Pada akhirnya, Barella tahu betapa bobrok keluarganya. Meski sejak awal ia hengkang dari rumahnya sudah mulai mengendus borok yang tersimpan rapi, tetap saja, mendengar susunan rencana yang akan segera terjadi benar-benar pukulan telak untuk jantungnya.Pikirnya, sebegitu tidak berhargakah kebahagiaan seseorang sehingga mengambil yang bukan haknya menjadi suatu kebiasaan? Barella tidak habis pikir.Pertama, pada Damika yang dirinya anggap sebagai sahabat, sebagai lelaki yang menyatakan cinta tulus untuknya. Tapi faktanya jauh dari sebuah kejujuran. Damika tidak setulus itu untuk memilihnya.Kedua, Liana sudah cukup pantas menjadi seorang anak sulung. Hanya terlalu lama di sembunyikan oleh ayahnya. Bukan berarti leluasa merampas yang bukan haknya.Tidak boleh menyentuh miliknya.Barella berdecih jijik. Dua orang di hadapannya ini adalah manusia munafik. Pantas jika mereka tampak serasi. Otaknya sudah terancang untuk berbuat kejahatan. Menghilangkan empati yang seharusnya tertanam dan m
Pulang-pulang dari rumah sakit, Sagi merasa harus terkejut. Cara kerja jantungnya meningkat dadakan. Tidak bisa di samakan dengan apapun ketika bibirnya bertubrukan dengan milik Barella. Inisiatif tanpa rencana seperti ini patutnya ada pengaruh dari pasutri Radit-Senja.“Ayo bikin aku hamil.”Begitu saja Sagi tercengang. Mulutnya menganga sedang Barella pergi entah ke mana. Istrinya itu—doa Sagi—semoga tidak tertempel setan yang membuat otaknya berpindah tempat.Lalu, ketika ucapan yang Barella lontarkan adalah candaan semata. Fakta mengejutkan menghampiri di kala mentari tergelincir ke peraduannya. Sagi ingat, jarum jam pendek belum di angka tujuh tepat, tapi Barella berdandan dengan sangat cantik. Pakaiannya juga minim menambah keseksian. Ingin dirinya katai bahwa itu bahan belum jadi yang terjual dengan nominal mahal. Sayangnya juga, itu lingerie seksi yang melekukkan setiap inci tubuhnya.“Katanya aku harus hamil. Dan kamu mau di panggil Papi.”Demi kepiting merah yang sinting! Wa
Tidak banyak muluk-muluk yang Barella sematkan. Cukup dengan dirinya jauh dari jangkauan keluarganya dan mengikuti semua keputusan sang suami. Baginya, itu sudah lebih dari rasa aman yang Sagitarius Yudantha berikan.“Duhh mereka lucu-lucu banget. Liat deh Yang.”Sagi menyodorkan ponselnya yang menampilkan potret dua bayi kembar terlelap. Barella mengakui kelucuan yang ada di dalamnya. Kedua bayi itu mirip—identik—jenis kelaminnya saja yang membedakan. Mereka juga terlelap dengan posisi unik di mana tangan salah satunya terlihat merangkul bayi di sebelahnya.Senyum Barella terbit.“Mereka lucu,” bisiknya rendah yang terdengar di rungu Sagi.“Kita harus jengukin mereka.” Sagi tidurkan kepalanya di atas perut Barella. Meniup-niupnya iseng yang tepat berada di depan wajahnya. “Aku mau punya mereka. Satu atau dua atau tiga atau berapa pun Tuhan akan ngasih.”Lanjutannya sarat akan kepasrahan. Barella mendadak gugup. Keringat dingin mengucur dari sela-sela kulitnya. Ini sulit. Dirinya belu
Hari-hari selanjutnya, Sagi semakin liar bergerak. Ia tidak peduli apakah Barella akan mengoceh setelahnya dan melotot seharian penuh. Hal-hal kecil seperti sentuhan—selama ada kesempatan—Sagi melakukannya.“Ke sana dikit!” Barella berteriak. Kesal setengah mati dengan tindakan Sagi yang terus memepet tubuhnya. Di lihat lebih jeli lagi, ukuran ranjang mereka tidaklah sempit—terlampau luas bahkan diisi dua orang sekali pun. Namun Sagi sungguh membuatnya jengkel.“Kenapa, sih?” balasnya bertanya. Tubuhnya belum beranjak menjauh dari memeluk Barella. “Aku kedinginan.” Alasan saja membuat Barella mendengkus.“Karepmu lah!”Tentu Sagi tersenyum puas sekali. Di balik punggung Barella dan kepalanya kian melesak masuk ke tengkuk istrinya.“Kamu tau, surga dan nerakanya istri ada di suami.”“Jangan ceramah.” Meski begitu Barella membenarkan. Ia ingat status yang sudah tidak lajang lagi. Melainkan memiliki pemimpin dan pembimbing.“Ck! Dikasih tau ngeyel.”Sagi eratkan pelukan pada tubuh Barell
Kehilangan bukan alasan untuk berhenti.Barella punya semangat untuk dirinya sendiri agar maju.Setelah malam itu, aktivitas keduanya berjalan seperti biasa.Barella yang kian kiat mengikuti Sagi ke kantornya. Menyiapkan segala keperluan yang suaminya perlukan dari bangun tidur sampai terlelap. Perihal masalah itu tidak pernah keduanya angkat menjadi topik bahasan. Seakan menutup dan memulai semuanya.“Aku bawain bekal.” Sagi sudah was-was. “Aku harus ke kampus buat bimbingan.” Entah Sagi yang baper atau memang kehadiran Barella sangatlah mempengaruhi dirinya, pastinya ia benci jika kampus menjadi tempat keramat yang harus istrinya datangi. “Sebelum jam kantor usai, aku ke sini.”“Lama banget?” Alis Sagi menukik—curiga. Sayangnya, bahasa tubuh Barella sulit dirinya tebak. “Hati-hati,” pesannya sembari mengecup kening Barella. “Kabari kalau ada hal yang kamu butuhin.” Barella mengangguk dan bergegas pergi.Apakah Sagitarius Yudantha tipikal lelaki ‘ya sudahlah seraya mengembuskan napas
Pagi ini.Mengingatkan pagi-paginya yang dulu saat bersama sang mama. Saat dirinya masih membujang dan sang mama yang selalu mengurusinya. Mulai dari membangunkannya dari tidur, menyiapkan air hangatnya untuk mandi, pakaian kantor serta jas dan dasi, lalu terakhir sarapannya. Begitu seterusnya sampai waktu kian tergerus. Satu hari menjadi satu minggu. Satu detik menjadi satu jam.Dan diantara itu semua, yang selalu dirinya ingat ialah olokan mamanya. Katanya, “coba kamu punya istri. Niatan buat nikahlah minimalnya. Tiap pagi sama malam yang kamu minum bukan lagi kopi. Tapi SMI.”SMI singkata dari Susu Murni Istri.Yorobun! Sagi ingin pingsan tiap kali disindir macam begitu.Lebih elegan harusnya ASI alias Air Susu Istri.Tapi memang begitu mamanya. Kanjeng Ratu Yudantha selalu unik di setiap momen. Parahnya lagi, kian beranjak usia Sagi, bertambah pula singkatan-singkatan unik dari mamanya. Layaknya sudah terpatri dalam otaknya untuk selalu membully darah dagingnya sendiri. Bayangkan!
Teori cinta yang sesungguhnya itu bagaimana?“Kamu ngerasa nggak, sih, kalo lagi nikahin orang gila?” Itu Barella yang bertanya.Maka Sagi menjawab, “lingkupnya gimana? Menurut kamu aku cukup gila nggak dengan menikahi perempuan yang bikin aku gila?”Sejak dulu, tanya bagi Sagitarius Yudantha akan berakhir dengan pertanyaan lainnya.Keduanya sedang berkutat dengan dapur. Sagi yang memasak omelet, sosis goreng dan roti panggang—tercium dari baunya lezat—yang entah seperti apa hasil akhirnya. Eksistensi keduanya jelas menggeser Ratu dapur yang sudah di percayakan untuk mengurusi tetek bengek rumah tangga keduanya, adalah Bi Inah.Terpaksa Bi Inah mangkir. Wanita paruh baya itu meminta pekerja yang lain beralih fungsi ke tempat yang lain. Ruang tamu, ruang tengah, kolam renang serta yang berjauhan dengan dapur. Pasalnya, Bi Inah hapal tabiat Bagindanya yang tidak suka diganggu jika bersama Permaisuri.“Bahasa Indonesia kamu nilai berapa?” Barella bertanya tapi hasilnya terdengar layaknya
“Sag!”“Yes wife?”Yang dipanggil guling-guling badan di kasur tanpa protes namanya tidak sesuai. Barella mendengus. Sejak kejadian di dini hari lucknut itu, mulut Sagi butuh saringan ekstra. Manis total coy macam ngisep gula dari tumpukan jerami.“Mau pakai yang mana?” Dari tadi Barella sibuk memilihkan kemeja untuk suaminya ke kantor. Dan lihatlah kadal titisan rajungan itu hanya rebahan layaknya belajar jadi orang mati. “Aku tuh suka kamu pakai kemeja item atau navy, lebih manly gitu. Ya tapi, masa kamu pakai itu-itu aja?! Di kira aku nggak becus jadi istri nanti.”See?Sagitarius beranjak bangun ogah-ogahan dan duduk di tepian ranjang. Kedua tangannya terjulur ke depan—macam vampire hendak mencekik korbannya—meminta di peluk. Barella mendengus.“Pilihan kamu apapun itu aku suka. Love, please. Jangan hiraukan omongan orang. Di sini yang jalanin aku, kamu dan kita. Jadi biarin lah mereka mau nyinyir apaan.” Sagi suka dengan perubahan Barella sejak hari itu. Keras kepalanya mengendur
Aku sadar, berdekatan denganmu adalah awal dari bencana. Eh, ternyata Sagi bisa ya bikin hatinya sendiri melambung. Buktinya mengingat penyemangatnya, Sagi enerjik sekali.Meskipun sampai hari ini hati Sagi masih saja terpengaruh. Pada apa yang Barella ucapkan. Pada apa yang Barella lakukan. Pada apa yang menjadi tindak tanduk perempuan yang berstatus sebagai istrinya satu bulan ini. Awalnya Sagi masih mengelak jika perasaannya tidak terpaut semakin jauh karena ia sadar itu masalah. Namun setelah berlarut-larut dalam kebersamaan, Sagi mulai menyadari jika dirinya sudah jatuh jauh ke dalam.Tak ingin memungkiri, pada akhirnya Sagi mengakui seberapa besar pengaruh Barella untuk hatinya atau segala perlakuan yang Barella tunjukan memang mempengaruhi hidupnya.Duhhh! Ribet banget punya hati.Sagi terus saja merutuki hatinya yang lemah—sangat-sangat lemah—jika sudah menyangkut Barella.“Bekal makan siang?”“Udah.”“Berkas-berkas meetingnya?”“Udah.”“Baju ganti buat makan malam sama klien?