แชร์

3. Cinta Pertama

ผู้เขียน: Bai_Nara
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-07-17 15:51:06

Galuh memberikan senyum manisnya pada Jauza. Jauza pun membalas hal yang serupa. Meski keduanya saling mengenal tapi tidak terlalu akrab. Tentu saja karena ada batas bernama kedudukan. Jauza meski bukan Ning tapi masih kerabat dekat keluarga Kyai Baihaki. Sementara Galuh? Sudah jelas dia siapa.

"Mbak Galuh apa kabar?" tanya Jauza mencoba beramah-tamah.

"Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Jauza bagaimana kabarnya?"

 

"Saya juga baik."

Hening. Keduanya sama-sama diam lagi.

"Budhe dimana ya, Mbak?"

"Umi sedang menyimak hapalan, Mbak."

"Oh, iya juga ya."

Lagi-lagi keduanya terdiam. Galuh segan untuk memulai obrolan sementara Jauza bingung mau membawa Galuh pada tema obrolan apa.

"Loh Jau, masih di sini? Belum ketemu sama Mbak Khomsah?"

Sebuah suara memecah keheningan. Tampaklah Bu Nyai Latifah yang datang, baik Galuh dan Jauza langsung menyalami Bu Nyai Latifah.

“Belum Budhe.”

“Lah kasihan tahu gini nunggu di tempat Budhe aja, ngobrol sama budhe. Alwi juga di rumah.”

“Jauza ditemeni Mbak Galuh kok Budhe?”

Bu Nyai Latifah menoleh ke arah Galuh.

"Kamu yang nemeni Jauza, Luh?"

"Nggih Bu Nyai, Umi masih nyimak hapalan."

"Oh ya ya ya."

Bu Nyai Latifah kembali mengajak Jauza mengobrol. Diantara tema obrolan, Bu Nyai Latifah beberapa kali memuji Jauza yang berhasil lulus cumlaude untuk program PAI-nya. Bu Nyai Latifah juga menyinggung-nyinggung jika Jauza menjuarai Qiro'ah tingkat Kebumen dan Provinsi Jawa Tengah. Dan masih banyak lagi pujian yang dilontarkan Bu Nyai Latifah.

Galuh tetap menunduk sambil menahan senyumnya agar tak terkembang. Dan terutama agar mulutnya tidak sampai keceplosan. Soalnya Galuh tak tahan buat ghibah si mulut nyinyir.

“Ini loh Luh, ponakanku hebat banget. Selalu dapat beasiswa, calon berbobot yo? Tinggal dipinang aja.”

“Nggih Bu Nyai.”

 

“Wah, pasti banyak bu nyai yang kesengsem sama kamu, Jau. Dan para gus juga. Mosok nolak wanita secantik kamu.” Wajah Bu Nyai Latifah begitu semringah membuat Jauza menunduk malu. Dalam hati dia mengaminkan ucapan budhenya.

‘Moga-moga, Mas Alwi juga suka sama Jau, Budhe,' batinnya bermonolog.

Tak jauh berbeda dengan Jauza, Galuh juga sedang bermonolog dalam hati.

‘Kan kan kan, muji-muji secara gak kentara. Pasti deh mau nyerang mentalku yang hanya bisa sekolah di UT, dan lulusnya gak pake wisuda-wisudaan, cuma foto doang pakai kamera ponsel sama Umi dan Abah. Pasti kan mau bangga-banggain kalau calon menantu idaman, lulusan kampus bergengsi, banyak prestasi. Terserahlah Bu Nyai, Allah mah gak tidur. Asal besok-besok jangan Bu Nyai sendiri yang hancur lebur. Aku mah apa atuh, cuma anak angkat yang dianggap gak sederajat sama Anda. Tapi sorry, ya Bu Nyai, saya gak akan hancur gara-gara provokasinya situ. Hidupku terlalu berharga buat mengurusi kenyinyiran Anda. Lagian meski anak Anda ganteng, tapi Omar Daniel lebih ganteng dan terkenal. Kaya lagi. Jadi gak usah sok sesumbar anaknya Bu Nyai paling top markotop sementara bensin saja masih minta sama njenengan dan Anda selalu minta jatah bulanan sama Abah Baihaki, dih!’

Galuh terus mengghibah dalam hati. Sebenarnya dia malas berada dalam satu ruangan bersama Bu Nyai Latifah, tapi apa daya, para mbak senior tidak ada yang mau menemani termasuk sahabatnya Ratna yang justru langsung kabur setelah membuatkan minuman untuk Jauza.

Sebelum kabur dia berbisik, “Ada Mbak Jauza, bentar lagi ada Madam Ghandari, bye bye.”

Secepat kelajuan kereta MRT, Ratna dan dua mbak khadamah senior langsung ngacir meninggalkan secangkir teh manis beserta dua toples cemilan dia atas baki. Galuh hanya bisa pasrah dan mau tak mau harus menghidangkan minuman dan menemani Jauza. Dan benar saja, tidak sampai lima belas menit, sosok Madam Ghandari adiknya Sengkuni sudah hadir dan kini masih asik bercerita dengan sang keponakan.

 

Kedatangan Bu Nyai Khomsah, membuat suara Bu Nyai Latifah berhenti. Dia tersenyum pada kakak iparnya. Galuh sendiri merasa lega. Dia selamat. Galuh segera menyalami Bu Nyai Khomsah dan pamit akan kembali ke pondok karena tinggal jadwalnya mengisi kajian. Dengan cara ngesot yaitu bertumpu pada kedua lutut, Galuh meninggalkan ruang tengah melalui pintu samping rumah.

 

Sampai di luar, dan sudah cukup jauh dari kawasan ndalem, Galuh terlihat menghembuskan napas lega. Dan setelahnya dia mendengar suara tawa membahana dari radius lima meter dari posisi dia berdiri. Galuh menoleh dan dia mencebik. 

“Seneng banget bikin aku sengsara di sana ya? Benar-benar gak setia kawan.”

 

“Hahaha, dan harus mati kutu di hadapan Madam Gandhari? Makasih,” celetuk Ratna.

“Udah yuk pulang, lagian kita masih setia kawan loh, nungguin kamu di sini.”

Mau tak mau Galuh tersenyum, dia mengucapkan terima kasih dengan tulus. Empat orang pun segera berlalu menuju ke pondok. Sesekali mereka bercerita dan kadang ada tawa.

“Aku penasaran siapa orang yang pertama kali menjuluki Bu Nyai Latifah dengan julukan itu,” ucap Galuh.

“Madam Gandhari?” ceplos Rumaisha, salah satu sahabat Galuh juga.

“Iya.”

 

“Karena dia mirip Sengkuni mungkin. Dan adiknya kan perempuan bernama Gandhari. Hahaha.”

Galuh hanya terkekeh, sementara ketiga sahabatnya kembali mengghibah Madam Gandhari.

 

***

 

Di tempat lain, tepatnya di sebuah sudut kota Kairo, seorang lelaki tampak baru saja keluar dari ruang dosen. Dia bernama Muhammad Alfarraz Baihaki, putra pertama dari Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah.

“Alfa, selamat, ane ikut senang, gimana? Lanjut?” Salah satu teman Alfa bernama Ikhlas bertanya.

“Alhamdulillah, doakan satu minggu lagi sidang.”

 

“Masya Allah, keren. Semoga dipermudah ya akhi.”

“Doa yang sama untukmu saudaraku.”

 

Keduanya berangkulan lalu Alfa mengajak sahabatnya untuk makan. Di sana mereka juga berjumpa dengan banyak mahasiswa asal Indonesia yang rata-rata mereka kenal juga karena memang ada persatuan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Kairo. Dan mereka sering menyelenggarakan pertemuan-pertemuan demi memupuk kekeluargaan dan solidaritas.

 

“Fa, habis ujian selesai, terus wisuda, Ente pulang?”

 

“Iya, ane udah janji sama Abah, selesai S3 ane pulang, terus membantu Abah sama Umi.”

“Nah, bagusnya Ente bawain sekalian lah calon bini.”

Alfa tertawa. Dia tak menjawab karena masalah mencari pasangan belum dia pikirkan, fokusnya adalah studi, karir dan membantu orang tuanya. Lagian, Alfa belum menemukan sosok wanita yang sreg sesuai dengan kriteria istri idamannya.

“Jangan pilih-pilih lah, ntar ketemunya malah yang di luar prediksi kamu.”

Alfa hanya mengulas senyum tipis saja. Dia belum menjawab karena kedatangan pramusaji yang membawakan makanan pesanan Alfa dan Ikhlas.

 

“Cewek yang kemarin kamu tolong, cantik. Sayang gak berjilbab.”

“Yang mana?”

 

“Ck, dasar Alfaruk! Matamu sekali-kali natap lawan jenis kenapa?” cibir Ikhlas.

 

“Itu, siapa ya? Anaknya Pak Dubes.”

 

“Oooo, Shadiqah?”

 

“Yup. Cantik kan?”

 

“Mungkin. Gak terlalu memperhatikan.”

“Ya Allah, Alfaruk! Lah emangnya waktu itu matamu kemana?”

 

“Sibuk benerin mesin mobil itu cewek,” jawab Alfa tanpa dosa.

Ikhlas hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap sahabatnya yang selalu saja cool, cuek dan kurang respek sama cewek. Kurang respek dalam artian, Alfa adalah pribadi yang jika menatap seorang wanita walau secantik apa pun dengan mimik muka datar, masa bodoh dan ketika ditanya jawaban Alfa cuma ‘cantiknya biasa aja, cewek ya cantik, namanya cewek ya cantik, bidadari di surga lebih cantik-cantik’. Beruntung ikhlas bukan karakter ringan tangan sehingga saat gereget mendengar respon sang sahabat dia tidak sampai menggeplak kepala sahabatnya itu.

“Au ah, ngomong wanita sama kamu mah gelap. Mending makan.”

 

Ikhlas memilih makan, pun Alfa. Keduanya tidak langsung pulang setelah selesai makan. Namun memilih duduk-duduk dulu dan bercerita. Namun aksi keduanya terhenti saat ada sebuah suara yang memanggil nama Alfa. Baik Alfa dan Ikhlas menolehkan kepala. Tampaklah seorang wanita tinggi semampai dengan kaos hitam panjang, celana jeans biru dan rambut hitam tergerai panjang.

“Hai Mas Alfa, ingat aku kan? Aku Shadiqah. Shadiqah Amara Munajat.” Wanita bernama Shadiqah tersenyum. Dia terlihat cantik sekali membuat jantung Alfa tiba-tiba berdenyut kencang. Senyum itu rupanya telah membangkitkan hasrat primitif di dalam diri Alfa, dan sepertinya inilah yang disebut cinta pertama.

 

 

 

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Cinta Gadis tak Bernasab   136. Ancaman Hasina

    Galuh, Ibu Anjani dan kedua orang tua Zahra menatap Zahra dengan tatapan kesedihan. Mereka benar-benar tak menyangka acara yang niatnya Zahra hadiri untuk bisa berjumpa dengan kawan lama, malah berakhir dia pingsan akibat obat bius yang dia konsumsi cukup banyak."Zahra gak papa, kan Pak?""Kata dokter gak papa, Bu. Sebentar lagi pasti dia sadar.""Jahat sekali mereka. Gimana dengan Fairuz ya, Pak?""Alfa sedang mencarinya. Kamu tenang saja. Kemarin saja dia berhasil menemukan Fay, sekarang pasti juga bisa."Aiman berusaha memberikan ketenangan untuk sang istri sementara Galuh sejak tadi hanya diam saja. Ada rasa khawatir dalam hatinya. Namun, dia tidak bisa membantu apa pun selain mendoakan keselamatan sang putri.Sementara itu, Alfa dan beberapa anggota polisi yang dia mintai tolong tengah melaju membelah arus jalan untuk menemukan Fairuz. "Alfa, kamu yakin, mereka ada di sana?" tanya Aba Faris yang juga ikut dalam usaha menemukan sang cucu."Iya, Ba. Meski mereka berusaha mengecoh

  • Cinta Gadis tak Bernasab   135. Drama Penculikan Lagi

    Zahra yang sudah selesai sholat sedang menggunakan kaos kaki sementara Fairuz berada di sampingnya sambil sesekali berceloteh. Zahra dan yang lain memutuskan sholat terlebih dahulu di salah satu masjid yang dilewati ketika jam menunjuk ke arah empat sore. Kebetulan kompleks masjid dekat dengan alun-alun kecamatan. "Onty, Fay mau beli cilok."Fairuz segera berdiri dan menggunakan sandalnya. Dia berlari menuju ke pedagang cilok yang mangkal di area halaman depan kompleks masjid tempat Zahra dan yang lain menunaikan sholat ashar. Karena pedagang itu dikerumuni banyak pembeli, Fairuz mau tak mau antri. Zahra yang sudah selesai memakai kaos kaki dan sandalnya, segera ikut menghampiri. Dia dan Fairuz dengan sabar menunggu antrian. Alwi yang melihat tingkah Fairuz dan Zahra berdecak kesal. "Malah jajan. Apa masih kurang tadi makannya di Rita. Gak tahu apa aku udah capek pengen segera rebahan di kasur," gerutu Alwi yang didengar oleh dua kang dalem. "Biarkan saja Gus. Toh tinggal pulang

  • Cinta Gadis tak Bernasab   134. Cewek Kok Ngorok

    Alwi mengusap peluh dari dahinya. Hari itu, panas terasa menyengat meski matahari belum tepat di atas kepala. Ia baru saja keluar dari kantor Badan Pertanahan, membawa map cokelat berisi dokumen ganti rugi tanah milik warga yang akan dilewati proyek jalan tol. Prosesnya melelahkan, tapi berakhir membahagiakan. Ya melelahkan bagi yang membantunya, sebab Alwi dan sang umi hanya terima beres. Semua diurusi oleh Alfa. Berkat Alfa, dia dan sang ibu mendapatkan kompensasi yang menguntungkan untuk tanah warisan sang abah. Mau tak mau dia harus mengakui relasi sang kakak sepupu maupun kemampuannya dalam bernegosiasi. Dan kalau sesuai adab kesopanan, Alwi dan sang umi harusnya berterima kasih kepada Alfa. Tapi berterima kasih? Enak saja. Tidak ada dalam kamus Alwi setidaknya untuk saat ini. Saat hatinya masih diselubungi rasa iri dan cemburu. Alwi menoleh ke beberapa orang yang mengalami nasib sama dengan dia. Beberapa ada yang marah, ada yang menangis, dan ada pula yang terlihat bahagia.

  • Cinta Gadis tak Bernasab   133. Saling Sindir

    Kabar kebakaran di rumah Bawazier telah sampai ke telinga Alfa dan keluarganya mendekati bada dhuhur. Alfa segera mengkonfirmasi pada Aidan yang juga sudah mendapat berita lebih dulu."Diduga sebagai upaya pembunuhan. Korban berjumlah depalan orang. Tiga pembantu wanita, satu tukang kebun, dua satpam, dan dua orang yang diduga Bawazier dan Hasina. Hanya saja, ini yang masih perlu dikonfirmasi apakah benar Hasina apa bukan. Sebab, setelah kejadian Fairuz terluka, dia sudah diceraikan oleh Bawazier. Hasina juga sudah diusir dari rumah," ucap Aidan dari seberang telepon."Apa menurutmu wanita yang ditemukan di kamar Bawazier bukan Hasina?""Bisa iya bisa bukan. Tergantung hasil Tes DNA.""Hasil Tes DNA kapan keluarnya?""Tergantung. Tapi bisa kemungkinan cepat. Mengingat keluarga Bawazier termasuk keluarga kaya raya pun Hasina.""Semoga saja ada titik terang.""Iya semoga saja."Aidan dan Alfa terus mengobrol cukup lama. Sebelum mengakhiri percakapan, Aidan meminta Alfa untuk tetap waspa

  • Cinta Gadis tak Bernasab   132. Kebakaran

    Galuh memeluk sayang sang putri, beberapa kali dia menciumi pipi Fairuz dengan sorot mata yang sendu."Mereka jahat sekali," bisiknya lirih.Sebuah pelukan melingkar di perutnya. Galuh sedikit menoleh tapi tidak mengubah posisi rebahannya. Kecupan hangat mendarat di keningnya, diikuti usapan lembut di perut."Kalian baik-baik saja, kan?""Kami baik. Njenengan?""Sudah lebih baik. Bisa meluk kamu, dedek di perut baik-baik saja dan melihat Fay bisa tertidur lelap, membuatku tenang."Alfa kini ikut merebahkan diri di samping sang istri. Dia tak banyak bicara, hanya diam. Galuh pun paham jika suaminya pasti terlalu lelah. Dengan perlahan dia berbalik dan menghadap ke sang suami. Galuh menyerukkan wajahnya di dada bidang sang suami. Mencari kenyamanan yang selalu dia dapatkan. "Tidurlah. Kamu pasti capek.""Mas pasti juga sama capeknya. Jadi, ayok kita tidur."Alfa mengulas senyum tipis, mengecup kening sang istri lagi dan mengeratkan pelukan. Setelah melafalkan doa, Alfa mencoba tidur. S

  • Cinta Gadis tak Bernasab   131. Mufakat

    Alfa menatap putri kesayangannya dengan air mata berlinang. Putrinya yang datang secara tiba-tiba di saat dia kehilangan Galuh. Penyejuk hatinya, pelipur laranya, kini terbaring dengan mata yang masih tertutup. Meski tidak membahayakan nyawa, tetap saja pukulan-pululan yang Fairuz terima dari Hasina, membuat gadis cilik itu tak berdaya. Mana ada beberapa luka sayat yang harus diterima Fairuz juga. Sungguh ingin sekali Alfa juga membalas Hasina seperti yang dia lakukan pada Fairuz."Kejam sekali. Padahal Fay cuma gadis tiga tahun yang gak ngerti apa-apa," lirih Alfa sambil membelai rambut sang putri."Padahal di rumahku dia layaknya Tuan Putri yang selalu kujaga dengan sepenuh hati. Abah sama Umi bahkan sayang banget sama Fay. Udah nganggap cucu kandung. Tapi ... sama kakek nenek kandung, Fay malah disiksa."Alfa mengusap kepala sang putri, lalu membelai ke arah pipi, dahi, di mana luka-luka lebam dan sayatan tampak di wajah cantik Fairuz. "Aku pengen hajar wanita tua itu, Mas. Sumpah

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status