Hujan masih menyisakan jejaknya di pagi hari itu. Butiran air menempel di jendela kamar Averine, menari perlahan dalam lintasan tak tentu. Suara hujan seharusnya menenangkan, seperti lagu lama yang mengantar tidur. Tapi kali ini tidak.
Darian Kieran. Nama itu menggantung di kepalanya seperti lonceng yang belum selesai berdentang. Bukan karena tertarik. Bukan juga karena terpesona. Tapi karena sesuatu di balik sorot mata pria itu membuatnya ingin bertanya: siapa dia sebenarnya? Averine duduk di kursi dekat jendela, masih mengenakan pakaian tidur satin biru pucat. Ujung lengan bajunya basah terkena tetesan embun dari jendela yang sedikit terbuka. Ia tidak sadar, atau mungkin tak peduli. Ia mencoba menyeruput teh yang sudah dingin, tapi pahitnya malah membuat perutnya mual. Ia mendesah pelan. Matanya terarah pada meja rias. Di sana, kotak kecil kayu jati tua milik almarhum ibunya masih tergeletak. Ukiran bunganya sudah mulai pudar, tapi sentuhannya masih terasa akrab seperti kenangan yang tak mau dilupakan. Tangannya gemetar ringan saat membuka kotak itu. Di dalamnya, potongan potongan masa lalu tertata acak: nota pameran, sketsa yang belum selesai, dan sebuah kertas dengan tulisan tangan yang ia kenali baik tulisan ibunya. Nama yang tercetak di pojok halaman membuat jantungnya berhenti sejenak: Valente Auction House. Ia memicingkan mata, menatap tulisan yang digaris, lalu dicoret, lalu digaris lagi. Seperti seseorang yang ragu untuk menghapus, tapi juga enggan mengingat. “Kenapa Valente?” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu tulis ini, Bu?” Jemarinya menggulung helai rambut ke belakang telinga saat kepalanya mulai penuh pertanyaan. Satu nama muncul tanpa diundang: Darian. Kenapa pria itu membuatnya merasa seolah semua ini bukan kebetulan? Dengan sedikit ragu, ia membuka ponselnya dan mencari satu nama yang sudah lama tak ia hubungi: Tante Liora, sahabat ibunya, orang yang dulu sering datang saat ibunya mengadakan jamuan seni. Telepon tersambung. “Averine? Astaga, sayang… sudah berapa lama sejak terakhir kali kamu menelepon Tante?” Suara hangat itu masih sama penuh kasih, tapi kini ada nada khawatir. “Tante... aku mau tanya sesuatu. Tentang Valente Auction House. Dan... tentang seseorang bernama Darian Kieran.” Ada jeda hening. Tidak lama, tapi cukup untuk membuat tubuh Averine menegang. “Kamu bertemu dia?” tanya Liora akhirnya, perlahan. “Aku dijodohkan dengannya,” jawab Averine tanpa basa-basi. “Tapi aku merasa... dia tahu terlalu banyak. Tentang keluargaku. Tentang aku. Tentang Ibu.” Napas Tante Liora terdengar tertahan. Kemudian, kalimat yang keluar berikutnya terdengar seperti peringatan yang tidak diucapkan dengan ringan. “Averine... kamu harus sangat hati hati. Valente bukan tempat yang bersih. Apalagi sekarang. Ada karya karya ibumu yang pernah hilang dari arsip. Ada transaksi yang tidak pernah dicatat secara resmi. Dan aku tahu ibumu pernah berkonflik... dengan seseorang dari lingkaran mereka.” Averine merasakan tubuhnya jadi dingin. Ia berdiri, berjalan ke arah lukisan kecil yang tergantung di sudut ruangan. Bukan karya besar, hanya sketsa lama dengan warna pastel lembut. Di sudut bawahnya ada tanda tangan. Tapi bukan “Camilla Almanda”. Melainkan: D.K. Inisial itu membuat tengkuknya merinding. “Tante... Ibu pernah menyebut nama Darian?” tanyanya pelan. “Tidak langsung,” jawab Liora, lambat. “Tapi pernah ada lukisan yang ia simpan diam diam. Karya seseorang dengan inisial D.K. Saat aku tanya, dia hanya bilang, "Ada hal-hal yang tidak perlu diketahui Averine saat ini.” Air mata nyaris memenuhi mata Averine, tapi ia tahan. Ia sudah terlalu sering mengubur rasa. Dunia seperti ini tidak memberi ruang untuk air mata, hanya untuk bukti dan kendali. “Aku mengerti, Tante. Terima kasih,” ucapnya akhirnya. Setelah telepon ditutup, ia berdiri lama di depan lukisan itu. D.K. Inisial itu bukan kebetulan. Tidak setelah pertemuan semalam. Tidak setelah semua petunjuk yang mulai muncul dari arsip ibunya. Averine berjalan ke lemari, mengambil mantel dan scarf tipis. Langkahnya lambat tapi pasti. Jika Darian datang ke hidupnya membawa niat tersembunyi, maka ia pun akan menyambut permainan ini. Tapi kali ini, ia tidak akan jadi pion diam. Ia akan bermain juga. Dan ia tidak akan kalah. Langkah Averine menyusuri trotoar basah disertai suara lirih dari roda mobil yang melewati genangan. Pikirannya berjejal. D.K. Darian Kieran. Valente. Ibunya. Semua seperti potongan puzzle yang tidak cocok, tapi entah mengapa terasa berasal dari gambar yang sama. Ia berhenti di depan toko buku tua yang dulu sering ia datangi bersama ibunya. Di dalamnya, aroma kertas tua dan kayu pinus menyambutnya, seperti bau kenangan yang tersimpan rapi. Pemilik toko, Pak Theo, pria sepuh yang selalu mengenakan sweter rajut kusam, mengangkat kepalanya dari balik meja kasir. “Averine? Wah, sudah lama sekali. Mau cari apa hari ini?” “Aku sedang mencari informasi tentang... Valente Auction House. Apa di sini masih ada arsip lelang lama? Atau buku katalog dari tahun-tahun sebelumnya?” Pak Theo tampak berpikir sejenak, lalu berjalan ke belakang, menyusuri rak rak kayu tinggi yang penuh debu. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sebuah buku tebal bersampul hitam, berjudul( Private Art Auctions: Southeast Asia, 1995–2010.) “Ini satu-satunya katalog yang mencantumkan transaksi tidak resmi. Banyak koleksi seni yang dijual diam diam lewat Valente, bahkan tanpa publikasi,” ujarnya pelan. “Hati-hati ya, Vi. Nama itu... bukan cuma rumah lelang.” Averine membuka buku itu perlahan di atas meja. Halamannya penuh foto foto lukisan, daftar lot, harga estimasi, dan catatan tangan kecil yang tampaknya milik kolektor lama. Di salah satu halaman, tangannya terhenti. Ada nama Camilla Almanda. Tapi bukan itu yang membuatnya menegang. Di kolom catatan kecil di bawahnya, tertera kalimat: Diserahkan langsung oleh pihak D.K. Tanpa tanda tangan pelukis. Tanggal di sampingnya tertulis: 17 Oktober 2003. Itu setahun sebelum ibunya meninggal. Averine memotret halaman itu dengan ponselnya. Tangannya agak gemetar, tapi sorot matanya mulai mengeras. Sebelum keluar dari toko, Pak Theo menyentuh lengannya. “Kalau kau gali ini terlalu dalam, kau mungkin tidak menyukai jawaban yang akan kau temukan.” Averine menatap mata pria tua itu dengan tenang. “Mungkin. Tapi yang lebih menakutkan dari kebenaran... adalah ketidaktahuan.” Di luar, hujan turun lagi. Lebih deras dari pagi tadi. Tapi Averine tidak terburu buru. Ia berdiri di bawah payung stasiun trem tua, memandangi selembar foto lukisan yang sempat ia potret dari buku katalog tadi. Dalam sketsa itu, ia melihat bentuk yang sangat ia kenal siluet seorang perempuan yang berdiri membelakangi cermin. Di atas cermin itu, terpantul bayangan wajah laki-laki. Samar. Tapi mencolok. Wajah itu... terlalu mirip Darian. Perlahan, rasa asing merambat dari dada ke tengkuk. Bukan rasa takut, melainkan kesadaran bahwa cerita ini lebih panjang dari yang ia kira. Dan jika Darian Kieran datang membawa masa lalu, maka masa lalunya sendiri juga sedang bersiap untuk membuka pintu. Dan mungkin... sudah terlambat untuk menutupnya kembali.Pagi itu, Darian lagi nyari charger di laci dekat meja kerja Averine. Tapi bukannya nemu kabel, dia malah nemuin sebuah buku kecil berwarna coklat muda. Awalnya dia mau naruh lagi, tapi penasaran karena ada label kecil di sampulnya, Kalender Cinta.Darian ngebuka perlahan. Di dalamnya ada catatan harian pendek, satu kalimat per hari, ditulis dengan spidol warna-warni. Beberapa entri bahkan ada stiker kecil atau coretan hati.Hari ke-1: Dia ingetin aku minum air putih, padahal dia sendiri lupa.Hari ke-3: Dia cium tangan kiriku waktu aku lagi kesel. Keselku ilang, tapi nggak aku tunjukin.Hari ke-7: Dia nyuapin aku makan sisa roti panggang Calia karena aku keasikan lukis.Darian baca sambil senyum-senyum sendiri. Tapi senyumnya menghilang begitu suara Averine muncul dari pintu.“Kamu baca itu?”Darian langsung reflek nutup buku. “Maaf... aku cuma nyari charger. Terus aku nggak sengaja buka.”Averine nyilangin tangan di dada. “Itu kan rahasia.”Darian berdiri gugup. “Aku serius nggak ma
Pagi itu dimulai seperti biasanya. Calia bangun lebih awal dari alarm, dan Averine belum sempat menyelesaikan kopinya yang tinggal setengah. Rambutnya belum disisir, baju tidurnya udah belepotan susu, dan kantung matanya jelas terlihat.Calia, seperti biasa, nggak ngerti ibunya kurang tidur. Dia ketawa, menendang-nendang, dan minta digendong sambil teriak-teriak kecil.“Sayang, ibu belum sempet sikat gigi,” gumam Averine sambil tetap mengangkat Calia dan mengayun-ayunkannya ke dada. Darian muncul dari belakang sambil nahan ngantuk. Dia langsung bantu ambilkan botol susu dan nyiapin air hangat. “Kamu tidur cuma dua jam ya semalam?”Averine angguk pelan, “Tadi malam Calia drama... aku nggak tega ninggalin.”Darian mendekat dan mencium kening istrinya. “Makasih ya... buat terus kuat.”Averine senyum kecil, walau lelahnya masih keliatan jelas. Mereka lanjut rutinitas pagi: nyuapin Calia, beresin meja makan, dan beberes sedikit di ruang t
Pagi datang pelan, disambut suara burung dan sisa-sisa hujan semalam yang masih menempel di kaca jendela. Averine bangun lebih dulu. Rambutnya berantakan, tapi senyumnya lembut. Ia turun pelan-pelan ke dapur, nyalain pemanas air, lalu mulai nyiapin sarapan seadanya. Roti panggang, telur ceplok, dan teh hangat.Tak lama, Darian muncul dengan rambut awut-awutan dan kaus yang sedikit miring. “Wangi banget pagi ini,” katanya sambil nyosor ke dapur.“Kamu cuma bilang gitu kalo lagi laper,” jawab Averine sambil nyodorin piring ke dia.Darian duduk di meja makan, lalu motong rotinya. Eira muncul sebentar, ngucek-ngucek mata, liat sekeliling lalu buru-buru ambil Calia dari boks kecil di ruang tamu.“Aku bawa Calia ke kamarku, ya. Biar kalian bisa ngobrol-ngobrol dulu,” katanya sambil senyum jahil. Mereka cuma ketawa.Mereka makan berdua. Suasananya tenang. Darian sesekali nyolek-nyolek roti Averine, dan Averine balas menyeka remahan dari sud
Beberapa hari sebelum pindahan, rumah lama terasa seperti museum kecil. Dindingnya penuh lukisan, tumpukan buku seni bersandar di tiap sudut, dan setiap sudut ruangan menyimpan cerita. Averine berjalan pelan dari satu ruangan ke ruangan lain, sesekali berhenti menatap sesuatu terlalu lama.“Masih belum yakin semua ini mau dibawa?” tanya Darian sambil berdiri di tengah ruang tamu, memegang lukisan besar yang setengah dibungkus bubble wrap.Averine mengangguk. “Beberapa... harus ikut. Sisanya, kita tinggalin. Aku nggak mau rumah baru penuh masa lalu.”Eira sedang di dapur, nyuapin Calia sambil sesekali ngoceh sendiri. “Kalo semua yang dari rumah lama ikut, nanti rumah baru nggak punya napas sendiri. Biarin kosong dulu, nanti pelan-pelan diisi.”Sore itu mereka bertiga duduk di lantai ruang keluarga. Tanpa sofa, tanpa meja. Hanya tikar, teh manis, dan setumpuk foto lama. Mereka ketawa lihat gaya rambut Darian waktu kuliah, lalu hening waktu nemu foto
Tiga minggu setelah Calia lahir, Averine dan Darian akhirnya pulang ke rumah lama mereka. Bukan rumah baru, bukan villa sewa, tapi rumah tua yang dulu terasa kosong dan dingin. Kini, semuanya berubah. Di ruang tamu, ada keranjang bayi. Di dapur, ada tumpukan botol susu yang belum dicuci. Di meja makan, ada buket bunga yang Eira petik sendiri.“Kayaknya rumah ini butuh beradaptasi juga,” kata Darian sambil membawa koper masuk, wajahnya lelah tapi bahagia. “Tiba-tiba aja jadi penuh.”Averine duduk pelan di sofa, menggendong Calia yang tidur pulas. “Aku juga masih belajar,” katanya. Eira muncul dari dapur sambil bawa mangkuk buah. “Aku potongin apel, kalau kamu lapar,” katanya ke Averine.“Ra, kamu tuh kayak suster rumah sakit,” sahut Darian sambil senyum. “Kapan kamu istirahat?”“Aku seneng bantuin. Apalagi liat bayi kayak Calia. Dia kayak… bantal kecil yang bisa napas,” jawab Eira sambil duduk.“Bantal kecil yang bisa napas? Itu pujian atau kamu ngantuk?” tanya Darian.“Dua-duanya,” E
Suara hujan di luar kamar bersalin masih terdengar samar, menyatu dengan detak jantung yang muncul dari monitor di samping ranjang Averine. Malam sudah bergeser ke dini hari. Aroma antiseptik mengambang, bercampur aroma lembut lavender dari diffuser kecil yang diam-diam dibawa Darian ke ruangan.Averine menggenggam sisi ranjang lebih erat. Kontraksi demi kontraksi datang dengan gelombang tak terduga. Perawat menyeka keringat di dahinya, sementara Darian berdiri di samping, tangannya tak lepas dari jemari istrinya. Tak satu pun dari mereka berbicara banyak keduanya terlalu fokus untuk bertahan.Dan saat momen itu tiba, waktu seolah berhenti. Dalam kepadatan rasa sakit, ketakutan, cinta, dan harapan, terdengarlah suara yang mereka tunggu. Tangisan bayi. Tangisan pertama dari jiwa kecil yang baru menyapa dunia.Averine terisak. Air matanya langsung jatuh, tanpa bisa ditahan. Tangannya bergetar ketika perawat meletakkan bayi mungil yang dibungkus kain putih be