Masuk
Di depan sebuah Pengadilan Negeri di ibukota, tampak seorang wanita sedang berjabat tangan dengan seorang pria.
"Semoga sukses ya. Nanti kalau kamu merindukanku, kamu bisa menghubungi aku kapan saja." Kata pria itu, Riko Darmawan, yang kini menjadi mantan suaminya, dengan senyuman di wajah. "Iya, semoga kamu juga. Jangan lupa kalau sudah sekarat, hubungi aku kapan saja. Nanti kalau kamu mati, aku bisa ikut menyumbang kacang." Balas Griselle Dayoung, dengan wajah penuh senyum menatap mantan suaminya itu. Riko menarik tangannya dan wajahnya memerah karena marah. Ia berjalan dengan langkah lebar menuju area parkir mobil. Senyum Griselle semakin lebar melihat hal itu, lalu ia melangkah ke arah mobilnya yang berada di sisi lain. Belum sempat kakinya melangkah, sebuah suara datang dari arah belakang Griselle. "Akhirnya anakku terbebas darimu, sejak awal aku tidak pernah menyetujui pernikahan kalian. Aku harap kita tidak perlu bertemu lagi." Kata wanita tua itu, Karina, dia datang bersama seorang gadis muda lalu berdiri di hadapan Griselle. Itu mertuanya..oh bukan, tetapi mantan mertua tepatnya, sedang gadis muda di samping mantan mertuanya, Viona, adik perempuan dari mantan suaminya. "Sejak awal sudah kukatakan, kau hanya orang asing yang lewat dalam hidupku dan juga putraku, jauhi putraku di masa depan." Karina melanjutkan perkataannya, diiringi senyuman sinis yang terukir di bibirnya. "Benar, jauhi kakakku. Dua tahun ini, dengan kehadiranmu dalam keluarga kami sudah membawa cukup banyak masalah. Juga sekarang kamu sudah tahu, jika sejak awal kakaku tidak pernah mencintaimu." "Kakakku mau menerima dirimu hanya karena keluargamu yang kaya, bukan karena mencintai mu. Dan tanpa kamu atau keluargamu, kakakku pasti akan sukses, seperti sekarang." Viona mengatakan semuanya dengan tatapan penuh rasa jijik dan merendahkan pada Griselle. Griselle mendekat, tangannya menyentuh dagu gadis itu, mengangkat dagu itu dan berkata dengan lirih "Iyaa..jangan kuatir, aku tidak akan pernah mendekati kakakmu lagi. Aku harap kalian akan tetap ingat tentang kejadian hari ini." Griselle dengan kasar melepas dagu gadis itu, lalu ia melangkahkan kakinya arah mobil yang sudah menunggu. "Tanpa keluargamu, kamu bukanlah apa-apa, dasar jalang." Kata gadis itu, ia hendak mengejar langkah kaki Griselle tetapi mamanya memegang lengannya dan menggelengkan kepalanya. "Jangan membuat keributan di sini." Griselle tidak menghiraukan umpatan gadis itu, dia terus melangkahkan kakinya. Melihat Griselle yang menarik dagu adiknya dengan kasar, Riko keluar dari mobilnya dan kembali mendatangi Griselle. "Apa maumu...hah!" Teriak Riko dengan mata melotot hampir keluar dan salah satu tangannya menangkap lengan Griselle sedangkan telapak tangan kanannya sudah terangkat siap untuk menampar wajah Griselle Griselle menepis tangan Riko yang menangkap lengannya lalu menangkis tangan Riko yang sudah terangkat. Griselle memajukan tubuhnya selangkah ke depan Riko. "Jika kamu yakin bisa menang, cobalah" Ucap Griselle pelan disertai lengkungan di bibirnya dan tatapan meremehkan. Riko tersadar, ia pun menurunkan tangannya. Dia ingat Griselle jago taekwondo, bahkan setelah menikah pun Griselle masih berlatih tiap hari di pekarang rumah mereka. Walau mungkin bisa mengimbanginya, keributan akan memancing orang-orang untuk berdatangan, Riko tidak mengharapkan hal itu terjadi. "Urusan kita sudah selesai, jangan coba-coba menyentuh keluargaku. Percayalah, aku juga bisa menghancurkanmu dan keluargamu." Ucap Riko lirih yang hanya bisa di dengar oleh mereka berdua lalu ia berbalik pergi ke arah mobilnya. "Aku menunggunya." Griselle membalas sambil melangkah ke arah mobil, di dalam sudah menunggu Lily dan Adriana, dua sahabatnya. Di dalam mobil, sambil menyetir Riko melirik ke arah Viona dengan tajam, dan berkata dengan nada keras,"Umurmu hampir tujuh belas tahun, bertindaklah dengan otakmu bukan emosimu. Kau pikir saat ini kita sanggup menghadapi keluarga Griselle?" "Kamu pikir keluarga Griselle takut pada keluarga kita? Jika sampai terjadi sesuatu dengan Griselle karena kita, keluarga kita pasti akan hancur. Keluarga Griselle tidak bertindak apapun karena mengingat hubungan baik dengan almarhum papa. Lain kali pakai otakmu kecilmu itu sebelum bertindak." "Sudah...Viona masih kecil. Riko, kamu sendiri tahu, jika rasa tidak suka Viona terhadap Griselle dan keluarganya bukanlah satu atau dua tahun." Karina melakukan pembelaan terhadap putrinya. Riko terdiam dan wajah Viona memucat oleh kata-kata keras kakaknya. Suasana di dalam mobil menjadi sunyi. "Jangan mengusik Griselle untuk saat ini dan di masa depan. Biar kakak yang menyelesaikan semuanya dengan Griselle dan keluarganya." Suara Riko dengan nada lebih lembut kembali terdengar. “Say, apa yang kadal itu katakan?” Suara Lily terdengar saat Griselle membuka pintunya, setelah duduk dengan santai. “Hanya ancaman kosong.” Jawab Griselle santai. “Ooh…nyalinya sudah mulai membesar, dia kira dengan kekayaannya sekarang dia sanggup menghadapi Hanseng Group.” Adriana yang sedang menyetir, ikut mengomentari. “Dia hanya cangkang kosong, opa dan papaku tidak mau bertindak keras hanya karena mengingat hubungan baik dengan almarhum papa Riko. Jika tidak…”Griselle tidak melanjutkan perkataannya. “Tidak perlu dipikirkan, itu hanya kadal kecil. Apa rencanamu selanjutnya?” Lily memotong perkataan Griselle, ia tidak ingin mendengar tentang mantan Griselle itu karena sejak awal ia memang tidak menyukainya. “Tetap berkerja di perusahaan papa lalu membuka usaha, kalian ada minat bergabung?” Tatapan Griselle mengarah ke arah jalan raya, ia sedang memikirkan sesuatu. “Maksudmu kita bertiga membuka usaha bersama?” Tanya Lily sambil menatap Griselle. “Ya, tetapi kalian yang menghandle perusahaan kita, aku akan fokus membantu di perusahaan papaku.” “Aku setuju, tidak ada masalah.” Lily langsung menyetujui tanpa berpikir. “Kamu langsung setuju saja, kamu sendiri nggak mikir kondisimu?” Adriana mengingatkan Lily akan permasalahan yang kini dia hadapi. Lily sendiri sedang menjalani proses perceraian dengan suaminya. “Memangnya kenapa? Cerai sudah pasti, tidak ada kata damai. Dengan usaha papaku, aku memang tidak akan kuatir dengan keuangan. Tetapi di masa depan, perusahaan itu pasti ada di tangan kakakku. Lebih baik punya usaha sendiri.” Balas Lily dengan panjang lebar. “Bagaimana? Kamu keberatan Adriana?” Tanya Griselle kepada Adriana. Dengan tatapan masih ke arah jalan, Adriana menjawab dengan santai, “Lakukan, aku tinggal resign. Toh aku juga belum ada beban apapun. Nggak ada salahnya kita mencoba berjuang bersama.” “Betul, kita nggak tahu bagaimana suami kita kelak. Setidaknya kita punya sesuatu yang menjadi pegangan jika suami kita bertingkah.” Sahut Lily. “Kalau kalian memang setuju, nanti aku akan pinjam ke papa untuk modal kita. Aku yang mengeluarkan modal, kalian yang menghandle perusahaan. Ada masalah dengan perusahaan, kita diskusikan bersama, jadi kita semua punya kekuasaan yang sama. Soal laba kita membaginya secara rata, bagaimana?”Pukul tujuh tiga puluh malam, mobil Griselle terlihat keluar dari kediaman orang tuanya.Griselle memasuki cafe milik Andre, dia menemukan meja di mana Lily dan Adriana sedang duduk. Di samping mereka ada dua pria yang menemani, Griselle segera menghampiri mereka."Sorry ya semua, aku terlambat. Jalanan agak macet tadi." Sapa Griselle dengan sedikit melirik ke arah ke dua pria itu. Tampan, kata Griselle dalam hati.Kedua pria itu segera berdiri dan mengulurkan tangan mereka."Santai say, sini aku kenalin.”Lily memperkenalkan kedua pria itu kepadaGriselle. Griselle akhirnya tahu yang mana bernama Joshua, teman kencan Lily. Sedangkan pria yang lain bernama Teddy yang terlihat berbincang akrab dengan Adriana. Mereka lalu duduk, saat Griselle hendak duduk, Lily menahannya.Lily menunjuk ke arah sebuah meja, di mana ada seorang pria bertopi yang sedang membaca buku duduk di meja lain tidak jauh dari mereka." Teman Joshua dan Teddy, lihat dia terpikat nggak sama kamu, Joshua bilang ngga mu
David mengeluarkan sebatang rokok, lalu berdiri dan meletakkan rokok itu ke bibir orang gila. David menyalakan api untuknya, dan orang gila mulai merokok. David memberi tanda agar orang gila duduk sambil menunjukkan gelas kopi.Orang gila itu duduk tetapi David bergerak menarik rambutnya keras ke bawah sehingga menghantam meja. Selanjut sebuah tinju menghantam rahang orang gila itu dan dia pingsan. David kembali duduk dan memesan ulang kopi hitam karena kopi sebelumnya tumpah saat kepala orang gila itu menghantam meja."Ini bukan orang gila cuma orang stres, orang gila masa mengerti cara merokok." Ucap David asal sambil melirik ke arah dua sahabatnya. Akhirnya orang gila dibawa pergi oleh satpam komplek apartemen. Teddy dan Joshua hanya menggelengkan kepalanya melihat tindakan sahabatnya itu, lalu mereka kembali duduk."Mau sampai kapan kamu begini Vid? Kamu nggak merasa kalau kamu terlalu dingin dengan keadaan sekitarmu?" Tanya Joshua sambil mengambil sebatang rokok David, lalu men
"Temui Hendri, jangan keras terhadap dia, juga jangan memberi harapan." Kata papa dengan tenang, lalu ia berbalik pergi ke ruang kerjanya. Adriana terpaksa menemui Hendri.Belum sempat Adriana melangkah, mama memegang lengannya,"Papamu tidak akan pernah lupa akan penderitaanmu karena Hendri, percayalah, papa pasti punya alasan untuk ini." Sambil melangkah ke ruang tamu, Adriana mengernyitkan kening memikirkan perkataan mama."Kamu sudah pulang? Aku dengar dari papamu kalau kamu menginap di rumah Lily." Hendri berdiri saat melihat Adriana menghampirinya."Ada perlu apa?""Hanya ingin menemuimu.""Sekarang sudah ketemu, kamu bisa pulang." Sahut Adriana acuh sambil membalikkan tubuhnya. Hendri segera meraih lengan Adriana dan Adriana menepisnya dengan kasar."Apa maumu sebenarnya?" Wajah Adriana tampak dipenuhi kemarahan."Adriana, bisa kita duduk dan membicarakannya, please?" Tanya Hendri dengan nada memohon. Adriana teringat perkataan mama, lalu ia duduk tanpa mau memandang wajah Hend
"Bungkusmu sampai kebuka? Berarti kamu nggak dingin seperti kata mantanmu dong?” Lily dengan mulut penuh cemilan terus bertanya."Sebenernya aku nggak pernah merasakan apa yang dilakukan Heri. Di cium sana sini dan di belai. Jujur aku menikmatinya.” Griselle berhenti dan mengambil minum, setelah minum dua teguk." Oh pantas..." Adriana dan Lily mengangguk-anggukkan kepalanya."Makanya saat kalian bilang enak, aku juga bingung awalnya. Tetapi tadi sama Heri memang rasanya menyenangkan, tapi hatiku nggak ingin melakukanya." Griselle mengingat kembali kejadian di kamar."Terus? Kamu tinggal pergi?" Kembali Adriana bertanya dan Griselle menganggukkan kepalanya sebagai tanda jawaban."Tubuhku memang menginginkannya tetapi aku sebenar berusaha untuk tetap sadar, hatiku benar-benar nolak. Makanya pas dia mau buka bungkus bawahanku, aku sadar dan teringat perkataan Lily sebelumnya untuk memegang kendali.”"Terus kok kamu bisa tahu ukurannya?" Tanya Lily penuh penasaran, Adriana juga menganggu
Kain yang menutupi bagian bawahnya kini semakin basah, benda yang berada di balik kain itu tercetak dengan jelas. Tangan Heri dengan terampil bermain di area sensitifnya, Griselle menggigit bibirnya keras. Dia masih berusaha untuk mengembalikan kesadarannya.Tangan Heri mengait pinggiran kain segitiga berwarna kuning itu dan ciuman Heri mulai turun ke arah perutnya. Salah satu tangan Griselle segera menghentikan gerakan tangan Heri, ia menutup rapat kedua pahanya.Griselle menyingkirkan kepala Heri dari tubuhnya dan terduduk di atas tempat tidur. Nafas Griselle tersenggal-senggal, tanganya berusaha meraih kain penutup dadanya dan gaunnya."Sori, stop dulu Her." Kata Griselle sambil beranjak bangkit, tanpa menunggu persetujuan Heri. Griselle mengambil pakaian dan tasnya lalu menuju ke kamar mandi. Ia membersihkan bagian bawahnya, lalu memasukkan kain segitiga yang telah basah itu ke dalam kantong plastik, lalu Griselle mengeluarkan yang baru dari dalam tasnya, dan memakainya.Griselle
Griselle kini hanya berdua dengan pria itu, Heri."Kenapa cerai?" Tanya Heri membuka pembicaraan."Yaaa...udah ga cocok aja. Kalau kamu?""Sama..nggak kesepian?""Nggak, hidupku ramai saja." Balas Griselle santai."Maksudku waktu berada di kamar. Biasa ada pasangan di samping, sekarang nggak ada.""Nggak juga, itu hanya kebiasaan. Seiring waktu juga terbiasa. Kenapa? Kamu merasa kesepian?"tanya Griselle sambil menatap ke arah wajah Heri. Griselle menyadari Heri mencoba menggiring perkataan ke arah lebih dalam.“Terkadang rasa sepi itu datang, apalagi kalau lagi pas sehabis mengurus proyek. Pulang kerja dalam kondisi fisik dan mental lelah tetapi nggak ada yang di ajak ngobrol di rumah." Jawab Heri dengan membalas menatap tajam ke arah Griselle.“Oh, tinggal sendiri? Orang tua dimana?”“Iya sendiri, orang tuaku di kota lain. Di kota ini hanya ada adik perempuanku yang sudah menikah.” Jawab Heri sambil menyebut salah satu kota, tempat orang tuanya tinggal."Sudah berapa lama cerai?" Tan







