Jenia Rosendale tidak pernah berani meminta kesempatan kedua untuk dicintai. Karena sepanjang pernikahan, Thomas Evra, suaminya, mendeskripsikan perasaan dengan cara berbeda. Ketidakadilan yang selama ini diterima, disimpan rapat-rapat dalam diam. Lalu kepingan *puzzle* masa lalu tiba-tiba datang berwujud Jamael Morgan. Jenia mencoba menggenggam, lalu belajar untuk melepaskan. Sayangnya, semesta lagi-lagi tak berpihak. Cinta antara Thomas dan Jamael membuatnya berada di puncak rasa lelah. Apakah Jenia akan kalah oleh semesta? Atau malah membiarkan salah satu di antara lelaki itu membalut luka atas lara tak berkesudahan? Siapa yang dipilih Jenia, Thomas atau Jamael yang berstatus sebagai adik iparnya sendiri?
View More"Jenia!"
Perempuan bertubuh ringkih itu tampak berkeringat. Hari masih pagi, tetapi suara melengking dari dalam kamar, membuatnya harus sigap menghampiri."Kenapa bajuku seperti ini?" Thomas sudah berkacak pinggang seraya mengacungkan setelan jas yang tampak rapi di gantungan baju."Sebentar, biar aku ganti dengan jas yang lain saja." Jenia memilih untuk mengalah. Hanya karena ada bekas lipatan yang luput dari setrika."Cepatlah! Aku tak mau datang terlambat." Thomas mendengkus keras.Dengan cekatan Jenia mengambil setelan jas pengganti dari lemari pakaian, lalu keluar untuk menyerahkannya. "Yang ini bagaimana?"Thomas meraih setelan itu tanpa berkata apa-apa. Jenia menghela napas panjang. Dia keluar dari kamar untuk menata makanan di meja.Jenia menatap gugup pada sosok yang sudah tampak rapi dengan setelan jasnya itu. Thomas menghampirinya untuk sarapan. Ada rasa resah yang menggelepar karena kalimat itu sudah ada di ujung lidah Jenia."Bi-bisakah hari ini pulang lebih awal?" Sulit sekali permintaan itu terucap dari bibir tipis Jenia.Thomas yang baru saja duduk di kursi makan, menoleh sebentar. "Aku tak tahu dan tidak janji. Jangan menungguku!"Jenia menelan ludah. "Tap-tapi tolong usahakan untuk pulang cepat. Untuk malam ini saja."Tak peduli kalimat itu terdengar seperti memelas perhatian suaminya sendiri, Jenia tetap saja berusaha."Ck! Kau ini keras kepala sekali. Pulang cepat atau tidak, aku belum tahu. Sudahlah, aku kehilangan selera makan. Menyebalkan!" Thomas menyambar tas kerja berisi laptop lalu pergi begitu saja.Tidak ada kecupan manis seperti layaknya pasangan suami istri normal di luar sana. Semua berjalan kaku dan datar. Seakan-akan hangatnya cinta enggan menyapa pasangan itu.Jenia menghela napas. Dinding tinggi yang dibangun suaminya, terlalu menguras tenaga untuk dipanjat. Namun, Jenia masih belum ingin menyerah.Jenia ingin memperbaiki keadaan. Maka dengan cekatan, Jenia menyelesaikan semua pekerjaan rumah, tanpa cela. Semua sudut rumah yang dibeli Thomas sebagai hadiah pernikahan itu, harus tampak rapi dan bersih.Usai berberes rumah, Jenia ingin duduk untuk meluruskan kaki. Dibawanya nampan berisi kentang tumbuk beserta sosis dan secangkir teh lemon ke arah gazebo belakang.Bagi Jenia yang terbiasa hidup sendiri, *me time* seperti ini sudah sangat menyenangkan. Dengan tenang, dia melahap perlahan sarapan pagi yang agak kesiangan itu.Jenia memindai sekeliling. Taman kecil yang menjadi titik pemandangan setiap hari itu menjadi hiburan tersendiri baginya. Tak mengapa jika dia seperti terkurung dalam sangkar. Toh, Jenia tak punya banyak pilihan.Jenia sudah terbiasa dengan semua rutinitas yang ada sejak menjadi istri Thomas. Senyum getir tercetak di wajah cantik berlesung pipi itu. "Dia mencintai aku, dengan cara yang berbeda."Kalimat itu selalu diulangi Jenia setiap pagi, di tempat yang sama. Jenia mendoktrin diri dan alam bawah sadarnya, agar tetap tegak berdiri sekeras apa pun badai dalam rumah tangga mereka.Setiap pagi, Jenia menyempatkan diri untuk mengenang masa-masa awal sampai akhirnya mantap setuju menikah dengan Thomas. Afirmasi positif itu mampu mengusir semua lintasan suara buruk yang menggema di kepala dan hatinya.Jenia menghela napas panjang. Teh dan sarapannya sudah habis. Dia membawa peralatan makan bekas pakai itu menuju dapur. Dalam sekejap, semuanya sudah kembali bersih dan nyaman dipandang.Tidak banyak yang bisa dilakukan Jenia. Tuhan belum menitipkan anak di rahimnya. Sebuah hal yang menjadi bumerang bagi perempuan berbulu mata lentik itu.Dua tahun usia pernikahan mereka. Masih sangat pagi untuk menyerah. Karena Jenia tahu, Thomas pernah begitu memanjakan dan menyanjungnya penuh cinta.Jenia menatap penuh harap ke sekeliling kamar. "Aku akan membuat malam ini sebagai titik awal hubungan kami. Aku akan meraih kembali hati Tom yang dulu pernah begitu lembutnya."Untuk malam ini saja, perempuan berpinggang ramping itu ingin menjadi sosok yang berbeda. Demi menuruti perintah ibu mertua yang terus-menerus menagih hasil dari alat uji kehamilan dengan dua garis merah tercetak jelas.Jenia membuka kotak beludru yang menampilkan merk pakaian ternama. Sehelai gaun berpotongan rendah yang akan menampilkan lekuk tubuh rampingnya itu membuat Jenia berekspektasi tinggi.Gaun berwarna merah itu diletakkan di atas ranjang. Jenia memilih untuk berbaring meringkuk di sebelahnya. Jemari lentiknya menyusuri lekukan gaun yang memiliki belahan memanjang hingga ke setengah paha."Apa kau akan kembali menatap penuh cinta jika aku mengenakan gaun ini?" Jenia menatap ke arah foto pernikahan yang terpajang di dinding kamar itu.Jenia menatap sendu sebelum menghela napas panjang. "Sepertinya aku harus menyiapkan semuanya lebih spesial, agar kau mengerti tentang perasaanku."Jenia memilih untuk menghabiskan waktu di dapur. Masakan spesial untuk malam penting ini harus diselesaikan dengan cepat. Siapa tahu Thomas berubah pikiran lalu pulang lebih awal, begitu pikir Jenia.Aroma harum menguar tajam. Ada asinan kol, irisan daging kalkun, sosis daging sapi juga kentang tumbuk. Tak lupa keju karena Thomas sangat menyukainya. Untuk pencuci mulut, Jenia membuat pie apel dalam ukuran loyang mini.Setelah memastikan semua makanan itu mampu menggugah selera Thomas, Jenia mengulum senyum. "Ah, ya, jangan lupakan botol wine yang menjadi penghangat suasana malam ini."Jenia melirik jam. "Sebentar lagi jam pulang kantor, tapi aku masih punya sedikit waktu untuk mempersiapkan diri."Jenia memilih untuk berendam sebentar di bak mandi yang sudah berisi busa sabun. Hal yang tidak bisa dilakukannya setiap hari. Mengingat semua pengeluaran harus diminimalisir seriit mungkin.Tanpa sadar, Jenia malah tertidur di dalam bak mandi berisi air hangat itu. Ketika tersentak, Jenia gelagapan. "Astaga, bisa-bisanya aku ketiduran di sini."Jenia langsung sibuk membersihkan diri. Tak lupa dipakainya baju tidur tipis di balik gaun yang sudah dipersiapkan itu. Agar tampak maksimal, Jenia membubuhi riasan tipis di wajah. Bibirnya sengaja diberi lipstik yang menampilkan kesan kenyal dan basah.Jenia mematut diri di depan cermin. Sebagai pelengkap, disemprotnya parfum di titik-titik tertentu. "Malam ini, ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Semoga saja dia tidak lupa."Jika tahun lalu rencana itu gagal karena Thomas menghadiri pesta pernikahan orang terdekatnya. Maka Jenia berharap malam ini semuanya akan berjalan lancar.Jenia duduk di depan meja makan yang sudah diberi dua lilin berwarna merah itu. Tak lupa Jenia mengabadikan momen itu di ponsel keluaran lama miliknya. Tanpa berniat mengunggah foto itu ke sosial media mana pun.Jenia juga mengambil beberapa foto diri. Karena sangat langka dirinya berdandan seperti ini. "Kau cantik sekali, Nyonya Thomas Evra."Sayang, sampai akhirnya Jenia tertidur dengan posisi kepala bertelungkup di meja, Thomas tak kunjung kembali.Jenia terbangun ketika jarum jam menunjukkan angka tiga pagi. Tubuhnya terasa pegal. Matanya mengerjap berkali-kali."Dia tidak pulang?" Jenia seakan-akan bertanya kepada dua batang lilin merah yang sudah hampir padam.Sambil berlinang air mata, Jenia memakan semua yang ada di meja. Lalu menutup luka hatinya dengan menenggak wine."Ternyata sekeras apa pun berusaha, aku hanyalah sampah di matamu." Sempoyongan Jenia berjalan, menuju kamar untuk merebahkan tubuhnya.Dia bahkan tidak peduli dengan maskara yang sudah luntur meninggalkan jejak hitam di sepanjang pipi. Jenia tidur dalam posisi telungkup. Membawa lelah dan sedihnya ke alam mimpi.Sementara di tempat yang menjadi pelarian banyak orang, di mana dentum musik terdengar memekakkan telinga, Thomas terkekeh sendiri sambil menenggak cairan alkohol. "Jangan kau pikir aku lupa, apa tujuanmu memintaku agar cepat pulang malam ini."Ketika membuka mata, Jenia merasa asing dengan objek pandangannya. Saat mencoba beringsut, rasa nyeri menyerang sampai Jenia meringis menahan sakit."Pumpkins Juice, kau sudah sadar?" Jamael yang tadinya berkutat dengan ponsel, langsung berlari menghampiri."Jamael? Kenapa kau ada di sini?"Jamael langsung duduk di sebelah ranjang pasien itu. "Kau pingsan. Jadi aku membawamu ke rumah sakit. Tolong katakan padaku, kenapa kau sampai pingsan, hm?"Ingin sekali Jamael mengelus lembut rambut Jenia. Seperti yang dahulu selalu dilakukannya setiap ada kesempatan berduaan. Betapa cintanya belum pernah meredup untuk perempuan pemilik hatinya ini. "Tidak ada. Aku hanya ... agak ceroboh." Jenia membuang muka, memilih untuk menatap jarum infus di tangan ketimbang wajah Jamael. Jenia tahu kalau Thomas tidak akan suka ada pengaduan tentang sikap monsternya itu. Karena tak ingin menambah panjang masalah, Jenia memilih untuk menutupinya. Walau Jamael mendesaknya. "Katakan, apa kau bahagia?" Jamael
Sedang sibuk berkubang dalam penyesalan tak berkesudahan, Thomas masuk ke kamar dan melihat Jenia duduk melamun di depan jendela kaca.Pasangan normal akan menghampiri lalu memeluk dari belakang, sambil melabuhkan kecupan manis di kepala. Namun, Thomas malah melempar tasnya ke lantai. Sehingga menimbulkan suara berisik yang tentu saja mengagetkan Jenia."Tom, kau sudah pulang." Jenia langsung sibuk memungut tas kerja sang suami. Thomas berdecih lalu mendekati Jenia. Tanpa belas kasihan, dicengkeramnya dagu sang istri. "Dengar, Keledai! Aku tak akan kembali ke rumah lama. Di sana aku selalu ingat semua upaya membangun rumah tangga, kau balas dengan hinaan telak."Jenia meringis. Bukan hanya karena menahan rasa sakit, tetapi aroma alkohol yang cukup menyengat keluar dari bibir Thomas. "Kau ini hanyalah alat balas dendam, Keledai! Jadi jalani saja semua kebusukan yang kau tuai." Thomas menghempaskan tubuh Jenia sampai terduduk di lantai.Tanpa peduli dengan ringisan Jenia, Thomas langs
Jenia menyeka keringat yang membanjir. Terhitung tiga hari dia tidak mengunjungi rumah lama. Jadi Jenia harus memastikan semua perkakas rumah bebas dari debu.Jenia khawatir tiba-tiba Thomas berkunjung dan memeriksa kondisi rumah. Suaminya itu tak segan untuk mencolek perabotan. Memastikan tidak ada debu yang tertinggal. Jenia membuka kulkas. Masih ada sisa apel, sosis dan telur. "Setidaknya aku masih bisa makan."Dia memang bersikeras menolak keinginan gila Jamael. Untung saja Jamael masih bisa diancam dengan kenekatan Jenia yang akan melompat keluar dari mobil, jika dipaksa mengikuti keinginan sang mantan.Walau jadinya Jamael mengetahui di mana tempat tinggal Jenia bersama Thomas, sebelum diminta untuk pindah. Jamael memang tidak mengatakan apa pun, karena Jenia langsung turun tanpa basa-basi.Setelah makan, Jenia menyeduh secangkir teh chamomile. Masih ada sisa beberapa kantung teh lagi. Jenia masih bisa tersenyum mengingat semua kenangannya di rumah ini.Walau Thomas sering memp
Jenia tampak lebih pucat. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat pelampiasan nafsu dari sang suami. Tentu dia tidak bisa mengadukan nasibnya ke siapa pun juga.Bibi Emma tidak enak badan. Karena itulah Jenia yang berkutat di dapur. Walau ada beberapa asisten rumah tangga lain, Daisy tak mengizinkan ada yang meringankan beban pekerjaan Jenia di dapur.Jenia tampak kelelahan karena sejak jam lima pagi sudah harus berkutat pada menu makanan. Dengan semua keinginan yang berbeda pula. Roti dan sosis panggang untuk Thomas. Sup kaldu asparagus lengkap dengan daging matang sempurna untuk Freya. Ayam mentega rendah lemak beserta rolade untuk Daisy. Tanpa sadar, Jenia membuat pie ayam untuk Jamael. Menu yang dahulu selalu dibuatkannya untuk sang mantan. Tepat ketika semua menu sudah terhidang rapi di atas meja, Jamael masuk ke dapur. Laki-laki itu memang tipe manusia pagi. Ia bahkan sudah selesai melakukan olahraga lari keliling perumahan."Selamat pagi, Pumpkins Juice. Di mana Bibi Emma?" tan
Jenia mengumpati sikap ingin tahu yang berlebihan di kepalanya. Karena ketika Jamael melirik ke arahnya, lengkap dengan senyum simpul khas itu, Freya malah mendengkus keras. Lalu mengusir Jenia begitu saja.Sudah berkali-kali Jenia berusaha mengalihkan isi kepalanya, tetap saja rasa ingin tahu itu mendominasi. Padahal ada hal yang seharusnya lebih menjadi bahan pemikiran, karena semalaman Thomas tidak kembali ke rumah. "Nona, kenapa?" Emma mengernyitkan dahi.Jenia seperti tertangkap basah. "Hah? Ti-tidak ada apa-apa, Bibi." Dipamerkannya senyum yang malah mirip seperti seringai itu.Bukannya Emma tidak memperhatikan sikap aneh dari Jenia. Hanya saja, jika Jenia tidak bercerita, tentu tak pantas untuk Emma mendesaknya.Emma mungkin hanyalah koki, tetapi semua aktivitas dalam kediaman keluarga Evra, tak luput dari pengamatannya. Termasuk kekejaman yang dialami Jenia. Emma mendekat. Lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada penguping di ruang dapur itu. "Jika terlalu sakit, belaja
"Kenapa kau?" Thomas menatap heran pada wajah pucat Jenia.Jenia tak mampu berkata apa pun. Detak jantungnya menggila. Takut kalau Thomas mendengar semua kalimat ketusnya untuk Jamael."Apa kau sudah selesai membersihkan kamar Freya?" Tatapan Thomas malah semakin tidak bersahabat."I-iya, sudah." Telapak tangan Jenia semakin lembab."Bagus. Aku tak suka mendengarnya menggerutu tentang lambannya kau. Pergilah. Kau bau!" Thomas mengusir Jenia.Dengan segera Jenia berlalu. Tak bisa dipungkiri bahwa di balik sikap takutnya, ada rasa lega luar biasa. Karena Thomas tidak tahu ada hubungan apa di antara dirinya dengan Jamael.Sayangnya, Jamael mendengar ucapan ketus yang dilontarkan Thomas untuk Jenia. Lelaki itu memejamkan mata, merasa bersalah karena ada andilnya dalam kemalangan yang menimpa sang mantan pacar.'Maafkan aku, Jenia. Si pengecut ini memang sangat buruk. Dengan apa aku bisa menebus semua dosa di masa lalu?' Jamael menghela napas berat.Sudah ada ikatan yang sakral di antara m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments