Alfa beristighfar, dia menunduk. Ikhlas yang melihat tingkah sahabatnya terkikik. Menurutnya sikap Alfa itu lucu, terlihat sekali sahabatnya itu sedang terpesona.
“Mas Alfa kan? Yang kemarin nolong saya?” cecar Shadiqah.Alfa hanya mengangguk. Shadiqah kembali tersenyum, “Boleh Shadi duduk di sini?”“Boleh-boleh, silakan.” Ikhlas yang langsung mempersilahkan. Dia bahkan sengaja mengarahkan Shadiqah ke kursi yang paling dekat dengan Alfa. Shadiqah pun duduk agak berdekatan dengan Alfa membuat sang bujang sedikit menjauhkan kursinya agar tak terlalu dekat dengan non muhrim.“Udah pesen makan Mbak?” Ikhlas kembali bertanya.“Udah kok.”“Mau minum?”“Boleh.”Ikhlas memanggil pelayan, dan menanyakan kepada Shadiqah mau minum apa. Shadiqah menjawab mau minum jus jeruk saja. Shadiqah akhirnya menghabiskan waktu bersama Ikhlas dan Alfa. Terlihat percakapan didominasi oleh Shadiqah dan Ikhlas, Alfa lebih banyak menjadi pendengar. Dalam obrolan Shadiqah dan Ikhlas, Alfa jadi tahu jika Shadiqah baru dua bulan berada di Kairo. Sebelumnya dia kuliah di London mengambil jurusan hubungan internasional. Dari tutur kata Shadiqah, Alfa bisa melihat kecerdasan dari wanita itu. Dan itu membuat Alfa sedikit tertarik. Shadiqah pamit karena dia ada janji dengan teman-temannya. Sebelum pamit dia memberi nomer ponselnya pada Alfa dan ikhlas. “Cieee, yang dikasih nomer ponsel.” “Kamu juga dikasih,” balas Alfa dengan mimik muka datar.“Ya iyalah dikasih, tapi tujuannya kan jelas banget, sengaja ngasih untuk kamu, hahaha. Gaspol aja, Al. anak dubes loh. Masalah penampilan bisa diajarin pelan-pelan.”Alfa tak menyahut, dia kini fokus menatap sederet angka pada kertas yang tadi diberikan oleh Shadiqah. Senyum tipis Alfa terbit, dia segera meletakkan kertas itu di saku kokonya. Dia tak mau terlihat senang dikasih nomer oleh Shadiqah. Terutama di depan pria usil bernama Ikhlas. Sampai di kamar, di rumah kontrakannya yang dia tinggali dengan mahasiswa lain dari Indonesia, Alfa segera menyalin nomer Shadiqah dalam ponselnya. Namun dia sama sekali tak menghubungi Shadiqah. Selain menurutnya tidak pantas, dia juga ingin fokus dengan ujiannya. Di tempat lain, Shadiqah sedang menunggu telepon, chat atau spam dari Alfa. Sayang sampai pukul sebelas malam, Alfa tak kunjung menghubungi Shadiqah. “Ih, kok gak hubungi aku ya? Masa aku harus hubungi duluan sih? Nanti disangka aku kegatelan.” Shadiqah mencoba berpikir, dia sedang mencari strategi jitu agar bisa dekat dengan Alfa. Shadiqah tersenyum setiap mengingat wajah ganteng Alfa. “Dia ganteng, baik lagi, aku merasa kayak Maria dan dia adalah Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta. Semoga saja ya Allah kami berjodoh, aku yakin Papi sama Mami bakalan setuju kalau aku sama cowok kayak Mas Alfa.”Lagi-lagi senyum Shadiqah terkembang jika mengingat wajah Alfa. Keesokan harinya, Shadiqah tak bisa membendung perasaan bahagianya mendapati sosok pujaan hati rupanya juga sedang menghabiskan sore di sekitar Sungai Nil. Dia segera memanggil Alfa.“Mas Alfa lagi di sini juga?”Alfa yang merasa dipanggil menoleh, dia kaget mendapati Shadiqah berada di area Sungai Nil dengan sepeda yang sedang dia tuntun.“Iya, lagi menikmati senja di sini.”“Wah kebetulan ya Mas.”Alfa tersenyum. Dua pria dan wanita kemudian menikmati senja dengan panorama Sungai Nil. Dasarnya Shadiqah memang kewes dan luwes dalam pergaulan, hanya dalam beberapa hari, keduanya jadi akrab, bahkan tak segan mereka saling mengirim chat. Shadiqah bahkan menjadi salah satu orang yang memberi hadiah pada Alfa saat dia berhasil menjalani sidang disertasi dengan baik. Waktu terus berlalu, keakraban keduanya terus terjalin. Tak tereasa keduanya sudah saling mengenal hampir dua bulan. Bahkan kini, Shadiqah sering menggunakan kerudung jika bertemu dengan Alfa. Meski belum sesuai aturan, tapi sudah lebih baik. Setidaknya Shadiqah sudah mau menutupi mahkotanya. Perubahan Shadiqah sangat disukai kedua orang tuanya. Pak Munajat dan Bu Sinta bahkan sudah beberapa kali bertemu dengan Alfa. Kedua orang tua Shadiqah pun menaruh harapan yang tinggi pada sosok Alfa. Bahkan terang-terangan Pak Munajat mengijinkan Alfa melamar anaknya, karena dia sudah menyelidiki identitas Alfa yang merupakan anak salah satu Kyai besar di Kebumen dan akan menjadi penerus sang abah kelak. “Saya menunggu kedatanganmu anak muda, di rumah saya di Jakarta. Dua bulan lagi masa kerja saya di Kairo habis, saya akan berhenti menjadi dubes dan ingin menikmati masa tua di kampung halaman. Lagi pula, kedua anak saya sudah menikah, tinggal Shadi si bungsu.”“Saya rasan dengan orang tua saya dulu, Pak Munajat. Bagaimana pun ridho orang tua sangat penting. Semoga saja tak ada halangan dan kedua orang tua saya bisa menerima keputusan saya.”“Amin. Lagian, Shadi bisa belajar tentang dunia pondok, ya kan Sha?”“Iya, Pi. Shadi pasti akan mencoba berbaur dengan dunianya Mas Alfa.”“Nah kan beres.”Alfa dan Shadiqah sudah memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, hal yang perlu Alfa lakukan sekarang adalah memperkenalkan Shadiqah terlebih dahulu dengan kedua orang tuanya. Dan momen wisuda beberapa hari ke depan adalah acara yang bagus karena kedua orang tuanya akan menghadiri wisuda S3-nya. *** Bu Nyai Khomsah terlihat murung. Satu minggu yang lalu dia berada di Kairo untuk menghadiri wisuda sang putra. Dia senang tentu saja karena cita-cita yang diinginkan sang putra telah berhasil diraih. Namun ada hal yang menganggu pikiran wanita berusia lima puluh tahun lebih itu, yaitu sosok wanita yang dibawa sang putra dan diperkenalkan sebagai wanita spesialnya.Tak ada yang aneh dengan Shadiqah. Dalam pertemuan pertama dan pertemuan-pertemuan selanjutnya, gadis berusia dua puluh tahun lebih itu terlihat ramah, luwes dalam pergaulan dan sopan. Tetapi sebagai seorang ibu, Bu Nyai Khomsah merasa kurang setuju saat sang putra memperkenalkan gadis bernama Shadiqah itu sebagai calon istrinya. Entahlah, Bu Nyai Khomsah juga tak paham. Dia merasa tidak sreg saja dengan wanita pilihan sang putra. Bu Nyai Khomsah tak ingin muluk-muluk pada kriteria calon istri putranya. Dia hanya ingin calon isti putranya orang baik, pintar ngaji dan kalau bisa sejak kecil sudah paham akan dunia pondok pesantren. Meski Alfa dan Shadiqah menjanjikan jika Shadiqah akan banyak belajar, tapi Bu Nyai Khomsah tetap saja belum ridho sang putra berjodoh dengan putri dubes Indonesia untuk Mesir itu. Rupanya kegudahan Bu Nyai Khomsah dirasakan oleh sang suami. Kyai Baihaki tersenyum mendapati istrinya sedang termenung sendirian di teras belakang rumah. Dia pun menghampiri sang istri dan duduk di sampingnya. Bu Nyai Khomsah sedikit terkejut dengan kedatangan sang suami yang tiba-tiba.“Bah, kapan datang?” “Baru saja.”“Kok umi gak dengar suara salam ya?” “Lah gimana bisa dengar orang kamunya aja lagi ngelamun gitu.” Bu Nyai Khomsah tersipu malu, “Maaf nggih, Bah. Abah mau tak buatkan unjukan? Teh?” “Gak usah, sudah ngeteh tadi di tempat Pak Janu.” “Oh, ya sudah.”Kyai Baihaki tersenyum pada sang istri.“Masih mikirin calon istri anakmu?”Bu Nyai Khomsah mengangguk.“Masih belum ridho?” “Masih mencoba, Bah. Rasanya belum sreg saja. Gak tahu kenapa.”Kyai Baihaki mengambil tangan istrinya, dikecupnya kedua tangan sang istri dengan lembut.“Abah ngerti, tapi Alfa sudah yakin, ya mau gimana lagi. Mau tak tolak, abah gak tega. Selama ini dia sudah jadi anak baik, menyenangkan kita, gak neko-neko. Dan dia anak kita satu-satunya." Ada binar kesedihan pada mata tua itu. Bu Nyai Khomsah memahami maksud suaminya, “Nggih, Bah. Maafkan umi. Umi masih belajar legowo, Bah.” “Doakan saja yang terbaik, Umi. Percayalah, Allah tidak akan salah memberi jodoh. Kalau wanita itu memang jodoh Alfa, pasti mereka akan bersatu, kalau tidak ya gak bakalan nikah.” “Nggih, Bah. Maafkan umi, nggih.” Kyai Baihaki hanya menjawab dengan mengarahkan kedua tangan sang istri menuju ke bibirnya. Lalu beliau kembali mengecup dengan penuh kasih membuat wanita berusia lima puluh tahun lebih itu tersipu malu. “Astaghfirullah!” pekik sebuah suara.Suara pekikan yang membuat romantisme pasangan tua terhenti dan keduanya kompak menoleh pada sosok gadis berusia dua puluh lima tahunan yang kini sedang posisi memunggungi abah dan umi angkatnya.Baik Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki tertawa melihat tingkah Galuh yang salah tingkah.“Maaf Umi, Abah, Galuh cuma lihat sedikit, Galuh pergi aja deh, ngomongya nanti, monggo dilanjutkan saja. Assalamu'alaikum.” Galuh langsung ngacir, pergi meninggalkan kedua orang tua angkatnya yang kembali tertawa.“Wa'alaikumsalam, anak itu beneran moodbooster-nya umi.” “Dia moodbooster-nya kita semua.” “Nggih, Bah. Umi setuju.” Jika pasangan tua kembali melanjutkan aksi romantisme, Galuh dengan cepat-cepat mengenakan sandal dan hendak berlalu. Saking cepatnya dia kurang hati-hati dan saat berbalik badan dia menabrak sesuatu.Bruk!Wajah Galuh menubruk dada bidang seseorang membuat dia terpental dan hendak jatuh ke belakang. Beruntung orang yang dia tabrak dengan refleks cepat menarik lengannya.Galuh kaget, dan lebih kaget menyadari posisinya yang hampir jatuh tengah dipegangi lengannya oleh seseorang yang menatapnya dengan tatapan setajam elang dan senyum sinis terkembang.“Ck, cerobohmu Luh, gak pernah bisa ilang apa?"“G-gus Alfa?” gagap Galuh. Dia benar-benar kaget mendapati kakak angkatnya sudah pulang, padahal katanya sang kakak angkat baru akan pulang minggu depan.[Kapan kamu balik? Cepatlah balik. Banyak kerjaan yang sudah menunggu. Profesional dong, Wi! Kamu jangan gegayaan sok terkenal. Kamu tuh belum jadi apa-apa. Jangan belagu!][Awalnya aku seneng kerjasama sama kamu. Tapi kalau endingnya gini, mending aku gak nerbitin kamu loh, Wi][Bukan cuma kamu yang butuh duit. Aku juga. Aku harus kasih makan anakku. Please lah. Udah banyak yang aku lakuin buat ngurusin ego kamu. Oke sekali dua kali, itu gak masalah. Berulang kali ... sama aja bunuh diri][Kalau kamu masih anggep aku manajermu, jawab aku. Kalau gak bisa, anggap aku sahabat kamu. Kalau gak juga, anggap ini permintaan seorang janda yang lagi nyari duit buat makan!]Pesan dari sang manajer sedikit membuat Alwi merasa tak enak. Jujur saja, Alwi harus berterima kasih pada sang manajer. Karena wanita itu, Alwi menemukan passion dia. Alwi juga bisa membantu perekonomian sang manajer. Alwi pun bisa mendapat banyak uang. Uang yang ingin Alwi gunakan untuk masa depan bersama Galuh.Tapi ... se
Salah satu hal yang Alfa sukai jika Zahra sedang menginap adalah Fairuz akan lebih banyak waktu main sama Zahra jadi dia bisa lebih banyak main sama Galuh. Terutama bermain saat malam hari. Tanpa takut ketahuan dan bisa nambah berulang.Namun kali ini ada yang berbeda dengan sang istri. Biasanya jika selesai bercinta, Galuh hanya akan membersihkan diri lalu tidur. Tapi kali ini ada yang aneh, setelah membersihkan diri, yang dilakukan Galuh adalah ngemil. Ya, ngemil jajanan yang tadi sore dibeli di minimarket."Kamu laper banget apa?""Iya Mas. Rasanya pengen makan terus," jawab Galuh sambil sesekali mengunyah kuaci."Mau tak bikinin makanan? Mie instan, mie goreng atau nasi goreng? Sesuatu yang bikin kamu kenyang. Dari pada ngemil gitu, nanti gak kenyang.""Moh. Maunya ini aja.""Oh begitu. Ya udah, mas tak bikin mie goreng dulu deh.""Oke."Alfa pun keluar kamar dan segera menuju ke dapur. Galuh sendiri tetap bertahan di kamar. Dia ingin rambutnya kering dulu sebelum keluar kamar. Be
"Loh, Tifah. Sejak kapan di sini?" tanya Bu Nyai Khomsah. "Mas Baihaki mana, Mbak?" bukannya menjawab pertanyaan, Bu Nyai Latifah malah bertanya tentang keberadaan sang kakak. "Masih ngobrol sama Pak Subandi tadi.""Alfa mana?""Mampir ke minimarket, si Fay minta jajan. Masih pada di sana mungkin.""Haish."Bu Nyai Latifah kesal. Dia memilih kembali duduk di sofa ruang tamu dan menunggu sang kakak. Setengah jam kemudian, sang kakak akhirnya pulang. "Mas! Njenengan kemana saja sih? Lama bener ngobrolnya. Gak tahu apa aku sudah nunggu dari tadi.""Ya maaf. Habis tadi ngobrol urusan ngaspal jalan desa, makanya lama bahasnya," jawab Kyai Baihaki lembut. Kyai Baihaki kemudian duduk di sebelah sang adik. "Ada apa?""Alwi.""Alwi?"Bu Nyai Latifah lalu mengeluarkan semua unek-uneknya. Kyai Baihaki menyimak saja tanpa menyela. Begitu sang adik sudah mengutarakan semua yang dia ingin ucapkan, respon Kyai Baihaki hanya berupa helaan napas saja. "Lah kok gak ngomong sih Mas? Komen apa git
"Kamu dari mana?" cecar Bu Nyai Latifah ketika sang putra baru saja masuk. Tapi Alwi tak langsung menjawab. Dia malah memilih menuju ke ruang tengah, duduk di sofa dan langsung berjibaku dengan ponsel. Bu Nyai Latifah tentu saja marah. Sang putra bukannya menjawab malah mengabaikannya. "Dari rumah Alfa, kan? Kamu mencoba menemui anak haram jadah itu lagi?" Suara Bu Nyai Latifah meninggi."Umi! Jangan sebut dia anak haram. Dia punya ayah dan ibu. Dan kalau Umi lupa, ayahnya Galuh termasuk keturunan Arab yang punya status tinggi. Mungkin lebih tinggi dari status Umi atau Abah.""Tapi ibunya wanita kotor. Jelek. Sama kayak Galuh.""Umiiii! Ibunya wanita baik-baik. Malah lebih baik dari Umi. Buktinya dia wanita baik, abanya Galuh tetep setia nungguin. Bahkan nerima lagi meski muka istrinya udah kayak gitu. Gak kayak Abah.""Maksud kamu apa? Abahku itu laki-laki baik?""Umi yakin?" "Tentulah."Alwi tertawa. "Terus wanita bernama Indira, itu siapa ya?"Mimik wajah Bu Nyai Latifah langsun
"Alwi masih gangguin kamu?" tanya Alfa yang sedang mengancing kancing kokonya. "Iya, Mas. Selama dua hari, aku selalu ketemu dia di mana pun. Di sekolah, kantor, pondok, bahkan rumah ini," keluh Galuh. "Masa? Apa dia gak malu gitu? Kelakuannya dilihat orang lain?""Entahlah. Buktinya dia kelihatan santai aja sampai ngomong ke orang lain kalau aku calon istrinya. Gila banget loh, Mas. Sampai do'ain kita cerai. Gak peduli ada Abah sama Umi, bahkan di depan para Mbak Ndalem, Gus Alwi selalu goda aku, Mas. Di pondok, di sekolah juga sama. Sampai aku malu dan takut. Dikiranya aku yang keganjenan."Alfa terlihat menghela napas. "Nanti Mas coba ngomong sama dia.""Gak mempan kayaknya, Mas. Jujur aku risih banget. Makanya hari ini, aku memilih di kamar saja. Seharian. Urusan Fairuz, aku percayakan sama Zahra. Antar jemput dia di Bimba, ngaji, main, pokoknya semua diurus sama Zahra. Makanan Abah sama Umi diurus sama mbak dalem. Urusan sekolahan dan pondok aku cuma bergerak di belakang layar.
"Woy! Jalan pakai mata!" bentak Alwi pada Zahra yang tidak sengaja menabrak dirinya. Zahra yang niatnya hendak meminta maaf pada siapa pun yang tidak sengaja dia tabrak karena berlari mengejar bola, urung saat tahu jika yang dia tabrak adalah Alwi. "Sorry, kirain tembok," balas Zahra memasang mimik judes. Dia pun segera mengambil bola yang berada tak jauh dari kaki Alwi. Begitu sudah mendapatkan bolanya, Zahra tanpa mengindahkan keberadaan Alwi lalu segera berbalik, berjalan mendekati Fairuz yang sudah menunggu. "Woy!" Alwi tentu saja meneriaki Zahra. Sayang, si gadis hitam manis itu tak peduli dan lebih memilih bermain kembali dengan Fairuz. "Dasar cewek gak punya adab sopan santun," gerutu Alwi.Alwi pun segera berjalan menuju gazebo yang kini sudah bertengger megah di halaman belakang rumah Kyai Baihaqi. Gazebo yang dibuat oleh Alfa setelah memutuskan mengadopsi Fairuz. Senyum Alwi terkembang saat dilihatnya sosok Galuh sedang bercengkrama dengan Bu Nyai Khomsah. Alwi menguca
Alfa sampai di rumah menjelang jam empat. Dia terlihat kelelahan karena baru saja menyelesaikan segudang pekerjaan dimulai dari meninjau lokasi kebun durian miliknya, mengecek usaha miliknya, memberi materi kewirausahaan di salah satu sekolah pertanian yang ada di Purwokerto hingga menemui salah satu rekan kerjanya guna membahas kontrak kerja sama yang baru."Assalamualaikum," ucap Alfa ketika memasuki rumah."Wa'alaikumsalam.""Abah!"Alfa yang awalnya merasa lelah langsung semangat gara-gara mendengar suara sang putri. Dia pun mencari keberadaan putrinya yang ternyata sedang duduk menonton TV ditemani Zahra."Fay.""Abah."Alfa langsung merentangkan kedua tangan sementara Fairuz berlari ke arahnya. Alfa membopong putri cantiknya dan diciuminya kedua pipi Fairuz dengan gemas. Membuat Fairuz tertawa karena kegelian."Geli, Abah.""Masa sih? Gak geli ah.""Geli."Bukannya melepaskan sang putri, Alfa terus mencandai sang putri hingga kemudian dia sadar akan keberadaan Zahra."Mbak Zahra
"Ami Syakib gimana kabarnya, Ba?""Udah lebih baik. Udah ikhlas dia. Amira selalu ada di sampingnya. Jadi motivator terbaik buat ami kamu. Ditambah sudah ada Rafatar. Jadi proses penyembuhannya lebih gampang."Satu Minggu setelah kematian Habiba, Galuh dan Fairuz masih berada di Andalusia. Alfa sendiri sudah kembali ke Kebumen, tiga hari setelah kematian Habiba. Sebab ada banyak urusan pekerjaan dan pondok yang harus dia lakukan.Meski Galuh juga ingin ikut balik, tapi di sisi lain dia juga masih ingin bermanja-manja dengan kedua orang tuanya. Menyebabkan Alfa yang mengalah dan membiarkan Galuh tetap berada di Tegal sampai rasa rindu sng istri pada kedua orang tuanya terobati.Karena Galuh di Tegal, Fairuz jadi ikutan ngintilin uminya. Membuat Alfa sedikit uring-uringan tapi mau bagaimana lagi dia gak bisa egois. Dia paham Galuh pasti masih ingin banyak waktu bersama kedua orang tuanya. Dan Fairuz yang baru merasakan punya ibu, juga begitu. Alfa deh yang harus berbesar hati membiarkan
Syakib dan yang lain masih dalam kondisi terguncang. Alfa yang berada di balik kemudi mobil Syafiq bahkan sampai mencengkeram kemudi."Tidak. Tidak Habiba."Syakib segera membuka pintu belakang, sebelah kiri. Dia berlari menuju ke kerumunan. Dia bahkan mendorong beberapa orang untuk sampai ke sosok yang tergeletak tak berdaya di aspal."Ya Allah, Bibah. Bibah. Tidak. Tidak Bibah!"Syakib terduduk di dekat Habiba. Dia hendak meraih tubuhnya namun dihalangi oleh beberapa orang dengan alasan, Habiba harus dicek oleh tenaga medis dulu."Aku harus membawanya. Bawa dia ke rumah sakit.""Ini kan pintu keluar rumah sakit. Tunggu petugas medis dulu.""Kita harus angkat dia. Harus bawa dia." Syakib berontak hendak membawa Habiba."Dokter. Panggil dokter!" teriak Syakib.Dia terus memberontak. Ingin mendekat ke arah Habiba. Beruntung Syafiq dan Faris sudah mendekat. Mereka pun ikut menahan Syakib."Tenanglah. Itu petugasnya sudah datang," pinta Faris. Dia menahan sambil merangkul sepupunya karen