Share

4. Pangeran Pondok Pulang

Alfa beristighfar, dia menunduk. Ikhlas yang melihat tingkah sahabatnya terkikik. Menurutnya sikap Alfa itu lucu, terlihat sekali sahabatnya itu sedang terpesona.

“Mas Alfa kan? Yang kemarin nolong saya?” cecar Shadiqah.

Alfa hanya mengangguk. Shadiqah kembali tersenyum, “Boleh Shadi duduk di sini?”

“Boleh-boleh, silakan.” Ikhlas yang langsung mempersilahkan. Dia bahkan sengaja mengarahkan Shadiqah ke kursi yang paling dekat dengan Alfa. Shadiqah pun duduk agak berdekatan dengan Alfa membuat sang bujang sedikit menjauhkan kursinya agar tak terlalu dekat dengan non muhrim.

“Udah pesen makan Mbak?” Ikhlas kembali bertanya.

“Udah kok.”

“Mau minum?”

“Boleh.”

Ikhlas memanggil pelayan, dan menanyakan kepada Shadiqah mau minum apa. Shadiqah menjawab mau minum jus jeruk saja. Shadiqah akhirnya menghabiskan waktu bersama Ikhlas dan Alfa. Terlihat percakapan didominasi oleh Shadiqah dan Ikhlas, Alfa lebih banyak menjadi pendengar. Dalam obrolan Shadiqah dan Ikhlas, Alfa jadi tahu jika Shadiqah baru dua bulan berada di Kairo. Sebelumnya dia kuliah di London mengambil jurusan hubungan internasional. Dari tutur kata Shadiqah, Alfa bisa melihat kecerdasan dari wanita itu. Dan itu membuat Alfa sedikit tertarik. 

 

Shadiqah pamit karena dia ada janji dengan teman-temannya. Sebelum pamit dia memberi nomer ponselnya pada Alfa dan ikhlas.

 

“Cieee, yang dikasih nomer ponsel.”

 

“Kamu juga dikasih,” balas Alfa dengan mimik muka datar.

“Ya iyalah dikasih, tapi tujuannya kan jelas banget, sengaja ngasih untuk kamu, hahaha. Gaspol aja, Al. anak dubes loh. Masalah penampilan bisa diajarin pelan-pelan.”

Alfa tak menyahut, dia kini fokus menatap sederet angka pada kertas yang tadi diberikan oleh Shadiqah. Senyum tipis Alfa terbit, dia segera meletakkan kertas itu di saku kokonya. Dia tak mau terlihat senang dikasih nomer oleh Shadiqah. Terutama di depan pria usil bernama Ikhlas.

 

Sampai di kamar, di rumah kontrakannya yang dia tinggali dengan mahasiswa lain dari Indonesia, Alfa segera menyalin nomer Shadiqah dalam ponselnya. Namun dia sama sekali tak menghubungi Shadiqah. Selain menurutnya tidak pantas, dia juga ingin fokus dengan ujiannya. 

 

Di tempat lain, Shadiqah sedang menunggu telepon, chat atau spam dari Alfa. Sayang sampai pukul sebelas malam, Alfa tak kunjung menghubungi Shadiqah. 

“Ih, kok gak hubungi aku ya? Masa aku harus hubungi duluan sih? Nanti disangka aku kegatelan.”

 

Shadiqah mencoba berpikir, dia sedang mencari strategi jitu agar bisa dekat dengan Alfa. Shadiqah tersenyum setiap mengingat wajah ganteng Alfa.

 

“Dia ganteng, baik lagi, aku merasa kayak Maria dan dia adalah Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta. Semoga saja ya Allah kami berjodoh, aku yakin Papi sama Mami bakalan setuju kalau aku sama cowok kayak Mas Alfa.”

Lagi-lagi senyum Shadiqah terkembang jika mengingat wajah Alfa.

 

Keesokan harinya, Shadiqah tak bisa membendung perasaan bahagianya mendapati sosok pujaan hati rupanya juga sedang menghabiskan sore di sekitar Sungai Nil. Dia segera memanggil Alfa.

“Mas Alfa lagi di sini juga?”

Alfa yang merasa dipanggil menoleh, dia kaget mendapati Shadiqah berada di area Sungai Nil dengan sepeda yang sedang dia tuntun.

“Iya, lagi menikmati senja di sini.”

“Wah kebetulan ya Mas.”

Alfa tersenyum. Dua pria dan wanita kemudian menikmati senja dengan panorama Sungai Nil. Dasarnya Shadiqah memang kewes dan luwes dalam pergaulan, hanya dalam beberapa hari, keduanya jadi akrab, bahkan tak segan mereka saling mengirim chat. Shadiqah bahkan menjadi salah satu orang yang memberi hadiah pada Alfa saat dia berhasil menjalani sidang disertasi dengan baik.

 

Waktu terus berlalu, keakraban keduanya terus terjalin. Tak tereasa keduanya sudah saling mengenal hampir dua bulan. Bahkan kini, Shadiqah sering menggunakan kerudung jika bertemu dengan Alfa. Meski belum sesuai aturan, tapi sudah lebih baik. Setidaknya Shadiqah sudah mau menutupi mahkotanya. Perubahan Shadiqah sangat disukai kedua orang tuanya. Pak Munajat dan Bu Sinta bahkan sudah beberapa kali bertemu dengan Alfa. Kedua orang tua Shadiqah pun menaruh harapan yang tinggi pada sosok Alfa. Bahkan terang-terangan Pak Munajat mengijinkan Alfa melamar anaknya, karena dia sudah menyelidiki identitas Alfa yang merupakan anak salah satu Kyai besar di Kebumen dan akan menjadi penerus sang abah kelak.

 

“Saya menunggu kedatanganmu anak muda, di rumah saya di Jakarta. Dua bulan lagi masa kerja saya di Kairo habis, saya akan berhenti menjadi dubes dan ingin menikmati masa tua di kampung halaman. Lagi pula, kedua anak saya sudah menikah, tinggal Shadi si bungsu.”

“Saya rasan dengan orang tua saya dulu, Pak Munajat. Bagaimana pun ridho orang tua sangat penting. Semoga saja tak ada halangan dan kedua orang tua saya bisa menerima keputusan saya.”

“Amin. Lagian, Shadi bisa belajar tentang dunia pondok, ya kan Sha?”

“Iya, Pi. Shadi pasti akan mencoba berbaur dengan dunianya Mas Alfa.”

“Nah kan beres.”

Alfa dan Shadiqah sudah memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, hal yang perlu Alfa lakukan sekarang adalah memperkenalkan Shadiqah terlebih dahulu dengan kedua orang tuanya. Dan momen wisuda beberapa hari ke depan adalah acara yang bagus karena kedua orang tuanya akan menghadiri wisuda S3-nya.

 

***

 

Bu Nyai Khomsah terlihat murung. Satu minggu yang lalu dia berada di Kairo untuk menghadiri wisuda sang putra. Dia senang tentu saja karena cita-cita yang diinginkan sang putra telah berhasil diraih. Namun ada hal yang menganggu pikiran wanita berusia lima puluh tahun lebih itu, yaitu sosok wanita yang dibawa sang putra dan diperkenalkan sebagai wanita spesialnya.

Tak ada yang aneh dengan Shadiqah. Dalam pertemuan pertama dan pertemuan-pertemuan selanjutnya, gadis berusia dua puluh tahun lebih itu terlihat ramah, luwes dalam pergaulan dan sopan. Tetapi sebagai seorang ibu, Bu Nyai Khomsah merasa kurang setuju saat sang putra memperkenalkan gadis bernama Shadiqah itu sebagai calon istrinya.

 

Entahlah, Bu Nyai Khomsah juga tak paham. Dia merasa tidak sreg saja dengan wanita pilihan sang putra. Bu Nyai Khomsah tak ingin muluk-muluk pada kriteria calon istri putranya. Dia hanya ingin calon isti putranya orang baik, pintar ngaji dan kalau bisa sejak kecil sudah paham akan dunia pondok pesantren. Meski Alfa dan Shadiqah menjanjikan jika Shadiqah akan banyak belajar, tapi Bu Nyai Khomsah tetap saja belum ridho sang putra berjodoh dengan putri dubes Indonesia untuk Mesir itu.

 

Rupanya kegudahan Bu Nyai Khomsah dirasakan oleh sang suami. Kyai Baihaki tersenyum mendapati istrinya sedang termenung sendirian di teras belakang rumah. Dia pun menghampiri sang istri dan duduk di sampingnya. Bu Nyai Khomsah sedikit terkejut dengan kedatangan sang suami yang tiba-tiba.

“Bah, kapan datang?”

 

“Baru saja.”

“Kok umi gak dengar suara salam ya?”

 

“Lah gimana bisa dengar orang kamunya aja lagi ngelamun gitu.”

 

Bu Nyai Khomsah tersipu malu, “Maaf nggih, Bah. Abah mau tak buatkan unjukan? Teh?”

 

“Gak usah, sudah ngeteh tadi di tempat Pak Janu.”

 

“Oh, ya sudah.”

Kyai Baihaki tersenyum pada sang istri.

“Masih mikirin calon istri anakmu?”

Bu Nyai Khomsah mengangguk.

“Masih belum ridho?”

 

“Masih mencoba, Bah. Rasanya belum sreg saja. Gak tahu kenapa.”

Kyai Baihaki mengambil tangan istrinya, dikecupnya kedua tangan sang istri dengan lembut.

“Abah ngerti, tapi Alfa sudah yakin, ya mau gimana lagi. Mau tak tolak, abah gak tega. Selama ini dia sudah jadi anak baik, menyenangkan kita, gak neko-neko. Dan dia anak kita satu-satunya." Ada binar kesedihan pada mata tua itu.

 

Bu Nyai Khomsah memahami maksud suaminya, “Nggih, Bah. Maafkan umi. Umi masih belajar legowo, Bah.”

 

“Doakan saja yang terbaik, Umi. Percayalah, Allah tidak akan salah memberi jodoh. Kalau wanita itu memang jodoh Alfa, pasti mereka akan bersatu, kalau tidak ya gak bakalan nikah.”

 

“Nggih, Bah. Maafkan umi, nggih.”

 

Kyai Baihaki hanya menjawab dengan mengarahkan kedua tangan sang istri menuju ke bibirnya. Lalu beliau kembali mengecup dengan penuh kasih membuat wanita berusia lima puluh tahun lebih itu tersipu malu. 

“Astaghfirullah!” pekik sebuah suara.

Suara pekikan yang membuat romantisme pasangan tua terhenti dan keduanya kompak menoleh pada sosok gadis berusia dua puluh lima tahunan yang kini sedang posisi memunggungi abah dan umi angkatnya.

Baik Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki tertawa melihat tingkah Galuh yang salah tingkah.

“Maaf Umi, Abah, Galuh cuma lihat sedikit, Galuh pergi aja deh, ngomongya nanti, monggo dilanjutkan saja. Assalamu'alaikum.”

 

Galuh langsung ngacir, pergi meninggalkan kedua orang tua angkatnya yang kembali tertawa.

“Wa'alaikumsalam, anak itu beneran moodbooster-nya umi.”

 

“Dia moodbooster-nya kita semua.”

 

“Nggih, Bah. Umi setuju.”

 

Jika pasangan tua kembali melanjutkan aksi romantisme, Galuh dengan cepat-cepat mengenakan sandal dan hendak berlalu. Saking cepatnya dia kurang hati-hati dan saat berbalik badan dia menabrak sesuatu.

Bruk!

Wajah Galuh menubruk dada bidang seseorang membuat dia terpental dan hendak jatuh ke belakang. Beruntung orang yang dia tabrak dengan refleks cepat menarik lengannya.

Galuh kaget, dan lebih kaget menyadari posisinya yang hampir jatuh tengah dipegangi lengannya oleh seseorang yang menatapnya dengan tatapan setajam elang dan senyum sinis terkembang.

“Ck, cerobohmu Luh, gak pernah bisa ilang apa?"

“G-gus Alfa?” gagap Galuh. Dia benar-benar kaget mendapati kakak angkatnya sudah pulang, padahal katanya sang kakak angkat baru akan pulang minggu depan.

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status