Share

Cinta Ipar Belum Kelar
Cinta Ipar Belum Kelar
Author: Lysa_Yovita22

Tak Seindah Harapan

"Jenia!"

Perempuan bertubuh ringkih itu tampak berkeringat. Hari masih pagi, tetapi suara melengking dari dalam kamar, membuatnya harus sigap menghampiri.

"Kenapa bajuku seperti ini?" Thomas sudah berkacak pinggang seraya mengacungkan setelan jas yang tampak rapi di gantungan baju.

"Sebentar, biar aku ganti dengan jas yang lain saja." Jenia memilih untuk mengalah. Hanya karena ada bekas lipatan yang luput dari setrika.

"Cepatlah! Aku tak mau datang terlambat." Thomas mendengkus keras.

Dengan cekatan Jenia mengambil setelan jas pengganti dari lemari pakaian, lalu keluar untuk menyerahkannya. "Yang ini bagaimana?"

Thomas meraih setelan itu tanpa berkata apa-apa. Jenia menghela napas panjang. Dia keluar dari kamar untuk menata makanan di meja.

Jenia menatap gugup pada sosok yang sudah tampak rapi dengan setelan jasnya itu. Thomas menghampirinya untuk sarapan. Ada rasa resah yang menggelepar karena kalimat itu sudah ada di ujung lidah Jenia.

"Bi-bisakah hari ini pulang lebih awal?" Sulit sekali permintaan itu terucap dari bibir tipis Jenia.

Thomas yang baru saja duduk di kursi makan, menoleh sebentar. "Aku tak tahu dan tidak janji. Jangan menungguku!"

Jenia menelan ludah. "Tap-tapi tolong usahakan untuk pulang cepat. Untuk malam ini saja."

Tak peduli kalimat itu terdengar seperti memelas perhatian suaminya sendiri, Jenia tetap saja berusaha.

"Ck! Kau ini keras kepala sekali. Pulang cepat atau tidak, aku belum tahu. Sudahlah, aku kehilangan selera makan. Menyebalkan!" Thomas menyambar tas kerja berisi laptop lalu pergi begitu saja.

Tidak ada kecupan manis seperti layaknya pasangan suami istri normal di luar sana. Semua berjalan kaku dan datar. Seakan-akan hangatnya cinta enggan menyapa pasangan itu.

Jenia menghela napas. Dinding tinggi yang dibangun suaminya, terlalu menguras tenaga untuk dipanjat. Namun, Jenia masih belum ingin menyerah.

Jenia ingin memperbaiki keadaan. Maka dengan cekatan, Jenia menyelesaikan semua pekerjaan rumah, tanpa cela. Semua sudut rumah yang dibeli Thomas sebagai hadiah pernikahan itu, harus tampak rapi dan bersih.

Usai berberes rumah, Jenia ingin duduk untuk meluruskan kaki. Dibawanya nampan berisi kentang tumbuk beserta sosis dan secangkir teh lemon ke arah gazebo belakang.

Bagi Jenia yang terbiasa hidup sendiri, *me time* seperti ini sudah sangat menyenangkan. Dengan tenang, dia melahap perlahan sarapan pagi yang agak kesiangan itu.

Jenia memindai sekeliling. Taman kecil yang menjadi titik pemandangan setiap hari itu menjadi hiburan tersendiri baginya. Tak mengapa jika dia seperti terkurung dalam sangkar. Toh, Jenia tak punya banyak pilihan.

Jenia sudah terbiasa dengan semua rutinitas yang ada sejak menjadi istri Thomas. Senyum getir tercetak di wajah cantik berlesung pipi itu. "Dia mencintai aku, dengan cara yang berbeda."

Kalimat itu selalu diulangi Jenia setiap pagi, di tempat yang sama. Jenia mendoktrin diri dan alam bawah sadarnya, agar tetap tegak berdiri sekeras apa pun badai dalam rumah tangga mereka.

Setiap pagi, Jenia menyempatkan diri untuk mengenang masa-masa awal sampai akhirnya mantap setuju menikah dengan Thomas. Afirmasi positif itu mampu mengusir semua lintasan suara buruk yang menggema di kepala dan hatinya.

Jenia menghela napas panjang. Teh dan sarapannya sudah habis. Dia membawa peralatan makan bekas pakai itu menuju dapur. Dalam sekejap, semuanya sudah kembali bersih dan nyaman dipandang.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Jenia. Tuhan belum menitipkan anak di rahimnya. Sebuah hal yang menjadi bumerang bagi perempuan berbulu mata lentik itu.

Dua tahun usia pernikahan mereka. Masih sangat pagi untuk menyerah. Karena Jenia tahu, Thomas pernah begitu memanjakan dan menyanjungnya penuh cinta.

Jenia menatap penuh harap ke sekeliling kamar. "Aku akan membuat malam ini sebagai titik awal hubungan kami. Aku akan meraih kembali hati Tom yang dulu pernah begitu lembutnya."

Untuk malam ini saja, perempuan berpinggang ramping itu ingin menjadi sosok yang berbeda. Demi menuruti perintah ibu mertua yang terus-menerus menagih hasil dari alat uji kehamilan dengan dua garis merah tercetak jelas.

Jenia membuka kotak beludru yang menampilkan merk pakaian ternama. Sehelai gaun berpotongan rendah yang akan menampilkan lekuk tubuh rampingnya itu membuat Jenia berekspektasi tinggi.

Gaun berwarna merah itu diletakkan di atas ranjang. Jenia memilih untuk berbaring meringkuk di sebelahnya. Jemari lentiknya menyusuri lekukan gaun yang memiliki belahan memanjang hingga ke setengah paha.

"Apa kau akan kembali menatap penuh cinta jika aku mengenakan gaun ini?" Jenia menatap ke arah foto pernikahan yang terpajang di dinding kamar itu.

Jenia menatap sendu sebelum menghela napas panjang. "Sepertinya aku harus menyiapkan semuanya lebih spesial, agar kau mengerti tentang perasaanku."

Jenia memilih untuk menghabiskan waktu di dapur. Masakan spesial untuk malam penting ini harus diselesaikan dengan cepat. Siapa tahu Thomas berubah pikiran lalu pulang lebih awal, begitu pikir Jenia.

Aroma harum menguar tajam. Ada asinan kol, irisan daging kalkun, sosis daging sapi juga kentang tumbuk. Tak lupa keju karena Thomas sangat menyukainya. Untuk pencuci mulut, Jenia membuat pie apel dalam ukuran loyang mini.

Setelah memastikan semua makanan itu mampu menggugah selera Thomas, Jenia mengulum senyum. "Ah, ya, jangan lupakan botol wine yang menjadi penghangat suasana malam ini."

Jenia melirik jam. "Sebentar lagi jam pulang kantor, tapi aku masih punya sedikit waktu untuk mempersiapkan diri."

Jenia memilih untuk berendam sebentar di bak mandi yang sudah berisi busa sabun. Hal yang tidak bisa dilakukannya setiap hari. Mengingat semua pengeluaran harus diminimalisir seriit mungkin.

Tanpa sadar, Jenia malah tertidur di dalam bak mandi berisi air hangat itu. Ketika tersentak, Jenia gelagapan. "Astaga, bisa-bisanya aku ketiduran di sini."

Jenia langsung sibuk membersihkan diri. Tak lupa dipakainya baju tidur tipis di balik gaun yang sudah dipersiapkan itu. Agar tampak maksimal, Jenia membubuhi riasan tipis di wajah. Bibirnya sengaja diberi lipstik yang menampilkan kesan kenyal dan basah.

Jenia mematut diri di depan cermin. Sebagai pelengkap, disemprotnya parfum di titik-titik tertentu. "Malam ini, ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Semoga saja dia tidak lupa."

Jika tahun lalu rencana itu gagal karena Thomas menghadiri pesta pernikahan orang terdekatnya. Maka Jenia berharap malam ini semuanya akan berjalan lancar.

Jenia duduk di depan meja makan yang sudah diberi dua lilin berwarna merah itu. Tak lupa Jenia mengabadikan momen itu di ponsel keluaran lama miliknya. Tanpa berniat mengunggah foto itu ke sosial media mana pun.

Jenia juga mengambil beberapa foto diri. Karena sangat langka dirinya berdandan seperti ini. "Kau cantik sekali, Nyonya Thomas Evra."

Sayang, sampai akhirnya Jenia tertidur dengan posisi kepala bertelungkup di meja, Thomas tak kunjung kembali.

Jenia terbangun ketika jarum jam menunjukkan angka tiga pagi. Tubuhnya terasa pegal. Matanya mengerjap berkali-kali.

"Dia tidak pulang?" Jenia seakan-akan bertanya kepada dua batang lilin merah yang sudah hampir padam.

Sambil berlinang air mata, Jenia memakan semua yang ada di meja. Lalu menutup luka hatinya dengan menenggak wine.

"Ternyata sekeras apa pun berusaha, aku hanyalah sampah di matamu." Sempoyongan Jenia berjalan, menuju kamar untuk merebahkan tubuhnya.

Dia bahkan tidak peduli dengan maskara yang sudah luntur meninggalkan jejak hitam di sepanjang pipi. Jenia tidur dalam posisi telungkup. Membawa lelah dan sedihnya ke alam mimpi.

Sementara di tempat yang menjadi pelarian banyak orang, di mana dentum musik terdengar memekakkan telinga, Thomas terkekeh sendiri sambil menenggak cairan alkohol. "Jangan kau pikir aku lupa, apa tujuanmu memintaku agar cepat pulang malam ini."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status