Share

4. Api & Samudra

Laut dan fajar. Kawan setia Pasai sudah sejak lama, jauh sejak dia ditakdirkan jadi tumpuan hidup ketiga keluarganya.

Jalan yang berat tapi tak habis dia syukuri setiap waktu. Karena baginya kebahagiaan ibu dan adik-adiknyalah tujuan utama dari segala rasa lelahnya.

Pagi ini seperti biasa, pemuda desa nelayan itu tengah membenahi kapal yang hendak membawa mereka ke laut.

Badan dan tangannya sibuk bekerja, tapi fikirannya tidak.

Fokusnya terusik sejak semalam oleh objek yang tidak seharusnya mampir ke sudut manapun di hidupnya.

Pasai tahu, rasa tertariknya pada gadis kota itu manusiawi. Hanya status dan nasib mereka yang membuat rasa tertarik itu menjadi suatu hal yang sangat salah dan nyaris terlarang.

Di dunia ini salah satu lautan yang terlalu sulit untuk disebrangi adalah lautan materi. Karena sudah banyak kapal karam bahkan sebelum menatap ujung daratan yang ditujunya.

"Serius banget Mas pagi ini mukanya."

Suara lembut bernada ringan membuat Pasai tersentak tak kepalang.

"Ya Tuhan!" Nyaris saja Pasai mengucapkan keterkejutannya dengan kencang.

Penyebabnya adalah, di pesisir tak jauh darinya Agni tertawa seraya menyibak rambutnya yang berantakkan tertiup angin dingin.

Pasai menghela napas panjang. Tahu dia tak mungkin bisa mengusir teman tak diundangnya.

Wanita itu pagi ini berpakaian lebih tertutup. Memadukan sweater hitam berleher tinggi dengan celana training panjang berwarna merah gelap.

Dan entah kenapa dimatanya gadis itu tampak segar dan lebih cantik.

"Jalan-jalan paginya kejauhan, Mbak," Ucap Pasai tak ingin berbasa-basi.

Agni menghela napas berat.

"Kayaknya nggak seneng banget kamu ngeliat aku disini?" tanya wanita itu kesal.

Keduanya lalu diam, meski kali ini diam untuk sama-sama saling menolak perasaan.

Agni diam-diam melahap sosok pelaut muda itu sekali lagi.

Hari ini Pasai berkaos hitam bergambar jangkar kapal yang berwarna kuning pudar. Celana panjangnya berbahan kain yang juga sudah tampak sobek di bagian betis dengan warna yang sudah berubah banyak.

Tapi sialnya, pemuda itu tetap tampak gagah. Wajah tampannya terlihat tegas dengan kulit gelap khas orang yang terlalu banyak di bawah terik matahari.

Tangannya kekar tapi bukan tipe berotot. Badannya atletis terbentuk murni dari kerasnya pekerjaan yang dia kerjakan.

Agni menelan ludah diam-diam. Pipinya terasa menghangat padahal pagi hari itu waktu sedang dingin-dinginnya.

Tapi tubuhnya terasa menghangat dengan jantung bergetar pelan melebihi ritme yang seharusnya.

"Udah sarapan, Mbak?"

Agni mengerjap tak percaya mendengar pertanyaan itu.

"Kamu nanya aku?" tanya perempuan cantik itu dengan gugup.

Pasai yang sejak tadi tak melihat kearahnya sontak menoleh bingung.

"Yang ada cuma mbak Agni, kan," Jawabnya sesingkat mungkin.

Dan Agni membalasnya dengan cengiran bodoh di bibirnya yang berlipstik merah samar.

Dengkusan pelan terdengar dari pemuda yang kini memilih berjongkok menatapi gulungan tambang super besar daripada lawan bicaranya yang berparas cantik.

"Aku boleh panggil kamu Pasai?" tanya si cantik itu dengan ragu.

Pasai menoleh lagi ke arahnya, kali ini seulas senyum kecil tampak terselip di bibirnya.

"Terserah. Urusan kamu mau panggil aku apa," jawab laki-laki itu.

Agni terbelalak lebar, mendengar prianya itu bicara lebih santai padanya.

Dan hal sepele itu membuatnya merasa senang tanpa sebab, sampai dia harus berupaya menahan senyum konyol yang nyaris merekah di bibirnya.

"Aku suka laut ternyata," Ucapan gadis itu terdengar diantara suara hempasan ombak yang tidak terlalu tinggi pagi ini.

Pasai menatapnya beberapa saat lalu mengalihkan tatapannya kearah laut yang menenangkan.

"Laut itu tangguh. Sepintar apapun kita dan teknologi, tetap saja laut yang menang."gumam Agni.

"Bukannya wajar manusia selalu menyukai dan melihat hal yang lebih hebat dari mereka?" jawaban laki-laki itu membuatnya terdiam.

Agni sedikit tak menyangka jika ucapan asalnya akan ditanggapi dengan serius oleh orang itu.

"Yah... Aku sendiri gak tahu bakal senyaman ini berdiri dekat laut." Agni tertawa pelan karena ucapannya sendiri.

Pasai terkekeh pelan mendengarnya.

"Hidup kamu mungkin lelah di kota sana. Makanya di sini malah terkesan berbeda dan lebih kerasan." Laki-laki itu memberinya tawa kecil setelah ucapannya.

Agni bergerak maju lalu duduk dengan santai di pasir pantai.

"Mungkin juga. Tapi kamu benar. aku suka sesuatu yang tangguh, dan tampak indah." Ujar gadis itu dengan pandangan lekat menatap Pasai yang tiba-tiba tampak membatu dan seolah bingung.

Tatapan mata pemuda itu tampak goyah, mengerjap beberapa kali sebelum dialihkan sepenuhnya kearah lautan yang mulai tampak terang.

Jantung Pasai melonjak sepersekian detik tadi. Ucapan wanita itu benar-benar membuatnya tak tahu harus bagaimana.

Dia bukan pemuda remaja yang tak paham tanda ketertarikan yang ditunjukkan padanya secara terang-terangan. Pasai selalu menangkap minat yang cukup jelas dari wanita itu setiap kali mata mereka tak sengaja bertemu.

Dan tak munafik, Pasai tergugah sebagai manusia biasa dan seorang pria. Jantungnya berdebar cepat, bahkan itu sesuatu yang belum pernah dia alami pada Ratri sekalipun.

Keheningan di antara keduanya terurai saat rombongan nelayan kapal H.Baron mulai berdatangan.

"Loh..? Si Mbak yang kemarin ini ya?" tanya salah seorang dari mereka.

Agni mengangguk dan menyalami mereka satu-persatu dengan ramah.

"Mau ikut lagi?" tanya H. Baron seraya bercanda.

Gadis itu menggeleng dengan senyum malu.

"Lain kali aja lagi, Pak," jawab Agni dengan ramah.

"Lain kali mending pakai kapal wisata aja," ujar Pasai tiba-tiba.

Haji Baron mengangkat alis melihat pegawainya yang pendiam tiba-tiba bicara tanpa diminta.

"Gak suka banget kayaknya aku ikut lagi," Protes gadis cantik berambut panjang itu seraya mendelik ke arah laki-laki itu.

Haji Baron mengerjap lalu melihat bergiliran pada sepasang muda mudi yang jelas beda kasta itu.

'menarik' batin H. Baron tanpa sadar.

"Bukan gitu. Ada fasilitas nyaman kenapa harus pilih yang bau coba kan?" jawab pemuda itu ketus.

"Terserah aku lah. Kan yang mau juga aku," timpal Agni lagi sedikit kesal.

Pasai hendak menjawab sebelum Haji Baron memotong ucapannya tiba-tiba.

"Bilang aja langsung. Kamu kuatir si Mbaknya naik kapal butut terus." Celetuk Haji Baron sambil cuek melenggang naik ke atas kapal.

Begitu telak hingga membuat Pasai sendiri tergagap seraya menatap Agni yang pipinya memerah dengan mata membelalak.

***

"Ratri...?"

Petang hari saat menjejakkan kaki dipesisir Pasai melihat sesosok gadis berdaster bunga-bunga tengah menanti.Tak harus menebak, gadis itu selalu menunggunya dengan setia setiap kali pulang melaut agak terlambat.

Raut lega kini tampak terpancar di wajah cantik dan sederhana itu. Ratri salah satu yang tercantik di kampung mereka.

Kulitnya kuning langsat, cukup terang dibanding warna kulit orang-orang setempat. Rambutnya ikal besar yang tampak tebal diikat atau dijepit di atas kepala. Dan Pasai sudah mengenal gadis itu sejak Ratri masih berusia SMP.

Itulah sebabnya butuh usaha lebih untuk menyambut perasaan yang diberikan gadis itu secara terang-terangan saat Pasai susah kadung melihat gadis itu sebagai adik daripada seorang pasangan.

"Mas...Ini teh hangat," hanya begitu dia saja bicara.

Begitu lembut keluar dari sosok anggun yang menentramkan mata.

Pasai tersenyum kecil. Biarlah tak ada badai dalam hatinya saat berdekatan dengan gadis itu, tapi sudah jelas Ratri hidup di dunia yang sama seperti dirinya.

"Jangan terlalu sering tunggu Mas disini, Dek. Angin malam bahaya loh," ucap Pasai dengan khawatir.

Gadis itu tersenyum menenangkan, entah kenapa melihat senyum itu kini malah membuat Pasai sedikit merasa bersalah.

Padahal Ratri belum terikat apapun dengannya. Tapi kesetiaan gadis itu menunggu dan menyayanginya dalam waktu cukup lama membuatnya tersentuh dan bersyukur.

Karena tak sekalipun gadis itu menuntut jawaban darinya, atau tak juga sekalipun dia menanyakan balik isi perasaan Pasai padanya.

Pasai menatap lekat gadis sederhana yang selalu setia menunggunya itu. Seribu alasan agar dia menikahi Ratri secepatnya berputar dengan mudah dibenaknya.

Ratri adalah cerminan kesempurnaan bagi pemuda seperti dirinya, dan ada lebih banyak hal baik lagi yang menguatkan hal itu.

Tapi sayangnya Ratri sempurna hanya dalam benaknya. Hasil dari pertimbangan logika dan pemikiran baik buruk, maupun sebab akibat.

Sialnya di hatinya kini mulai ada satu-satunya alasan mengapa memilih Ratri bukan lagi jalan yang mudah.Ya, hatinya perlahan sudah mulai terisi, nama Agni yang tidak tahu diri.

***

Gama menyodorkan sebuket besar bunga mawar beserta satu set anting mewah keluaran terbaru kepadanya.

Di kanan kirinya kawan dan kerabat saling berteriak mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Agni tertawa renyah dan memeluk satu persatu orang dengan wajah cerah.

Gama yang terakhir, pria itu harus yang terakhir. Yang secara diam-diam dia akui sebagai teman paling setia. Dalam susah senang dan segala kondisi yang tak mampu dia lalui sendiri.

"I love you..." Suara laki-laki itu bergetar penuh perasaan saat dia memeluk Agni dengan erat.

Kali ini entah mengapa Agni merasa tersekat. Cubitan rasa tak nyaman menggangunya tiba-tiba. Rasa malu dan tak layak yang tak pernah dirasakannya pada Gama perlahan timbul tanpa sebab.

Ditatapnya Gama dengan arah fikiran baru yang muncul tiba-tiba.

"Aku sayang kamu. Kamu pasti tahu," ucap Agni tulus.

Gama membelalak lebar. Agni baru pertama kali ini mengungkapkan emosi apapun padanya secara langsung.

Laki-laki itu menatapnya dengan hati-hati, seolah berusaha membaca dan mencari hal apapun yang membuat gadis pujaannya melunak malam ini.

Senyum lembut nan haru merekah di wajah tampannya.

Gama memang cukup tampan. Perawakannya tinggi dengan wajah Indochina yang membuatnya layak disandingkan dengan model majalah Asia lainnya. Dan Gama seorang dokter, yang sudah dikenalnya bertahun-tahun sejak mereka SMA.

Agni balas tersenyum kecil kali ini, lalu menepuk pelan bahu sahabatnya yang paling setia.

Tiba-tiba Gama menariknya dengan lembut ke tengah riuh para kenalan mereka yang hadir memberi kejutan ke villa pribadinya itu.

Agni bergabung dengan pestanya sendiri dengan ceria. Dia ikut bercengkrama dan tertawa-tawa di antara hingar bingar musik yang terdengar cukup kencang.

Kepalanya sakit sebenarnya, tapi bibirnya berusaha tertawa tanpa jeda.

Harus begitu, karena beginilah dunianya. Dunia di mana setiap senyum, sapaan dan persahabatan bernilai uang atau jabatan.

Biarlah sesak, tapi dunianya selalu meriah dan dia tak pernah kehabisan kawan maupun lawan.

Harusnya.

Tapi hatinya yang tak bersyukur itu mulai berulah. Perlahan tawanya berhenti, kakinya melangkah cepat berlari ke arah kamar mandi.

Dibasuhnya wajah dengan air dingin yang menyegarkan, lalu dia menatap wajahnya di cermin.

Matanya tampak lelah entah kenapa. Tiba-tiba dia rindu laut dan suara deburan ombaknya yang menenangkan.

Dia rindu angin, juga mataharinya yang terik tak berbelas kasih.

Matanya memejam erat, berusaha mencari dan membasmi sumber kesuraman yang dirasakannya malam ini.

Perlahan, kilasan sosok laki-laki yang menatapnya tajam dari atas kapal nelayan menyerbu benaknya tanpa diminta.

Agni gemetar, ingin meronta membuang hatinya saja jika bisa.

Rasa nelangsa dan frustasi mulai melingkupi hatinya yang tak bisa bahagia. Dia tahu penyebabnya sekarang, karena nama asing yang perlahan menjarah relung hatinya mungkin sudah milik seorang wanita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status