Share

BAB 2

Author: Amanda13
last update Last Updated: 2024-12-02 16:54:52

Kirana menarik napas panjang di depan pintu kaca besar bertuliskan “NextWave - Innovate Your Future.” Hari pertamanya sebagai project manager resmi dimulai, dan meski ia berusaha terlihat tenang, dadanya berdebar. Kantor ini jauh lebih modern daripada tempat kerjanya sebelumnya—dengan ruang terbuka, meja-meja minimalis, dan karyawan yang sibuk dengan laptop masing-masing.

Saat masuk, Laila, sekretaris Adrian, menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat pagi, Kirana. Pak Adrian ingin bertemu Anda sebelum Anda mulai.”

Tentu saja, pikir Kirana sambil tersenyum tipis. Dia sudah menduga akan ada sesi penyambutan yang lebih menyerupai ujian daripada perkenalan.

Kirana mengikuti Laila menuju ruang rapat utama. Ketika pintu terbuka, Adrian sudah duduk di ujung meja, mengenakan jas abu-abu yang sempurna seperti biasanya, dengan ekspresi serius yang tampaknya sudah menjadi ciri khasnya.

“Selamat datang di NextWave,” katanya singkat, tanpa basa-basi. “Saya ingin Anda tahu bahwa proyek ini adalah prioritas utama perusahaan, dan tidak ada ruang untuk kesalahan.”

Kirana mengangguk. “Saya mengerti, Pak Adrian. Saya sudah meninjau dokumen proyek sebelumnya, dan saya punya beberapa ide awal untuk memulai.”

Adrian mengangkat satu alis. “Ide awal?” Nada suaranya terdengar skeptis, seperti menantang Kirana untuk menjelaskan lebih jauh.

“Ya, Pak,” Kirana menjawab, tetap tenang. “Saya pikir masalah utama tim sebelumnya adalah kurangnya komunikasi dan pembagian tugas yang jelas. Saya ingin membagi tim menjadi subkelompok dengan tanggung jawab spesifik untuk setiap tahap proyek. Ini akan mempermudah koordinasi dan mempercepat proses kerja.”

Adrian memandangnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Ide yang cukup masuk akal. Tapi, hasil adalah yang terpenting di sini, bukan sekadar rencana. Saya akan mengevaluasi kerja Anda setiap minggu.”

“Dan saya siap menerima evaluasi apa pun, Pak,” balas Kirana dengan nada yakin.

Ketegangan di udara terasa jelas, tetapi Kirana tahu bahwa inilah yang akan menjadi dinamika mereka—pertarungan kecil antara rasa percaya dan keraguan.

Di Ruang Kerja Tim

Kirana berdiri di depan anggota tim yang terdiri dari lima orang: Rendy, pengembang perangkat lunak senior yang tampak cuek; Amara, desainer UI yang ramah; Johan, analis data yang cenderung pendiam; Tina, staf administrasi yang efisien; dan Arif, seorang pengembang junior yang penuh semangat.

“Selamat pagi, semua,” sapa Kirana dengan senyum ramah. “Mulai hari ini, saya akan memimpin proyek ini. Saya tahu kita sedang menghadapi tekanan besar, tapi saya yakin kita bisa melewatinya bersama-sama.”

Rendy mengangkat tangan dengan ekspresi setengah serius. “Proyek ini sudah dipegang tiga project manager sebelumnya, dan semuanya gagal. Apa yang membuat Anda yakin bisa berhasil, Mbak Kirana?”

Kirana tertawa kecil. “Pertanyaan yang bagus. Tapi saya lebih suka kita fokus pada apa yang bisa kita lakukan sekarang daripada memikirkan kegagalan masa lalu. Jadi, mari kita mulai dengan memahami tantangan utama proyek ini.”

Sikap santai namun tegas Kirana perlahan mulai mencairkan suasana. Dia membagi dokumen proyek dan menjelaskan rencana kerja yang telah ia susun semalam. Amara dan Johan tampak tertarik, sementara Rendy masih memandangnya dengan skeptis.

Namun, bagi Kirana, ini bukan masalah besar. Membentuk kepercayaan tim adalah langkah pertama, dan ia siap menghadapi apa pun yang terjadi.

Pertemuan Tak Terduga dengan Adrian

Saat malam tiba, kantor mulai sepi. Kirana masih duduk di ruang kerjanya, memeriksa ulang jadwal proyek ketika pintu kaca terbuka.

“Kerja lembur di hari pertama?” suara Adrian terdengar di belakangnya.

Kirana mendongak, sedikit terkejut melihat Adrian masih di kantor. “Saya hanya ingin memastikan semua rencana siap untuk rapat tim besok pagi.”

Adrian melangkah masuk, tangannya memegang segelas kopi. “Dedikasi yang bagus. Tapi jangan sampai membuat Anda kehilangan fokus. Deadline adalah hal yang kita kejar, tapi Anda juga harus tahu kapan berhenti.”

Kirana tersenyum kecil. “Saya hanya percaya bahwa awal yang baik akan menentukan hasil akhirnya.”

Adrian menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Pastikan hasil kerja Anda berbicara lebih banyak daripada usaha Anda.”

Tanpa berkata lagi, dia meninggalkan ruangan. Namun, Kirana merasa bahwa percakapan singkat itu menunjukkan sisi Adrian yang berbeda—tegas, ya, tetapi juga diam-diam memperhatikan.

Setelah Adrian meninggalkan ruangannya, Kirana kembali memusatkan perhatian pada dokumen di layar laptopnya. Namun, pikirannya terusik oleh komentar Adrian. Ia menyadari satu hal—pemimpin seperti Adrian tidak hanya memantau pekerjaan, tetapi juga mengamati siapa orang di balik pekerjaan itu.

Sambil menyeruput kopi yang mulai dingin, Kirana memikirkan kesan pertamanya tentang Adrian. Di balik sikap dingin dan perfeksionismenya, ada sesuatu yang lebih dalam. Mungkin rasa takut gagal, atau mungkin tekanan yang jauh lebih besar daripada yang dia perlihatkan.

Hari Berikutnya: Rapat Tim Pertama

Pagi hari, Kirana berdiri di depan timnya di ruang rapat kecil. Di meja, terdapat tumpukan dokumen yang sudah ia siapkan semalaman.

“Baik, kita mulai,” katanya sambil menyalakan proyektor yang menampilkan garis besar proyek.

“Seperti yang kalian tahu, proyek ini tertunda cukup lama karena berbagai alasan. Saya tidak akan fokus pada masalah itu. Yang saya pedulikan adalah bagaimana kita menyelesaikan ini dengan cara yang paling efektif.”

Rendy, seperti yang sudah Kirana duga, angkat bicara. “Maaf, Mbak Kirana, saya bukan ingin pesimis, tapi ini bukan sekadar masalah efektif. Proyek ini seperti bom waktu. Banyak komponen yang tidak sinkron, dan klien terus mendesak fitur tambahan. Kalau mau jujur, kita mungkin perlu lebih dari sekadar tim kecil seperti ini.”

Kirana menatap Rendy tanpa kehilangan senyum. “Poin yang bagus, Rendy. Tapi justru karena itulah kita perlu bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras.”

Dia memutar slide berikutnya, memperlihatkan bagan kerja yang ia rancang. “Saya membagi proyek ini menjadi tiga fase utama. Setiap fase akan dikelola oleh subkelompok yang fokus pada tugas spesifik. Tujuannya adalah untuk mengurangi tekanan individu sekaligus memastikan setiap bagian berjalan beriringan.”

Amara mengangguk, terlihat antusias. “Ini masuk akal. Kalau kita bisa membagi tanggung jawab seperti ini, mungkin kita bisa lebih cepat mengejar deadline.”

Johan menambahkan, “Dan kita juga bisa memonitor progress tiap kelompok secara terpisah. Jadi kalau ada masalah, bisa langsung kita tangani.”

Namun, Rendy masih terlihat skeptis. “Kedengarannya bagus di atas kertas. Tapi siapa yang menjamin semua tim bisa bekerja sesuai rencana?”

Kirana menatap Rendy tajam, lalu tersenyum. “Saya yang akan menjamin, Rendy. Dan saya butuh Anda semua untuk membantu saya memastikan itu terjadi.”

Rendy mendengus pelan, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Kirana tahu, dia tidak akan bisa memenangkan hati semua orang sekaligus. Tapi ini awal yang cukup baik.

Pertemuan Kedua dengan Adrian

Setelah rapat selesai, Kirana menerima pesan dari Laila yang memintanya untuk datang ke ruang Adrian. Dengan sedikit tegang, ia berjalan menuju ruangan itu.

Adrian sedang berdiri di depan jendela besar, memandang pemandangan kota di bawah. “Bagaimana rapat pertamamu?” tanyanya tanpa berbalik.

“Berjalan lancar, Pak. Tim sudah memahami rencana kerja yang saya usulkan, dan mereka mulai mendiskusikan tugas masing-masing,” jawab Kirana.

Adrian berbalik, menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu percaya diri dulu. Masalah sebenarnya akan muncul ketika eksekusi dimulai.”

Kirana mengangguk. “Saya paham, Pak. Karena itu saya akan terus memantau progress setiap hari.”

Adrian melipat tangannya di dada. “Saya berharap banyak dari Anda, Kirana. Jika proyek ini gagal, itu bukan hanya reputasi tim Anda yang dipertaruhkan, tetapi juga reputasi saya sebagai pemimpin.”

Kirana menatapnya tanpa gentar. “Saya tidak akan mengecewakan Anda, Pak.”

Adrian terdiam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum kecil—senyum yang hampir tidak terlihat. “Kita lihat saja nanti. Sekarang, fokuslah pada pekerjaan Anda. Saya akan menunggu laporan mingguan Anda.”

Saat Kirana meninggalkan ruangan, ia merasakan tekanan yang lebih besar dari sebelumnya. Namun, ia juga merasakan dorongan untuk membuktikan kemampuannya—bukan hanya kepada Adrian, tetapi juga kepada dirinya sendiri.

Larut Malam di Kantor

Malam itu, kantor kembali sepi. Kirana memutuskan untuk tinggal lebih lama untuk merapikan dokumen tim. Saat ia tengah sibuk, suara langkah kaki membuatnya menoleh.

Rendy berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi. “Mbak Kirana, saya pikir Anda butuh ini,” katanya sambil meletakkan salah satu cangkir di meja.

Kirana terkejut, tetapi ia menerima kopi itu dengan senyum. “Terima kasih, Rendy. Saya tidak menyangka Anda masih di sini.”

Rendy mengangkat bahu. “Saya penasaran dengan cara kerja Anda. Saya ingin lihat apakah Anda benar-benar bisa membuat tim ini berhasil.”

Kirana tertawa kecil. “Terima kasih atas kejujurannya. Saya harap Anda tidak keberatan memberi saya kesempatan untuk membuktikan itu.”

“Yah, kita lihat saja nanti,” jawab Rendy sambil tersenyum tipis, lalu kembali ke mejanya.

Kirana menatap kopi di tangannya dan tersenyum kecil. Hari ini mungkin penuh tantangan, tetapi ia tahu ini baru permulaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 68

    Setelah sukses memantapkan program Kampung Mandiri, Kirana dan Adrian mulai menyadari pentingnya membangun struktur komunitas yang lebih kokoh. Mereka memutuskan untuk membentuk dewan desa mandiri di setiap desa binaan, yang terdiri dari perwakilan masyarakat, tokoh adat, dan generasi muda.“Kita butuh sistem yang bisa berjalan bahkan tanpa kehadiran kita,” ujar Adrian dalam pertemuan bersama para pemimpin komunitas. “Desa-desa ini harus mampu mengelola dirinya sendiri.”Kirana menambahkan, “Kita hanya menanam benih, tapi akarnya harus tumbuh dari kekuatan komunitas itu sendiri.”Dewan desa ini bertugas mengawasi program-program yang sedang berjalan, memastikan pembagian sumber daya yang adil, dan memberikan pelatihan kepemimpinan bagi anggota baru. Dengan adanya dewan ini, desa-desa binaan menjadi lebih mandiri dalam mengambil keputusan dan menjalankan program mereka.Selain itu, Kirana dan Adrian mulai memperkenalkan konsep keberlanjutan da

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 67

    Setelah keberhasilan Kampung Mandiri di desa percontohan, Kirana dan Adrian mulai menerima undangan dari desa-desa lain yang ingin mengadopsi konsep serupa. Mereka membentuk tim penggerak yang bertugas untuk melatih pemimpin lokal dan memastikan setiap program disesuaikan dengan kebutuhan unik setiap desa.“Kita harus memastikan bahwa setiap desa memiliki kemandirian dalam menjalankan program ini,” kata Adrian dalam sebuah rapat dengan timnya. “Bukan hanya menyalin apa yang sudah kita lakukan, tetapi menciptakan solusi yang benar-benar relevan bagi mereka.”Untuk itu, Kirana dan Adrian memperkenalkan konsep Jembatan Komunitas, sebuah program di mana desa-desa yang telah sukses menjadi mentor bagi desa-desa baru. Program ini memungkinkan pengetahuan dan pengalaman mengalir dari satu komunitas ke komunitas lain, memperkuat rasa solidaritas di antara mereka.“Dengan begini, setiap desa bisa saling mendukung,” jelas Kirana. “Dan kita menciptakan jaringan yang saling menguatkan.”Adrian, y

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 66

    Setelah sukses dengan berbagai inisiatif, Kirana dan Adrian memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Mereka meluncurkan proyek baru yang mereka beri nama “Kampung Mandiri.” Proyek ini bertujuan untuk menciptakan komunitas yang sepenuhnya mandiri dalam hal ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. “Kita ingin setiap desa bisa menjadi pusat perubahan,” jelas Adrian kepada timnya. “Bukan hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga penggerak bagi desa-desa di sekitarnya.” Sebagai langkah awal, mereka memilih tiga desa percontohan yang memiliki potensi besar namun menghadapi tantangan yang berbeda-beda. Setiap desa diberikan kesempatan untuk menentukan prioritas mereka sendiri, apakah itu pengembangan usaha lokal, pendidikan, atau pelestarian lingkungan. “Kampung Mandiri ini bukan tentang kita,” kata Kirana dalam pertemuan dengan para pemimpin desa. “Tapi tentang bagaimana kalian, sebagai komunitas, mengambil kendali atas masa depan kalian sendiri.”

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 65

    Setelah keberhasilan konferensi pertama Ruang Harapan, Kirana dan Adrian memutuskan untuk memfokuskan tahun berikutnya pada memperkuat jaringan antar komunitas. Mereka percaya bahwa berbagi pengalaman dan praktik terbaik antara desa-desa yang tergabung dalam program akan mempercepat kemajuan secara kolektif.“Kita harus membuat mereka merasa bahwa mereka tidak sendiri,” kata Adrian saat diskusi dengan tim. “Jika satu desa menemukan cara yang berhasil, desa lain juga bisa belajar darinya.”Mereka memulai inisiatif ini dengan mengadakan program pertukaran antar komunitas. Dalam program ini, warga dari satu desa akan mengunjungi desa lain untuk mempelajari cara kerja program mereka. Sebagai contoh, petani kopi dari Desa Asa mengunjungi petani kakao di Desa Citra untuk mempelajari teknik fermentasi yang lebih efisien.Pak Darman, salah satu petani kopi, merasa terinspirasi setelah kunjungan tersebut. “Saya pikir saya sudah tahu segalanya tentang kopi. Tapi ter

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 64

    Setelah berhasil membangun kolaborasi antar-desa dan memperkenalkan program pendidikan digital, Kirana dan Adrian menyadari bahwa fokus berikutnya adalah memastikan ketahanan komunitas dalam menghadapi perubahan global yang terus berkembang. Salah satu tantangan terbesar adalah perubahan iklim, yang mulai memengaruhi pola panen, sumber air, dan kestabilan ekonomi desa.“Kita harus mempersiapkan mereka untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian,” ujar Adrian dalam rapat bersama tim Ruang Harapan. “Ketahanan komunitas adalah kunci.”Langkah awal yang mereka ambil adalah memperkenalkan program pertanian berkelanjutan. Dengan menggandeng para ahli, mereka mengadakan pelatihan tentang penggunaan teknologi ramah lingkungan, seperti irigasi tetes, kompos organik, dan tanaman yang tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem.Pak Budi, seorang petani kopi di Desa Asa, menjadi salah satu peserta pertama. “Awalnya saya ragu, tetapi setelah mencoba, saya melihat

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 63

    Setelah melihat dampak signifikan dari program Ruang Harapan di Desa Asa, Kirana dan Adrian mulai merancang langkah untuk menjangkau desa-desa yang lebih terpencil. Mereka sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Infrastruktur yang minim, akses komunikasi yang sulit, dan jarak yang jauh menjadi tantangan besar. Namun, tekad mereka untuk membawa perubahan lebih luas terus membara.“Kita harus percaya bahwa di setiap desa, selalu ada potensi tersembunyi,” kata Adrian saat mempresentasikan rencana ekspansi mereka kepada tim.Desa pertama yang mereka tuju adalah Desa Langkat, yang terletak di perbukitan dengan akses jalan yang rusak parah. Perjalanan ke desa itu memakan waktu hampir sepuluh jam, tetapi setibanya di sana, mereka disambut dengan antusias oleh para warga yang telah mendengar kisah sukses Desa Asa.“Selamat datang di Desa Langkat,” kata seorang pemuda bernama Arga, yang kemudian menjadi perwakilan komunitas setempat. “Kami sudah menunggu kesempatan ini.”Kirana tersenyum.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status