LOGINSalju tak berhenti turun malam itu. Berlin tenggelam dalam keheningan putih yang begitu indah sekaligus menyesakkan. Di dalam kamarnya yang hangat namun sepi, Amara duduk bersandar di dekat jendela, memandangi butir-butir salju yang jatuh tanpa suara. Biasanya pemandangan ini membawanya ketenangan. Tapi malam ini, hanya kebingungan yang ia rasakan.
Ponselnya bergetar beberapa kali. Nama Leo terus muncul di layar—dengan pesan-pesan pendek: “Maaf.”, “Aku ingin menjelaskan semuanya.”, “Berikan aku satu kesempatan.”
Tapi Amara belum menjawab satu pun.
Bukan karena ia tidak peduli. Justru karena ia terlalu peduli. Jika ia tidak peduli, ia tak akan merasa sesakit ini. Ia tak akan menahan tangis saat menatap langit Berlin, bertanya-tanya apakah ia memang sudah salah sejak awal, membiarkan hatinya terbuka untuk seseorang yang datang dari dunia yang tak sepenuhnya ia pahami.
Saat pagi menjelang, Amara memutuskan satu hal: ia tidak akan menghindar. Ia butuh penjelasan. Dan Leo perlu tahu bahwa kejujuran bukanlah pilihan, tapi keharusan.
Leo sudah menunggu di depan gerbang kampus, berdiri mematung dengan mata lelah dan jaket panjang hitam. Ketika melihat Amara mendekat, ia langsung berdiri tegak, ragu apakah harus menyapanya dengan senyuman atau tidak.
Amara menghentikan langkah tepat di depannya.
“Aku tidak akan lari dari kenyataan,” katanya datar. “Tapi aku butuh kamu jujur. Semuanya. Dari awal.”
Leo mengangguk. “Kita bicara di tempat yang tenang?”
Mereka berjalan ke taman kecil di belakang gedung filsafat, yang masih diselimuti salju pagi. Tak banyak orang di sana, hanya beberapa mahasiswa yang sedang membaca atau memotret. Leo duduk di bangku panjang, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. Amara duduk, menjaga jarak.
“Aku dan Celine bertemu di Zürich, waktu aku sedang magang di perusahaan keluarga cabang Eropa Tengah. Dia anak diplomat Swiss-Prancis, ambisius, cerdas, dan semua orang di sekitarku menganggap kami pasangan ideal,” Leo memulai, menatap ke depan, pada pepohonan yang menghitam karena basah salju.
“Kami bertunangan setelah delapan bulan. Tapi sejak awal, aku tahu perasaan itu tidak pernah cukup dalam. Celine lebih tertarik pada status, koneksi, dan kehidupan sosial yang kami ciptakan. Aku hanya… ikut arus.”
Amara tidak menyela. Ia mendengarkan, meski hatinya terasa berat.
“Suatu hari, aku tahu aku tidak bisa hidup seperti itu. Aku merasa seperti boneka—selalu tersenyum, selalu tampil, tapi kosong. Jadi aku membatalkan semuanya dan pergi ke Berlin. Aku bahkan memutuskan hubungan dengan ayahku untuk sesaat, karena dia sangat kecewa. Mereka semua mengira aku gila.”
Leo akhirnya menoleh ke arah Amara. “Dan ketika aku bertemu kamu, aku merasa hidupku punya arah lagi. Kamu membuatku merasa bahwa aku tidak harus berpura-pura menjadi orang lain.”
Amara menunduk. “Tapi kamu juga tidak jujur.”
“Aku takut kehilangan kamu, Amara,” bisik Leo. “Aku takut kamu berpikir aku sama saja dengan pria yang hidup hanya demi nama besar.”
Amara menghela napas panjang. Ia bisa merasakan ketulusan di mata Leo, tapi juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia telah dibohongi. “Bohong demi kebaikan tetap saja bohong, Leo.”
“Aku tahu. Dan aku menyesal. Aku akan lakukan apa pun untuk memperbaikinya. Tapi aku tidak akan memaksa.”
Amara diam lama. Ia melihat butiran salju yang mulai turun kembali, menari di udara sebelum menyentuh tanah. Ia ingat satu kalimat dari buku puisi yang pernah ia baca: “Salju tak pernah berbohong, ia datang apa adanya, diam-diam menutupi luka dunia.”
Mungkin cinta juga seperti itu. Tidak harus datang dengan suara keras, tapi dengan ketulusan yang tak bisa disangkal.
Akhirnya, Amara berdiri. “Aku butuh waktu. Tapi jangan pergi.”
Leo bangkit cepat. “Aku tidak akan ke mana-mana.”
Amara menatapnya dalam. “Kalau kamu sungguh ingin mengenalku lebih dekat, Leo, jangan buatku menjadi tokoh latar dalam dramamu yang rumit. Biarkan aku berdiri di tempat yang nyata—bukan bayangan siapa pun dari masa lalu.”
Leo tersenyum, kali ini lebih tenang. “Kamu tidak pernah jadi latar. Kamu adalah pusatnya.”
Amara tersenyum kecil. Lalu berbalik dan berjalan perlahan di jalan setapak taman. Leo tidak mengejarnya. Ia tahu, terkadang yang terpenting bukan memegang tangan seseorang, tapi menunjukkan bahwa kita siap berjalan bersamanya—meski harus menunggu.
Di langit Berlin, salju terus turun. Dan di hati Amara, perasaan itu—meski belum pulih sepenuhnya—mulai menemukan bentuknya kembali.
Suasana kampus seakan berubah menjadi arena bisikan. Di koridor panjang yang biasanya dipenuhi tawa, kini setiap langkah Elena diiringi lirikan dan bisik lirih yang menusuk. Sebagian menatapnya dengan penasaran, sebagian lain dengan sinis.“Katanya Axel meninggalkan gala demi dia…”“Celeste sampai memutuskan kontrak sponsor, loh…”“Gila, gadis itu berani banget menentang keluarga Celeste.”Elena mendengar semuanya, tapi ia berjalan tanpa memperlambat langkah. Buku catatan di tangannya menjadi tameng diam yang melindunginya dari suara-suara jahat itu. Ia tahu rumor itu bukan sekadar gosip, Celeste yang menyebarkannya.Celeste Van Heeren. Mahasiswi kaya raya pewaris yayasan donor kampus, pemil
Langit Munich sore itu berwarna keperakan, seolah menyatu dengan gedung-gedung tua yang berjajar di sekitar aula konferensi internasional. Di dalam ruangan besar penuh peserta dari berbagai negara, Elena berdiri di atas panggung dengan jas putih, papan presentasi di belakangnya berisi data kompleks tentang sistem energi berkelanjutan yang dikembangkan dari sisa proyek Aetheris.Suara Elena lembut tapi tegas, seperti nada yang terlatih dari keberanian dan pengalaman. “Kami percaya bahwa sumber energi masa depan bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral pada bumi.”Kalimat itu menggema, memantul ke dinding marmer aula, membuat beberapa kepala menoleh kagum. Namun di antara kerumunan penonton, ada sepasang mata yang menatapnya dengan cara berbeda — bukan sekadar bangga, melainkan penuh perasaan yang sulit disembunyikan. Axel.Ia datang tanpa undangan resmi. Meninggalkan gala besar yang diselenggarakan oleh keluarga Celeste, dengan alasan mendadak pada sekretaris
Musim gugur Berlin datang perlahan, daun-daun mulai memudar menjadi kuning pucat, udara terasa lebih tajam, dan jalanan kampus dipenuhi aroma kopi yang menenangkan. Tapi di antara keseharian yang tampak biasa itu, ada sesuatu yang berubah.Nama Elenakini terpampang di papan pengumuman internasional: Finalist of Global Energy Future, Munich. representing Humboldt Universität zu Berlin.Sorak sorai terdengar di aula kampus pagi itu. Beberapa mahasiswa menyalaminya, dosen-dosen tersenyum bangga. Namun di balik senyum Elena, ada tatapan tenang yang tak banyak bicara. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar kompetisi. ini adalah ujian, baik bagi dirinya maupun bagi hubungan yang diam-diam ia jaga bersama Axel.Di bengkel laboratorium tem
Sinar lampu studio memantul di kaca gedung Fakultas Teknik Berlin saat Axel keluar dari ruang rapat yayasan. Langkahnya berat, pikirannya berisik. Di tangannya masih tergenggam proposal riset yang baru saja disetujui Celeste, proyek “Neural Quantum Core,” yang sebenarnya adalah modifikasi dari rancangan awal Elena.Ia tahu Celeste tidak mencuri secara langsung. Ia hanya “menyesuaikan arah proyek yayasan.” Namun di balik kata-kata manis itu, Axel bisa merasakan aroma manipulasi yang halus tapi tajam.“Bagus sekali idemu, Axel,” ucap Celeste tadi di ruang rapat, dengan senyum yang kini terus terngiang di kepalanya. “Tapi agar proyek ini layak didanai, aku rasa kita harus menyesuaikannya sedikit… kau tahu, demi nama baik yayasan.”“Menyesuaikan,” pikir Axel kesal. Itu bukan penyesuaian, itu pengambilalihan.Hari mulai sore ketika ia berjalan melintasi taman kampus. Dari kejauhan, ia melihat Elena sedang duduk di bawah pohon maple, laptop terbuka di pangkuannya, dikelilingi tumpukan kerta
Dua minggu berlalu sejak pesta di rumah keluarga Reinhardt, dan gosip tentang kedekatan Axel dan Celeste belum juga mereda. Bahkan kini media kampus menulis artikel opini tentang “Dua Otak Brilian yang Akan Mengubah Dunia Sains Jerman.”Judul itu, disertai foto mereka berdua sedang duduk dalam seminar, menjadi perbincangan hangat di kantin dan aula fakultas.Namun di tengah semua hiruk pikuk itu, Elena memilih diam bukan karena kalah, melainkan karena ia sedang menyusun langkahnya sendiri.Ia tidak membalas dengan komentar, tidak mencari pembelaan, tidak membuat drama. Ia justru memusatkan energinya pada kompetisi nasional “Future Energy Challenge” ajang prestisius tempat mahasiswa seluruh Jerman mempresentasikan riset energi bersih. Proyek yang ia kembangkan bersama tim kecilnya, Aurora Cell, merupakan teknologi penyimpanan energi berbasis fotosintesis buatan.Namun siapa sangka, dewan juri kompetisi itu kini disponsori oleh Yayasan Reinhardt tempat Celeste duduk sebagai dewan kehorm
Sejak konferensi di Zurich, nama Celeste makin sering terdengar di lorong kampus. Ia bukan sekadar mahasiswi baru biasa, ia adalah pewaris yayasan riset terbesar di Berlin, cucu dari industrialis legendaris Jürgen Reinhardt. Kehadirannya membawa aura yang membuat banyak orang ingin dekat, tapi juga hati-hati untuk tidak menyinggungnya.Dan tentu saja, gosip paling hangat yang beredar di antara mahasiswa adalah kedekatannya dengan Axel mahasiswa paling jenius sekaligus paling tertutup di fakultas teknik.Axel tak pernah benar-benar mencari perhatian. Namun sejak Celeste mulai sering muncul dalam acara riset, atau sekadar “menitipkan berkas” ke laboratorium tempat Axel bekerja, gosip itu tumbuh dengan cepat. Ia tahu bagaimana media sosial kampus bekerja, satu foto, satu senyum, bisa memicu badai yang sulit dikendalikan.Namun masalahnya, keluarga Axel memiliki hubungan lama dengan keluarga Celeste. Ibu Axel, Irene Krauss pernah bekerja sama dengan keluarga Reinhardt dalam proyek pengemba







