“Terima kasih,” ucap Adra datar.
Ilya tersenyum. Ada yang berbeda dengan pemuda itu. Seakan ada sesuatu, tapi Ilya sendiri juga tak tahu. Aura gelap, warna iris mata yang terlihat sedikit memerah dan penekanan pada setiap kata. Ilya mulai berpikir, menganalisis kepribadian Adra. Sungguh misterius, Ilya tersenyum lalu mengeyahkan semua pikiran-pikiran itu.
Ilya tak seperti Adra. Wanita dewasa berusia 27 tahun itu memiliki aura yang lebih cerah dan hangat. Bertahun-tahun mengagumi bunga dan tanaman hias memberikan pengalaman lebih. Baik secara teori, pengetahuan dan tentu saja kehidupan. Bagi Ilya, sosok Adra bagai bunga dandelion. Terlihat rapuh sendirian, menahan sebuah kesedihan dan harapan. Namun hanya bisa diam. Tak spesifik, mungkin kesimpulan yang terpikir oleh Ilya bisa saja salah. Pada dasarnya hati manusia itu mempunyai berbagai sisi, sangat disayangkan jika hanya melihat sisi yang mendominasi saja.
Ilya keluar dari toko, menghirup udara segar setelah hujan. Matanya masih bisa melihat sosok Adra yang berjalan di kejauhan.
“Apa hidupmu begitu pedih? Sampai tersenyum saja tak bisa,” gumam Ilya sambil mengamati gerak gerik Adra.
***
Seorang laki-laki terlihat berjalan tergesa-gesa menuju sebuah persimpangan jalan. Adra memincingkan matanya, terlihat api hitam mengambang di atas kepala laki-laki tersebut. Api itu sudah sangat besar, membara ganas ke atas. Adra menghentikan langkahnya, mencium bunga mawar yang sejak tadi dia bawa. Iris mata Adra berubah warna menjadi merah pekat, dia sedang fokus mengamati. Jika dilihat dari ukuran tanda itu, maka sudah dipastikan tak akan lama lagi.
Tiba-tiba langit di atas laki-laki itu menggelap, memunculkan kerumunan gagak yang terbang memutar. Seakan sebuah pertanda. Adra berdecak kesal, kenapa dalam perjalanan pulang dia harus melihat hal seperti itu lagi. Langkahnya pun berlanjut, mendekat dengan jarak yang dia anggap aman. Lalu seorang pria dengan topi dan jaket hitam berlari menyambar tas serempang yang dibawa laki-laki dengan tanda kematian itu. Kejadiannya sangat cepat.
Sebuah teriakan kasar terdengar. Perampok itu berlari membelah jalan raya dan berhasil lolos. Sang pemilik tas berlari mengejar, tapi tiba-tiba sebuah truk besar menabrak tubuhnya dengan sangat keras. Suara gas rem terdengar melengking di telinga Adra. Jalan yang tadi terlihat tampak tenang kini berubah menjadi sebuah kemacetan. Orang-orang mulai berkerumun, semua ketakutan melihat darah segar mengalir di atas aspal. Beberapa bagian tubuh yang terpisah, bahkan Adra melihat ada yang muntah karena tak tahan.
Adra berjalan mendekat, mengamati keadaan sekitar. Bukan, dia seperti mencari sesuatu atau seseorang. Burung gagak yang hanya bisa dilihat oleh Adra mulai turun bersamaan, mendaratkan diri di jalan dengan paksa. Mulai berubah, seperti tinta lalu mengeras, membentuk sosok berjubah hitam. Sosok yang hanya bisa dilihat oleh Adra itu berdiri menatap mayat korban kecelakaan. Hal seperti ini sudah sering Adra lihat, maka dia memutuskan untuk pergi karena yang dia lihat selanjutnya akan lebih mengerikan. Namun Adra menyadari sesuatu, dia seakan mendapat tatapan dari sosok gaib itu. Sebuah tatapan yang terasa sangat menusuk.
Adra menyebutnya sebagai malaikat kematian, entah itu benar atau tidak. Yang pasti dia selalu melihatnya saat ada seseorang berpulang. Tak memiliki wajah, hanya ada sebuah sorot mata merah menyala di dalam kerudung mantel sosok tersebut. Takut? Tentu saja, tapi itu dulu. Adra yang sekarang ini bukan lagi anak kecil yang selalu menangis ketakutan tak jelas. Waktu sudah membuatnya terbiasa, menjadikannya sesosok pria yang mati rasa dan keras kepala.
Adra mendengar jeritan seorang laki-laki. Hatinya bergetar, perih. Dia tahu bahwa jeritan itu berasal dari jiwa yang akan dituntun oleh sosok malaikat kematian. Ke mana? Adra tak tahu, dia menyebutnya berpulang. Terkadang Adra juga berpikir tentang gilirannya, apakah nanti dia bisa melihat tanda kematiannya sendiri dan berapa lama kah waktu yang masih dia punya.
Angin sore berhembus menerpa wajahnya yang dingin. Dia menghela napas, mencoba menyingkirkan hal-hal tak jelas dari pikirannya.
Dari tempat yang sangat jauh, di atas gedung terbengkalai. Sebuah sosok malaikat kematian tengah berdiri menatap ke satu arah. Walau pun sangat jauh, dia bisa melihat Adra dengan begitu jelas.
“Sudah waktunya.”
Suara sosok itu sangat berat, seperti sedang tercekik. Lalu tubuhnya menghilang terbakar api hitam.
***
Sesampainya di rumah, Adra merasa lebih tenang dan nyaman. Walau tampak klise, tapi rumahnya ini selalu saja membuatnya merasa aman. Sendirian, ya tentu saja bukan masalah bagi Adra asalkan terhidar dari pemandangan seperti tadi. Bukan karena takut, Adra lebih merasa dirinya tak sewajarnya melihat hal seperti itu. Takdir kematian adalah rahasia, tak ada yang tahu. Mata kutukan? Lalu apa lagi yang tepat untuk menyebutnya. Anugrah? Tentu beda artian.
Adra menyalakan sebatang rokok lalu terduduk bersadar di sofa ruang santai. Sebuah kenyamanan dan ketenangan membuat pikirannya redam. Alih-alih teringat akan nasibnya yang masih saja buruk. Mau sampai kapan dia kesana kemari tak jelas mencari pekerjaan. Ingin sekali dia membuka usaha, tapi pasti akan membutuhkan dana yang tak sedikit. Sebenarnya ada, bahkan sangat banyak. Tapi itu adalah harta peninggalan kedua orang tuanya. Adra sudah berjanji tak akan menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Harapannya adalah Alia adiknya, dia lebih menerima dirinya menderita dari pada harus melihat hidup Alia nanti kesusahan.
Lalu kenapa Adra tak mencari Alia? Sudah, tak ada hasil. Setiap hari sembari mencari pekerjaan dia selalu menyempatkan waktu untuk mencari Alia. Namun sepertinya memang belum saatnya dia bertemu dengan adiknya lagi. Yang terpikir saat mengingat Alia hanyalah sebuah harapan kecil. Di mana pun gadis itu berada, semoga baik-baik saja.
Adra bangkit, menghebuskan asap rokok. Jam di dinding berhenti, asap rokoknya pun juga berhenti di udara, seakan waktu benar-benar berhenti. Adra pernah mengalami ini beberapa kali, dia sudah tahu apa yang akan muncul selanjutnya.
“Keluarlah, sebagai tamu harusnya kau lebih sopan. Rumahku ada pintu, jadi setidaknya ketuklah,” ucap Adra dengan nada kesal.
“Hahaha..., manarik sekali, aku suka gaya angkuhmu itu. Keluarlah, buka kan pintu untukku.”
Suara menyeramkan itu menggema di seluruh sisi ruangan. Membuat Adra berdecak kesal karena harus repot-repot demi mahkluk gaib.
“Sudah lama kita tidak saling mengobrol seperti ini,” ucap sosok berjubah hitam saat Adra membukakan pintu.
Adra menelan ludah. Bukan takut, dia hanya sedikit terkejut karena jarak mereka sangat dekat. Saling menatap, tapi Adra tak melihat wajahnya, hanya ada sebuah cahaya merah yang tampak seperti mata.
“Sepertinya kau sudah tidak takut lagi, wahai anak kecil,” aura yang sangat kuat menampar wajah Adra. Tapi dia tak goyah, tetap berdiri tegap apa pun yang akan terjadi.
“Apakah kamu datang untuk menuntun jiwaku berpulang?” tanya Adra dengan tatapan tajam.
Mata kutukan itu berubah warna. Merah darah, seakan menyala di kegelapan yang diciptakan oleh sosok malaikat kematian itu.
“Hahaha..., menarik sekali. Matamu itu, aku sangat kagum, bisa sampai sajauh ini bukanlah hal yang mudah kan?”
Adra mendekatkan wajahnya. Lalu menyeringai tipis, seakan mengejek. Yang benar saja? Tentu saja tak semudah seperti saat ini. Semua itu karena waktu, hati Adra semakin terlatih dan sudah sekeras berlian.
“Apa yang kamu inginkan, jiwaku?! Silahkan ambil, menjalani kehidupan seperti ini sangat menyiksa,” ucap Adra penuh emosi.
“Apa kau sangat tersiksa dengan mata itu? Sungguh menarik. Aku suka gayamu ini. Tapi sayangnya jiwamu tidak bisa aku bawa begitu saja. Semua sudah tertulis di takdir kehidupan, ada peraturannya. Jadi besabarlah sampai waktunya tiba.”
Adra berteriak penuh emosi dan mencoba mencengkram leher sosok itu, tapi tak bisa. Tangan Adra hanya seperti menembus bayangan. Lalu perlahan sosok itu memudar seperti terbakar dan hilang.
“Kita akan sering bertemu, hahaha...”
Suara menakutkan itu menggema, membuat Adra terpaku sesaat. Kemudian tubuhnya terasa sangat lemas. Dia tersungkur jatuh tak sadarkan diri di ambang pintu.
***
Samar-samar terdengar suara kicauan burung. Semakin lama semakin jelas Adra mendengarnya. Dingin, dia menggigil kedinginan. Mimpi yang tak jelas terus berulang-ulang di alam bawah sadarnya. “Kita akan sering bertemu, hahaha...” Sesaat ketika Adra mulai tersadar, suara berat yang menakutkan memenuhi pendengarannya. Antara sadar dan tidak. “Kita akan sering bertemu... ” “Sering bertemu...” “Bertemu...” “Ber–te–mu...” Seketika mata Adra terbuka lebar. Napasnya memburu bersamaan dengan detak jantung yang sangat terasa, seakan dia baru saja berlari dari sesuatu. Keringat dingin memenuhi wajahnya yang pucat. Sejenak tak bergeming, menatap nanar sekitar beranda rumah. Sinar matahari sudah agak tinggi di ufuk timur. Dan dia baru sadar jika semalaman telah tertidur di ambang pintu. Bukan, lebih tepatnya tak sadarkan diri. Adra menghe
Adra berlari menuju pintu RSUD Majalengka. Sekilas melirik arlojinya, hampir terlambat. Walau pun hanya untuk menemui seseorang, tapi kali ini dia sebisa mungkin harus terlihat displin. Tentu saja agar mendapatkan pekerjaan.Saat memasuki pintu masuk, beberapa orang melihat Adra dengan tatapan bertanya. Namun dia hanya acuh, tak peduli apa pun yang akan dipikirkan orang lain. Lalu berjalan tenang sambil mengatur napas, seakan yang dia lakukan tadi bukanlah hal penting. Menjadi pusat perhatian sangatlah tak nyaman bagi Adra, apalagi jika mendapatkan tatapan-tatapan aneh.Setelah bertanya pada resepsionis, Adra menuju ke sebuah ruangan. Di sana dia bertemu dengan Pak Yudi. Sangat ramah. Begitu mengetahui bahwa Adra mendapat informasi dari Ilya, Pak Yudi langsung mempersilahkannya untuk masuk dan duduk.Ruangan itu terlihat memanjang dengan beberapa ranjang di sisi lain. Dari pintu masuk langsung bisa terlihat sebuah meja k
“Maaf cuma punya air putih,” ucap Ilya lalu tersenyum, mengamati Adra.“Makasih, ya,” balas Adra setelah menghabiskan minumannya. Dia mengeluarkan sebuah bungkus rokok, baru saja Adra ingin mengambilnya sebatang, namun terhenti. Sadar akan sesuatu.“Maaf, aku keluar dulu,” ucapnya kemudian. Ilya mengangguk pelan lalu mengikuti langkahnya dari belakang.Di depan toko Adra menyalakan rokoknya. Menikmati setiap hisapan dan hembusannya sembari menatap jalan raya yang semakin ramai. Di belakangnya ada Ilya yang tengah berdiri menyembunyikan kedua tangannya ke belakang. Mengamati sesosok laki-laki yang sempat membuat perasaannya kacau.Angin berhembus, rambut panjang Ilya terurai ke samping. Beberapa helai seakan ingin ikut terbang bersama angin. Ilya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dan secara kebetulan Adra berpaling. Menatap Ilya.Asap r
“Ilya...,” panggil Adra sambil menyentuh pundak wanita itu.Pelukan itu berakhir, membuat mereka saling menatap begitu dalam. Hasrat Adra muncul, tangannya menyentuh wajah Ilya dengan lembut. Lalu mulai mendekatkan wajahnya.Ilya terlihat gugup, memutar bola matanya kesana kemari. Dia khawatir jika nanti dirinya ikut hanyut. Ilya memalingkan wajahnya, isyarat jika dirinya belum siap atau tak mau menerima sebuah ciuman dari Adra.Adra terhenyak, sadar akan tindakannya itu. Maka dengan penyesalan dia mundur menjauh.“Maaf kalau aku lancang dan tak sopan,” ucapnya pelan sambil tertunduk menyesal.Ilya yang wajahnya masih merona tampak malu-malu, sebenarnya dia senang diperlakukan seperti itu. Ternyata Adra sangat baik, secara tak langsung dia menghargai Ilya sebagai wanita. Ilya sendiri paham akan keinginan Adra sebagai seorang laki-laki, tapi bagaimana pun d
12 Oktober 2016Pintu terbuka, Pak Yudi menyambut Adra dengan ramah.“Sepertinya keadaanmu sudah membaik hari ini?” tanya Pak Yudi mengamati raut wajah Adra.“Semangat pagi, pak,” balas Adra santai.Adra tersenyum lalu mengambil seragam kerja yang sudah dia rapikan semalam.“Sekali lagi terima kasih,” ucap Adra sambil mengembalikan seragam kerja itu. Pak Yudi menerimanya dengan senang hati.“Sama-sama.” Pak Yudi mengabil sebuah amplop putih dan menyodorkannya pada Adra, “terimalah, walau tidak banyak. Semoga selanjutnya kamu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”Adra merasa senang dan langsung menerima amplop itu. Dia juga sempat menunduk memberikan hormat.“Terima kasih, pak. Saya permisi dulu.”“Iya, silahk
“Wah rasanya kangen banget,” ucap Alia begitu memasuki rumah. Dia beranjak kesana kemarin dengan riang, sedangkan Adra langsung menghaburkan tubuhnya ke sofa.Entah mengapa rasanya sangat lelah, padahal hari masih cukup pagi. Adra merasa seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mengingat tentang mata merah Dokter Sa dan ciuman dari wanita itu. Terakhir yang dia ingat adalah pergi ke kafe bersama seorang dokter perempuan, lalu secara tak sengaja bertemu Alia. Kemudian dia tertidur? Tidak, Adra menolak logikanya. Pasti ada sesuatu, dia terus bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban.Sampai akhirnya Alia muncul dengan membawa dua gelas es teh, membuat Adra bangkit dari posisi tidurnya.“Pengertian juga kamu,” ucap Adra langsung mengambil satu gelas es teh dari tangan Alia.Gadis itu cemberut, ingin memaki tapi tak tega. Pasalnya Adra terl
Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun dan melakukan pekerjaan rumah. Setelah selesai, dia beranjak ke kamar Adra, mengamati keadaan kakaknya itu.“Kak, aku bersihin badan kamu ya, abis itu kita sarapan.”Adra hanya diam dengan tatapan kosong. Alia semakin kalut dan sedih melihat kakaknya seperti itu. Semalaman Alia berpikir, namun tetap saja tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi pada Adra. Jika mengingat masa lalu, Adra memang pernah seperti itu setelah kedua orang tua mereka meninggal. Dan Alia juga yang merawatnya sampai sembuh. Tapi kali ini kasusnya sedikit berbeda. Adra benar-benar tak meresponnya, seakan jiwa kakaknya itu sedang tertidur.Memang benar. Saat ini jiwa Adra tengah masuk dalam memori masa lalunya sendiri. Dia terjebak di sana, tak akan bisa keluar jika tak ada yang datang menjemputnya. Ketakutan dan luka hati yang teramat dalam membuat Adra menyerah dan lebih memilih untuk hidup di kenanga
Ilya mengikuti langkah Alia menuju ke sebuah kamar. Di sana terlihat Adra yang tengah terbaring dengan tatapan kosong. Bahkan tak menghiraukan kedatangan Alia dan Ilya.“Adra...”Suara Ilya bergetar, menahan perasaannya yang mulai kacau. Dia mendekat dengan raut tak percaya. Ada apa dengan Adra? Ilya terus saja bertanya dalam hati.Di ambang pintu, Alia hanya menghela napas. Masih tetap tegar dengan pemandangan sedih di depannya.“Adra...,” panggil Ilya sekali lagi, tapi tetap saja tak ada respon.Lantas Ilya mencoba memposisikan tubuh Adra untuk duduk. Tapi dia justru memeluknya erat, dan tangisnya pun pecah. Terdengar pilu, begitu dalam sampai Alia ikut terbawa suasana.“Adra, kamu kenapa? Aku di sini? Ini aku Ilya. Tolong jangan seperti ini.”Kesadaran Adra yang terjebak pada kenangan masa lalu mulai