Pagi hari.
Rio terbangun di atas kasur empuk dalam sebuah ruangan luas dengan interior mewah. Lampu kristal menggantung di langit-langit, cahaya matahari mengintip dari sela tirai tebal. Saat ia memutar kepala, pandangannya jatuh pada sebuah foto besar di dinding—dirinya saat kecil, tersenyum bersama seorang wanita berambut pirang.
“Inggrid.”
Suara itu datang dari ambang pintu. Lucifer berdiri di sana, mengenakan kemeja putih bersih, tatapannya kosong ke arah foto.
“Dia satu-satunya alasan aku masih hidup sampai sekarang,” katanya pelan, lalu melangkah mendekat. “Tapi aku juga harus kehilanganmu, Rio.” Matanya tak lepas dari potret mendiang istrinya.
Rio mengerang saat mencoba bangkit. Nyeri m
Mata Neya terbelalak. Suara Lucifer masih menggema di telinganya. Dingin menyergap kulitnya—dan baru saat itu ia sadar, tubuhnya dan Rio sama-sama telanjang.“Apa yang—”Belum sempat Neya menyelesaikan kalimatnya, Rio langsung menarik tubuhnya, memeluk erat, berpura-pura tertidur. Gerak cepat itu semata-mata untuk menenangkan situasi dan menyamarkan kebenaran di hadapan Lucifer.“Bersihkan diri kalian. Kita bicara di bawah.” Suara Lucifer terdengar dari ambang pintu. “Jangan sampai Damien mencium keringat kalian.” Lalu langkah beratnya menjauh.Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Rio."Bangsat kau, Rio!" desis Neya.Rio meraih pergelang
Ketukan itu berhenti. Pintu terbuka perlahan dan muncullah Sera. Ia melongok masuk dengan raut gelisah, lalu menutup pintu kembali tanpa suara.“Kau belum tidur Rio,” ucapnya pelan, menatap Rio yang kini duduk di ujung ranjang.Rio menghela napas lega, separuh karena bukan penjaga yang masuk, separuh karena Sera datang sendiri.“Apa yang kau lakukan malam-malam begini?” tanyanya.Sera menatap Rio tajam, lalu matanya bergerak cepat menyapu ruangan. “Kau tidak sendirian, kan?”Dari balik lemari, Alinda menyembul pelan. Sera menghela napas panjang. Bukannya terkejut, ia justru berjalan perlahan ke arah mereka. “Jadi kabar itu benar. Kau sudah mulai curiga dengan Damien dan Lucifer.”
Sera menatap Rio dalam-dalam, suaranya pelan namun sarat makna. "Mungkin... semua itu memang akan terjadi—kalau saja waktu itu kau tidak menarikku dari jalur peluru anak buah Morena."Rio menarik napas panjang. Di kepalanya, perang terbuka di Velmora makin mendekat. Setiap informasi yang ia terima hanya memperkuat satu hal: Randu hampir menguasai semua faksi di dua kota besar. Velmora tinggal tunggu waktu.Ketegangan di antara mereka buyar sejenak ketika Neya masuk ke ruangan, mengenakan gaun tipis yang menggantung anggun di pundaknya. Tapi ekspresinya bukan anggun—melainkan tajam."Rupanya... hubungan kalian lebih dari sekadar saudara angkat," ucap Neya dingin, tatapannya menusuk ke arah Rio dan Sera.Rio menoleh pelan. Tapi justru hal lain yang menarik perhatiannya: luka di bahu Neya, identik dengan miliknya.
Pagi hari.Rio terbangun di atas kasur empuk dalam sebuah ruangan luas dengan interior mewah. Lampu kristal menggantung di langit-langit, cahaya matahari mengintip dari sela tirai tebal. Saat ia memutar kepala, pandangannya jatuh pada sebuah foto besar di dinding—dirinya saat kecil, tersenyum bersama seorang wanita berambut pirang.“Inggrid.”Suara itu datang dari ambang pintu. Lucifer berdiri di sana, mengenakan kemeja putih bersih, tatapannya kosong ke arah foto.“Dia satu-satunya alasan aku masih hidup sampai sekarang,” katanya pelan, lalu melangkah mendekat. “Tapi aku juga harus kehilanganmu, Rio.” Matanya tak lepas dari potret mendiang istrinya.Rio mengerang saat mencoba bangkit. Nyeri m
Sera terdiam sejenak kemudian duduk di atas batu sambil menunggu jawaban dari beberapa tim yang terpisah."Aku dibesarkan oleh dia," ucap Sera sambil menundukkan wajahnya."Neya...adik kandungku, dia begitu mencintai sosok ayah. Bahkan rela berkorban demi dia, tapi aku sadar jika selama ini kami berdua sedang di manfaatkan untuk mengambil sesuatu....yaitu kau," dia kemudian menatap Rio.Rio menatapnya dalam. "Apa yang dia inginkan sebenarnya?"Sera menghela napas panjang. "Kekuasaan mutlak. Tapi bukan dengan cara frontal seperti Randu. Lucifer ingin semua orang bersujud...tanpa tahu bahwa mereka sedang dijajah. Dia ingin jadi bayangan di balik semua keputusan. Sistem yang memaksa semua orang tunduk tanpa sadar."
Malam itu, ruang rapat GGH diselimuti udara tegang. Zaria, Cole, dan Leon duduk berjajar di hadapan Rio, Damien, dan beberapa tokoh kunci lainnya. Di sudut ruangan, Myra tampak lelah di atas kursi roda, tubuhnya masih dibalut perban dan memar.Rio berdiri di depan meja kerjanya, menatap Zaria dengan tatapan penuh beban. “Zaria, besok aku akan berangkat ke Velmora. Jadi mulai malam ini, ruangan ini jadi milikmu.” Nada suaranya berat tapi mantap.Damien menambahkan dari ujung sofa, “Kami akan memulai fase baru di Granavell. Dan selama itu, kalian bertiga—Zaria, Cole, Leon—jadi tumpuan utama Karnosa. Jangan buat kami menyesal.”Zaria menyilangkan tangan di depan dada. Tatapannya tajam, penuh siaga. “Apakah f