"Singkirkan omong kosongmu Ran-du!" tantang Rio mengangkat stick golf yang ada di tangannya.
"Rupanya kau lupa dengan masa lalu di antara kita huh?" dengan santai Randu membalas.
"Tidak akan ada tempat bagi pengkhianat sepertimu bajingan!" bentak Rio, langkahnya terhenti oleh Reynold yang sudah terlebih dahulu menghajar dua security yang berada di sampingnya.
Beberapa anak buah Randu berusaha untuk membantu kedua orang yang sudah tak berdaya di tangan Rey, namun langkahnya pun di hentikan oleh Randu. Dia tahu jika Reynold bukan orang yang bisa di hentikan, dan hanya akan memperkeruh suasana di tempat ini.
"Kau rela datang demi wanita kotor seperti dia?" tanya Randu membuka kacamata hitam yang menempel di wajahnya.
"Serahkan dia sekarang atau...," ancam Rio, "atau kau akan membuat dirimu malu di hadapan semua orang?" timpal Randu.
"Kau masih saja seperti dulu Rio, tak mampu membedakan mana yang baik untukmu," sesal Randu, teringat masa lalunya, ketika dia sedang membangun Wordcount Company bersama. Lalu terpaksa pergi meninggalkan semua itu karena kesalahan yang tidak pernah di buatnya.
"Aku selalu tau apa yang terbaik untukku," ungkap Rio.
"Bawa pelacur itu kemari, lalu usir mereka," Randu kemudian masuk kembali ke dalam lift bersama James meninggalkan pertikaian diantara keduanya.
"Tuan, kenapa kau selalu saja mengalah kepada Tuan Rio, padahal aku selalu ingin menghabisinya?" tanya James penasaran.
"Aku punya rencana besar untuk mereka James,"
Beberapa saat kemudian, Andini nampak dalam pengawalan James. Tubuh kecilnya di dorong hingga terpelanting ke lantai. James merapatkan kedua jari, lalu mengarahkannya ke wajah Rio sambil berkata, "boom!" lalu dia masuk ke dalam lift bersama beberapa anak buahnya.
POV END
"Malam itu aku sudah mengirimkan pesan kepada Lucy serta Randu agar tidak lagi mengganggu Andini," jelas Rio kepada Laudya.
Dia merasa jika Rio sudah benar-benar jatuh cinta kepada Andini, sementara di sisi lain ada hati yang harus di jaga olehnya. Laudya tidak pernah mengerti, kenapa sang kakak rela mengorbankan dirinya demi Andini, bahkan dia harus rela masuk ke dalam bahaya.
Malam itu Laudya hanya bisa termenung di samping Rio, entah harus berbuat apa lagi untuk menyadarkan pria yang menjadi idolanya itu.
Pagi hari Rio segera berpamitan kepada Robby dan Anna, karena harus segera menemui beberapa koleganya yang akan datang untuk berinvestasi di Company miliknya.
"Ayah harap kau bisa membagi waktumu dengan kami Rio," nasihat Robby saat Rio mencium tangannya.
"Aku pernah berada di posisi sepertimu, namun semua itu hanyalah ego yang ada di dalam diri," lanjut Robby, kesal karena Rio tidak pernah menggubris apa yang terlontar dari mulutnya.
"Aku pamit ayah...ibu," dengan tatapan kosong dia menatap keduanya.
Anna hanya bisa terdiam, lalu mengantar Rio menuju kendaraan yang akan di tumpangi olehnya. Dia hanya bisa menjadi penengah dari pertikaian antara anak dan ayah, terkadang Anna harus mempu menjadi wanita yang adil, membagi kasih sayang terhadap Robby dan Rio. Meskipun berat, tapi Anna selalu bisa memberikan yang terbaik bagi keduanya.
Saat Rio menyalakan kendaraannya, Laudya berusaha masuk ke dalam kendaraan.
"Kau mau kemana Lody?" tanya Anna heran karena dia bersikap tidak seperti biasanya.
"Bu..., aku ingin pergi bersama kakak," jawab Laudya.
Anna terkejut dengan keputusan Laudya, karena tiba-tiba dia memutuskan sesuatu yang tidak pernah di bicarakan sebelumnya. Kedua mata Anna terbelalak, melihat dua tas besar sudah berada di tangan Laudya.
"Biarkan dia pergi Anna!" sayup terdengar suara Robby dari dalam rumah.
"Apa yang terjadi sebenarnya Laudya? kenapa kamu tidak bicara terlebih dahulu dengan ibu?" tanya Anna heran dengan keputusannya.
"Aku lelah bu....lelah dengan ayah yang selalu saja menekan aku," jawab Laudya, nampak air matanya membendung di balik kelopak.
Anna hanya bisa memberikan sentuhan di pipi Laudya, dia mengerti jika sifat keras Robby yang membuat semuanya seperti ini.
"Anna ayo masuk, aku ingin buang air kecil!" teriak Robby.
Anna akhirnya harus merelakan Laudya untuk mengikuti jejak sang kakak, meninggalkan rumah sederhana ini. Air mata yang membendung di kelopak matanya sudah tak mampu lagi di sembunyikan dari keduanya, "jaga dirimu baik-baik nak," kemudian dia segera menemui Robby di dalam.Laudya hanya bisa menatap dari kejauhan, hati kecilnya hanya bisa berkata "seharusnya ini semua tidak perlu terjadi andai saja ayah tidak bersikap seperti itu.""Apa kau yakin dengan keputusan ini?" tanya Rio melirik dengan ekor matanya."Kakak lebih tau apa yang ada di dalam hatiku saat ini," Rio kemudian menyalakan kendaraannya, lalu meninggalkan rumah kedua orang tuanya. Sesampainya di rumah, dia segera memanggil kepala assisten rumah tangga yang bernama Abigail, untuk menyiapkan semua keperluan Laudya."Selamat datang nona Laudya, mari ku antar ke kamarmu," ajak Abigail menuju lantai dua rumah Rio.Laudya serta Abigail memang sudah kenal sejak lama, meskipun dirinya jarang menemui Rio, namun dia seringkali berko
"Maaf mas, selama ini aku menutupi semuanya dari kamu," ungkap Andini.Dia segera merogoh tas dengan tangan kanannya, lalu memperlihatkan sebuah pesan yang bertuliskan, "Halo sayang, aku sudah bebas dan kali ini aku sudah berada di rumah bersama anak kita,"Rio hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, tak mengira dirinya akan terseret jauh ke dalam masalah ini. Sementara itu Reynold berusaha untuk memperjelas maksud kedatangan Andini kali ini hanyalah untuk meminta pendampingan secara hukum.Hati Rio benar-benar tidak karuan, dalam benaknya selama ini Andini adalah seorang gadis yang terjerembab ke dalam dunia hitam. Rasa kecewa, marah, sedih kian berkecamuk, isi pikirannya mulai di bumbui oleh iblis cemburu."Ikut aku!" Laudya segera menarik lengan Rio untuk menjauh dari Andini serta Reynold."CUKUP KAK! AKU JENGAH HARUS MENUTUPI SEMUANYA!""Argh....!" Rio menarik rambut yang ada di kepalanya sendiri.Laudya menatap tajam, dia merasa heran dengan Rio, kenapa rela untuk terseret jauh ke
Sesampainya di rumah orang tua Andini, mereka melihat ada seorang pria bertubuh kekar, di penuhi dengan gambar serta beberapa hiasan di tangannya. Dia sedang mengais seorang anak kecil berusia 2 tahun di tangannya, nampak rasa takut tersirat di wajah sang anak ketika berada dalam genggaman Axel.Kedua orang tua Andini tak mampu berbuat apa-apa selain hanya mengawasinya dari balik kaca. Usia mereka yang sudah tidak muda lagi, membuat keadaan semakin sulit."Raya!" teriak Andini dari dalam kendaraan, kemudian segera berlari mendekat ke arah putri semata wayangnya."Berikan kepadaku Axel!" matanya menyala, menatap pria yang pernah menjadi suaminya itu."Oh sayang, kenapa kau begitu kaku terhadapku?" tanya Axel mendekap Raya semakin erat, "apakah kau tidak rindu kepadaku?" sambungnya bertanya, perlahan mendekat ke arah Andini."Berikan Raya kepadaku!" hardik Andini, berusaha meraih tubuh kecil yang ada di hadapannya."Ayolah Andini, kita ini masih memiliki ikatan bukan?" tutur Axel sambil
"Halo sayang!" merdu terdengar suara dari seorang kekasih yang sudah mendampingi Rio selama 3 tahun lamanya, "aku sudah berada di bandara, mungkin sekitar 3 jam lagi aku akan menemuimu di rumah.""O-ok sayang, aku akan pulang lebih cepat hari ini," ucap Rio lalu menutup teleponnya.Andini hanya bisa terdiam ketika mendengar panggilan yang terucap dari mulut Rio, selama ini dia benar-benar tidak mengetahui jika ada orang lain di samping Rio. Dia memalingkan pandangannya ketika Rio kembali menemui dirinya serta kedua orang tuanya."Nak Rio, ibu ucapkan terima kasih sudah banyak membantu keluarga kami," ungkap ibunda Andini, "ibu harap Andini bisa lebih baik lagi ke depannya, dan kamu bisa memberikan yang terbaik untuknya," dengan penuh harapan, ibunda Andini mengusap lengan Rio.Tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut Rio, selain anggukan. Dia tahu sedang berhadapan dengan siapa, dan tak ingin memberikan harapan apapun kepada keluarga Andini. Rio kemudian segera berpamitan untuk kem
Rio terkesiap mendengar apa yang terlontar dari mulut kekasihnya itu, dia tidak pernah mengira jika Kayla akan mengajak dirinya ke sebuah tempat berdosa yang sering dia datangi selama wanita yang menjadi kekasihnya itu berada di luar negeri."Aaa...aku, hmm....," Rio mulai gelagapan karena dia tak tahu harus menjawab apa.Kedua matanya tampak layu dengan wajah tersalip kepanikan di barengi dengan keringat dingin yang tiba-tiba saja mengalir membasahi bagian sisi telinganya."Honey!""Are you okay?" tanya Kayla menatap Rio."Yeah...sure, i'm good," jawabnya lalu menarik gelas yang ada di sampingnya."Sial, kenapa harus berpesta di sana sih!" gerutu Rio dalam hati, perlahan ekor matanya mendelik ke arah kekasihnya.Kayla dan Rio menumpahkan rasa rindunya dengan saling bercerita satu sama lain, di barengi dengan candaan yang membawa malam itu menjadi semakin syahdu."Rasanya aku tak ingin berpisah lagi mas," Kayla menjatuhkan kepalanya ke pundak Rio."Cukup beberapa bulan ini hatiku sera
Robby menaikkan sudut mulutnya, menyeringai lalu memutar roda untuk menghadapkan wajahnya ke arah Rio."Aku ingin Laudya kembali ke rumah malam ini juga," pinta Robby melemparkan tatapan sinis ke arah putranya itu."Apa kau yakin tidak akan menyakitinya lagi jika dia pulang kembali ke sana huh?" tanya Rio kesal karena Robby tidak menunjukkan sikap yang ramah ketika meminta putri bungsunya itu pulang."Seharusnya aku yang berkata seperti itu Rio," timpal Robby."Selama ini kau saja tega menelantarkan kami,""Bukankah itu lebih menyakitkan?" lanjutnya dengan wajah perang.Rio hanya menggelengkan kepala, dia hanya bisa diam mendengar ocehan Robby yang sudah ngelantur dan mendramatisir semuanya. Dia tak ingin perdebatan ini di dengar oleh Kayla dan juga Anna, karena keduanya selalu terbebani ketika Rio kembali bermusuhan dengan ayah kandungnya itu."Cukup ayah!" terdengar suara Laudya dari balik pintu menghentikan ocehan Robby terhadap Rio."Aku sudah muak dengan sikapmu yang selalu ingin
Terdengar suara Robby di telinga Anna sedang memanggil kedua putranya, dia segera melangkah ke sisinya sambil menitikkan air mata."Anna!" dia melirik ke arah istrinya dengan kantung oksigen menutupi mulut dan juga hidungnya."Mas...," Anna tak mampu menahan lagi air mata yang membendung di kelopak matanya.Rio hanya menatap keduanya dari depan tempat tidur, hatinya tak merasakan apapun ketika melihat sang ayah sudah mulai menunjukkan tanda-tanda yang kurang baik. Dia melihat Robby sedang membisikkan sesuatu kepada Anna.Air mata sang ibunda berderai semakin kencang, seolah dia sedang mendapatkan sebuah pesan yang sangat mengiris hatinya."Rio kemari nak," kata Anna memanggil putra sulungnya untuk duduk di samping Robby.Anna membukakan kantung oksigen yang melingkar di wajahnya, agar Robby dapat berbicara dengan jelas kepada Rio.Keduanya hanya saling beradu pandang tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka,
Rio bergegas menuju ke dalam mobil setelah Kayla menghilang dari pandangannya, dia langsung menginjak pedal gas dalam-dalam untuk segera menemui Reynold. Sesampainya di sana, dia langsung berlari ke dalam lift kemudian langsung membuka pintu ruangan sahabat karibnya."Sial! dimana dia!" gumam Rio karena dia tidak menemukan Reynold di dalam ruangan."Kathy!""Kathy dimana kau!"Dia berteriak tanpa menghiraukan para pegawainya yang sedang bekerja, wajah tampan itu kini berubah menjadi menyeramkan. Beberapa karyawan yang ingin meminta tandatangannya segera mengurungkan niat setelah melihat perangai sang pemimpin nampak tak sedap di pandang.Rio mengambil ponsel yang ada di dalam saku jas nya itu, kemudian mencoba menelepon Reynold namun dia tak kunjung mendapat jawaban."Maaf tuan, aku sedang di toilet," ucap Kathy menghadang langkah Rio dengan nafas tersengal-sengal sambil merapikan roknya."Kemana si brengsek itu?" tanya Ri
Langkah Viktor bergema saat menghampiri Rio. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya gelap. "Kita bertemu Damien. Sekarang," katanya datar, tanpa embel-embel penjelasan.Di halaman depan, iring-iringan kendaraan sudah menunggu. Mesin-mesin menderu pelan, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menyerang duluan.Kayla muncul dari belakang, mengenakan jaket hitam dan menenteng tablet. Matanya terus bergerak, membaca situasi."Viktor, kau yakin malam ini tak akan jadi malam terakhir kita?" tanya Kayla suara rendah, menahan keresahan"Jika Damien bicara, kita bergerak. Jika dia diam… berarti kita sudah mati sebelum sempat mulai." jawab Viktor tak menoleh, naik ke kursinya)
Dua anak buah Viktor menyeret Andini dengan kasar menyusuri lorong sempit. Lampu gantung di langit-langit berayun pelan, memantulkan cahaya kuning kusam ke lantai beton yang lembap. Di ujung lorong, pintu baja terbuka perlahan dan interogasi pun dimulai.Andini dijatuhkan ke kursi logam, tangan terikat ke belakang. Nafasnya pendek. Matanya liar.Rio duduk menyamping, diam. Luka di pelipisnya masih merah, tapi sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Di sisi lain ruangan, Kayla mondar-mandir seperti singa betina yang dikurung.Viktor berdiri menghadap dinding monitor, memutar ulang rekaman ledakan gudang senjata. Suaranya pelan, tapi penuh tekanan. “Ini bukan kebetulan. Seseorang tahu lokasi kita. Tahu rencana kita.”
Malam itu mereka menuju Lorentz Base, tempat dimana Rio akan memulai kembali semuanya tapi dengan bisnis yang lebih mendebarkan.Tempat ini merupakan persembunyian Damien sebelum dia mendekam di penjara.Debu beterbangan setiap kali langkah mereka menginjak lantai beton yang retak. Bau logam tua dan oli sangit menyusup ke hidung Rio, membangkitkan ingatan lama yang tak diundang.Viktor berjalan di depan, membuka gerbang baja dengan suara berderit nyaring."Selamat datang kembali di sarang Damien," gumamnya dingin.Rio melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling — dinding dengan bekas peluru, tangga spiral berkarat, dan peta strategi berjamur yang masih tergantung di dinding, penuh coretan merah."Dulu Damien memulai semuanya dari tempat ini
Pagi itu, Andini terbangun perlahan. Dia masih bersandar dalam pelukan Rio, tubuh mereka terbalut kehangatan yang kontras dengan udara dingin yang merayap dari mulut gua.Kabut tipis melayang di udara, membentuk bayangan samar di luar sana. Suara tetesan air embun jatuh dari batu-batu di langit-langit, menciptakan irama pelan yang terasa hampir romantis — jika saja situasinya tak begitu berbahaya.Tiba-tiba, suara teriakan menggema di kejauhan."Alinda... sepertinya mereka di dalam mulut gua!" Suara Reynold—panik, mengancam—menggetarkan dinding batu.Andini membeku, lalu dengan cepat menggoyangkan tubuh Rio. "Rio... bangun. Rey dan Alinda... mereka mencari kita," bisiknya tergesa, nadanya d
Bayangan moncong senjata nampak dari balik pintu, Rio mengangkat satu jari ke depan mulutnya.Saat pria itu masuk, Rio langsung menarik senjatanya kemudian mengapit lehernya sambil membekap mulut hingga dia tak bernafas.Rio menyelinap keluar, masih ada dua orang bersenjata sedang mengelilingi kabin tua ini, dia sengaja meninggalkan Andini untuk menjadi umpan."Jangan berge-," belum selesai bicara, Rio langsung memutar kepalanya pemburu tersebut dari belakang.Suara tulang berderak kencang, lehernya patah.Tubuhnya langsung ambruk ke tanah."Rio di belakangmu," Andini memekik menunjuk pemburu lain yang siap menyerangnya.Dengan sigap Rio berguling lalu menarik pisau yang ada di kakinya, kemudian menusuk perutnya berkali-kali hingga tewas.Kedua matanya kembali mengawasi keadaan sekitar, setelah di rasa aman, Rio segera menarik Andini untuk segera keluar dari kabin ini.Kabut tipis
Asap tebal mengepul dari reruntuhan vila, menciptakan kabut kelabu yang mengaburkan pandangan. Rio bangkit dengan tubuh remuk, setiap gerakannya menusuk sakit, tapi dia menahan semua itu. Dia tidak punya pilihan.Matanya liar mencari satu sosok."Andini!" teriaknya, suara serak karena asap.Dia merangkak di antara puing-puing, menahan batuk, hingga akhirnya menemukan Andini tergeletak.Gadis itu masih bernafas, meski wajahnya penuh debu dan darah tipis mengalir di pelipis."Andini, kau dengar aku?" Rio memegang bahunya, mengguncangnya perlahan.Andini membuka mata, pandangannya buram,
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.
Fajar menguap perlahan di ujung cakrawala, menyusup lewat celah-celah jendela vila reyot itu. Decitan pintu kayu tua terdengar seperti jeritan hantu di pagi buta. Angin dingin dari celah-celah jendela menusuk kulit Rio, sementara aroma darah kering masih samar-samar tercium di udara.Rio duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong menatap lantai kayu yang penuh debu dan noda darah kering. Di sudut ruangan, Andini masih terlelap, meringkuk di balik jaket yang tadi malam ia selimuti. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu tentang Andini. Tentang kenapa gadis itu begitu familiar di hatinya... tapi asing di pikirannya.Rio menggeram pelan, menepis kegelisahan itu. "Kenapa aku merasa seperti dikhianati meski belum tau apa-apa?" gumamnya dalam hati. Bukan saatnya mempertanyakan. Belum.Untuk saat ini, cukup melihat Andini bernapas dengan damai. Cukup... untuk membuat Rio menunda semua pertanyaan yang membakar tenggorokannya."Rio!" Andini terbangun men
Rio terbangun dengan napas yang terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat, dan pikirannya masih kacau. Saat penglihatannya mulai jelas, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini, ada dua sosok terikat di hadapannya—Reynold dan Andini.“Rio… mohon, dengarkan aku,” ucap Reynold dengan suara serak. Wajahnya lebam, darah masih tampak mengering di sudut bibir. “Kau salah paham mengenai semua ini. Aku tidak pernah menyentuh Andini… tidak sekalipun.”Rio menatap kosong. Pandangannya berpindah ke meja di depan, tempat sebuah senapan laras panjang tergeletak—senjata yang sengaja disiapkan, seolah menunggu keputusan akhir.Andini menahan isak. Meski tubuhnya gemetar, sorot matanya tetap tegas. “Rio… semua ini jebakan. Fitnah yang disusun agar k