Share

Cinta Lama Kembali Setelah Pernikahannya Usai
Cinta Lama Kembali Setelah Pernikahannya Usai
Penulis: Uphieawan

Hati Yang Terluka

“Kalau kamu memang ingin bercerai, silakan! Aku akan memenuhi permintaanmu.”

Mendengar ucapan suaminya, Asma yang tengah duduk di kursi menangis sesenggukan. Pernikahan mereka yang sudah berlangsung tiga tahun hancur dalam sekejap. 

Suami Asma, Tanto, beberapa jam lalu kepergok berselingkuh. Kini, dia hendak menceraikan Asma. Perselingkuhan Tanto untuk kesekian kalinya, sangat menghancurkan hati Asma dengan kehamilan wanita selingkuhannya.

Hati Asma semakin hancur karena suaminya kepergok mengantarkan wanita itu memeriksakan kehamilannya di klinik yang sama. Sedangkan, ia sudah tidak pernah diantar lagi ke dokter kandungan sejak usia kandungan satu bulan. Usia kehamilannya memasuki bulan ke-6.

“Kamu tega, Mas! Kamu lebih memilih wanita itu. Lalu, bagaimana anak yang ada di dalam kandunganku?” tanya Asma dengan berlinang air mata.

“Kamu sendiri yang meminta berpisah, kamu malah menyalahkan aku?” ucap Tanto dengan nada suara tinggi.

Asma berdiri dari tempat duduknya. Dia mendekati suaminya dan berkata, “Itu juga karena kesalahanmu sendiri yang berselingkuh di belakangku.”

“Kesalahanku?” Tanto mengulang ucapan Asma seraya tertawa. “Bagaimana dengan orang tuamu yang hingga sekarang belum menerimaku sebagai menantunya?”

“Tidak usah membawa-bawa orang tuaku untuk membenarkan perselingkuhanmu. Aku malah menyesal, mengapa dulu tidak mendengarkan ucapan orang tuaku,” balas Asma dengan nada meninggi. “Mengapa aku mau bersama dengan laki-laki bodoh sepertimu, Mas? Kamu sudah dibuang oleh wanita itu, tapi mau saja dipungut lagi. Dan itu bukan satu kali, tetapi berkali-kali. Apa itu namanya tidak bodoh sebagai seorang laki-laki?”

Plak!

Tamparan suaminya membuat Asma terkejut. Dia tidak menyangka bahwa sang suami akan bermain kasar padanya.

“Diam kamu! Perempuan tidak tahu diri! Kalau aku tidak menikahimu, kamu tidak akan pernah merasakan menjadi perempuan berkelas,” bentak Tanto.

Asma tergugu seraya memegang pipi bekas tamparan. Tidak hanya hatinya yang sakit, tetapi raganya juga merasa sakit. Dia mengakui bahwa dirinya bukan siapa-siapa jika tidak menikah dengan Tanto. Keluarganya hanya seorang petani kecil yang menggarap sebidang tanah untuk menghidupi keluarga. Selama ini, dia dibutakan oleh cintanya pada Tanto.

“Baiklah, kalau kamu juga menginginkan perpisahan ini. Aku akan pergi dari sini.” Asma hendak menuju ke kamar dengan linangan air mata.

“Silakan saja! Tapi jangan berharap kamu bisa membawa barang dari sini. Semua ini milikku!” seru Tanto dengan sombong.

Asma menghentikan langkahnya. Dia menengok ke arah sang suami dan tersenyum sinis. “Tepatnya milik orang tuamu. Kamu sendiri tidak punya apa-apa,” sindirnya yang mengetahui jika rumah dan isinya adalah milik sang mertua yang merupakan  juragan tanah.

“Lihat saja nanti, memangnya kamu bisa hidup tanpaku,” seru Tanto.

Asma sudah tidak ingin menanggapi ucapan sang suami. Dia segera menuju ke kamar utama untuk mengemasi pakaiannya. Dia hanya akan membawa pakaian yang dibeli sendiri dari usaha pembuatan kue ulang tahun. Dia memasukkannya ke dalam koper dan segera menemui suaminya yang masih di tempat semula.

“Terima kasih atas waktunya selama ini, Mas. Terima kasih juga sudah memberi kesempatan menikmati kekayaan dari orang tuamu,” sindir Asma.

Sesungguhnya, dia berat meninggalkan rumah yang sudah hampir 3 tahun ditempatinya. Walaupun rumah itu bukan miliknya, tetapi banyak kenangan indah bersama sang suami yang tersimpan di dalam memorinya.

Tanto hanya diam melihat kepergian sang istri dari rumah. Dia memang tidak pernah mencintai Asma. Dia berpaling darinya semenjak mantan pacar yang sangat dicintainya hadir kembali dan kini sedang mengandung anaknya. Dia tidak peduli dengan keadaan Asma yang sedang hamil anaknya juga, karena sejak awal Tanto tidak menginginkan anak dari Asma.

Waktu semakin sore ketika Asma pergi meninggalkan rumah sang suami. Dia berjalan ke arah jalan besar dengan membawa sebuah koper dan sebuah tas selempang miliknya. Perutnya yang sudah mulai besar, membuatnya cepat lelah untuk berjalan. Jalan besar masih beberapa meter lagi di depan. Sesekali dia berhenti di pinggir jalan untuk mengatur nafas dan mengusap perutnya agar tidak kram.

Rumah-rumah warga sudah jarang terlihat. Di kanan kiri jalan yang dilaluinya berupa kebun dan pekarangan kosong. Asma duduk di sebuah batu besar yang ada di tepi jalan.  Dia mengusap keringat yang ada di dahinya.

“Mau ke mana Asma?” tanya salah satu tetangga yang melihat Asma. Dia pun menghentikan motornya di depan Asma.

“Mau pulang ke rumah ibu, Mbak,” jawab Asma seraya tersenyum getir.

“Kamu berpisah dengan Tanto?” tanya tetangga itu. Senyuman Asma menjawab pertanyaan tersebut.

“Sabar ya, Asma. Tanto pasti suatu saat akan mendapatkan karma.”

Para tetangga sudah mengetahui perselingkuhan Tanto dengan seorang wanita hingga hamil. Banyak tetangga yang merasa kasihan pada Asma. Selama Asma menjadi warga di daerah itu, dikenal sebagai wanita yang ramah dan suka menolong  sehingga banyak yang suka dengan kepribadiannya.

“Mari! Saya antar sampai di ujung jalan besar,” tawar tetangganya.

Pada awalnya Asma menolak karena tidak mau merepotkan orang lain. Akan tetapi, tetangganya memaksa dan  juga waktu yang hampir magrib membuatnya mengiyakan tawaran tetangganya tersebut.

Asma naik ke atas boncengan motor. Dalam perjalanan menuju ujung jalan besar, tidak ada lagi percakapan diantara mereka.

“Terima kasih, Mbak. Maaf merepotkan,” ucap Asma ketika dia sampai di jalan besar.

“Sama-sama, Asma. Tapi maaf tidak bisa menemanimu menunggu kendaraan,” balas tetangganya tersebut sebelum meninggalkan Asma.

Sepeninggal tetangganya tersebut Asma menunggu kedatangan bus. Dengan hati yang sedang hancur, dia menatap ke arah jalan beraspal di depannya. Ada sebuah angkutan desa tujuan rumah orang tuanya melintas, tetapi dia hanya memandangi angkutan tersebut. Dia masih bingung ke mana tujuannya. Dia merasa malu kepada kedua orang tuanya jika dia pulang ke rumah.

Dari arah seberang jalan, Endang, mantan pacar sang suami yang telah merusak rumah tangganya, menghampiri Asma. Dia menengok ke arah Endang yang memakai pakaian seksi memperlihatkan perutnya yang sudah kelihatan buncit.

“Kasihan yang sudah dibuang suaminya,” cibir Endang pada Asma. “Makanya puaskan suami di ranjang. Jadi, dia tidak mencari di luar.”

Asma tidak menanggapi ucapan Endang. Dia berusaha mengontrol emosinya.

“Kenapa diam? Benarkan ucapanku?“

“Kucing disuguhi ikan asin pasti akan memakannya. Begitu pula seorang pelakor, walaupun naik tahta, tetap saja namanya pelakor. Lebih baik janin itu tidak terlahir, daripada lahir tapi tersemat menjadi anak haram,” ucap Asma dengan nada santai, tetapi membuat Endang meradang.

Asma melihat ada bus yang ke arah kota terlihat di kejauhan sedang menaik turunkan penumpang. Sedangkan di belakang bus itu juga ada sebuah angkutan desa yang biasa melewati arah rumah orang tuanya. Kedua kendaraan itu berhenti tepat di depannya.

“Kasihan sekali nasibmu dan anakmu. Kalian sama-sama tidak diterima keberadaannya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status