    Di rumah batu tua yang telah menjadi tempat berlindung dan pelarian, Elias duduk di teras, mencoret-coret halaman jurnalnya. Ia tak lagi menulis data atau laporan. Hanya puisi-puisi kecil yang ia bagi untuk dirinya dan Mira.Mira muncul dari dalam rumah, mengenakan gaun linen berwarna krem. Rambutnya dibiarkan terurai, mata keemasan itu memancarkan kedamaian yang tak bisa dicuri siapa pun.“Aku baru saja selesai menidurkan anak-anak di kelas sore,” katanya pelan, lalu mendekat dan duduk di pangkuan Elias.Elias menyambutnya dengan pelukan lembut. “Dan sekarang giliranmu untuk ditidurkan?”Mira menggeleng dengan senyum nakal. “Tidak malam ini. Malam ini... aku ingin merasa hidup. Di atas tubuhmu. Dalam diam, dalam nafas, dalam getar.”Ia tak butuh undangan dua kali.Elias mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke kamar tidur yang jendelanya terbuka menghadap ladang anggur. Aroma mawar dan rosemary masuk bersama udara malam, menyelimuti keduanya saat tubuh mereka bersatu dalam tarian

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 68 – Langkah-Langkah Terakhir

    Musim semi datang lebih awal di Istanbul tahun itu. Pepohonan di taman Gülhane mulai mekar, burung-burung melintasi langit biru yang bersih, dan aroma kopi hangat dari kedai-kedai jalanan menguar lebih kuat dari biasanya.Di sebuah bangku taman yang menghadap ke selat Bosphorus, Elias duduk dengan Mira di sampingnya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Tapi matanya tak membaca, melainkan menatap anak-anak kecil yang berlarian di antara bunga-bunga tulip.Mira tersenyum, menyenderkan kepala di bahu Elias. “Aku selalu suka tempat ini. Tenang, tapi hidup.”Elias membalas senyum itu. “Kau tahu, setiap kali aku melihat anak-anak itu... aku pikir mungkin Liesel pernah membayangkan hal seperti ini juga. Dunia yang tak lagi dibentuk oleh sistem, tapi oleh harapan kecil yang tumbuh tanpa tekanan.”Mira mengangguk. “Dan sekarang, dunia seperti itu bukan cuma mungkin. Ia sedang tumbuh—perlahan.”Sejak kehancuran Proyek Hawa dan lenyapnya sistem Liesel, dunia telah bergerak ke arah yang berbeda.

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 67 – Surat Terakhir dari Claudia

    Setelah sistem dihancurkan, dan vila Varn ditinggalkan dalam sunyi, Elias, Mira, dan Hawa duduk di pinggir dermaga kecil dekat desa nelayan. Laut Hitam menghampar gelap, tapi malam terasa lebih ringan dari biasanya—seperti beban yang akhirnya dilepaskan dari pundak generasi.Mira memeriksa kembali sisa-sisa data dari sistem yang sempat mereka unduh sebelum kehancuran total. Di antara potongan algoritma dan rekaman keamanan, ada satu file aneh—tidak terlindungi enkripsi, hanya diberi judul sederhana:"Untuk Leo, dari Liesel."Elias menatap layar dengan dada sesak. Ia tahu suara itu akan menghantuinya… dan sekaligus menyelamatkannya.Mira membuka file. Muncullah video. Liesel duduk di meja kayu, tanpa jas lab, tanpa layar di belakangnya. Hanya dirinya—seorang ibu, bukan ilmuwan."Leo, jika kau menonton ini, maka semua telah sampai pada ujungnya.""Aku tidak tahu di mana kau sekarang, dan bersama siapa. Tapi jika kau selamat, maka kau telah melakukan hal yang bahkan aku sendiri tak beran

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 66 – Hawa yang Terlupakan

    Vila Dr. Nikolaus Varn berdiri megah di antara tebing-tebing curam Laut Hitam, dikelilingi tembok batu tinggi dan penjagaan bersenjata. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari luar, namun pantulan lampu inframerah di jendela kaca membuktikan bahwa tempat itu aktif—dan sangat terlindungi.Elias dan Mira menyusup di tengah malam, dibantu oleh kontak lama Liesel, seorang ahli elektronik tua bernama Emre, yang telah lama tinggal di wilayah pesisir itu sebagai nelayan.“Tempat itu bukan vila,” kata Emre saat mereka memantau dari perahu kecil. “Itu laboratorium. Bawah tanahnya dua tingkat. Kau tak akan masuk tanpa akses biometrik.”Elias menatap layar pemindai. “Tapi aku punya sesuatu yang bisa mereka baca.”Mira mengerutkan dahi. “Kau akan memancing mereka?”“Jika Liesel benar... jika aku adalah kunci, maka mungkin—sistem keamanan mereka akan membukakan pintu bagiku.”Dan benar saja.Begitu Elias mendekati pagar otomatis dari sisi timur, sinyal keamanan memindainya dalam diam. Pintu besi berder

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 65 – Kota yang Melupakan

    Istanbul memeluk mereka dengan kekacauan yang hangat. Deru kapal ferry melintasi Bosphorus, azan dari masjid-masjid tua bersahut-sahutan dengan tawa anak-anak di gang sempit. Kota ini tidak peduli siapa kau kemarin—di sini, semua bisa dimulai kembali.Leo—kini dengan nama baru, Elias Andros—bekerja sebagai penerjemah lepas. Ia menata hidup di apartemen kecil di kawasan Cihangir, dikelilingi toko buku dan kedai teh. Amara, yang kini dikenal sebagai Mira, menjadi sukarelawan di sekolah bahasa untuk pengungsi Suriah. Mereka hidup seperti dua titik kecil dalam lautan manusia yang terus bergerak.Tidak ada jejak chip Liesel. Tidak ada nama Rosenthal. Hanya pagi yang tenang, malam yang sederhana, dan sepotong dunia yang akhirnya terasa manusiawi.Tapi mimpi tak bisa selamanya menyembunyikan kenyataan.Suatu sore, saat Elias baru pulang dari pasar, ia menemukan secarik surat terselip di bawah pintu. Tidak ada pengirim. Hanya tiga kata:"Kami belum lupa."Tangannya mengepal.Ia membuka semua

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 64 – Proyek Adam

    Cahaya biru pucat dari layar hologram memenuhi ruangan apartemen itu. Leo duduk diam, tatapannya terpaku pada serangkaian file yang muncul satu per satu setelah chip Liesel berhasil terbaca.Folder utama bertajuk: Projekt Adam.Amara duduk di sampingnya, memegang secangkir teh yang sudah mendingin. Ia tidak bicara. Tak ingin mengganggu proses Leo yang tampak seperti sedang menghadapi bayangan hidupnya sendiri.Leo membuka file pertama.Sebuah video muncul—Liesel duduk di ruang kerjanya, jauh lebih muda dari yang Leo ingat. Rambutnya lebih hitam, kulitnya lebih cerah, dan matanya… tetap setajam logika murni.“Hari ini aku memulai tahap awal Projekt Adam,” suara Liesel mengisi ruangan. “Bukan sebagai sistem pengganti, tapi sebagai bentuk terakhir dari penyesuaian genetis dan psikis manusia. Jika dunia gagal memahami Eulysium, maka aku akan ciptakan seseorang—satu manusia—yang tak hanya mampu memahami sistem… tapi menjadi penyeimbangnya.”Leo menegang.Liesel menatap ke kamera, seolah be

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status