Share

Chapter 7

Sese mendengar suara Ibunya yang mengatakan jika dirinya sudah koma selama satu bulan.

"Tuan, apa ini maksudnya?"

"Jangan berkata. Aku sudah tahu apa yang ingin kamu katakan!"

Jing Tian sudah dapat mengetahui isi pikiran Sese sebelum dia mengeluarkan kata-katanya.

"Tentu kau ingin bertanya, tentang dirimu yang koma itu? Pasti kau ingin tahu perbedaan hari di dunia manusia dengan duniamu saat ini? Benar bukan?"

Tebakan Jing Tian sangat tepat. Sese saja bahkan sampai tercengang mendengarnya.

"Benar tuan. Aku heran mengapa Ibuku berkata. Bahwa aku telah terbaring satu bulan di sana. Sedangkan diriku baru saja beberapa jam yang lalu berada di luaran sana." Herannya Sese bukan main.

"Tentu jelas perbedaannya. Satu jam di dunia roh, sama dengan 10 hari di dunia manusia," beber Jing Tian.

"Kau bisa mengalikan saja. Kau baru berada di dunia roh selama 4 jam lebih 30 menit, berarti dikalikan 10 hari. Sama dengan satu bulan," ujar Jing Tian mudah saja, seraya melihat arloji di tangan kirinya.

"Oh, pantas saja. Sekarang aku menjadi paham. Terima kasih, tuan atas ilmu matematikanya itu," balas Sese mengejek.

Jadi sudah diketahui. Bahwa alam roh dengan alam manusia berbeda jauh. Dan Sese tidak akan pernah bisa bersatu kembali dengan keluarganya. Itu sudah ketentuan alam.

****

Sese dan Jing Tian masih berada di ruangan tersebut. Sedangkan tubuh Sese tidak kuncung bangun juga.

"Tuan, mengapa sampai sekarang dia belum juga sadar? Apakah aku salah memasukan jiwa ke tubuhku sendiri?"

"Tidak akan ada kesalahan dalam memasukan jiwa ke dalam tubuh seseorang. Mungkin saja dia yang malas untuk bangun," balas Jing Tian membual.

"Oh," mengangguk.

"Apa?"

"Ulangi perkataan tuan. Jadi menurut tuan tubuhku itu tidak pantas untuk ditempati oleh jiwa lain?" kesalnya.

"Mungkin saja," singkat Jing Tian yang masa bodoh dan pura-pura tidak tahu.

"Tuan, tolong jangan seperti itu. Aku merasa kasihan dengan keluargaku. Pastinya mereka sudah sangat merindukan diriku itu," keluh Sese.

Permintaannya hanya satu. Semoga Sese yang terbaring di sana itu bisa cepat-cepat sadar. Itu saja, tetapi Jing Tian tidak bisa mengabulkan permohonannya.

"Baik."

"Baiklah. Jangan mengeluh seperti itu. Aku tidak suka melihat wajahmu yang jelek. Tidak sedap dipandang."

"Astaga. Ternyata tuan juga tahu wanita cantik. Jangan-jangan tuan juga pernah menyukai gadis dari alam manusia."

Sese suka sekali membuat pertengkaran kecil dengan Jing Tian. Selalu ada saja pembahasan lucu yang membuat Jing Tian jengkel.

"Satu kali lagi kau berkata seperti itu, maka aku tidak akan mau membantumu lagi."

"Astaga, rupanya jiwa suci dari alam roh juga bisa kesal. Aku baru mengetahuinya. Jika manusia dari alam roh bisa merasa kesal."

"Satu kali lagi kau mengejekku maka aku benar-benar akan pergi."

"Ya, baiklah. Aku tidak akan mengatakan hal buruk tentang diri tuan," pasrah Sese yang menutup mulut besarnya.

"Bisa tidak jika dia tidak menggunakan ancamannya itu. Membuatku kesal saja," batik Sese, yang terdengar jelas oleh Jing Tian.

Jing Tian hanya bisa mengelus-elus dadanya. Dia kesal dengan wanita yang banyak bicara.

"Tuan," tegur Sese karena Jing Tian tidak membuat pergerakan.

"Ya, apa?" jawabnya kesal.

"Tuan!" Sese merengek. Dia menunggu sesuatu yang sedari tadi sudah dijanjikan Jing Tian.

"Ya, baiklah."

Akhirnya Jing Tian mengalah juga. Dia menjentikkan tangan kanannya lalu.

Cling!

"Ibu!"

Sese terbangun seraya berteriak memanggil Ibu. Otomatis orang-orang yang ada di sana ikut tebangun.

"Sese?"

"Sese, Sayang! Kamu sudah sadar Sayang!"

Ibunya yang terlebih dahulu antusias. Dia segera memeluk Sese, mencium putri kecilnya itu.

"Apa, Sese sudah bangun?"

Xiao Feng dengan segera menghampiri tempat tidur Sese. Benar saja, rupanya adik kecilnya itu memang sudah sadar.

Semua keluarga tumpah ruah di sana. Betapa bahagianya mereka ketika Sese sudah sadar kembali. Satu bulan lebih mereka menunggu sadarnya Sese. Dan akhirnya penantian panjang itu terbalaskan.

"Ada apa ini? Siapa kalian? Mengapa kalian memanggilku dengan sebutan Sese? Siapa Sese itu?"

Tercengang saat itu juga. Bagaimana tidak terkejut Sese tidak ingat dengan dirinya beserta keluarganya?

"Dokter!"

Semua menjadi panik. Memanggil dokter agar diperiksa keadaan Sese lebih lanjut.

Masih di tempat yang sama. Jiwa sli Sese masih menunggu di sana dan ditemani pula oleh Jing Tian.

"Bagaimana ini tuan? Apakah gadis itu tidak ingat dengan dirinya sendiri?"

Sese cemas ketika melihat keluarganya yang panik ketika mengetahui bahwa anak mereka kehilangan ingatannya.

"Biarkan saja. Nanti juga dia akan bisa mengingatnya. Lagi pula dia bukanlah jiwamu. Mungkin dia tinggal di dalam ragamu, tetapi ingatannya dirimu tidak sepenuhnya ada padanya," beber Jing Tian.

"Oh, pantas saja dia tidak ingat tentang keluargaku. Jadi harus bagaimana ini tuan? Apa mungkin aku harus membagi ingatanku dengannya?" ujar Sese terus bertanya.

Mereka berdua meninggalkan ruangan itu untuk sementara, seraya memikirkan cara agar bisa keluar dari jalan yang buntu ini.

"Hei tuan! Jawab dulu pertanyaanku. Aku tidak bisa pergi begitu saja tuan!" Sese mengejar Jing Tian yang memiliki langkah kaki yang cepat.

Mereka berdua berjalan-jalan ke taman untuk menghilangkan rasa bosan. Sungguh Sese selalu membuat Jing Tian repot. Ditambah dia yang selalu bertanya membuat Jing Tian merasa kesal.

"Tuan. Mengapa kita pergi keluar? Bukankah urusan kita belum selesai di dalam sana? Hei tuan!"

Sese diacuhkan dan tidak dipedulikan. Meskipun demikian Sese tetap berusaha untuk bisa mengimbangi langkah Jing Tian.

"Bisa tidak, satu kali saja kau tidak cerewet. Lama kelamaan kepalaku bisa pecah gara-gara mendengarkan keluhanmu itu."

"Aku tidak akan berhenti sebelum tuan menjawab semua pertanyaanku. Dan tuan harus menyelesaikan semua masalah keluargaku."

Dalam hal berdebat Sese selalu menang. Dia tidak akan mengalah sebelum kemauannya tersebut terpenuhi.

Termasuk Jing Tian yang harus menderita terus menerus mendengar suara nyaring dari Sese.

"Hei tuan!"

Mereka semakin menjauh dari rumah sakit. Sese heran mengapa tuan memakai tuxedo hitam ini mengajaknya pergi menjauhi rumah sakit?

"Tuan!"

Dia terus mencicit memanggil Jing Tian dengan sebutan tuan. Karena Sese belum mengenal nama pemuda tersebut.

"Berhenti memanggilku dengan sebutan tuan! Namaku Jing Tian. Kau bisa memanggilku dengan nama itu."

Pada akhirnya Jing Tian mau menyebutkan nama aslinya pada Sese. Sebelumnya dia enggan memberitahukan karena menurutnya itu tidak penting.

"Baiklah Jing Tian. Nama yang bagus," ujar Sese memuji.

Dia berhenti sejenak, dan rupanya Jing Tian sudah jauh di sana.

"Tuan tunggu aku!"

Memanggil, "Maksudku Jing Tian!" Dia mengikuti Jing Tian seperti anak ayam yang tidak bisa lepas dari induknya.

Mengikuti kemana Jing Tian menjadi keharusan bagi Sese sekarang.

Bukan tidak mungkin, karena hanya Jing Tian yang dia kenal saat ini.

Lalu bagaimana hari-hari Sese berikutnya?

Dan bagaimana pula dengan nasib Sukya? Jiwa yang sekarang bersemayam di raga Sese?

Penasaran?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status