Beranda / Romansa / Cinta Dalam Sangkar Rahasia / Sangkar Bernama Takdir

Share

Cinta Dalam Sangkar Rahasia
Cinta Dalam Sangkar Rahasia
Penulis: Syahhsyy

Sangkar Bernama Takdir

Penulis: Syahhsyy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 20:27:04

Pagi itu. Butiran air menempel di kaca jendela kamar Averine, menari perlahan dalam lintasan tak tentu. Suara rintiknya seharusnya menenangkan seperti lagu lama yang mengantar tidur. Tapi kali ini, tidak. Ada yang mengganjal sejak tadi malam. Udara terasa terlalu senyap, dan pagi ini pun datang dengan ketegangan yang tak biasa.

Lalu, ketukan lembut di pintu membuyarkan diam itu.

“Tuan besar ingin bertemu, Nona,” ujar pelayan wanita dari balik pintu, nada suaranya sopan tapi tak bisa menyembunyikan kehati-hatian.

Averine tak bertanya. Ia hanya mengangguk pelan, meski tahu tak ada yang melihat. Ia sudah tahu ini bukan undangan biasa.

Ia menanggalkan gaun tidurnya dan berganti dengan setelan putih gading. Rapi. Netral. Tak ada ruang untuk kelembutan hari ini. Ia menyisir rambutnya ke belakang, membiarkannya terikat sederhana. Wajahnya tampak tenang saat ia melangkah keluar kamar, tapi jemarinya yang saling menggenggam bercerita lain.

Ruang kerja ayahnya selalu terasa terlalu rapi, terlalu tenang, terlalu jauh dari kata rumah. Langit langitnya menjulang dengan lampu gantung kristal yang menggantung seperti sisa kemewahan zaman lalu.

Rak rak buku berdiri kaku di dinding, dipenuhi volume seni klasik yang lebih sering dijadikan pajangan daripada dibaca. Bau kulit tua dan wangi parfum mahal yang tertinggal di udara membuat ruangan itu seperti museum yang terlalu hidup untuk ditinggalkan, tapi terlalu mati untuk benar benar dihuni.

Averine duduk di kursi kulit tua, tegak, anggun seperti biasa. Tapi jemarinya saling menggenggam erat, seperti ingin menahan gemetar yang tidak tampak. Gaun putih gading yang ia kenakan jatuh lembut sampai mata kaki, terlalu cantik untuk suasana yang terasa dingin seperti ruang rapat perusahaan. Sorot matanya tampak tenang, tapi dalam diamnya, ada ribuan bisikan yang tak bisa ia redam.

Ia tahu, ayahnya bukan tipe pria yang mengundangnya bicara tanpa maksud yang besar. Bahkan napasnya saja terasa seperti bagian dari strategi.

"Papa ingin bicara soal masa depanmu," kata Darren Almanda akhirnya, tanpa melihat langsung ke arahnya.

Nada suaranya seperti biasa tegas, singkat, dan tanpa ruang untuk ditawar. Averine tidak menjawab. Ia hanya menunggu. Hatinya sudah belajar untuk tak terlalu berharap pada percakapan yang hangat, karena yang ada hanyalah keputusan yang perlu diterima.

Darren membuka map cokelat di atas meja kerjanya, lalu mendorongnya pelan ke arah Averine. Ia bahkan tidak repot repot memulai dengan basa basi.

"Perjodohan. Kita sudah sepakat dengan pihak keluarga Kieran," ucapnya datar.

Kata itu menggema di kepalanya. Perjodohan. Seolah hidupnya adalah transaksi.

Averine menatap map itu sejenak. Rasanya seperti melihat dokumen pembelian barang antik: resmi, mengikat, dingin. Bukan sesuatu yang seharusnya melibatkan perasaan.

"Perjodohan? Dengan siapa?" tanyanya, suaranya pelan, tertahan. Matanya tidak lepas dari map itu, seolah takut isi di dalamnya akan berubah jika ia mengalihkan pandangan.

"Darian Kieran. CEO Valente Auction House. Usianya tidak jauh darimu. Latar belakangnya bersih, reputasi baik. Ia tertarik."

Tertarik.

Kata itu menusuk seperti duri halus. Tertarik pada siapa? Pada dirinya? Atau pada nama Almanda yang sudah lama bersinar di dunia seni dan lelang Eropa?

Averine mengangkat wajahnya, menatap ayahnya lurus. "Tertarik?" ulangnya dengan suara nyaris bergetar. "Papa bicara seolah aku sebuah lukisan mahal yang bisa menarik kolektor mana pun."

Darren menghela napas, panjang dan berat, lalu menatapnya dengan ekspresi yang tak berubah. "Dunia kita tidak bergerak dengan cinta, Averine. Ini tentang reputasi. Nama besar. Kestabilan yang sudah kita bangun bertahun tahun."

Averine mengangguk pelan. Bukan karena setuju, tapi karena tak ada gunanya melawan. Ia sudah tahu sejak kecil bahwa yang berlaku di keluarga ini adalah logika, bukan hati.

Dalam sekejap, bayangan ibunya melintas di benaknya Camilla, dengan senyum tenangnya yang selalu menyembunyikan banyak hal. Jika ibunya masih hidup... apakah ia juga akan diam saja melihat ini? Atau justru ikut merancangnya?

"Malam ini kamu akan bertemu dengannya. Makan malam pribadi. Di The Pavé."

Ia menatap ayahnya lebih lama kali ini. Semua keputusan besar hidupnya selalu datang dari ruangan ini. Termasuk sekarang. Dan setiap kali ia keluar dari ruangan ini, selalu ada sesuatu dalam dirinya yang tertinggal entah percaya diri, entah mimpi.

Ada sesuatu tentang nama Darian Kieran yang membuatnya gelisah. Ia belum pernah mendengar namanya, tapi rasanya... familiar. Pernah disebut dalam percakapan antik para kolektor, atau disebut samar dalam artikel seni yang penuh intrik. Atau mungkin... hanya intuisi. Tapi satu hal yang ia tahu, pria seperti itu tidak pernah muncul tanpa alasan.

Restoran The Pavé terletak di lantai atas sebuah gedung tua bergaya art deco yang menghadap kanal. Dinding kacanya memantulkan cahaya lampu kota, menciptakan ilusi bahwa mereka sedang makan di atas permukaan air.

Averine melangkah masuk dengan gaun satin biru tua dan mantel wol putih yang melingkupi bahunya. Rambutnya ditata sederhana, digulung ke belakang dengan beberapa helai yang sengaja dibiarkan jatuh menyentuh pipinya. Ia tidak mengenakan perhiasan berlebihan. hanya sepasang anting mutiara dan jam tangan ibunya yang sudah lama tak ia kenakan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin membawa kenangan itu malam ini, entah mengapa.

Darian Kieran. Ia sudah mencoba mencari tahu tentang pria itu, namun informasi yang ia temukan terlalu bersih, terlalu terstruktur. Tidak ada rumor, tidak ada celah. Dan itu justru membuatnya makin curiga.

Aroma lavender samar samar tercium, bercampur wangi kayu dari perapian kecil di sudut ruangan. Ruangan itu terasa tenang, tapi tidak nyaman. Seperti tempat yang terlalu sempurna untuk menyembunyikan percakapan yang tidak.

Dan di sana, duduk dengan sikap santai dan jas hitam elegan, adalah pria itu.

Ia berdiri ketika Averine masuk. Wajahnya bersih dan simetris, dengan garis rahang tegas dan tatapan yang... sulit dijelaskan. Mata abu abu gelap itu seakan tahu terlalu banyak, namun menyembunyikannya di balik ketenangan.

"Selamat malam, Nona Almanda," ucapnya dengan suara rendah dan tenang.

Averine membalas dengan anggukan kecil. "Selamat malam, Tuan Kieran."

Mereka berjabat tangan cepat, sopan, nyaris tanpa sentuhan. Tapi bagi Averine, ada sesuatu dalam genggaman itu. Bukan kehangatan, bukan ketertarikan. Hanya... ketegangan. Seperti saling mengukur tanpa kata.

Ia duduk, melepas mantel perlahan, lalu menyampirkannya di sandaran kursi. Darian memperhatikan, tidak dengan cara yang mengintimidasi, tapi cukup untuk membuatnya sadar.

Pelayan menyajikan anggur putih dan menu pilihan. Percakapan tidak langsung dimulai. Hanya bunyi alat makan, aroma roti hangat yang baru dipanggang, dan alunan piano lembut dari pengeras suara tersembunyi yang mengisi ruang di antara mereka.

Averine memainkan ujung serbet dengan jemarinya, mengatur napas. Ia tidak pernah menyukai pertemuan yang penuh basa basi. Tapi pria di hadapannya bukan tipikal yang bisa diajak berbasa basi. Dan itu yang membuat semuanya lebih rumit.

Hingga akhirnya Darian bersuara. Dan kali ini ada sesuatu yang berubah dalam sorot matanya. "Apa kamu keberatan dengan semua ini?"

Pertanyaannya sederhana, tapi cara ia mengatakannya membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih padat. Averine mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan masih turun tipis, dan lampu jalan menari di permukaan air kanal.

"Apa pendapat saya akan mengubah sesuatu?" tanyanya balik, nadanya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam resah, kecewa, lelah.

Ia tidak terdengar pahit. Hanya jujur. Dan itu jauh lebih sulit.

Darian tidak langsung menjawab. Ia memutar gelas anggurnya perlahan, seolah sedang menimbang kata kata. "Bukan saya yang meminta ini," katanya akhirnya, pelan. "Tapi saya tidak menolaknya."

Averine mengamati pria di hadapannya, mencoba menembus lapisan-lapisan tenang yang membungkusnya. "Karena kamu tertarik?"

Darian mengangkat alis sedikit. "Ada banyak bentuk ketertarikan, Averine. Kadang bukan pada orangnya, tapi pada cerita di belakangnya."

Kalimat itu membuat sesuatu dalam dada Averine mengencang. Ia merasa disentuh, tapi bukan dengan kelembutan melainkan dengan sesuatu yang mendekati ancaman. Ia menegakkan punggungnya, menjaga nada bicaranya tetap datar.

"Cerita apa yang kamu pikir aku bawa?"

Ada keheningan yang menekan. Darian tidak menjawab segera. Ia menunduk sedikit, menatap anggurnya seperti menatap kenangan yang tak ingin ia sentuh, lalu mengangkat pandangannya dan menatap Averine dengan mata yang tampak lebih gelap dari sebelumnya.

"Cerita keluarga yang besar. Warisan yang tak selalu bersih. Nama yang ditakuti dan dipuja dalam satu waktu."

Averine menahan napas sejenak. Ia mendengar kata kata itu seperti gema dari masa lalu. Ia tahu apa yang dibawa nama Almanda. Ia tahu beban dan luka yang tersembunyi di balik cat lukisan dan ruangan pameran.

Tapi mendengarnya dari mulut orang asing orang yang baru dikenalnya namun berbicara seperti telah lama mengamatinya itu terasa seperti tamparan.

"Dan kamu?" tanyanya akhirnya, suaranya sedikit lebih dingin dari sebelumnya. "Kamu membawa cerita seperti apa, Darian Kieran?"

Darian tersenyum. Tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. "Saya hanya pria biasa yang tertarik pada keindahan... dan kebenaran."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Waktu tidak bisa menang

    Malam itu berakhir dalam pelukan hangat, dua napas yang tak mau lepas.Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya rasa cukup.Pagi harinya, mereka sarapan di balkon hotel sambil menatap laut yang bergelombang kecil. Tidak ada agenda terburu-buru Darian hanya ingin menikmati setiap menit sebelum kembali ke rumah. Sesekali, mereka tertawa mengingat tingkah Calia, lalu saling meyakinkan bahwa satu hari “kabur” seperti ini harus jadi rutinitas.Menjelang siang, mereka membereskan barang. Darian menggandeng tangan Averine saat melewati lobi hotel, sama seperti dulu waktu mereka pertama kali pergi berlibur berdua. Mobil melaju santai di jalan pulang, dengan musik pelan dan jendela sedikit terbuka, membiarkan angin sore masuk.Saat sampai di rumah, Calia langsung berlari dari pintu, memeluk keduanya sambil menceritakan semua permainan yang ia lakukan bersama Eira. Averine menatap Darian di atas kepala putri mereka tatapan singkat tapi penuh arti kita pulang, dan kita utuh.Malam itu mereka tidur

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Satu Hari di Luar Dunia

    Malam itu berakhir dalam keheningan hangat. Averine tidak tahu berapa lama mereka berbaring seperti itu kepalanya bertumpu di dada Darian, napas pria itu teratur, dan tangannya sesekali mengusap punggung Averine tanpa sadar. Bukan untuk menenangkan, bukan pula untuk memulai sesuatu, hanya… menjaga. Dan entah kenapa, ia menyukai cara Darian diam.Esok paginya, Averine bangun lebih dulu. Atau mungkin Darian memang sengaja membiarkannya merasa demikian. Cahaya matahari pagi merayap pelan dari celah tirai, sementara kicau burung terdengar dari luar jendela. Darian masih memejamkan mata, tapi Averine tahu ia belum benar-benar tidur. Gerakan napasnya sedikit lebih dalam tanda khas saat pria itu sedang berpura-pura.“Pagi,” ucap Averine sambil menyenggol bahunya pelan.Darian membuka mata, menyipit sedikit karena cahaya. “Pagi. Kamu udah berapa lama bangun?”“Baru… dua puluh menit,” jawabnya, meski sebenarnya mungkin lebih lama. Ia sengaja diam, menikmati rasa nyaman yang sudah lama tidak da

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   pembicaraan di tengah malam

    Malam itu, rumah sudah sepenuhnya tenggelam dalam keheningan. Hujan yang sejak sore tidak berhenti kini tinggal gerimis, menetes lembut di luar jendela kamar. Cahaya lampu tidur berwarna kuning temaram menciptakan bayangan hangat di dinding, seakan ingin menjaga ketenangan ruangan itu.Darian duduk di tepi ranjang, punggungnya sedikit membungkuk. Di pangkuannya ada kain kompres yang baru ia ganti, masih hangat dari air yang tadi ia tuangkan ke baskom. Tangannya bergerak hati-hati saat menempelkan kompres itu ke dahi Averine. Suhu tubuhnya memang sudah turun dari siang tadi, tapi Darian tetap ingin memastikan.“Masih panas sedikit,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Averine hanya menggumam, matanya setengah terpejam. Ia terlalu nyaman untuk benar-benar menjawab.Darian menarik napas panjang. Seharian ini ia mondar-mandir, menyiapkan teh jahe, mengecek suhu setiap dua jam, memaksa Averine makan bubur walau hanya beberapa se

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Averine Sakit

    Hujan sudah berhenti semalaman, tapi udara di rumah itu masih dingin. Sisa-sisa genangan di halaman belakang memantulkan cahaya abu-abu dari langit pagi.Averine bangun dengan kepala berat dan tenggorokan yang kering. Seluruh badannya terasa lemas, seolah semua energi hilang saat ia tidur. Malam sebelumnya, ia memang terlalu lama berada di bawah hujan bersama Darian dan Calia. Waktu itu rasanya menyenangkan, tapi sekarang tubuhnya menagih harga.Ia berusaha duduk di tepi tempat tidur, namun baru saja mengangkat kepala, Darian yang masih setengah tertidur di kursi sebelah langsung tersentak.“Kamu mau kemana?” tanyanya cepat sambil bangkit.“Aku… mau lihat Calia. Dia udah bangun belum?” suaranya serak, bahkan ia sendiri terkejut mendengarnya.Darian mengerutkan dahi, berjalan mendekat. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Averine. “Panas banget,” gumamnya. “Enggak. Kamu enggak boleh kemana-mana. Tidur lagi.”“Aku cuma—

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Menari di tengah hujan

    Pagi itu, aroma roti panggang dan wangi kopi memenuhi ruang makan. Calia duduk di kursinya dengan wajah penuh konsentrasi, tangannya sibuk mengoleskan mentega ke roti seperti seorang chef kecil yang sedang mempersiapkan menu sarapan spesial. Semalam, ia sudah membantu Averine menyiapkan makan malam dengan sedikit kekacauan yang membuat mereka bertiga tertawa sampai perut sakit.Darian duduk di ujung meja, mengamati pemandangan itu. Averine memotong buah, sementara Calia tak berhenti bercerita tentang mimpinya yang katanya “sangat ajaib” ia bertemu seekor kelinci yang bisa berbicara.“Ayah, kamu percaya nggak kelinci bisa ngomong?” tanya Calia tiba-tiba, matanya berbinar.Darian tersenyum, menyandarkan punggung di kursi. “Kalau di dunia Calia, semua bisa. Bahkan hujan pun bisa tertawa.”Averine terkekeh, lalu menyuapkan sepotong stroberi ke mulut anak itu. “Kalau hujan bisa tertawa, mungkin hari ini kita bakal dengar,” ujarnya, setengah menggoda.

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   pelukan pagi

    Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari celah tirai, mengguratkan garis tipis ke sprei putih yang sedikit kusut. Suara lembut seperti bisikan memecah keheningan.“Mama… Papa…”Calia sudah bangun lebih dulu. Rambutnya masih berantakan, pipinya hangat seperti roti yang baru keluar dari oven. Ia berdiri di samping ranjang, menatap mereka dengan mata yang setengah mengantuk tapi penuh rasa ingin dekat.Darian mengerjap pelan sebelum tersenyum. Ia menunduk, meraih tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya ke atas ranjang. Tanpa banyak kata, Calia menyelip di antara mereka, kecil namun terasa seperti pusat dari seluruh dunia.Averine melingkarkan lengannya, merasakan bagaimana tubuh Darian di sisi lain ikut mendekat. Mereka bertiga terbungkus dalam kehangatan yang sederhana, namun sarat makna. Aroma sabun dari kulit Darian bercampur dengan wangi khas Calia yang masih menyisakan bau bantal tidurnya.Dari ambang pintu, Eira berdiri terdiam. Ada sesu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status