Share

3. Cinta Pertama

Galuh memberikan senyum manisnya pada Jauza. Jauza pun membalas hal yang serupa. Meski keduanya saling mengenal tapi tidak terlalu akrab. Tentu saja karena ada batas bernama kedudukan. Jauza meski bukan Ning tapi masih kerabat dekat keluarga Kyai Baihaki. Sementara Galuh? Sudah jelas dia siapa.

"Mbak Galuh apa kabar?" tanya Jauza mencoba beramah-tamah.

"Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Jauza bagaimana kabarnya?"

 

"Saya juga baik."

Hening. Keduanya sama-sama diam lagi.

"Budhe dimana ya, Mbak?"

"Umi sedang menyimak hapalan, Mbak."

"Oh, iya juga ya."

Lagi-lagi keduanya terdiam. Galuh segan untuk memulai obrolan sementara Jauza bingung mau membawa Galuh pada tema obrolan apa.

"Loh Jau, masih di sini? Belum ketemu sama Mbak Khomsah?"

Sebuah suara memecah keheningan. Tampaklah Bu Nyai Latifah yang datang, baik Galuh dan Jauza langsung menyalami Bu Nyai Latifah.

“Belum Budhe.”

“Lah kasihan tahu gini nunggu di tempat Budhe aja, ngobrol sama budhe. Alwi juga di rumah.”

“Jauza ditemeni Mbak Galuh kok Budhe?”

Bu Nyai Latifah menoleh ke arah Galuh.

"Kamu yang nemeni Jauza, Luh?"

"Nggih Bu Nyai, Umi masih nyimak hapalan."

"Oh ya ya ya."

Bu Nyai Latifah kembali mengajak Jauza mengobrol. Diantara tema obrolan, Bu Nyai Latifah beberapa kali memuji Jauza yang berhasil lulus cumlaude untuk program PAI-nya. Bu Nyai Latifah juga menyinggung-nyinggung jika Jauza menjuarai Qiro'ah tingkat Kebumen dan Provinsi Jawa Tengah. Dan masih banyak lagi pujian yang dilontarkan Bu Nyai Latifah.

Galuh tetap menunduk sambil menahan senyumnya agar tak terkembang. Dan terutama agar mulutnya tidak sampai keceplosan. Soalnya Galuh tak tahan buat ghibah si mulut nyinyir.

“Ini loh Luh, ponakanku hebat banget. Selalu dapat beasiswa, calon berbobot yo? Tinggal dipinang aja.”

“Nggih Bu Nyai.”

 

“Wah, pasti banyak bu nyai yang kesengsem sama kamu, Jau. Dan para gus juga. Mosok nolak wanita secantik kamu.” Wajah Bu Nyai Latifah begitu semringah membuat Jauza menunduk malu. Dalam hati dia mengaminkan ucapan budhenya.

‘Moga-moga, Mas Alwi juga suka sama Jau, Budhe,' batinnya bermonolog.

Tak jauh berbeda dengan Jauza, Galuh juga sedang bermonolog dalam hati.

‘Kan kan kan, muji-muji secara gak kentara. Pasti deh mau nyerang mentalku yang hanya bisa sekolah di UT, dan lulusnya gak pake wisuda-wisudaan, cuma foto doang pakai kamera ponsel sama Umi dan Abah. Pasti kan mau bangga-banggain kalau calon menantu idaman, lulusan kampus bergengsi, banyak prestasi. Terserahlah Bu Nyai, Allah mah gak tidur. Asal besok-besok jangan Bu Nyai sendiri yang hancur lebur. Aku mah apa atuh, cuma anak angkat yang dianggap gak sederajat sama Anda. Tapi sorry, ya Bu Nyai, saya gak akan hancur gara-gara provokasinya situ. Hidupku terlalu berharga buat mengurusi kenyinyiran Anda. Lagian meski anak Anda ganteng, tapi Omar Daniel lebih ganteng dan terkenal. Kaya lagi. Jadi gak usah sok sesumbar anaknya Bu Nyai paling top markotop sementara bensin saja masih minta sama njenengan dan Anda selalu minta jatah bulanan sama Abah Baihaki, dih!’

Galuh terus mengghibah dalam hati. Sebenarnya dia malas berada dalam satu ruangan bersama Bu Nyai Latifah, tapi apa daya, para mbak senior tidak ada yang mau menemani termasuk sahabatnya Ratna yang justru langsung kabur setelah membuatkan minuman untuk Jauza.

Sebelum kabur dia berbisik, “Ada Mbak Jauza, bentar lagi ada Madam Ghandari, bye bye.”

Secepat kelajuan kereta MRT, Ratna dan dua mbak khadamah senior langsung ngacir meninggalkan secangkir teh manis beserta dua toples cemilan dia atas baki. Galuh hanya bisa pasrah dan mau tak mau harus menghidangkan minuman dan menemani Jauza. Dan benar saja, tidak sampai lima belas menit, sosok Madam Ghandari adiknya Sengkuni sudah hadir dan kini masih asik bercerita dengan sang keponakan.

 

Kedatangan Bu Nyai Khomsah, membuat suara Bu Nyai Latifah berhenti. Dia tersenyum pada kakak iparnya. Galuh sendiri merasa lega. Dia selamat. Galuh segera menyalami Bu Nyai Khomsah dan pamit akan kembali ke pondok karena tinggal jadwalnya mengisi kajian. Dengan cara ngesot yaitu bertumpu pada kedua lutut, Galuh meninggalkan ruang tengah melalui pintu samping rumah.

 

Sampai di luar, dan sudah cukup jauh dari kawasan ndalem, Galuh terlihat menghembuskan napas lega. Dan setelahnya dia mendengar suara tawa membahana dari radius lima meter dari posisi dia berdiri. Galuh menoleh dan dia mencebik. 

“Seneng banget bikin aku sengsara di sana ya? Benar-benar gak setia kawan.”

 

“Hahaha, dan harus mati kutu di hadapan Madam Gandhari? Makasih,” celetuk Ratna.

“Udah yuk pulang, lagian kita masih setia kawan loh, nungguin kamu di sini.”

Mau tak mau Galuh tersenyum, dia mengucapkan terima kasih dengan tulus. Empat orang pun segera berlalu menuju ke pondok. Sesekali mereka bercerita dan kadang ada tawa.

“Aku penasaran siapa orang yang pertama kali menjuluki Bu Nyai Latifah dengan julukan itu,” ucap Galuh.

“Madam Gandhari?” ceplos Rumaisha, salah satu sahabat Galuh juga.

“Iya.”

 

“Karena dia mirip Sengkuni mungkin. Dan adiknya kan perempuan bernama Gandhari. Hahaha.”

Galuh hanya terkekeh, sementara ketiga sahabatnya kembali mengghibah Madam Gandhari.

 

***

 

Di tempat lain, tepatnya di sebuah sudut kota Kairo, seorang lelaki tampak baru saja keluar dari ruang dosen. Dia bernama Muhammad Alfarraz Baihaki, putra pertama dari Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah.

“Alfa, selamat, ane ikut senang, gimana? Lanjut?” Salah satu teman Alfa bernama Ikhlas bertanya.

“Alhamdulillah, doakan satu minggu lagi sidang.”

 

“Masya Allah, keren. Semoga dipermudah ya akhi.”

“Doa yang sama untukmu saudaraku.”

 

Keduanya berangkulan lalu Alfa mengajak sahabatnya untuk makan. Di sana mereka juga berjumpa dengan banyak mahasiswa asal Indonesia yang rata-rata mereka kenal juga karena memang ada persatuan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Kairo. Dan mereka sering menyelenggarakan pertemuan-pertemuan demi memupuk kekeluargaan dan solidaritas.

 

“Fa, habis ujian selesai, terus wisuda, Ente pulang?”

 

“Iya, ane udah janji sama Abah, selesai S3 ane pulang, terus membantu Abah sama Umi.”

“Nah, bagusnya Ente bawain sekalian lah calon bini.”

Alfa tertawa. Dia tak menjawab karena masalah mencari pasangan belum dia pikirkan, fokusnya adalah studi, karir dan membantu orang tuanya. Lagian, Alfa belum menemukan sosok wanita yang sreg sesuai dengan kriteria istri idamannya.

“Jangan pilih-pilih lah, ntar ketemunya malah yang di luar prediksi kamu.”

Alfa hanya mengulas senyum tipis saja. Dia belum menjawab karena kedatangan pramusaji yang membawakan makanan pesanan Alfa dan Ikhlas.

 

“Cewek yang kemarin kamu tolong, cantik. Sayang gak berjilbab.”

“Yang mana?”

 

“Ck, dasar Alfaruk! Matamu sekali-kali natap lawan jenis kenapa?” cibir Ikhlas.

 

“Itu, siapa ya? Anaknya Pak Dubes.”

 

“Oooo, Shadiqah?”

 

“Yup. Cantik kan?”

 

“Mungkin. Gak terlalu memperhatikan.”

“Ya Allah, Alfaruk! Lah emangnya waktu itu matamu kemana?”

 

“Sibuk benerin mesin mobil itu cewek,” jawab Alfa tanpa dosa.

Ikhlas hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap sahabatnya yang selalu saja cool, cuek dan kurang respek sama cewek. Kurang respek dalam artian, Alfa adalah pribadi yang jika menatap seorang wanita walau secantik apa pun dengan mimik muka datar, masa bodoh dan ketika ditanya jawaban Alfa cuma ‘cantiknya biasa aja, cewek ya cantik, namanya cewek ya cantik, bidadari di surga lebih cantik-cantik’. Beruntung ikhlas bukan karakter ringan tangan sehingga saat gereget mendengar respon sang sahabat dia tidak sampai menggeplak kepala sahabatnya itu.

“Au ah, ngomong wanita sama kamu mah gelap. Mending makan.”

 

Ikhlas memilih makan, pun Alfa. Keduanya tidak langsung pulang setelah selesai makan. Namun memilih duduk-duduk dulu dan bercerita. Namun aksi keduanya terhenti saat ada sebuah suara yang memanggil nama Alfa. Baik Alfa dan Ikhlas menolehkan kepala. Tampaklah seorang wanita tinggi semampai dengan kaos hitam panjang, celana jeans biru dan rambut hitam tergerai panjang.

“Hai Mas Alfa, ingat aku kan? Aku Shadiqah. Shadiqah Amara Munajat.” Wanita bernama Shadiqah tersenyum. Dia terlihat cantik sekali membuat jantung Alfa tiba-tiba berdenyut kencang. Senyum itu rupanya telah membangkitkan hasrat primitif di dalam diri Alfa, dan sepertinya inilah yang disebut cinta pertama.

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status