Share

Chapter 4

"Jadi kapan kita pulang?" keluh Sese yang mulai bosan di ruang yang pengap dan sempit ini.

"Kau ingin pulang kemana? Kau sudah tidak memiliki rumah. Jangankan rumah, raga pun kau tidak memilikinya," beber Jing Tian, membuka pikiran Sese.

"Jadi benar aku tidak bisa bertemu lagi dengan keluargaku?"

Memikirkan tidak lagi bisa berkumpul dengan keluarga, tentunya membuat Sese menjadi lesu.

Wajahnya tertekuk ke bawah. Meratapi nasibnya yang sial.

"Tentu aku tidak bisa lagi menggoda kakakku, dan berfoya-foya dengan teman-temanku lagi."

Yang ada dalam benaknya adalah belanja, dan ngemall menjadi hal yang mungkin dia rindukan setelah ini.

"Aduh, memang manusia itu sangat naif. Sudah untung kamu diberi kehidupan, jika tidak pastinya kau sudah ada di alam baka sekarang," beber Jing Tian dengan benar.

"Jika memang aku tidak bisa pulang, maka bagaimana denganku? Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Tentu aku tidak akan bisa kembali ke dalam ragaku bukan?"

"Jelas saja kau tidak bisa kembali ke raga atau pulang ke rumahmu. Tapi, tentunya kau tidak harus diam saja dan menyusahkanku," urai Jing Tian demikian.

Sese merasa mendapatkan angin segar. Setidak-tidaknya dia tidak akan menganggur di dunia ini.

Sudah dapat dipastikan akan terasa bosan saat tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali jika Sese mau menjahili orang lain.

"Apa itu tuan? Jangan katakan tuan memerintahkanku untuk mati dan benar-benar pergi ke Nirwana," ujar Sese takut.

Jelas bukan itu yang akan Jing Tian berikan.

"Tentu saja bukan itu," pekik Jing Tian santai.

Sese senang ketika mendengarnya, "Aku berdoa semoga tugasku tidak akan menyulitkan diriku," harap Sese.

"Jelas tidak," tutup Jing Tian singkat saja.

"Lalu, dimana sekarang jiwa yang akan masuk ke dalam ragaku itu? Siapa orang yang akan beruntung menjadi diriku yang kaya ini."

Congkak, angkuh dan percaya diri. Inilah Sese. Gadis keras kepala yang selalu membusungkan wajahnya karena dia yang paling kaya.

"Gadis yang kau tabrak hingga meninggal itu yang akan mendiami ragamu," beber Jing Tian.

Mengejutkan, "What?!" Sese sampai tidak bisa mengontrol emosinya. Air liurnya sampai melompat ke wajah Jing Tian.

"Bisakah kau sopan sedikit padaku?"

"Maaf."

"Maafkan aku. Aku terlalu emosi ketika mendengar bahwa gadis itu yang akan mendiami ragaku."

Sese kembali duduk. Sempat terjadi ketegangan, namun dia masih bisa menahan itu. Entah jika nanti?

"Apa masalahnya dengan itu? Sudah untung masih ada yang mau mendiami ragamu, jika tidak mungkin kau sudah tiada sejak kemarin," kata Jing Tian.

"Setidaknya gadis itu tidak akan bersikap sombong dan keras kepala seperti dirimu," tutupnya mengejek.

Jelas gadis itu berbeda dengan Sese. Sudah jelas. Beda kepala pasti beda pula pemikiran dan sifatnya.

"Lalu, dimana dia sekarang? Mengapa sampai saat ini dia belum masuk ke dalam ragaku?"

"Pertanyaan yang bagus. Saat ini gadis itu masih ada di pemakaman," beber Jing Tian dengan berterus terang kepada Sese.

"Sudah jelas dia ada di sana bukan? Tapi apa yang dia lakukan di sana? Bukankah dia seharusnya masuk ke dalam ragaku dan bangun dari koma? Jangan katakan yang membuatku kritis karena dia belum masuk ke dalam ragaku?"

Jing Tian tidak memungkiri jika yang Sese katakan seutuhnya benar.

"Hm," gumamnya dengan menganggukkan kepala. Jelas jawabanya adalah iya.

"Mengapa tuan tidak mengatakannya sejak awal. Jika tahu sejak awal. Mungkin aku tidak akan membuang waktuku membual dengan tuan. Sangat tidak asik," tutup Sese, setelahnya pergi.

"Ya! Apa katamu?!" marah Jing Tian.

"Sangat tidak sopan sekali dia. Mengatakan aku membuang waktunya?"

"Apa dia tidak berpikir? Bukankah sejak tadi dia yang banyak bicara? Ya! Mengapa aku menjadi tertuduh seperti ini," tandas Jing Tian kesal.

Sudah jelas Sese yang sejak awal meminta pertolongannya, tetapi mengapa pada akhirnya Jing Tian menjadi yang bersalah.

Ditamlah gadis itu pergi tanpa salam atau sopan santun yang baik. Main pergi saja tanpa tahu dia harus pergi kemana?

"Biarkan saja dia yang mencari tahu sendiri gadis itu di mana? Bukan urusanku mengikuti dirinya juga? Lagi pula dia yang keras kepala dan bukan aku."

Jing Tian berleha-leha karena terbebas dari beban yang sangat berat. Sese menjadi batu ganjalan bagi Jing Tian saat ini.

Sese pergi seorang diri untuk menemui gadis tersebut. Namun, Sese pula tidak tahu dia harus pergi kemana?

Satu petunjuk yang dia tahu. Jiwa gadis itu berada di pemakaman. Benar. Tentu dia ada di pemakaman, tetapi pertanyaannya pemakaman yang mana? Ada puluhan bahkan ratusan pemakaman yang tersebar luas di penjuru negeri ini.

Bisakah Sese menemukannya?

****

"Di mana pemakaman gadis itu?"

"Bodohnya diriku. Seharusnya aku bertanya pada pria itu terlebih dahulu di mana gadis itu dimakamkan. Setidaknya aku tidak akan bingung seperti ini."

Sese berkeluh kesah karena sampai detik ini dia belum juga menemukan makam di mana gadis itu berada.

Sudah hampir 1 jam Sese menjelajah kota, tetapi dia pula belum menemukan gadis tersebut.

"Kemana lagi aku harus mencarinya. Mengapa aku merasa lelah?" tanyanya sendiri.

Kondisi tubuhnya mendadak drop. Terlebih lagi dia merasakan ada yang berbeda dari rasa lelahnya itu.

"Ada apa denganku? Tidak seperti biasanya aku seperti ini."

Jantungnya terasa sakit. Dia pula mengeluarkan keringat yang sangat banyak.

Bagaimana bisa ini terjadi? Bukankah dia hanya sebatas jiwa saja? Pikir Sese demikian.

"Ini tidak mungkin."

Sese semakin tidak percaya saat melihat kulitnya yang mulai terbakar. Sekarang dia tengah berdiri tepat di bawah matahari langsung tanpa terlindungi apapun.

"Jangan-jangan aku terbakar," pikirnya panik.

Sese bergegas mencari tempat yang tidak disinari oleh panas matahari. Dia berusaha untuk melindungi tubuhnya agar tidak terbakar.

"Di sana! Di bawah pohon itu!"

Pohon besar di tepi jalan, menjadi tempat yang ideal untuk Sese berlindung.

"Tidak mungkin. Mengapa kulitku sampai terbakar seperti ini? Biasanya aku tidak pernah mengalaminya. Baru kali ini aku merasa panas matahari benar-benar membakar kulitku."

Sese melihat sekujur tangannya yang kulitnya mulai mengelupas setelah tadi dia berjemur di bawah matahari langsung.

"Setelah ini aku harus kemana?"

"Tapi jika aku pergi lagi, maka aku akan terbakar lagi. Ih, mengerikan."

Membayangkannya saja sudah merasa takut. Sekarang kulitnya, mungkin nanti tubuhnya yang akan menghilang karena panas matahari.

"Tapi jika aku tidak pergi, kemungkinan aku tidak akan bertemu dengan gadis itu."

"Ah, ini membuatku frustasi," kesalnya dengan mengacak-acak rambutnya.

Sese dalam dilema besar. Dia ingin pergi menerjang teriknya matahari, namun dia tidak bisa pergi karena itu akan sangat berbahaya bagi dirinya.

"Lalu, aku harus apa?" pikir Sese.

Dia mencari jalan untuk bisa keluar dari masalah ini, tetapi Sese belum juga menemukan jalan tersebut.

Hingga seorang pria datang pada Sese. Pria bertubuh gempal dan memakai kaos berlengan pendek itu mendekati Sese.

Mungkin Sese bisa melihat pria tersebut, tetapi pria itu tidak dapat melihat Sese. Karena Sese hanya sebatas jiwa saja.

"Apa yang ingin pria ini lakukan?"

Sese memperhatikan gerak-gerik pria itu yang mencurigakan.

"Jangan katakan dia akan?" Sese mulai menyentuh pria itu, namun sayang tangannya menembus tubuh pria tersebut.

Sese pula berteriak, "Hei! Apa yang ingin kau lakukan? Jangan katakan kau ingin …."

Apa yang ingin pria itu lakukan?

Lalu, apa yang harus Sese perbuat setelah ini?

Penasaran?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status