Galuh memberikan senyum manisnya pada Jauza. Jauza pun membalas hal yang serupa. Meski keduanya saling mengenal tapi tidak terlalu akrab. Tentu saja karena ada batas bernama kedudukan. Jauza meski bukan Ning tapi masih kerabat dekat keluarga Kyai Baihaki. Sementara Galuh? Sudah jelas dia siapa.
"Mbak Galuh apa kabar?" tanya Jauza mencoba beramah-tamah."Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Jauza bagaimana kabarnya?" "Saya juga baik."Hening. Keduanya sama-sama diam lagi."Budhe dimana ya, Mbak?""Umi sedang menyimak hapalan, Mbak.""Oh, iya juga ya."Lagi-lagi keduanya terdiam. Galuh segan untuk memulai obrolan sementara Jauza bingung mau membawa Galuh pada tema obrolan apa."Loh Jau, masih di sini? Belum ketemu sama Mbak Khomsah?"Sebuah suara memecah keheningan. Tampaklah Bu Nyai Latifah yang datang, baik Galuh dan Jauza langsung menyalami Bu Nyai Latifah.“Belum Budhe.”“Lah kasihan tahu gini nunggu di tempat Budhe aja, ngobrol sama budhe. Alwi juga di rumah.”“Jauza ditemeni Mbak Galuh kok Budhe?”Bu Nyai Latifah menoleh ke arah Galuh."Kamu yang nemeni Jauza, Luh?""Nggih Bu Nyai, Umi masih nyimak hapalan.""Oh ya ya ya."Bu Nyai Latifah kembali mengajak Jauza mengobrol. Diantara tema obrolan, Bu Nyai Latifah beberapa kali memuji Jauza yang berhasil lulus cumlaude untuk program PAI-nya. Bu Nyai Latifah juga menyinggung-nyinggung jika Jauza menjuarai Qiro'ah tingkat Kebumen dan Provinsi Jawa Tengah. Dan masih banyak lagi pujian yang dilontarkan Bu Nyai Latifah.Galuh tetap menunduk sambil menahan senyumnya agar tak terkembang. Dan terutama agar mulutnya tidak sampai keceplosan. Soalnya Galuh tak tahan buat ghibah si mulut nyinyir.“Ini loh Luh, ponakanku hebat banget. Selalu dapat beasiswa, calon berbobot yo? Tinggal dipinang aja.”“Nggih Bu Nyai.” “Wah, pasti banyak bu nyai yang kesengsem sama kamu, Jau. Dan para gus juga. Mosok nolak wanita secantik kamu.” Wajah Bu Nyai Latifah begitu semringah membuat Jauza menunduk malu. Dalam hati dia mengaminkan ucapan budhenya.‘Moga-moga, Mas Alwi juga suka sama Jau, Budhe,' batinnya bermonolog.Tak jauh berbeda dengan Jauza, Galuh juga sedang bermonolog dalam hati.‘Kan kan kan, muji-muji secara gak kentara. Pasti deh mau nyerang mentalku yang hanya bisa sekolah di UT, dan lulusnya gak pake wisuda-wisudaan, cuma foto doang pakai kamera ponsel sama Umi dan Abah. Pasti kan mau bangga-banggain kalau calon menantu idaman, lulusan kampus bergengsi, banyak prestasi. Terserahlah Bu Nyai, Allah mah gak tidur. Asal besok-besok jangan Bu Nyai sendiri yang hancur lebur. Aku mah apa atuh, cuma anak angkat yang dianggap gak sederajat sama Anda. Tapi sorry, ya Bu Nyai, saya gak akan hancur gara-gara provokasinya situ. Hidupku terlalu berharga buat mengurusi kenyinyiran Anda. Lagian meski anak Anda ganteng, tapi Omar Daniel lebih ganteng dan terkenal. Kaya lagi. Jadi gak usah sok sesumbar anaknya Bu Nyai paling top markotop sementara bensin saja masih minta sama njenengan dan Anda selalu minta jatah bulanan sama Abah Baihaki, dih!’Galuh terus mengghibah dalam hati. Sebenarnya dia malas berada dalam satu ruangan bersama Bu Nyai Latifah, tapi apa daya, para mbak senior tidak ada yang mau menemani termasuk sahabatnya Ratna yang justru langsung kabur setelah membuatkan minuman untuk Jauza.Sebelum kabur dia berbisik, “Ada Mbak Jauza, bentar lagi ada Madam Ghandari, bye bye.”Secepat kelajuan kereta MRT, Ratna dan dua mbak khadamah senior langsung ngacir meninggalkan secangkir teh manis beserta dua toples cemilan dia atas baki. Galuh hanya bisa pasrah dan mau tak mau harus menghidangkan minuman dan menemani Jauza. Dan benar saja, tidak sampai lima belas menit, sosok Madam Ghandari adiknya Sengkuni sudah hadir dan kini masih asik bercerita dengan sang keponakan. Kedatangan Bu Nyai Khomsah, membuat suara Bu Nyai Latifah berhenti. Dia tersenyum pada kakak iparnya. Galuh sendiri merasa lega. Dia selamat. Galuh segera menyalami Bu Nyai Khomsah dan pamit akan kembali ke pondok karena tinggal jadwalnya mengisi kajian. Dengan cara ngesot yaitu bertumpu pada kedua lutut, Galuh meninggalkan ruang tengah melalui pintu samping rumah. Sampai di luar, dan sudah cukup jauh dari kawasan ndalem, Galuh terlihat menghembuskan napas lega. Dan setelahnya dia mendengar suara tawa membahana dari radius lima meter dari posisi dia berdiri. Galuh menoleh dan dia mencebik. “Seneng banget bikin aku sengsara di sana ya? Benar-benar gak setia kawan.” “Hahaha, dan harus mati kutu di hadapan Madam Gandhari? Makasih,” celetuk Ratna.“Udah yuk pulang, lagian kita masih setia kawan loh, nungguin kamu di sini.”Mau tak mau Galuh tersenyum, dia mengucapkan terima kasih dengan tulus. Empat orang pun segera berlalu menuju ke pondok. Sesekali mereka bercerita dan kadang ada tawa.“Aku penasaran siapa orang yang pertama kali menjuluki Bu Nyai Latifah dengan julukan itu,” ucap Galuh.“Madam Gandhari?” ceplos Rumaisha, salah satu sahabat Galuh juga.“Iya.” “Karena dia mirip Sengkuni mungkin. Dan adiknya kan perempuan bernama Gandhari. Hahaha.”Galuh hanya terkekeh, sementara ketiga sahabatnya kembali mengghibah Madam Gandhari. *** Di tempat lain, tepatnya di sebuah sudut kota Kairo, seorang lelaki tampak baru saja keluar dari ruang dosen. Dia bernama Muhammad Alfarraz Baihaki, putra pertama dari Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah.“Alfa, selamat, ane ikut senang, gimana? Lanjut?” Salah satu teman Alfa bernama Ikhlas bertanya.“Alhamdulillah, doakan satu minggu lagi sidang.” “Masya Allah, keren. Semoga dipermudah ya akhi.”“Doa yang sama untukmu saudaraku.” Keduanya berangkulan lalu Alfa mengajak sahabatnya untuk makan. Di sana mereka juga berjumpa dengan banyak mahasiswa asal Indonesia yang rata-rata mereka kenal juga karena memang ada persatuan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Kairo. Dan mereka sering menyelenggarakan pertemuan-pertemuan demi memupuk kekeluargaan dan solidaritas. “Fa, habis ujian selesai, terus wisuda, Ente pulang?” “Iya, ane udah janji sama Abah, selesai S3 ane pulang, terus membantu Abah sama Umi.”“Nah, bagusnya Ente bawain sekalian lah calon bini.”Alfa tertawa. Dia tak menjawab karena masalah mencari pasangan belum dia pikirkan, fokusnya adalah studi, karir dan membantu orang tuanya. Lagian, Alfa belum menemukan sosok wanita yang sreg sesuai dengan kriteria istri idamannya.“Jangan pilih-pilih lah, ntar ketemunya malah yang di luar prediksi kamu.”Alfa hanya mengulas senyum tipis saja. Dia belum menjawab karena kedatangan pramusaji yang membawakan makanan pesanan Alfa dan Ikhlas. “Cewek yang kemarin kamu tolong, cantik. Sayang gak berjilbab.”“Yang mana?” “Ck, dasar Alfaruk! Matamu sekali-kali natap lawan jenis kenapa?” cibir Ikhlas. “Itu, siapa ya? Anaknya Pak Dubes.” “Oooo, Shadiqah?” “Yup. Cantik kan?” “Mungkin. Gak terlalu memperhatikan.”“Ya Allah, Alfaruk! Lah emangnya waktu itu matamu kemana?” “Sibuk benerin mesin mobil itu cewek,” jawab Alfa tanpa dosa.Ikhlas hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap sahabatnya yang selalu saja cool, cuek dan kurang respek sama cewek. Kurang respek dalam artian, Alfa adalah pribadi yang jika menatap seorang wanita walau secantik apa pun dengan mimik muka datar, masa bodoh dan ketika ditanya jawaban Alfa cuma ‘cantiknya biasa aja, cewek ya cantik, namanya cewek ya cantik, bidadari di surga lebih cantik-cantik’. Beruntung ikhlas bukan karakter ringan tangan sehingga saat gereget mendengar respon sang sahabat dia tidak sampai menggeplak kepala sahabatnya itu.“Au ah, ngomong wanita sama kamu mah gelap. Mending makan.” Ikhlas memilih makan, pun Alfa. Keduanya tidak langsung pulang setelah selesai makan. Namun memilih duduk-duduk dulu dan bercerita. Namun aksi keduanya terhenti saat ada sebuah suara yang memanggil nama Alfa. Baik Alfa dan Ikhlas menolehkan kepala. Tampaklah seorang wanita tinggi semampai dengan kaos hitam panjang, celana jeans biru dan rambut hitam tergerai panjang.“Hai Mas Alfa, ingat aku kan? Aku Shadiqah. Shadiqah Amara Munajat.” Wanita bernama Shadiqah tersenyum. Dia terlihat cantik sekali membuat jantung Alfa tiba-tiba berdenyut kencang. Senyum itu rupanya telah membangkitkan hasrat primitif di dalam diri Alfa, dan sepertinya inilah yang disebut cinta pertama."Tuan, apa Anda ingin saya melakukannya segera?""Iya semakin cepat semakin baik. Setelah ini, aku akan langsung membawa cucuku pergi. Hingga tak ada seorang pun yang bisa mengambilnya," ucap lelaki tua bernama Bawazier. "Baik, Tuan. Saya akan segera mempersiapkan diri bersama yang lain.""Aku benar-benar berharap padamu, Danu. Jangan sampai membuat kesalahan, apalagi ada jejak yang akan menuju padaku, mengerti!""Tuan jangan khawatir. Tuan bisa percaya pada saya."Bawazier tersenyum puas. Danu, lelaki berusia tiga puluhan pun pergi dari ruang kerja milik Bawazier. Belum ada satu menit, pintu ruang kerja kembali terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik. Sosok itu langsung duduk di depan suaminya."Kak Bawazier, benarkah Kakak akan mengambil anak itu?""Tentu saja. Memangnya kamu punya cucu lain lagi? Atau kamu ingin aku menikah lagi agar aku bisa memiliki keturunan lain dan tidak perlu berurusan dengan keturunan dari wanita panti itu!" ucap Bawazier, se
Alwi sedang tiduran di kasurnya. Setelah memastikan asetnya tidak apa-apa, dia memutuskan untuk istirahat. "Sial! Kenapa sih, aku seringnya sial kalau ketemu itu cewek. Awas saja, akan kubalas dia. Pasti akan kubalas."Tiba-tiba ponsel Alwi berdering, Alwi ingin tak mengangkatnya tapi akhirnya dia angkat juga. Setelah menjawab salam, dia langsung saja to the point pada si penelepon."Ada apa, Mbak?""Cuma mau ngasih tahu, beberapa kontrakmu dibatalkan termasuk yang kamu mau jadi pemeran utama film yang syuting di Beijing.""Bukannya emang produksinya juga bermasalah kan?""Emang. Makanya kamu harus bersyukur gak perlu bayar pinalti termasuk pelanggaran beberapa kontrak iklan.""Oh.""Hanya 'oh' saja tanggapanmu? Padahal kamu hampir aja mematikan mata pencaharianku."Alwi hanya diam saja tak berkomentar. Mita yang sudah menyerah pada Alwi akhirnya memberikan ultimatumnya"Terserah kamu. Masa kerja kita hanya tinggal enam bulan lagi sesuai kontrak. Aku udah gak akan nyariin kontrak apa
[Kapan kamu balik? Cepatlah balik. Banyak kerjaan yang sudah menunggu. Profesional dong, Wi! Kamu jangan gegayaan sok terkenal. Kamu tuh belum jadi apa-apa. Jangan belagu!][Awalnya aku seneng kerjasama sama kamu. Tapi kalau endingnya gini, mending aku gak nerbitin kamu loh, Wi][Bukan cuma kamu yang butuh duit. Aku juga. Aku harus kasih makan anakku. Please lah. Udah banyak yang aku lakuin buat ngurusin ego kamu. Oke sekali dua kali, itu gak masalah. Berulang kali ... sama aja bunuh diri][Kalau kamu masih anggep aku manajermu, jawab aku. Kalau gak bisa, anggap aku sahabat kamu. Kalau gak juga, anggap ini permintaan seorang janda yang lagi nyari duit buat makan!]Pesan dari sang manajer sedikit membuat Alwi merasa tak enak. Jujur saja, Alwi harus berterima kasih pada sang manajer. Karena wanita itu, Alwi menemukan passion dia. Alwi juga bisa membantu perekonomian sang manajer. Alwi pun bisa mendapat banyak uang. Uang yang ingin Alwi gunakan untuk masa depan bersama Galuh.Tapi ... se
Salah satu hal yang Alfa sukai jika Zahra sedang menginap adalah Fairuz akan lebih banyak waktu main sama Zahra jadi dia bisa lebih banyak main sama Galuh. Terutama bermain saat malam hari. Tanpa takut ketahuan dan bisa nambah berulang.Namun kali ini ada yang berbeda dengan sang istri. Biasanya jika selesai bercinta, Galuh hanya akan membersihkan diri lalu tidur. Tapi kali ini ada yang aneh, setelah membersihkan diri, yang dilakukan Galuh adalah ngemil. Ya, ngemil jajanan yang tadi sore dibeli di minimarket."Kamu laper banget apa?""Iya Mas. Rasanya pengen makan terus," jawab Galuh sambil sesekali mengunyah kuaci."Mau tak bikinin makanan? Mie instan, mie goreng atau nasi goreng? Sesuatu yang bikin kamu kenyang. Dari pada ngemil gitu, nanti gak kenyang.""Moh. Maunya ini aja.""Oh begitu. Ya udah, mas tak bikin mie goreng dulu deh.""Oke."Alfa pun keluar kamar dan segera menuju ke dapur. Galuh sendiri tetap bertahan di kamar. Dia ingin rambutnya kering dulu sebelum keluar kamar. Be
"Loh, Tifah. Sejak kapan di sini?" tanya Bu Nyai Khomsah. "Mas Baihaki mana, Mbak?" bukannya menjawab pertanyaan, Bu Nyai Latifah malah bertanya tentang keberadaan sang kakak. "Masih ngobrol sama Pak Subandi tadi.""Alfa mana?""Mampir ke minimarket, si Fay minta jajan. Masih pada di sana mungkin.""Haish."Bu Nyai Latifah kesal. Dia memilih kembali duduk di sofa ruang tamu dan menunggu sang kakak. Setengah jam kemudian, sang kakak akhirnya pulang. "Mas! Njenengan kemana saja sih? Lama bener ngobrolnya. Gak tahu apa aku sudah nunggu dari tadi.""Ya maaf. Habis tadi ngobrol urusan ngaspal jalan desa, makanya lama bahasnya," jawab Kyai Baihaki lembut. Kyai Baihaki kemudian duduk di sebelah sang adik. "Ada apa?""Alwi.""Alwi?"Bu Nyai Latifah lalu mengeluarkan semua unek-uneknya. Kyai Baihaki menyimak saja tanpa menyela. Begitu sang adik sudah mengutarakan semua yang dia ingin ucapkan, respon Kyai Baihaki hanya berupa helaan napas saja. "Lah kok gak ngomong sih Mas? Komen apa git
"Kamu dari mana?" cecar Bu Nyai Latifah ketika sang putra baru saja masuk. Tapi Alwi tak langsung menjawab. Dia malah memilih menuju ke ruang tengah, duduk di sofa dan langsung berjibaku dengan ponsel. Bu Nyai Latifah tentu saja marah. Sang putra bukannya menjawab malah mengabaikannya. "Dari rumah Alfa, kan? Kamu mencoba menemui anak haram jadah itu lagi?" Suara Bu Nyai Latifah meninggi."Umi! Jangan sebut dia anak haram. Dia punya ayah dan ibu. Dan kalau Umi lupa, ayahnya Galuh termasuk keturunan Arab yang punya status tinggi. Mungkin lebih tinggi dari status Umi atau Abah.""Tapi ibunya wanita kotor. Jelek. Sama kayak Galuh.""Umiiii! Ibunya wanita baik-baik. Malah lebih baik dari Umi. Buktinya dia wanita baik, abanya Galuh tetep setia nungguin. Bahkan nerima lagi meski muka istrinya udah kayak gitu. Gak kayak Abah.""Maksud kamu apa? Abahku itu laki-laki baik?""Umi yakin?" "Tentulah."Alwi tertawa. "Terus wanita bernama Indira, itu siapa ya?"Mimik wajah Bu Nyai Latifah langsun