Share

Chapter 3

"Hai, tuan. Tunggu!" panggil Sese mengejar di belakang.

"Ada apa lagi?" ujar pria itu malas.

Dibuntuti terasa sangat tidak nyaman. Terutama Sese adalah jiwa yang tidak bisa mau diam. Mulutnya itu tidak bisa dijaga, sehingga selalu saja mengoceh sesuka hatinya.

"Aku lapar," tutur Sese, mengelus perutnya yang sedari tadi terus meminta diisi itu.

"Tidak mungkin kau lapar. Jiwa tidak mungkin lapar," balas pria itu tidak menduga.

"Entahlah, aku juga tidak mengerti, tetapi sekarang perutku terasa lapar. Biasanya aku makan pizza, roti bakar, daging guling dan semacamnya," beber Sese.

Membayangkan kelezatan setiap makanan itu, membuat air liur Sese terus keluar. Itu menimbulkan rasa jijik bagi pria bernama Jing Tian tersebut.

"Payah!"

Pluk! Mengetuk dahi Sese dengan jari telunjuknya.

"Au, tuan!" bentak Sese tidak suka.

Jelas itu sangatlah tidak sopan. Mengganggu seseorang adalah hal yang buruk. Terutama sedang memikirkan makanan.

"Jiwa tidak mungkin memakan makanan manusia," ujarnya membeberkan fakta mencengangkan.

"What?! Tidak mungkin!"

Sese bersuara dengan keras, sehingga Jing Tian harus menutup telinganya itu.

"Jadi, aku tidak bisa makan pizza, nasi gireng, ayam gireng, tahu giring, dan yang lain-lain," cemas Sese, ketika menyebutkan daftar menu favoritnya.

"Jika seperti itu. Aku harus makan apa? Bagaimana dengan cacing-cacing di sini sudah berdemo meminta hak atas kerja kerasnya," ujar Sese ngawur.

Jelas, dia asal bicara. Seraya mengelus perutnya dan menyunggingkan bibirnya Sese meminta untuk makan, tetapi apa yang bisa dia makan sekarang?

He, Jing Tian terlihat mengelah napasnya. Sungguh jiwa yang membuat repot saja. Pikirnya pasrah.

"Baiklah, sekarang ikut denganku!" ajaknya.

Dia harus membawa Sese pergi, atau Sese akan membuatnya semakin susah saja.

"Kemana tuan? Apakah tuan ingin mengajakku makan malam di hotel bintang 5, atau 10? Atau mungkin kita akan makan di luar negeri? Aduh membayangkannya aku sudah sangat senang." 

"Ikuti saja. Nanti kau akan tahu dengan sendiri."

Jing Tian mengajak Sese ke suatu tempat. Sese yang mengikuti di belakang tampak sangat senang.

Dia tidak bisa menampik betapa bahagianya dia ketika tahu akan diajak makan malam berdua dengan pria tampan.

Sese mengejar dan berusaha mengimbangi langkah Jing Tian. Pria yang sama sekali belum dia kenal itu.

Harapan Sese sangatlah besar. Dia memikirkan betapa romantisnya dia yang akah makan berdua dengan pria ganteng.

Sungguh ini kali pertama bagi Sese makan berdua dengan pria selain dengan kakak dan ayahnya.

Sese menjadikan momen ini menjadi kenangan manis dalam hidupnya. Tak apa jika tidak bisa hidup sebagai manusia lagi, setidaknya dirinya bisa bertemu dengan pria ganteng itu sudah lebih cukup.

****

"Kita sudah sampai," ujar Jing Tian memutuskan harapan Sese.

Yang diharapkan adalah hotel berbintang 5 atau semacamnya, hal demikian berbanding terbalik. 

Jing Tian hanya membawanya ke suatu tempat yang gelap dan pengap. Bukan ruang mewah dengan pendingin ruangan. Ini hanya berupa ruang kosong dengan sedikit penerangan dari lampu kecil saja.

"Makanlah!" pinta Jing Tian.

Ingin ada pizza atau semacamnya, yang diterima Sese hanyalah air putih tawar dengan pil obat di depan matanya.

"Apa-apaan ini? Apa yang harus aku makan? Pil ini? Air putih ini?"

Sese menggerutu. Mengernyitkan dahinya, dan menyunggingkan bibirnya. Tidak terima dengan makananya Sese pun merajuk.

"Aku tidak ingin makan. Apa-apaan in? Makanan seperti apa itu? Mengapa aku hanya diberi air putih tawar dan obat? Mana mungkin bisa kenyang."

"Hadeh, kau ini bukan lagi manusia biasa. Kau adalah jiwa. Tidak mungkin jiwa memakan pizza atau makanan lainnya," tutur Jing Tian memberi pencerahan.

"Jadi aku harus memakan obat itu?"

Sese ragu saat melihat obat tersebut. Tidak mungkin hanya satu buah pil obat akan membuat perutnya kenyang?

"Silahkan saja. Jika tidak mau tentu tidak apa-apa. Aku pastikan kau akan terus merasakan lapar," tungkas Jing Tian, seraya bersandar pada kursi yang diduduki.

Sese bahkan sampai menelan salivahnya. Dikarenakan dia takut untuk meminum obet tersebut.

Di dunia nyatanya saja Sese sangat sulit untuk meminum obat. Bagaimanapun obat adalah makanan yang tidak disukai oleh Sese.

Jing Tian masih memperhatikan Sese. Sedangkan gadis itu masih enggen menentuh obatnya. Bahkan sulit sekali bagi Sese untuk meraih obat tersebut.

"Obat itu tidak akan membuatmu mati. Lagi pula kau bukan manusia lagi. Kau sekarang hanya sebatas jiwa yang tidak memiliki raga," urai Jing Tian.

Mau tidak mau. Suka tidak suka Sese harus menelan obat tersebut. Reaksinya apa, biarkan nanti saja. Yang terpinting dia harus mengisi perutnya itu.

Glek ….

Sese menelan obatnya, beserta menghabiskan air putih yang sengaja sudah disiapkan itu.

"Ah, sudah."

Gelasnya sudah kosong. Obat pun sudah masuk ke dalam tubuh. Tinggal menunggu beberapa menit lagi untuk melihat reaksinya.

"Bagaimana, apa rasa laparmu sudah hilang?" ujar Jing Tian bernada malas.

Sese masih menunggu hasilnya. Dia belum juga merasakan efek jelas dari obat yang baru saja dia minum itu.

"Tidak terjadi apa-apa," ungkap Sese menunggu.

"Tunggu beberapa menit lagi," balas Jing Tian santai.

Sese masih belum merasakan apa-apa di dalam tubuhnya itu.

"Eh," gumamnya.

Perlahan-lahan ada pergejolakan di dalam perutnya. Serasa banyak hal yang masuk ke dalam perutnya secara tiba-tiba dengan jumlah banyak.

"Bagaimana? Apa semuanya sudah terisi penuh?"

Dia menganggut. Sese sedang merasakan bagian dalam lambungnya sedang terisis oleh seseatu yang bergerak sangat cepat.

"Jangan lupa sisakan untukmu bernapas. Jangan semua kau makan, nanti lambungmu akan semakin melebar," canda Jing Tian.

"Rupanya kau bisa membual juga," ujar Sese senang.

Sekarang rasa lapar yang sedari tadi menyiksa sudah hilang. Sese sudah merasa kenyang dan ditandai dengan dia yang bersendawa.

"Ih, menjijikan."

Suaranya sangat besar sampai tercium pula bau dari dalam mulutnya, sehingga Jing Tian merasa jijik.

"Maaf. Aku sengaja melakukannya." Sese membual senang. 

Senyuman tentu merekah dari bibirnya yang membentuk seperti bulan sabit.

"Tapi aku heran. Bagaimana hanya sebuah obat saja aku bisa merasakan kenyang? Bukankah itu aneh."

"Kau ini pura-pura bodoh atau sebenarnya kau ini payah? Bukankah sudah aku katakan kau bukanlagi manusia, melainkan hanya jiwa tanpa raga. Jadi jelas kau akan merasa kenyang walau hanya menelan sebutir obat saja," papar Jing Tian.

"Oh, jadi seperti itu. Baru aku mengerti sekarang," cetus Sese malu.

"Hadeh, kau memang jiwa yang menyusahkan saja," pekik Jing Tian, yan hanya bisa mengelah napas saja.

"Maaf."

"Maafkan aku. Jika sedang lapan aku tidak bisa fokus," protesnya.

"Lagi pupa penjelasanmu sangat rumit, sehingga sulit bagiku untuk memahaminya," tambahnya mengeluh.

"Sulit memahami katamu!" bentak Jing Tian kesal.

"Jadi dari semua penjelasan yang aku berikan tidak satupun yang dapat kau pahami? Sama sekali kau tidak paham?"

Sese menganggutkan kepalanya, "Hadeh, kau memang jiwa yang menyebalkan," tutup Jing Tian.

Menepuk jidatnya dan berkata, "Mengapa aku harus bertemu jiwa seperti dia? Sejak awal seharusnya aku tidak bertemu dengan wania ini. Dia hanya bisa menyusahkanku saja," keluhnya.

Badannya disandarkan ke belakang. Sulit dipercaya bahwa dia harus terjebak jiwa dari seorang wanita yang bodoh.

"Kau kenapa? Apa tuan mengatakan sesuatu?"

Bukan hanya bodoh, tetapi dia juga tuli. Bagaimana bisa saat seseorang berkata dengan suara besar, dirinya sama sekali tidak mendengar? Sese memang sangat keterlaluan.

"Jadi tuan setelah ini apa yang harus kita lakukan? Apakah aku boleh pulang?" celetuknya.

Jing Tian mendapatkan beban yang berat. Mengurus jiwa yang sifat manjanya tidak bisa dirubah.

Yang jelas hanya satu. Jing Tian hanya bisa menepuk kepalanya dan menutupi wajahnya yang tampan itu dengan rasa kesal.

Bagaimana dengan kelanjutannya?

Bisakah Jing Tian sabar menghadapi Sese?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status