LOGINBagasi mobil penuh dengan belanjaan. Begitu tiba di rumah, Amanda langsung mengajak Bibi Yesi dan Bibi Zaina menuju dapur, kemudian mulai sibuk mempersiapkan makanan.Api di dapur menyala terang, entah apa yang dibicarakan ketiga wanita di dapur itu, tawa mereka tidak pernah berhenti terdengar selama memasak.Mereka sibuk hingga pukul tujuh malam, hidangan lezat akhirnya memenuhi meja makan.Amanda berseru riang, "Masakan sudah siap semua! Waktunya makan malam!"Satu per satu orang bangkit dari ruang tamu dan menuju meja makan besar.Emran datang tepat waktu, dia membawa beberapa kotak suplemen dan bingkisan tahun baru.Katanya dia datang untuk menumpang makan, sekalian mengucapkan selamat tahun baru lebih awal.Amanda mengolok-oloknya. Dia berkata bahwa hidung Emran benar-benar tajam, mereka baru saja mau mulai makan, dia sudah muncul.Kecerdasan emosional Emran sangat tinggi. Didikan keluarganya sangat baik, dia memiliki kakek dan nenek, jadi dia pandai bergaul dengan orang tua.Dia
Vanesa menutup bukunya perlahan, lalu menjawab dengan pelan, "Sepertinya siang tadi aku tidur terlalu lama, jadi malam ini agak susah tidur."Steven melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya."Mau minum air dulu?" tanya Steven."Nggak perlu, terima kasih," jawab Vanesa.Steven terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, "Perutmu lapar?"Vanesa menatap Steven dan menjawab, "Tidak juga."Steven berdiri di sisi ranjang dalam diam.Mata mereka bertatapan, keduanya terdiam untuk sesaat.Suasana terasa aneh.Vanesa tersenyum tipis. "Steven, kalau kamu belum ngantuk, yuk temani aku ngobrol sebentar."Steven sedikit tertegun.Vanesa jarang sekali mengajaknya bicara tanpa alasan.Dia pun menarik kursi dan duduk di tepi ranjang."Kamu sedang mulai bisnis baru lagi, ya?" tanya Vanesa.Steven tertegun sejenak, lalu bertanya, "Dari mana kamu tahu?""Beberapa hari lalu aku nggak sengaja mendengar kamu menelepon seseorang. Kudengar kamu bicara soal tender," jawab Vanesa.Steven tidak berniat menyembunyi
Setelah transplantasi, sebagian pasien memang akan mengalami perubahan warna kulit yang sedikit lebih gelap, tetapi itu hanya sementara."Oh begitu!" seru Bella polos. Dia kemudian tersenyum manis dan berkata, "Asal Ibu bisa sehat dan nggak sakit lagi, jadi hitam sedikit juga nggak apa-apa kok! Di hati Bella, Ibu tetap yang paling cantik di dunia."Vanesa merasa sangat terharu, dia mengusap lembut pipi mungil putrinya yang bulat dan hangat itu. "Bella benar-benar anak yang baik," ujar Vanesa."Ibu," panggil Alfredo sambil meraih jari Vanesa.Vanesa menunduk, menatap mata putranya, lalu mengusap kepalanya. "Alfredo, Ibu sudah pulang," ucap Vanesa.Alfredo mengerutkan alis mungilnya dan bertanya, "Ibu masih sakit nggak?"Vanesa tersenyum sambil menahan air matanya. "Nggak, Sayang. Asal bisa melihat kalian berdua, Ibu sudah nggak merasa sakit sama sekali," jawab Vanesa.Alfredo melangkah maju, membuka tangan kecilnya, dan memeluk ibunya erat. "Ibu, aku sayang Ibu," kata Alfredo.Alfredo t
Tanggal sepuluh bulan dua belas menurut kalender lunar, salju yang turun tanpa henti lebih dari setengah bulan di Kota Utara akhirnya berhenti.Seluruh kota tertutup putih bersih, udara dipenuhi nuansa tahun baru yang kian dekat.Hari itu, dokter mengumumkan bahwa Vanesa boleh keluar dari ruang isolasi.Transplantasi sumsum tulangnya berjalan dengan lancar. Sepanjang proses pengobatan, Vanesa menunjukkan keteguhan yang luar biasa. Dia tegar dan sangat mematuhi instruksi tim medis. Hasilnya lebih baik dari perkiraan semua orang.Berbagai reaksi penolakan dari tubuh yang biasa muncul pada pasien leukemia tidak satu pun terjadi padanya.Alex dan para dokter spesialis lain hanya bisa bersyukur dan terharu.Pukul sepuluh pagi, Vanesa resmi keluar dari ruang isolasi. Seorang perawat mendorong kursi rodanya menuju rumah kecil.Vanesa masih harus tinggal di sana beberapa waktu untuk memperkuat kondisinya. Apabila semuanya berjalan baik, malam tahun baru ini dia akan bisa pulang untuk berkumpul
Vanesa membuka mulut, dia hendak bicara tetapi tenggorokannya terlalu kering. Begitu mencoba bersuara, yang keluar hanya batuk keras.Perawat yang berjaga segera menuangkan segelas air, memasukkan sedotan, lalu menuntunnya perlahan.Setelah meneguk beberapa kali, rasa perih di tenggorokannya mulai mereda. Vanesa langsung bertanya, "Anak-anak juga datang, ya?""Datang, Nona Vanesa!" jawab perawat. Dia tahu Vanesa pasti sangat merindukan anak-anaknya, dia kemudian berkata, "Kalau begitu aku ke bawah untuk kabari mereka dulu. Biar mereka datang menjengukmu."Namun, Vanesa buru-buru menahannya, "Jangan! Jangan biarkan mereka melihatku sekarang, kondisiku akan menakuti mereka."Perawat itu tertegun.Tepat di saat itu, pintu kamar terbuka.Steven masuk bersama Alex dan beberapa dokter.Alex yang masuk terlebih dahulu berseru, "Wah, rupanya yang punya keberuntungan sudah bangun! Aku tadi bilang ke Steven, kalau kamu nggak bangun juga, aku akan guncang ranjangmu sampai kamu bangun. Aku mau ber
Steven pergi seharian penuh. Saat dia kembali, langit sudah sepenuhnya gelap.Perawat yang berjaga di depan kamar segera berdiri begitu melihatnya. Dia berkata, "Pak Steven, Nona Vanesa sempat sadar sebentar sore tadi. Dokter Alex sudah datang memeriksanya, tapi nggak lama kemudian, dia tidur lagi."Steven mengangkat tangan, menekan ujung alisnya yang terasa tegang. "Terima kasih. Malam ini biar aku yang berjaga. Kamu istirahat saja. Kalau ada apa-apa, aku akan panggil kamu lagi," ujar Steven."Baik, Pak," jawab perawat itu.Selama ini, Steven yang menjaga Vanesa di kamar.Kamar itu hening.Steven duduk di tepi ranjang.Cahaya lampu oren lembut memantul lembut di wajah pucat Vanesa.Matanya terpejam rapat, napasnya sangat pelan.Steven mengulurkan tangan, jarinya menyapu lembut pipinya.Vanesa mengerutkan alisnya pelan.Steven pun menarik kembali tangannya.Malam itu, Vanesa tidur dengan tenang.Steven hanya duduk di sana dalam diam hingga fajar merekah langit di luar jendela.Hari mul







