Share

Bab 2

Penulis: Dynasty
Maria selesai mengurus proses percepatan dokumennya di kantor imigrasi, petugas di sana menjanjikan semuanya akan selesai dalam satu bulan. Setelah itu, ia pun buru-buru memesan tiket pesawat untuk keberangkatannya satu bulan lagi.

Dalam perjalanan pulang, ia mulai merencanakan untuk memindahkan semua barangnya.

Toh ia dan Arhan sudah bercerai, tak ada alasan lagi untuk tinggal serumah dengan Arhan. Setelah menikah dulu, Maria pindah ke rumah Arhan dan membiarkan apartemennya sendiri kosong. Sekarang, cukup dibersihkan sedikit, apartemennya sudah bisa ia tinggali lagi. Barang-barangnya di rumah Keluarga Prayoga sebenarnya sangat sedikit. Saat pertama kali pindah, setiap kali ia menaruh barang pribadi di tempat yang terlihat, Nana akan marah-marah dan membuangnya. Lama-kelamaan, Maria bahkan tak berani membawa satu jepit rambut pun ke dalam rumah.

Begitu selesai berkemas, barang-barangnya hanya memenuhi satu koper saja. Ketika membuka laci dan mengambil kotak perhiasannya, Maria langsung merasa ada yang janggal, kotak itu terasa lebih ringan. Maria membuka kotaknya, kalung zamrud yang seharusnya ada di dalamnya hilang tanpa jejak. Kalung itu adalah warisan dari ibunya yang ia bawa sebagai mas kawin, sesuatu yang sangat berharga untuknya.

Darahnya langsung memuncak, tanpa sadar ia berlari keluar kamar untuk mencari kalung itu, dan tepat di ambang pintu ia berpapasan dengan Nana. Di sana Nana hanya berdiri sambil memasang wajah puas, kalung zamrud itu terlihat tergantung di lehernya, sangat mencolok.

“Kembalikan!” Maria berusaha meraih kalung itu, tapi Nana dengan cepat menghindar.

Kemudian Nana berucap dengan nada mencibir, “Pamanku bilang kalung ini bagus kalau kupakai. Kenapa aku harus mengembalikannya padamu?”

Kata-kata itu layaknya palu besar yang menghantam dada Maria. Ia mengepalkan tangan erat hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.

“Aku dan pamanmu sudah bercerai. Dia tidak punya hak menyentuh barang-barangku. Kembalikan kalung itu!” ucap Maria dengan tekanan di setiap katanya sambil menatap Nana tajam. Nana sempat tercengang, tak menyangka Maria akan setegas ini.

Melihat keteguhan di mata Maria, mendadak Nana meraup kalung di lehernya itu, lalu menghantamkannya ke lantai. “Ini aku kembalikan! Kenapa harus seheboh ini, sih?!”

Detik ketika kalung zamrud itu jatuh ke lantai dan pecah berhamburan, Maria merasa dunia seakan bergerak dalam mode lambat. Hingga serpihan–serpihan kalung itu berhenti tepat di ujung sepatunya, barulah Maria mengangkat kepala, kemudian tanpa ragu mengayunkan tangan ke wajah Nana.

Suara tamparan yang nyaring bergema—PLAK!—membuat Nana menatapnya dengan mata membelalak tak percaya.

“Kamu… kamu berani tampar aku? Bahkan pamanku saja nggak pernah berbuat kasar padaku!”

Tatapan Nana seketika menggelap, seperti kehilangan kendali, ia dengan cepat menerjang Maria dan mendorongnya sekuat tenaga.

Dorongan itu membuat Maria yang berdiri tepat di tepi tangga kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang. Saat itu, ia sempat mencoba meraih Nana, tapi ia hanya berhasil mencengkeram udara.

Punggung bawah Maria menghantam setiap sudut anak tangga dengan suara keras, rasa sakit yang tajam seketika menyeruak, membuat seluruh tubuhnya serasa hancur berkeping-keping. Lebih naasnya lagi, kepalanya membentur keras bagian tepi tangga, dan darah seketika mengalir memenuhi lantai.

Pada saat yang sama, pintu lantai satu terbuka.

Dalam pandangan yang mulai kabur, Maria melihat Arhan berlari masuk. Baru saja ia memanggil, “Maria...” suara itu langsung terputus oleh tangisan manja dari seseorang di atas tangga.

“Paman… sakit sekali…” Nana duduk terkulai di lantai, sudut matanya terlihat basah oleh air mata.

Wajah Arhan langsung berubah. Ia hanya melirik sekilas Maria yang tergeletak dalam genangan darah, lalu tanpa sedikit pun ragu, ia bergegas menaiki tangga untuk mengangkat Nana.

Maria mengulurkan tangannya yang bersimbah darah, naluri bertahan hidup memaksa dia memohon dengan suara nyaris putus, “Tolong… bawa aku… ke rumah… sakit… tolong…”

Namun sosok Arhan sudah lenyap di ambang pintu. Yang tersisa hanya suaranya yang terdengar panik, “Nana jangan takut, aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang…”

Tangan Maria perlahan terkulai, dan sebelum dia kehilangan kesadaran sepenuhnya, yang sempat ia lihat hanyalah bayangan pintu yang ditutup dengan keras—BRAK.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 24

    Mendengar kata “suami” keluar dari mulut Maria, senyum di sudut bibir Yesa hampir tak bisa ia tahan lagi. Sebaliknya, wajah Arhan semakin lama semakin pucat, seolah kehilangan warnanya sedikit demi sedikit.“Maria,” panggil Arhan dengan menunjukkan senyum pahit. “Jangan panggil dia begitu, kumohon…” rintihnya, seolah-olah ia mendengar suara hatinya sendiri pecah berderai, retak menjadi kepingan kecil yang jatuh ke tanah, dan tak mungkin disatukan lagi.“Kalau aku tidak memanggilnya ‘suami’, lalu harus memanggilnya apa?”Maria sudah berniat membuatnya terluka sampai batas. Ia mengangkat tangan dan memperlihatkan cincin pernikahan mereka berdua. “Lihat baik-baik. Aku sudah menikah.”“Arhan, bisakah kamu sedikit saja punya rasa malu?”Arhan dengan terseok mundur dua langkah. Selama ini ia selalu meyakinkan dirinya bahwa pernikahan Maria hanyalah sementara. Selama ia berusaha, selama Maria bisa melihat ketulusannya, ia pasti bisa merebut kembali hati perempuan itu. Namun sekarang, setiap k

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 23

    Begitu Yesa mengangkat papan nomornya, tak lama kemudian ada orang lain yang ikut mengangkat papan. Bukan hanya ia sendiri yang ikut menawar, Yesa bahkan sudah mengatur orang lain untuk saling balas-membalas harga dengannya.Melihat perkembangan yang sama sekali di luar perkiraannya, Arhan tertegun di tempat. Ia menggenggam kuat jeruji kandang, mendengarkan harga yang terus naik sampai akhirnya berada di angka yang benar-benar tak masuk akal. Orang yang ia tugaskan untuk menawar hingga batas tertentu tampak gelisah, terus menerus mengarahkan pandangan resah ke arahnya.Urat di tangan Arhan menegang. Ia menatap Maria yang duduk di sisi Yesa, di mata wanita itu hanya terpancar ekspresi dingin. Dan ketika tatapan mereka bertemu, Maria justru menampilkan sebuah senyum tipis yang bercampur penghinaan. Tanpa suara, ia mengucapkan dua kata.Arhan tentu bisa membaca gerakan bibir Maria dengan jelas. “Kamu cari masalah sendiri.”Kalau sampai titik ini Arhan masih tidak mengerti bahwa ini adalah

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 22

    Saat Yesa membawa Maria masuk ke ruangan, acara lelang baru saja dimulai. Banyak barang-barang bagus yang dilelang kali ini. Setiap kali Maria bertanya sedikit atau sekadar melirik lebih lama pada suatu barang, Yesa langsung menawarnya tanpa berkedip dan memenangkan barang itu untuknya.Maria menasihatinya agar tidak boros, tapi Yesa malah mengedipkan mata dan berkata, “Untuk istri sendiri, mana mungkin itu disebut boros.”Acara lelang hampir selesai, lalu sebuah kandang yang ditutup kain merah dibawa masuk. Saat Maria menatap kandang itu, entah kenapa perasaan tidak enak merayap di hatinya.Di sekitar mereka, bisik-bisik mulai terdengar.“Apa yang ada di dalam kandang itu? Kok dibuat misterius begitu?”“Mungkin hewan buas. Selalu saja ada orang yang suka hal-hal aneh begitu.”Kandang itu diletakkan di atas panggung, tidak menimbulkan suara apa pun. Setelah rasa penasaran penonton terbangun dan suasananya memuncak, seorang staf naik ke panggung dan tersenyum sambil membuka kain merah y

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 21

    Yesa diam sejenak sebelum bertanya, “Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?”“Aku hanya…” Maria menarik napas dalam-dalam. “Merasa semua ini tidak nyata.”Maria punya masa lalu yang begitu buruk. Kalau dulu Nyonya Satria memilihnya karena nama Maria dipercaya membawa keberuntungan bagi Yesa, lalu setelah itu bagaimana? Yesa jelas-jelas sudah sadar, Yesa sepenuhnya bisa membatalkan pernikahan ini. Tapi mengapa ia malah bersedia menikahi Maria? Mengapa menikahi seseorang yang tidak punya kelebihan apa pun seperti dirinya?Kalau urusan hati, Maria yang sudah terluka terlalu dalam, meski terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terjebak, hatinya tetap tidak bisa menolak kelembutan Yesa. Maria sendiri sulit menjelaskan perasaannya. Hanya saja, sebelum hatinya jatuh sepenuhnya, Maria ingin mendengar jawaban Yesa, setidaknya sekali saja.Ekspresi Maria tidak luput dari mata Yesa. Ia terdiam beberapa detik, kemudian perlahan berkata, “Mungkin kamu sudah lupa. Maria, sebenarnya kita sudah pe

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 20

    Suara Arhan semakin lama semakin menjaih, sampai akhirnya benar-benar menghilang tanpa jejak. Para tamu di aula akhirnya kembali mengalihkan perhatian pada acara. Meski baru saja menonton drama besar di depan mata, tak ada satu pun yang berani membicarakannya.Kejadian barusan membuat suasana hati Maria benar-benar buruk. Menyadari suasana hati istrinya merosot, Yesa menggenggam ringan tangan Maria, memberinya sedikit ketenangan.Pastor kembali mengulangi pertanyaan tadi, dan kali ini Maria dengan sungguh-sungguh menjawabnya, “Aku bersedia.”Setelah itu, acara pun berjalan lancar. Usai seluruh rangkaian upacara selesai, Maria dibawa masuk ke kamar pengantin. Kamar pengantin yang luas itu hanya menyisakan dirinya seorang. Semua yang terjadi siang tadi jelas mempengaruhi suasana hatinya, dadanya terasa sesak, gelisah, bahkan terselip sedikit rasa tidak tenang.Arhan tiba-tiba menerobos masuk ke pernikahan dan mengungkap masa lalunya, entah bagaimana Keluarga Satria akan memandangnya sete

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 19

    Suasana di antara para tamu sempat hening beberapa detik, lalu seketika bergemuruh seperti air mendidih.“Siapa laki-laki itu?”“Tadi dia bilang apa? Jangan menikah? Ya ampun, dia mau merebut pengantinnya?”“Merebut pengantin dari Keluarga Satria? Dia sudah bosan hidup, ya?”Kepala Maria seakan tidak berfungsi, ia menggigit bibirnya begitu keras sampai rasa amis darah memenuhi mulutnya. Ia sama sekali tak menyangka Arhan akan muncul di sini.Yesa menyadari perubahan Maria itu. Ia mengangkat tangannya, dengan lembut dan hati-hati menyeka sisa darah di bibir Maria. Suaranya masuk di pendengaran Maria dengan ringan, hangat dan stabil.“Maria, jangan gigit bibirmu. Sakit nanti.”Suara lembut itu seperti angin musim semi yang langsung menenangkan kekacauan di hati Maria.Melihat Yesa bersikap begitu akrab dan menjaga Maria, mata Arhan semakin merah. Ia melangkah maju ke arah altar, tetapi belum sempat mendekat, dua pengawal yang sudah disiapkan Yesa sebelumnya langsung menahan tubuhnya.“Ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status