Share

Bab 3

Penulis: Dynasty
Tes… tes…

Saat kesadaran Maria perlahan kembali, yang pertama ia dengar adalah suara infus menetes. Bau menyengat dari cairan disinfektan menusuk hidungnya. Ia berkedip berkali-kali sebelum akhirnya bisa melihat sosok bayangan seseorang di samping ranjang, penglihatannya sedikit terhalang cahaya putih yang menyilaukan.

“Nona Maria, akhirnya Anda sadar!”

Suara Bibi Wanda terdengar bergetar. Maria yang mendengarnya mencoba sedikit memiringkan kepala, namun perban di tengkuknya tertarik dan membuatnya meringis kesakitan.

“Bibi… Anda yang membawa saya ke rumah sakit?”

“Iya!” Bibi Wanda mengusap air matanya. “Sore itu saya datang untuk bekerja, dan begitu buka pintu, saya melihat Anda tergeletak penuh darah. Saya hampir pingsan ketakutan.”

“Dokter bilang, kalau telat setengah jam saja, nyawa Anda mungkin tak tertolong!”

Ujung jari Maria menggenggam erat, mencengkeram telapak tangannya sendiri. Jadi selama beberapa jam sejak ia jatuh dari tangga itu, Arhan sama sekali tidak berpikir bahwa ada dirinya yang berlumuran darah, tergeletak sekarat di lantai menunggu bantuan.

Maria memejamkan mata. Dadanya serasa tercebur ke dalam kolam es, dingin sampai mati rasa. Maria kemudian mentransfer uang kepada Bibi Wanda dan meminta Bibi Wanda mengurusnya selama dua hari. Ia sama sekali tidak berharap Arhan akan datang menemuinya.

Namun malam harinya, Arhan yang seharian tidak terlihat, tiba-tiba menerobos masuk ke ruang rawat dengan aura dingin di tubuhnya.

Ia hanya melihat sekilas ke arah perban di kening Maria, lalu berkata dengan nada dingin, “Kalau kamu sudah tidak apa-apa, pergi minta maaf pada Nana!”

“Kenapa harus aku?”

Tangan Maria yang sedang memegang apel sontak terhenti. Ia menatap Arhan, tak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Kamu menamparnya, dan itu membuat kondisi penyakit Nana yang tadinya stabil jadi memburuk. Bukankah kamu seharusnya meminta maaf?”

Maria merasa ini semua sangat menggelikan.

“Arhan, dia melempar hadiah pernikahan dari mamaku, bahkan mendorongku dari tangga sampai banyak tulangku yang retak, sementara aku hanya menamparnya sekali. Sebenarnya siapa yang harusnya minta maaf?”

“Aku yang berikan kalung itu padanya. Kalau kamu mau menyalahkan seseorang, salahkan aku. Kalau kamu tidak menamparnya lebih dulu, dia tidak akan mendorongmu. Semua ini salahmu sendiri.”

Wajah Arhan penuh dengan kekesalan, raut muka dinginnya tidak bisa disembunyikan, seolah kesabarannya memang sudah habis. Arhan bergerak, langsung mencengkeram pergelangan tangan Maria dan menyeretnya keluar, sama sekali tidak peduli kalau Maria masih terhubung dengan infus. Jarum infus tercabut paksa karena gerakan tiba-tiba itu. Tetesan darah mengucur di punggung tangan Maria. Langkahnya terseok-seok saat Arhan menariknya menuju ruang rawat Nana.

Nana duduk di atas ranjang rumah sakit, wajahnya segar dan merona, tidak terlihat seperti orang sakit sama sekali. Sebaliknya, Maria tampak pucat pasi dan kepala masih dibalut perban, benar-benar seperti pasien luka berat.

Arhan menekan bahu Maria, memaksanya membungkuk ke arah Nana.

“Minta maaf!”

Tubuh Maria yang sudah lemah hanya bisa meronta sedikit, tapi ia sama sekali tak mampu membebaskan diri dari cengkeraman Arhan. Ujung hidungnya terasa panas, air matanya hampir menetes, namun ia menahannya dengan paksa. Ia tahu betul, kalau dia tidak meminta maaf, Arhan tidak akan melepaskannya.

“Maaf.” Suara Maria serak dan tertahan. “Aku tidak seharusnya menamparmu.”

Nana menatapnya lama, baru kemudian tersenyum puas. “Ya sudah, aku orangnya memang besar hati. Aku memaafkanmu.”

Mendengar itu, suara Arhan langsung melunak, bahkan terdengar sedikit pasrah.

“Sekarang sudah senang? Kamu mau menuruti kata dokter, kan?”

Sambil berkata begitu, Arhan melepas tangan yang menekan bahu Maria. Lalu ia dengan hati-hati merapikan selimut Nana, nada suaranya penuh kelembutan. “Istirahatlah dengan baik.”

Setelah berkata seperti itu, Arhan kembali menarik Maria keluar dari kamar. Badan Maria yang memang belum pulih, karena tarikan kasar tadi, membuat kepalanya langsung berkunang-kunang, bahkan berdiri pun hampir tak sanggup.

Arhan menoleh ke arah Maria, melihatnya terhuyung-huyung dan hampir jatuh. Tatapan Arhan terhenti sejenak. “Kamu…”

Mendengar suara Arhan, entah dari mana Maria mendapat tenaga, ia langsung menepis tangan Arhan dengan keras. Melihat tubuh Maria yang sempat oleng dua kali, Arhan refleks hendak meraihnya, tapi Maria cepat-cepat menghindar.

Arhan memijat tengkuknya, suara lelah dan sedikit tidak sabar keluar dari mulutnya, “Kamu itu lebih tua, kenapa harus bertengkar seperti anak kecil dengannya?”

Dada Maria serasa ditusuk. Tahun ini Nana sudah 22 tahun, usia Maria tak jauh berbeda dengan Nana, dari mana datangnya status “orang yang lebih tua” itu?

Maria menegakkan kepala, tatapannya dingin menusuk.

“Arhan, kita sudah bercerai, mari selesaikan semuanya dengan baik.”

Tatapan Maria itu membuat dada Arhan serasa diremas. Tapi ia mengira Maria hanya sedang merajuk. “Maria, kamu tahu kita nantinya pasti akan rujuk, kan? Jangan merajuk lagi.”

“Aku antar kamu pulang.”

“Nggak perlu.” Maria mundur, menghindari tangan Arhan yang ingin meraihnya.

Penolakan berturut-turut itu membuat Arhan mulai gusar. Ia menahan emosinya, hendak berbicara lagi ketika suara Nana terdengar dari dalam kamar.

“Paman!”

Maria tak menoleh lagi, ia langsung melenggang pergi, memperlihatkan punggung yang tampak rapuh dan hampir roboh.

Arhan hanya memandangi punggung itu, sempat ragu sejenak. Namun akhirnya, ia tetap membuka pintu kamar Nana dan melangkah masuk.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 24

    Mendengar kata “suami” keluar dari mulut Maria, senyum di sudut bibir Yesa hampir tak bisa ia tahan lagi. Sebaliknya, wajah Arhan semakin lama semakin pucat, seolah kehilangan warnanya sedikit demi sedikit.“Maria,” panggil Arhan dengan menunjukkan senyum pahit. “Jangan panggil dia begitu, kumohon…” rintihnya, seolah-olah ia mendengar suara hatinya sendiri pecah berderai, retak menjadi kepingan kecil yang jatuh ke tanah, dan tak mungkin disatukan lagi.“Kalau aku tidak memanggilnya ‘suami’, lalu harus memanggilnya apa?”Maria sudah berniat membuatnya terluka sampai batas. Ia mengangkat tangan dan memperlihatkan cincin pernikahan mereka berdua. “Lihat baik-baik. Aku sudah menikah.”“Arhan, bisakah kamu sedikit saja punya rasa malu?”Arhan dengan terseok mundur dua langkah. Selama ini ia selalu meyakinkan dirinya bahwa pernikahan Maria hanyalah sementara. Selama ia berusaha, selama Maria bisa melihat ketulusannya, ia pasti bisa merebut kembali hati perempuan itu. Namun sekarang, setiap k

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 23

    Begitu Yesa mengangkat papan nomornya, tak lama kemudian ada orang lain yang ikut mengangkat papan. Bukan hanya ia sendiri yang ikut menawar, Yesa bahkan sudah mengatur orang lain untuk saling balas-membalas harga dengannya.Melihat perkembangan yang sama sekali di luar perkiraannya, Arhan tertegun di tempat. Ia menggenggam kuat jeruji kandang, mendengarkan harga yang terus naik sampai akhirnya berada di angka yang benar-benar tak masuk akal. Orang yang ia tugaskan untuk menawar hingga batas tertentu tampak gelisah, terus menerus mengarahkan pandangan resah ke arahnya.Urat di tangan Arhan menegang. Ia menatap Maria yang duduk di sisi Yesa, di mata wanita itu hanya terpancar ekspresi dingin. Dan ketika tatapan mereka bertemu, Maria justru menampilkan sebuah senyum tipis yang bercampur penghinaan. Tanpa suara, ia mengucapkan dua kata.Arhan tentu bisa membaca gerakan bibir Maria dengan jelas. “Kamu cari masalah sendiri.”Kalau sampai titik ini Arhan masih tidak mengerti bahwa ini adalah

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 22

    Saat Yesa membawa Maria masuk ke ruangan, acara lelang baru saja dimulai. Banyak barang-barang bagus yang dilelang kali ini. Setiap kali Maria bertanya sedikit atau sekadar melirik lebih lama pada suatu barang, Yesa langsung menawarnya tanpa berkedip dan memenangkan barang itu untuknya.Maria menasihatinya agar tidak boros, tapi Yesa malah mengedipkan mata dan berkata, “Untuk istri sendiri, mana mungkin itu disebut boros.”Acara lelang hampir selesai, lalu sebuah kandang yang ditutup kain merah dibawa masuk. Saat Maria menatap kandang itu, entah kenapa perasaan tidak enak merayap di hatinya.Di sekitar mereka, bisik-bisik mulai terdengar.“Apa yang ada di dalam kandang itu? Kok dibuat misterius begitu?”“Mungkin hewan buas. Selalu saja ada orang yang suka hal-hal aneh begitu.”Kandang itu diletakkan di atas panggung, tidak menimbulkan suara apa pun. Setelah rasa penasaran penonton terbangun dan suasananya memuncak, seorang staf naik ke panggung dan tersenyum sambil membuka kain merah y

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 21

    Yesa diam sejenak sebelum bertanya, “Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?”“Aku hanya…” Maria menarik napas dalam-dalam. “Merasa semua ini tidak nyata.”Maria punya masa lalu yang begitu buruk. Kalau dulu Nyonya Satria memilihnya karena nama Maria dipercaya membawa keberuntungan bagi Yesa, lalu setelah itu bagaimana? Yesa jelas-jelas sudah sadar, Yesa sepenuhnya bisa membatalkan pernikahan ini. Tapi mengapa ia malah bersedia menikahi Maria? Mengapa menikahi seseorang yang tidak punya kelebihan apa pun seperti dirinya?Kalau urusan hati, Maria yang sudah terluka terlalu dalam, meski terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terjebak, hatinya tetap tidak bisa menolak kelembutan Yesa. Maria sendiri sulit menjelaskan perasaannya. Hanya saja, sebelum hatinya jatuh sepenuhnya, Maria ingin mendengar jawaban Yesa, setidaknya sekali saja.Ekspresi Maria tidak luput dari mata Yesa. Ia terdiam beberapa detik, kemudian perlahan berkata, “Mungkin kamu sudah lupa. Maria, sebenarnya kita sudah pe

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 20

    Suara Arhan semakin lama semakin menjaih, sampai akhirnya benar-benar menghilang tanpa jejak. Para tamu di aula akhirnya kembali mengalihkan perhatian pada acara. Meski baru saja menonton drama besar di depan mata, tak ada satu pun yang berani membicarakannya.Kejadian barusan membuat suasana hati Maria benar-benar buruk. Menyadari suasana hati istrinya merosot, Yesa menggenggam ringan tangan Maria, memberinya sedikit ketenangan.Pastor kembali mengulangi pertanyaan tadi, dan kali ini Maria dengan sungguh-sungguh menjawabnya, “Aku bersedia.”Setelah itu, acara pun berjalan lancar. Usai seluruh rangkaian upacara selesai, Maria dibawa masuk ke kamar pengantin. Kamar pengantin yang luas itu hanya menyisakan dirinya seorang. Semua yang terjadi siang tadi jelas mempengaruhi suasana hatinya, dadanya terasa sesak, gelisah, bahkan terselip sedikit rasa tidak tenang.Arhan tiba-tiba menerobos masuk ke pernikahan dan mengungkap masa lalunya, entah bagaimana Keluarga Satria akan memandangnya sete

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 19

    Suasana di antara para tamu sempat hening beberapa detik, lalu seketika bergemuruh seperti air mendidih.“Siapa laki-laki itu?”“Tadi dia bilang apa? Jangan menikah? Ya ampun, dia mau merebut pengantinnya?”“Merebut pengantin dari Keluarga Satria? Dia sudah bosan hidup, ya?”Kepala Maria seakan tidak berfungsi, ia menggigit bibirnya begitu keras sampai rasa amis darah memenuhi mulutnya. Ia sama sekali tak menyangka Arhan akan muncul di sini.Yesa menyadari perubahan Maria itu. Ia mengangkat tangannya, dengan lembut dan hati-hati menyeka sisa darah di bibir Maria. Suaranya masuk di pendengaran Maria dengan ringan, hangat dan stabil.“Maria, jangan gigit bibirmu. Sakit nanti.”Suara lembut itu seperti angin musim semi yang langsung menenangkan kekacauan di hati Maria.Melihat Yesa bersikap begitu akrab dan menjaga Maria, mata Arhan semakin merah. Ia melangkah maju ke arah altar, tetapi belum sempat mendekat, dua pengawal yang sudah disiapkan Yesa sebelumnya langsung menahan tubuhnya.“Ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status