3 Oktober 2016
Setelah diremas, botol air mineral itu dilempar ke tong sampah. Adra berdecak kesal karena lemparannya meleset, alhasil dia harus memungutnya lagi lalu menggunakan cara yang benar. Sungguh melelahkan, seharian kesana kemari melamar pekerjaan, namun tak ada hasil. Beberapa wawancaranya hari ini sungguh menguras emosi dan tenaga. Bukan tanpa persiapan, justru sudah jauh-jauh hari Adra mempersiapkan diri. Mungkin nasib memang belum berpihak padanya. Jujur saja dia lelah, dalam menganggur dan mencari pekerjaan. Rasanya ingin sesaat saja dia bisa melupakan semua masalah dan melihat ombak di pantai.
Seperti biasa, suasana sore hari alun-alun Majalengka selalu ramai. Banyak muda mudi yang hilir mudik di trotoar. Beberapa penjual jajanan pun mulai berdatangan. Lalu lintas yang padat di jalan Majalengka-Cikijing semakin terasa, bahkan bisa terlihat petugas parkir di tepi jalan itu tengah kewalahan. Menyadari suasana mulai ramai, Adra memutuskan untuk pulang. Dia sempat menghela napas ketika bangkit dari duduknya. Ingin mengeluh, tapi pada siapa? Adiknya? Jangan tanya pada Adra. Ia juga tak tahu adiknya itu sekarang ada di mana.
Namanya, Alia. Gadis yang baru saja lulus SMA itu terpaksa pergi dari rumah karena diusir oleh kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan, walau pun Adra sendiri tipikal orang yang malas. Tapi dia selalu ingin adiknya itu bisa melanjutkan pendidikan yang lebih dari pada dirinya. Dan ketika Alia menolak, maka itulah pemicu perpisahan di antara mereka. Tak usah bertanya, siapa pun pasti akan rindu jika mengalami hal yang sama.
Kehidupan Adra memang selalu terasa pahit dan sepi, apalagi jika dia mengingat masa lalu. Kedua orang tuanya sudah meninggal ketika Adra masih di bangku SMA. Jika dihitung, kira-kira sudah enam tahun berlalu. Tak mudah, dalam umur yang belum bisa dikatakan dewasa. Hanya Alia, tak ada kerabat lagi. Tapi sekarang Adra merasa dirinya sudah sebatang kara. Sendirian menikmati dunia yang semakin keras dan kejam. Menyelami lautan manusia di jalan, di trotoar, di mana pun seperti saat ini. Adra terkadang merasa aneh, kobaran api hitam selalu saja muncul di atas kepala manusia sebelum mereka berpulang.
Jangan tanya kenapa Adra bisa melihatnya. Dia sendiri membenci hal itu, selalu saja menjadi mimpi buruk. Itulah alasan Adra sampai saat ini menjadi pribadi yang susah menempatkan diri, baik di lingkungan atau pun di masyarakat. Teman? Tentu saja tak punya. Bagi Adra, sebuah hubungan dengan orang lain hanya akan menjadi beban pikiran. Dia tak ingin ketakutan ketika memikirkan kematian temannya. Sebenarnya Adra hanya tak ingin merasa kehilangan seperti yang sudah-sudah.
Sebuah mata yang bisa melihat tanda kematian seseorang. Adra menyebutnya mata kutukan.
Langkah Adra terhenti. Matanya menatap langit yang suram, pertanda hujan atau sekedar simpati langit. Di depannya adalah sebuah perempatan jalan yang selalu ramai seperti saat ini. Di sisi selatan ada Jalan Babakan dan di sisi utara ada Jalan Pertanian. Dan saat ini lampu merah yang ia tunggu terasa lebih lama. Dia ingin menyebrang ke arah Jalan Babakan untuk pulang ke rumah.
Karena bosan menunggu, Adra mengedarkan padangannya ke sekitar. Di belokan Jalan Majalengka-Cikijing ke Jalan Pertanian, dia melihat sebuah toko bunga. Sangat asing, karena toko itu memang baru buka beberapa hari yang lalu. Adra setiap hari melewati jalur perempatan itu, tapi baru kali ini dia melihatnya. Karena tertarik dan penasaran maka Adra pun berlari menyebrang. Tepat saat dia sampai di depan toko, lampu hijau menyala dari arah Jalan Majalengka-Cikijing. Suara bising kendaraan memenuhi pendengaran Adra, membuat telinganya berdengung sesaat.
Mata Adra terbuka lebar, dia merasa waktu seperti melambat saat melihat beberapa bunga dan tanaman hias. Hujan yang tiba-tiba turun sempat mengguyur tubuhnya sebelum dia memasuki toko bunga itu.
Kling...
Suara lonceng kecil yang terpasang di pintu menggema di dalam ruangan toko.
“Selamat datang,” suara seorang wanita membuat Adra sedikit terkejut.
Wanita itu berjalan mendekat pada Adra yang masih berdiri di dekat pintu. Air hujan di wajah Adra menetes ke lantai, tatapan mereka bertemu sejenak. Wanita itu sempat tersenyum lalu kini tampak kebingungan. Adra sendiri masih terpaku dengan apa yang dia lihat di atas kepala wanita itu. Sebuah kobaran api hitam kecil mengambang di atas kepalanya. Tanda bahwa maut sebentar lagi akan datang menjemput.
Adra tersadar dan mengabaikan segala perasaan yang sempat hinggap. Sebenarnya dia sudah terbiasa dan tak lagi merasa takut. Hanya saja terkadang dia teringat kematian orang tuanya, hal itu menjadi alasan utama atas rasa takut Adra. Trauma mendalam pernah dia alami, walau pun sudah pulih. Namun terkadang kenangan selalu bisa merasuk lebih dalam, membuat luka lama kembali terasa.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu ramah.
“Ada bunga mawar merah, aku ingin membelinya satu tangkai saja,” jawab Adra.
“Silahkan tunggu di meja pelanggan, saya akan menyiapkannya.”
Wanita itu tersenyum sambil menunjukan tempat duduk pelanggan. Adra melihat sisi ruangan itu, tampak sebuah satu set sofa panjang dan meja kaca yang elegan. Penataan ruang yang sungguh menganggumkan, karena jika dilihat sebenarnya tak luas, tapi entah mengapa Adra merasa sedang berada di taman bunga yang sangat luas. Semua sisi ruangan terhiasi oleh bunga warna-warni dan tanaman hias. Aroma dari beberapa bunga pun bisa tercium samar-samar. Menenangkan, membuat Adra tanpa sadar terduduk menikmati suasana.
“Maaf,” ucap wanita itu sesaat kemudian, “ini bunga mawar anda, dan selagi menunggu hujan reda silahkan nikmati kopi anda.”
Adra terkejut melihat wanita itu membawakan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan uap. Entah kenapa, dia menerimanya begitu saja. Lalu meletakannya di atas meja bersama mawar merah yang dia pesan. Wanita itu tersenyum lagi, kali ini mulai terasa berbeda. Hati Adra sedikit tersentuh, bagaimana bisa orang baik selalu berpulang lebih awal. Kenapa? Adra selalu tak menemukan jawabannya. Lalu kini apa lagi? Seorang wanita cantik pemilik toko bunga bersikap sangat baik. Untuk apa jika maut akan segera menjeput? Adra hanya pelanggan, dia tak ingin diperlakukan seperti ini. Hatinya menolak. Bukan, lebih tepatnya pemikiran Adra tak bisa menerimanya secara gamblang, karena selama ini dia selalu tertutup dan menjauh. Lari seperti pengecut, mengabaikan semua orang kecuali adiknya. Tak peduli apa pun yang dia lihat, selagi bukan urusannya maka Adra hanya akan acuh.
“Sejak kapan kamu suka mawar merah?” tanya wanita itu seraya mengabil tempat duduk di depan Adra.
“Hah!” Adra terkejut, sadar dari lamunannya.
Wanita itu tertawa ringan ketika melihat wajah Adra yang tampak kebingungan.
“Kenalin, aku Ilya, pemilik toko bunga ini.”
Tangan Ilya terulur. Adra menyambutnya dengan ragu, namun ada sebuah kehangatan yang terasa di sana. Merasuk, mengetuk pintu hati Adra yang selama ini tertutup rapat.
“Adra. Makasih buat kopinya.”
Ilya mengangguk senang, lalu dengan malu-malu menarik kembali tangannya. Di luar hujan semakin deras, bahkan hawa dingin sampai menyelinap masuk ke ruang toko. Adra cemas saat melihatnya melalui jendela kaca. Sepertinya berteduh memang pilihan terbaik, lagi pula dia tak punya alasan untuk cepat-cepat pulang. Lebih baik bertahan dari pada kehujanan. Bertahan? Tentu saja bertahan dengan perasaan tak menentu bersama Ilya yang memiliki tanda kematian.
“Mawar sama kopinya gratis, masih hari promosi soalnya.”
Adra menatap mata Ilya, melihat api hitam mengambang di atas kepalanya. Lalu mata Adra meredup, seakan dia bersedih untuk Ilya. Memang benar, tapi pikirannya selalu menolak. Prinsipnya adalah ketidak pedulian. Kecuali adiknya, siapa pun itu, Adra tak peduli, karena sebenarnya takdir memang sudah ada yang menggariskan.
“Suka mawar merah?” tanya Ilya pelan.
“Tidak,” jawab Adra sedikit tegas.
“Buat orang lain kah?”
Adra mengambil sepucuk mawar merah yang sudah terbalut rapi dengan plastik transparan. Dia melepas plastik dan pita merah yang terikat di tangkainya.
“Mawar merah, aku selalu memberikannya pada orang yang berkesan, tapi tak ingin kukenal,” ucap Adra sambil mencium bunga itu.
Ilya mulai terlihat serius. Matanya menatap wajah Adra begitu dalam, mencoba mencari penjelasan kalimat yang tak jelas tadi. Namun tentu saja Ilya tak akan mengerti, karena yang tahu hanyalah Adra.
***
“Terima kasih,” ucap Adra datar. Ilya tersenyum. Ada yang berbeda dengan pemuda itu. Seakan ada sesuatu, tapi Ilya sendiri juga tak tahu. Aura gelap, warna iris mata yang terlihat sedikit memerah dan penekanan pada setiap kata. Ilya mulai berpikir, menganalisis kepribadian Adra. Sungguh misterius, Ilya tersenyum lalu mengeyahkan semua pikiran-pikiran itu. Ilya tak seperti Adra. Wanita dewasa berusia 27 tahun itu memiliki aura yang lebih cerah dan hangat. Bertahun-tahun mengagumi bunga dan tanaman hias memberikan pengalaman lebih. Baik secara teori, pengetahuan dan tentu saja kehidupan. Bagi Ilya, sosok Adra bagai bunga dandelion. Terlihat rapuh sendirian, menahan sebuah kesedihan dan harapan. Namun hanya bisa diam. Tak spesifik, mungkin kesimpulan yang terpikir oleh Ilya bisa saja salah. Pada dasarnya hati manusia itu mempunyai berbagai sisi, sangat disayangkan jika hanya melihat sisi yang mendominasi saja. Ilya ke
Samar-samar terdengar suara kicauan burung. Semakin lama semakin jelas Adra mendengarnya. Dingin, dia menggigil kedinginan. Mimpi yang tak jelas terus berulang-ulang di alam bawah sadarnya. “Kita akan sering bertemu, hahaha...” Sesaat ketika Adra mulai tersadar, suara berat yang menakutkan memenuhi pendengarannya. Antara sadar dan tidak. “Kita akan sering bertemu... ” “Sering bertemu...” “Bertemu...” “Ber–te–mu...” Seketika mata Adra terbuka lebar. Napasnya memburu bersamaan dengan detak jantung yang sangat terasa, seakan dia baru saja berlari dari sesuatu. Keringat dingin memenuhi wajahnya yang pucat. Sejenak tak bergeming, menatap nanar sekitar beranda rumah. Sinar matahari sudah agak tinggi di ufuk timur. Dan dia baru sadar jika semalaman telah tertidur di ambang pintu. Bukan, lebih tepatnya tak sadarkan diri. Adra menghe
Adra berlari menuju pintu RSUD Majalengka. Sekilas melirik arlojinya, hampir terlambat. Walau pun hanya untuk menemui seseorang, tapi kali ini dia sebisa mungkin harus terlihat displin. Tentu saja agar mendapatkan pekerjaan.Saat memasuki pintu masuk, beberapa orang melihat Adra dengan tatapan bertanya. Namun dia hanya acuh, tak peduli apa pun yang akan dipikirkan orang lain. Lalu berjalan tenang sambil mengatur napas, seakan yang dia lakukan tadi bukanlah hal penting. Menjadi pusat perhatian sangatlah tak nyaman bagi Adra, apalagi jika mendapatkan tatapan-tatapan aneh.Setelah bertanya pada resepsionis, Adra menuju ke sebuah ruangan. Di sana dia bertemu dengan Pak Yudi. Sangat ramah. Begitu mengetahui bahwa Adra mendapat informasi dari Ilya, Pak Yudi langsung mempersilahkannya untuk masuk dan duduk.Ruangan itu terlihat memanjang dengan beberapa ranjang di sisi lain. Dari pintu masuk langsung bisa terlihat sebuah meja k
“Maaf cuma punya air putih,” ucap Ilya lalu tersenyum, mengamati Adra.“Makasih, ya,” balas Adra setelah menghabiskan minumannya. Dia mengeluarkan sebuah bungkus rokok, baru saja Adra ingin mengambilnya sebatang, namun terhenti. Sadar akan sesuatu.“Maaf, aku keluar dulu,” ucapnya kemudian. Ilya mengangguk pelan lalu mengikuti langkahnya dari belakang.Di depan toko Adra menyalakan rokoknya. Menikmati setiap hisapan dan hembusannya sembari menatap jalan raya yang semakin ramai. Di belakangnya ada Ilya yang tengah berdiri menyembunyikan kedua tangannya ke belakang. Mengamati sesosok laki-laki yang sempat membuat perasaannya kacau.Angin berhembus, rambut panjang Ilya terurai ke samping. Beberapa helai seakan ingin ikut terbang bersama angin. Ilya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dan secara kebetulan Adra berpaling. Menatap Ilya.Asap r
“Ilya...,” panggil Adra sambil menyentuh pundak wanita itu.Pelukan itu berakhir, membuat mereka saling menatap begitu dalam. Hasrat Adra muncul, tangannya menyentuh wajah Ilya dengan lembut. Lalu mulai mendekatkan wajahnya.Ilya terlihat gugup, memutar bola matanya kesana kemari. Dia khawatir jika nanti dirinya ikut hanyut. Ilya memalingkan wajahnya, isyarat jika dirinya belum siap atau tak mau menerima sebuah ciuman dari Adra.Adra terhenyak, sadar akan tindakannya itu. Maka dengan penyesalan dia mundur menjauh.“Maaf kalau aku lancang dan tak sopan,” ucapnya pelan sambil tertunduk menyesal.Ilya yang wajahnya masih merona tampak malu-malu, sebenarnya dia senang diperlakukan seperti itu. Ternyata Adra sangat baik, secara tak langsung dia menghargai Ilya sebagai wanita. Ilya sendiri paham akan keinginan Adra sebagai seorang laki-laki, tapi bagaimana pun d
12 Oktober 2016Pintu terbuka, Pak Yudi menyambut Adra dengan ramah.“Sepertinya keadaanmu sudah membaik hari ini?” tanya Pak Yudi mengamati raut wajah Adra.“Semangat pagi, pak,” balas Adra santai.Adra tersenyum lalu mengambil seragam kerja yang sudah dia rapikan semalam.“Sekali lagi terima kasih,” ucap Adra sambil mengembalikan seragam kerja itu. Pak Yudi menerimanya dengan senang hati.“Sama-sama.” Pak Yudi mengabil sebuah amplop putih dan menyodorkannya pada Adra, “terimalah, walau tidak banyak. Semoga selanjutnya kamu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”Adra merasa senang dan langsung menerima amplop itu. Dia juga sempat menunduk memberikan hormat.“Terima kasih, pak. Saya permisi dulu.”“Iya, silahk
“Wah rasanya kangen banget,” ucap Alia begitu memasuki rumah. Dia beranjak kesana kemarin dengan riang, sedangkan Adra langsung menghaburkan tubuhnya ke sofa.Entah mengapa rasanya sangat lelah, padahal hari masih cukup pagi. Adra merasa seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mengingat tentang mata merah Dokter Sa dan ciuman dari wanita itu. Terakhir yang dia ingat adalah pergi ke kafe bersama seorang dokter perempuan, lalu secara tak sengaja bertemu Alia. Kemudian dia tertidur? Tidak, Adra menolak logikanya. Pasti ada sesuatu, dia terus bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban.Sampai akhirnya Alia muncul dengan membawa dua gelas es teh, membuat Adra bangkit dari posisi tidurnya.“Pengertian juga kamu,” ucap Adra langsung mengambil satu gelas es teh dari tangan Alia.Gadis itu cemberut, ingin memaki tapi tak tega. Pasalnya Adra terl
Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun dan melakukan pekerjaan rumah. Setelah selesai, dia beranjak ke kamar Adra, mengamati keadaan kakaknya itu.“Kak, aku bersihin badan kamu ya, abis itu kita sarapan.”Adra hanya diam dengan tatapan kosong. Alia semakin kalut dan sedih melihat kakaknya seperti itu. Semalaman Alia berpikir, namun tetap saja tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi pada Adra. Jika mengingat masa lalu, Adra memang pernah seperti itu setelah kedua orang tua mereka meninggal. Dan Alia juga yang merawatnya sampai sembuh. Tapi kali ini kasusnya sedikit berbeda. Adra benar-benar tak meresponnya, seakan jiwa kakaknya itu sedang tertidur.Memang benar. Saat ini jiwa Adra tengah masuk dalam memori masa lalunya sendiri. Dia terjebak di sana, tak akan bisa keluar jika tak ada yang datang menjemputnya. Ketakutan dan luka hati yang teramat dalam membuat Adra menyerah dan lebih memilih untuk hidup di kenanga