Se connecterPukul tujuh tiga puluh malam, mobil Griselle terlihat keluar dari kediaman orang tuanya.Griselle memasuki cafe milik Andre, dia menemukan meja di mana Lily dan Adriana sedang duduk. Di samping mereka ada dua pria yang menemani, Griselle segera menghampiri mereka."Sorry ya semua, aku terlambat. Jalanan agak macet tadi." Sapa Griselle dengan sedikit melirik ke arah ke dua pria itu. Tampan, kata Griselle dalam hati.Kedua pria itu segera berdiri dan mengulurkan tangan mereka."Santai say, sini aku kenalin.”Lily memperkenalkan kedua pria itu kepadaGriselle. Griselle akhirnya tahu yang mana bernama Joshua, teman kencan Lily. Sedangkan pria yang lain bernama Teddy yang terlihat berbincang akrab dengan Adriana. Mereka lalu duduk, saat Griselle hendak duduk, Lily menahannya.Lily menunjuk ke arah sebuah meja, di mana ada seorang pria bertopi yang sedang membaca buku duduk di meja lain tidak jauh dari mereka." Teman Joshua dan Teddy, lihat dia terpikat nggak sama kamu, Joshua bilang ngga mu
David mengeluarkan sebatang rokok, lalu berdiri dan meletakkan rokok itu ke bibir orang gila. David menyalakan api untuknya, dan orang gila mulai merokok. David memberi tanda agar orang gila duduk sambil menunjukkan gelas kopi.Orang gila itu duduk tetapi David bergerak menarik rambutnya keras ke bawah sehingga menghantam meja. Selanjut sebuah tinju menghantam rahang orang gila itu dan dia pingsan. David kembali duduk dan memesan ulang kopi hitam karena kopi sebelumnya tumpah saat kepala orang gila itu menghantam meja."Ini bukan orang gila cuma orang stres, orang gila masa mengerti cara merokok." Ucap David asal sambil melirik ke arah dua sahabatnya. Akhirnya orang gila dibawa pergi oleh satpam komplek apartemen. Teddy dan Joshua hanya menggelengkan kepalanya melihat tindakan sahabatnya itu, lalu mereka kembali duduk."Mau sampai kapan kamu begini Vid? Kamu nggak merasa kalau kamu terlalu dingin dengan keadaan sekitarmu?" Tanya Joshua sambil mengambil sebatang rokok David, lalu men
"Temui Hendri, jangan keras terhadap dia, juga jangan memberi harapan." Kata papa dengan tenang, lalu ia berbalik pergi ke ruang kerjanya. Adriana terpaksa menemui Hendri.Belum sempat Adriana melangkah, mama memegang lengannya,"Papamu tidak akan pernah lupa akan penderitaanmu karena Hendri, percayalah, papa pasti punya alasan untuk ini." Sambil melangkah ke ruang tamu, Adriana mengernyitkan kening memikirkan perkataan mama."Kamu sudah pulang? Aku dengar dari papamu kalau kamu menginap di rumah Lily." Hendri berdiri saat melihat Adriana menghampirinya."Ada perlu apa?""Hanya ingin menemuimu.""Sekarang sudah ketemu, kamu bisa pulang." Sahut Adriana acuh sambil membalikkan tubuhnya. Hendri segera meraih lengan Adriana dan Adriana menepisnya dengan kasar."Apa maumu sebenarnya?" Wajah Adriana tampak dipenuhi kemarahan."Adriana, bisa kita duduk dan membicarakannya, please?" Tanya Hendri dengan nada memohon. Adriana teringat perkataan mama, lalu ia duduk tanpa mau memandang wajah Hend
"Bungkusmu sampai kebuka? Berarti kamu nggak dingin seperti kata mantanmu dong?” Lily dengan mulut penuh cemilan terus bertanya."Sebenernya aku nggak pernah merasakan apa yang dilakukan Heri. Di cium sana sini dan di belai. Jujur aku menikmatinya.” Griselle berhenti dan mengambil minum, setelah minum dua teguk." Oh pantas..." Adriana dan Lily mengangguk-anggukkan kepalanya."Makanya saat kalian bilang enak, aku juga bingung awalnya. Tetapi tadi sama Heri memang rasanya menyenangkan, tapi hatiku nggak ingin melakukanya." Griselle mengingat kembali kejadian di kamar."Terus? Kamu tinggal pergi?" Kembali Adriana bertanya dan Griselle menganggukkan kepalanya sebagai tanda jawaban."Tubuhku memang menginginkannya tetapi aku sebenar berusaha untuk tetap sadar, hatiku benar-benar nolak. Makanya pas dia mau buka bungkus bawahanku, aku sadar dan teringat perkataan Lily sebelumnya untuk memegang kendali.”"Terus kok kamu bisa tahu ukurannya?" Tanya Lily penuh penasaran, Adriana juga menganggu
Kain yang menutupi bagian bawahnya kini semakin basah, benda yang berada di balik kain itu tercetak dengan jelas. Tangan Heri dengan terampil bermain di area sensitifnya, Griselle menggigit bibirnya keras. Dia masih berusaha untuk mengembalikan kesadarannya.Tangan Heri mengait pinggiran kain segitiga berwarna kuning itu dan ciuman Heri mulai turun ke arah perutnya. Salah satu tangan Griselle segera menghentikan gerakan tangan Heri, ia menutup rapat kedua pahanya.Griselle menyingkirkan kepala Heri dari tubuhnya dan terduduk di atas tempat tidur. Nafas Griselle tersenggal-senggal, tanganya berusaha meraih kain penutup dadanya dan gaunnya."Sori, stop dulu Her." Kata Griselle sambil beranjak bangkit, tanpa menunggu persetujuan Heri. Griselle mengambil pakaian dan tasnya lalu menuju ke kamar mandi. Ia membersihkan bagian bawahnya, lalu memasukkan kain segitiga yang telah basah itu ke dalam kantong plastik, lalu Griselle mengeluarkan yang baru dari dalam tasnya, dan memakainya.Griselle
Griselle kini hanya berdua dengan pria itu, Heri."Kenapa cerai?" Tanya Heri membuka pembicaraan."Yaaa...udah ga cocok aja. Kalau kamu?""Sama..nggak kesepian?""Nggak, hidupku ramai saja." Balas Griselle santai."Maksudku waktu berada di kamar. Biasa ada pasangan di samping, sekarang nggak ada.""Nggak juga, itu hanya kebiasaan. Seiring waktu juga terbiasa. Kenapa? Kamu merasa kesepian?"tanya Griselle sambil menatap ke arah wajah Heri. Griselle menyadari Heri mencoba menggiring perkataan ke arah lebih dalam.“Terkadang rasa sepi itu datang, apalagi kalau lagi pas sehabis mengurus proyek. Pulang kerja dalam kondisi fisik dan mental lelah tetapi nggak ada yang di ajak ngobrol di rumah." Jawab Heri dengan membalas menatap tajam ke arah Griselle.“Oh, tinggal sendiri? Orang tua dimana?”“Iya sendiri, orang tuaku di kota lain. Di kota ini hanya ada adik perempuanku yang sudah menikah.” Jawab Heri sambil menyebut salah satu kota, tempat orang tuanya tinggal."Sudah berapa lama cerai?" Tan







